Berakhirnya Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik
1. Objek hilang atau musnah seperti rumah terbakar.
13
2. Habis tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah. Apabila yang
disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya dan apabila yang disewa itu jasa seseorang, maka ia berhak
diberi imbalan atas jasa yang telah dilakukan.
14
3. Menurut mazhab Hanafi, akad berakhir apabila salah seorang meninggal
dunia, karena manfaat tidak dapat diwariskan. Berbeda dengan jumhur ulama, akad tidak berakhir batal karena manfaat dapat diwariskan.
15
4. Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur di salah satu pihak, seperti
rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak, maka akad al-ijarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad al-
ijarah itu, menurut ulama Hanafiyah adalah salah satu pihak jatuh muflis, dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya, seseorang digaji untuk
menggali sumur disuatu desa, sebelum sumur itu selesai, penduduk desa itu pindah ke desa lain. Akan tetapi, menurut jumhur ulama uzur yang
boleh membatalkan al-ijarah itu hanyalah apabila objeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran
dan dilanda banjir.
16
13
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam Fiqh Muamalat, h. 237.
14
Abdul Aziz Dahlan editor, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet. Pertama, Jilid II, h. 660.
15
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam Fiqh Muamalat, h.237.
16
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalat, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000, h.237-238.
5. Terjadi aib pada barang sewaan yang kejadiannya ditangan penyewa atau
terlihat aib lama padanya. 6.
Rusaknya barang yang diupahkan, seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan, karena akad yang sudah terpenuhi setelah rusaknya barang
tersebut. 7.
Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, atau selesainya pekerjaan, atau berakhirnya masa, kecuali jika terdapat uzur yang mencegah fasakh atau
terpenuhinya akad tersebut. Seperti jika masa ijarah tanah pertanian telah berakhir sebelum tanaman dipanen, maka ia tetap berada di tangan
penyewa sampai masa selesai diketam. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya bahaya kerugian pada pihak penyewa, yaitu dengan
mencabut tanaman sebelum waktunya. Penganut-penganut mazhab Hanafi berkata,
“boleh menfasakh ijarah karena adanya uzur
sekalipun dari salah satu pihak”. Seperti seseorang yang menyewa toko untuk berdagang, kemudian hartanya terbakar, atau dicuri, atau
dirampas atau bangkrut, maka ia berhak memfasakh ijarah.
17
Adapun untuk besar-kecilnya upah, kembali kepada adat kebiasaan setempat. Dengan demikian, pembayaran upah tersebut dapat sesuai dengan akad
yang disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak, seperti halnya dalam mempercepat atau menangguhkan upah sebelum atau setelah pekerjaannya
selesai. Jika dalam akad tidak terdapat kesepakatan mempercepat atau menangguhkan, sekiranya upah itu dikaitkan dengan waktu tertentu maka wajib
17
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, terj oleh H. Kamaluddin A. Marzuki, Bandung, PT. Al- Ma
’arif, 1997, Cet. Ketujuh, Jilid 13, h.29.
dipenuhi sesudah berakhirnya masa tersebut. Misalnya orang yang menyewa suatu rumah untuk jangka waktu satu bulan telah berlalu maka penyewa wajib
membayar sewa tersebut. Jika akad ijarah itu untuk suatu pekerjaan, maka kewajiban pembayaran upahnya adalah pada waktu berakhirnya pekerjaan.
Kemudian jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai penerimaan pembayaran dan tidak ada ketentuan menangguhkannya, menurut
Abu Hanifa dan Malik, wajib diserahkan secara angsuran, sesuai dengan manfaat yang diterima. Demikian juga Hanafi berpendapat bahwa mensyaratkan dalam
mempercepat atau menangguhkan upah adalah sah.
18
Disamping itu imbalan harus berbentuk harta yang mempunyai nilai yang jelas diketahui, baik dengan menyaksikan atau dengan menginformasikan ciri-cirinya.
Karena ia merupakan pembayaran harga manfaat, sedangkan harga mempunyai syarat harus diketahui jelas.
Jika ijarah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Jika barang itu bergerak, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya. Dan jika
berbentuk barang tidak bergerak, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong tidak ada harta si penyewa.
Jika barang sewaan berbentuk tanah pertanian, maka si penyewa wajib mengembalikan tanah pertanian tersebut dalam keadaan kosong tidak ada
tanaman-tanaman di atas pertanian tersebut.
18
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h.20.