Kemampuan Menggunakan Bahasa Bali Kemampuan Menggunakan Bahasa Bali

❏ Ni Luh Sutjiati Beratha Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali

2.1.1 Kemampuan Menggunakan Bahasa Bali

Lisan Seorang anak akan memperoleh bahasa lisan terlebih dahulu sebab pada hakikatnya bahasa adalah bahasa lisan, diikuti oleh kemampuan berbahasa tulis. Bahasa dianggap sebagai gejala sosial, yaitu sebagai produk kehidupan manusia dalam masyarakat. Kemampuan berbahasa lisan siswa SD kelas I—VI di Daerah Tingkat I Provinsi Bali sangat beraneka ragam, baik mereka yang tinggal di pedesaan maupun di perkotaan. Dari pengamatan secara mendalam terhadap anak-anak yang memiliki kemampuan berbahasa Bali lisan pada kelompok nihil khususnya pada masyarakat pedesaan, mereka tampaknya hanya memiliki pemahaman secara pasif. Ini artinya bahwa apabila ayah dan ibu atau guru mereka berbahasa Bali, mereka dapat memahaminya, namun tidak dapat menggunakannya secara verbal, serta semua respon atas pertanyaan yang diberikan kepada mereka akan selalu dijawab dengan bahasa Indonesia. Ini sangat berbeda dengan siswa yang tergolong pada kelompok nihil di perkotaan: mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Bali. Hasil penelitian ini mengisyaratkan bahwa bahasa I yang mereka peroleh adalah bahasa Indonesia, dan bahasa Bali baru dipelajari di sekolah, bukan dari lingkungan keluarga yang semestinya merupakan komunitas kecil untuk mengawali pelestarian bahasa daerah, khususnya dengan mengajarkan bahasa Bali di rumah tangga. Pada masyarakat pedesaan, terdapat peningkatan kemampuan berbahasa lisan yang sangat tajam. Akan tetapi, pada masyarakat perkotaan peningkatan kemampuan berbahasa lisan adalah tidak seperti pada masyarakat pedesaan. Ini mungkin disebabkan oleh penggunaan bahasa Bali di rumah sangat kurang pada masyarakat perkotaan dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Di samping itu, kemampuan pemahaman berbahasa Bali lisan siswa SD pada masyarakat pedesaan dan perkotaan belum disertai oleh penggunaan aras-tutur unda-usuk yang cukup memadai. Aras-tutur adalah ragam yang merupakan ciri khas bahasa Bali, dan kemampuan penggunaan aras-tutur dibahas secara rinci berikut ini.

2.1.2 Kemampuan Menggunakan Bahasa Bali

Sesuai dengan Aras-Tutur Menurut statistik 1997, penduduk Bali saat ini berjumlah 2.906.582 jiwa, yang terdiri atas laki-laki 1.446.822 dan perempuan 1.459.760. Sekitar 10 dari seluruh penduduk saat ini adalah dari kalangan Triwangsa dan selebihnya dari kalangan kebanyakan sudra. Masyarakat Bali terdiri atas dua kelompok masyarakat: 1 kelompok non-Triwangsa menduduki jumlah banyak sehingga sering disebut pula sebagai kalangan kebanyakan; dan 2 kelompok Triwangsa terdiri atas Brahmana, Ksatria, dan Wesya. Tingkatan-tingkatan masyarakat Bali seperti ini memunculkan aras-tutur bahasa Bali, seperti bentuk hormat dan lepas hormat Bagus, 1976:109; Tinggen, 1995. Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa SD di Bali, baik di desa maupun di kota belum memiliki kemampuan penggunaan aras-tutur yang cukup memadai. Salah satu faktor penyebab tingkat kemampuan penggunaan aras-tutur yang belum memadai adalah karena rumit ‘sulit’ penggunaannya, dan siswa SD belum mampu untuk memahaminya; dengan berbahasa Indonesia tampaknya lebih mudah dan netral tanpa harus mengetahui pelibat dalam suatu peristiwa komunikasi berasal dari kelompok yang mana. Di samping itu, tampaknya sejauh ini belum tersedia materi yang khusus terkait dengan pengajaran aras- tutur bahasa Bali. Secara umum, siswa SD di desa dari kelas III sampai dengan kelas VI belum menguasai penggunaan aras-tutur dengan cukup baik. Berdasarkan pengamatan pada saat pelaksanaan tes pengisian instrumen yang dilakukan terhadap anak SD kelas I—VI, khususnya pada sekolah pedesaan, para siswa tersebut sangat lambat di dalam menjawab semua pertanyaan yang berbahasa Bali, apabila dibandingkan dengan siswa SD di kota. Apabila kemampuan siswa SD yang berasal dari kalangan Triwangsa dibandingkan dengan mereka dari Sudra tampak jelas bahwa siswa SD dari Triwangsa jauh lebih mampu menggunakan aras-tutur daripada mereka dari kalangan non-Triwangsa. Anak-anak dari Triwangsa khususnya Brahmana selalu berkomunikasi dengan nenekkakek apabila mereka adalah pendeta Hindu menggunakan bahasa Bali bentuk hormat. Di Bali, jarang ditemukan seorang pendeta mau berkomunikasi dengan lawan tuturnya dengan bahasa lain, kecuali bahasa Bali. Pada siswa SD di pedesaan dapat dipahami dengan jelas bahwa kemampuan menggunakan aras-tutur semakin mantap setelah siswa SD berada di kelas IV ke atas. Siswa kelas IV dan V yang menguasai aras-tutur dalam kategori lanjut adalah 75 untuk kelas IV dan 87,5 pada kelas V. Setelah mereka di kelas VI, penguasaan aras-tutur pada kategori lanjut menjadi 93,7. Dari 75 siswa kelas IV yang memiliki ❏ Ni Luh Sutjiati Beratha Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali kemampuan dalam kategori lanjut 50 adalah wanita dan selebihnya 25 adalah laki-laki. Demikian juga halnya untuk siswa kelas V: 47 wanita dan 40 laki-laki, dan pada kelas VI: 50 wanita dan 43,7 laki-laki. Secara umum wanita dianggap selalu lebih rendah subordinate daripada pria. Menurut Smith 1992:59, wanita memiliki sifat lemah lembut, tidak langsung, dan kurang memiliki kekuasaan. Hal ini sudah mulai tampak jelas pada siswa SD, baik di desa maupun di kota, sehingga penelitian ini mendukung pendapat Smith bahwa wanita Bali memiliki status sosial lebih rendah daripada pria. Hal ini berimplikasi terhadap penggunaan bahasa Bali siswa SD wanita; mereka berbahasa Bali bentuk hormat lebih sering dan lebih terampil daripada laki-laki. Ini mungkin dikarenakan wanita memiliki sifat halus, modest, pendiam reticence, sopan. Sifat seperti ini jarang ditemukan pada pria. Sifat yang dimiliki oleh wanita tercermin melalui gaya atau tingkah laku berbahasa yang selalu tampak sopan dan formal sehingga bahasa Bali wanita lebih baik daripada pria. Untuk siswa SD kelas IV, wanita memiliki kemampuan penguasan aras-tutur 37,5, sedangkan prianya 18,7. Di samping itu, siswa wanita cenderung menggunakan kalimat kompleks pada ketiga ranah pemakaian bahasa. Temuan ini mendukung sifat formal yang dimiliki wanita. Bahasa formal lebih lengkap, utuh, sesuai dengan kaidah penggunaannya. Kenyataan ini sudah disadari para guru mereka, dan bahkan mereka mengalami kesulitan dalam mengajar bahasa Bali. Kesulitan itu dirasakan makin bertambah berat karena belum tersedianya materi pengajaran aras-tutur bahasa Bali yang sesuai sebagai materi pelajaran untuk siswa SD di Bali. Walaupun Tinggen 1995 telah menulis Sor Singgih Bahasa Bali, buku tersebut diperuntukan bagi siswa SLTP dan SLTA. Di samping itu, guru bahasa Bali tidak memiliki kualifikasi dalam bidang studi yang diajarkan. Semua guru bahasa Bali di SD adalah guru agama kualifikasilatar belakang pendidikannya adalah agama Hindu, namun mereka diminta untuk mengajarkan bahasa Bali. 2.1.3 Kemampuan Menggunakan Bahasa Bali Tulis Bahasa Bali tulis dalam penelitian ini terdiri atas a bahasa Bali tulis yang berhuruf Latin dan b bahasa Bali tulis yang berhuruf Bali hanacaraka. a Kemampuan berbahasa Bali tulis dengan huruf Latin Penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa Bali dengan huruf Latin siswa SD kelas I—kelas VI di Daerah Tingkat I Provinsi Bali adalah seperti dijelaskan berikut ini. Menurut data penelitian ini, siswa SD kelas I baru diajarkan menulis dengan huruf Latin, dan pada Semester I baru diperkenalkan huruf balok. Oleh sebab itu, kemampuan mereka berbahasa Bali tulis dengan huruf Latin boleh dikategorikan nihil. b Kemampuan berbahasa Bali tulis dengan huruf Bali Hasil wawancara dengan informan kunci menunjukkan bahwa pelajaran menulis Bali dengan huruf Bali baru diperkenalkan di kelas tiga pada Semester III, yaitu dengan mengajarkan alfabet bahasa Bali yang disebut dengan anacaraka. Pelajaran membaca dan menulis huruf Bali diberikan sampai dengan kelas VI. Penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan menulis mereka dikategorikan sangat minim. Salah satu penyebabnya adalah materi yang digunakan sebagai pegangan guru untuk mengajar penulisan huruf Bali di SD belum ada sampai saat ini. Buku pegangan guru untuk mengajar menulis uger-uger pasang sastra aksara Bali diambil dari Tinggen 1984. Buku ini tampaknya belum memadai sebab buku tersebut memiliki level tinggi, dan terasa sangat sulit bagi siswa SD. Buku Purwa Aksara, Pasang Aksara dan Pacraken digunakan untuk belajar menulis siswa SD kelas III—VI. Menurut pengakuan mereka menulis dengan aksara Bali sangat sulit. Pada akhir Semester II, siswa kelas VI belum mampu menggunakan dengan baik aturan uger-uger Pasang Aksara Bali. Hasil evaluasi akhir menunjukkan bahwa nilai rata-rata mereka adalah 75 cukup, dan hanya sebagian kecil yang memperoleh nilai 7 atau 8. 2.3 Tujuan Belajar Bahasa Bali Belajar suatu bahasa harus disertai dengan tujuan yang jelas. Apabila tidak jelas, sasaran yang hendak dicapai akan tidak terarah. Secara umum tujuan pengajaran bahasa Bali menjadi sangat urgen sebab kedudukan dan fungsi bahasa Bali tampaknya makin terdesak. Dengan memahami kenyataan itu, tujuan pengajaran bahasa hendaknya sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai pada akhir pengajaran suatu bahasa. Tujuan ini sangat terkait dengan jenis-jenis keterampilan yang diajarkan, fungsi bahasa, aktivitas tutur, peristiwa tutur yang semuanya harus disesuaikan dengan jenjangtingkatannya. Misalnya, apabila seseorang ingin belajar bahasa untuk berbelanja, keterampilan yang perlu diajarkan adalah bercakap-cakap. Akan tetapi, jika seseorang ingin ❏ Ni Luh Sutjiati Beratha Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali belajar bahasa untuk tujuan menulis surat, keterampilan yang diajarkan adalah menulis. Oleh sebab itu, tujuan yang hendak dicapai di dalam mempelajari suatu bahasa harus diketahui terlebih dahulu sebelum latar penggunaan bahasa sebab tujuan pembelajaran suatu bahasa sangat terkait dengan keterampilan yang mendukung proses pembelajaran agar sasaran yang ingin dicapai terpenuhi dengan baik. Penelitian yang telah dilakukan adalah dalam rangka pelestarian bahasa Bali seperti digariskan dalam GBHN 1993 dan UUD 1945, dengan tujuan agar orang Bali tetap memiliki identitas, dan tidak tercabut dari akar dan budayanya. Dalam instrumen penelitian ada lima keterampilan yang diusulkan sebab kelima keterampilan ini sangat umum digunakan dalam pengajaran bahasa, baik untuk pengajaran bahasa I, II, ataupun bahasa asing. Keterampilan tersebut adalah 1 keterampilan membangun kosakata, 2 keterampilan bercakap-cakap, 3 keterampilan menyimak, 4 keterampilan membaca, dan 5 keterampilan menulis. Kemampuan berbahasa seseorang akan tampak dalam kelima keterampilan di atas. Hasil penelitian sudah sesuai dengan filosofis bahasa bahwa seseorang belajar sebuah bahasa adalah melalui kata leksikon, selanjutnya dengan menggabungkan kata dengan kata lainnya, dibentuk frasa, klausa kalimat tunggal, kemudian kalimat kalimat kompleks. Dalam kenyataannya, bahasa lisan diperoleh terlebih dahulu kemudian diikuti oleh bahasa tulis. Untuk SD kelas I, tampaknya mereka baru diperkenalkan huruf Balok sehingga jenis keterampilan berbahasa Bali yang perlu diajarkan adalah 1 membangun kosakata dan 2 bercakap- cakap. Keterampilan yang diajarkan untuk siswa SD kelas II adalah 1 membangun kosakata, 2 bercakap-cakap, dan 3 menyimak. Data studi ini menunjukkan bahwa keterampilan menyimak tampaknya mulai penting diajarkan pada siswa kelas II. Realisasi pelajaran menyimak untuk siswa kelas II ini adalah guru bercerita di depan kelas dan siswa mendengarkan sambil memahami isi cerita tersebut. Materi yang dipilih adalah yang sarat akan pesan dan berisikan pendidikan budi pekerti. Siswa SD kelas III mulai diperkenalkan keterampilan menulis huruf Bali pada semester II. Pada kelas III, jenis-jenis keterampilan yang perlu diajarkan adalah 1 membangun kosakata, 2 bercakap-cakap, 3 menyimak, dan 4 menulis dengan huruf latin dan Bali. Pada siswa SD kelas IV keterampilannya adalah 1 membangun kosakata, 2 bercakap-cakap, 3 menyimak, 4 menulis dengan huruf Latin dan Bali, dan 5 membaca. Keterampilan huruf Bali tampaknya penting diajarkan mulai kelas IV Semester I sebab pengenalan huruf Bali sudah diajarkan pada kelas III semester II. Pelajaran membaca tampaknya perlu diajarkan seintensif mungkin pada saat itu, dan akan berlanjut sampai ke kelas V dan VI. Pada siswa kelas V dan VI, semua keterampilan perlu diajarkan secara terintegrasi sebab keterampilan yang satu akan mendukung yang lain, dan kemampuan siswa sudah semakin meningkat. Penguatan atas semua keterampilan perlu diberikan di kelas IV mulai Semester II dalam rangka mempersiapkan siswa menghadapi EBTADA EvaIuasi Belajar Tahap Akhir Daerah, di mana bahasa Bali merupakan salah satu mata pelajaran yang harus diujikan. Perlu dikemukakan di sini bahwa teks untuk keterampilan membaca diambil dari buku cerita rakyat Bali yang kaya akan pesan untuk mengajarkan budi pekerti kepada siswa. Untuk pelajaran menyimak, siswa SD diajarkan menyajikan lagu-lagu Bali, yaitu “Sekar Alit” terdiri atas: “Pupuh Ginanti”, “Mijil”, “Mas Kumambang”, “Pucung”, “Semaran Dana”, “Sinom”, “Ginada”, “Durma”, “Pangkur”, dan “Dangdang”. Untuk Kidung khususnya “Kidung Dewa Nyadnya” meliputi “Kidung Warga Sari” dan “Magatruh”. Keterampilan menyimak ini sekaligus dikaitkan dengan pelajaran apresiasi seni. Siswa juga diajarkan beberapa hal yang terkait dengan bidang kesusastraan seperti pepatah sesonggan, ibarat sasenggakan, tamsil wewangsalan, seloka bidal, metafora beladbadan, pantun peparikan, perumpamaan papindan, perumpamaan sesawangan, teka-teki cacimpedan, syair teka-teki cecangkriman, olok-olokan cecangkitan, lawakan raos ngempelin, sindiran sasimbing, sindiran halus sasemon, dan alamat sipta.

2.4 Latar Penggunaan Bahasa Bali Ranah domain merupakan salah satu faktor