Alat Pengumpulan Data Analisis Data

telah dipersiapkan terlebih dahulu. Adapun penelitian lapangan dilakukan dengan narasumber terkait dalam hal ini Pejabat Badan Pertanahan dan para pihak serta notaris dalam peralihan Hak Guna Usaha yang disertai alih fungsi penggunaan tanah.

5. Alat Pengumpulan Data

Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Studi Dokumen yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang Hak Guna Usaha. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting. b. Wawancara 53 dengan menggunakan pedoman wawancara interview quide 54 . Wawancara dilakukan terhadap responden dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan dengan cara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam depth interview.

6. Analisis Data

Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat deskriftif analistis, maka setelah diperoleh data sekunder, dilakukan pengelompokan data yang sama Publications, London New Delhi, 1992, Hal. 71, menyatakan bahwa terminologi informan berarti “the individual who provides information”. 53 Herman Warsito, Loc.cit, yang menyatakan wawancara merupakan alat pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara interviewer, responden interview informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara interviewer, responden interview pedoman wawancara, dan situasi wawancara. 54 Ibid, hal. 73. Menyatakan pedoman wawancara yang digunakan pewawancara, menguraikan masalah penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk daftar pertanyaan. Isi pertanyaan yang peka dan tidak menghambat jalannya wawancara. Universitas Sumatera Utara sesuai dengan kategori yang ditentukan, penulusuran data dalam penelitian ini mulai dari ketentuan peraturan perundangan mengenai syarat peralihan Hak Guna Usaha melalui perikatan jual-beli yang diatasnya dilakukan alih fungsi penggunaan tanah, termasuk mengenai data lapangan yang merupakan kenyataan dan pelaksanaannya. Kemudian diuji dan dianalisis dengan teori hukum yang ada serta peraturan perundangan yang berlaku. Untuk mengambil kesimpulan dilakukan dengan pendekatan deduktif. Universitas Sumatera Utara

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI

PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

A. Pengaturan tentang Perikatan Jual Beli

Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUH Perdata menyebutkan bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang”. 55 Dari ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata tersebut diketahui bahwa timbulnya perikatan karena persetujuan dan karena Undang-Undang, dengan demikian dikatakan bahwa Undang-Undang dan perjanjian adalah sumber perikatan. 56 Secara garis besar menurut KUH Perdata sumber perikatan dapat dibedakan sebagai berikut : 1. Perikatan yang bersumber dari Undang-Undang Perikatan yang lahir dari Undang-Undang ini asas kebebasan mengadakan perjanjian tidak berlaku. Suatu perbuatan menjadi perikatan adalah karena kehendak Undang-Undang. Untuk perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian maka pembentuk Undang-Undang memberikan aturan-aturan yang umum. Tidak demikian halnya dengan perikatan yang lahir dari Undang- 55 Lihat Pasal 1233 KUHPerdata 56 Dalam Pasal 1233 KUHPerdata walaupun tidak ada disebutkan mengenai kata perjanjian akan tetapi J. Satrio memberikan maksud yang sama dengan kata persetujuan yaitu terjemahan dari kata Belanda “Overeenkomst”. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 2. 38 Universitas Sumatera Utara Undang dimana pembentuk Undang-Undang tidak memberikan aturan-aturan yang umum. Untuk terjadinya perikatan di atas, Undang-Undang tidak mewajibkan dipenuhinya syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan untuk terjadinya perjanjian. 57 Oleh karena perikatan ini bersumber dari Undang-Undang, sehingga terlepas dari kemauan para pihak. Perikatan yang bersumber dari Undang-Undang semata-mata adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum perikatan di antara para pihak yang bersangkutan, terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut. Perikatan yang lahir dari Undang-Undang sebagai akibat perbuatan orang yang menurut hukum misalnya mengurus kepentingan orang lain secara sukarela zaakwaarneming, dimana sebagai akibatnya, Undang-Undang menetapkan beberapa hak dan kewajiban, yang harus mereka perhatikan seperti hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian. Perikatan yang lahir dari Undang-Undang sebagai akibat perbuatan orang yang melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, 58 Undang-Undang menetapkan kewajiban orang itu untuk memberi ganti rugi. Perbuatan melawan hukum onrechmatige daad memang hampir serupa dengan wanprestasi sehingga dapat dikatakan, wanprestasi adalah juga merupakan “genus spesifik” dari “onrechmatige daad” seperti yang dirumuskan dalam Pasal 57 Lihat syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata. 58 Lihat Pasal 1365 KUHPerdata. Universitas Sumatera Utara 1365 KUHPerdata. Oleh karena itu, sebagaimana juga halnya dalam onrechmatige daad perbuatan melawan hukum, maka dalam wanprestasi pun demikian halnya. Yakni wanprestasi sebagai perbuatan melawan hak kreditur. 59 2. Perikatan yang bersumber dari perjanjian Dalam perikatan yang lahir melalui perjanjian, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya mempunyai kebebasan untuk mengadakan segala jenis perikatan, dengan batasan yaitu tidak dilarang oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. 60 Dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata disebutkan “semua perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. 61 Dengan adanya kebebasan mengadakan perjanjian maka subjek-subjek perikatan tidak hanya terikat untuk mengadakan perikatan-perikatan yang namanya ditentukan oleh Undang-Undang yaitu sebagaimana yang tercantum pada Bab V sampai dengan Bab XVIII dalam Buku ke III KUHPerdata, tetapi berhak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang namanya tidak ditentukan oleh Undang-Undang. Menurut Suharnoko, akibat hukum dari suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak, karena memang perjanjian didasarkan atas kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan akibat hukum dari suatu perikatan yang lahir dari 59 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung 1992, hal 61. 60 Lihat Pasal 1337 KUHPerdata. 61 Lihat Pasal 1338 KUHPerdata. Universitas Sumatera Utara Undang-Undang tidak dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat hukumnya ditentukan oleh Undang-Undang. Apabila atas perjanjian yang disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat diajukan gugatan wanprestasi karena ada hubungan kontraktual antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian. Apabila tidak ada hubungan kontraktual antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak menderita kerugian, maka dapat diajukan gugatan perbuatan melewan hukum. 62 Selanjutnya mengenai perikatan ini dapat juga dilihat dari ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. 63 Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata di atas dapat dipahami, pengertian perjanjian hanya mengenai perjanjian sepihak termasuk juga pada perbuatan dan tindakan, seperti zaakwarneming, onregmatige daad. Abdulkadir Muhammad mengatakan Pasal 1313 KUH Perdata kurang memuaskan karena ada kelemahannya yaitu : 1. Hanya menyangkut sepihak saja. Dari rumusan ini diketahui satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih. Kata kerja “mengikat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak 62 Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta 2004, hal 115-116. 63 Lihat Pasal 1313 KUHPerdata Universitas Sumatera Utara dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu saling “mengikat diri” terlihat dari adanya consensus dari kedua belah pihak. 2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus maksudnya dalam pengertian “perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa zaakwaarneming dan tindakan melawan hukum yang tidak mengandung adanya consensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan” saja. 3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Dikatakan terlalu luas karena terdapat juga dalam lapangan hukum keluarga yang terdapat dalam buku I seperti janji kawin, pelangsungan perkawinan. Sedangkan perjanjian yang dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan bersifat personal. 4. Dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak mengikat dirinya tidak untuk apa. 64 Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah “Suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. 65 Menurut R. Subekti perjanjian adalah “Suatu peristiwa dimana seseorang mengikatkan diri kepada orang lain atau lebih dimana orang tersebut saling berjanji untuk melakukan suatu hal”. 66 Berdasarkan rumusan perjanjian di atas dijumpai beberapa unsur dalam suatu perjanjian, yaitu sebagai berikut. 1 Perikatan hubungan hukum. 2 Subyek hukum. 3 Isi hak dan kewajiban. 64 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1992, hal. 78. 65 Ibid, hal. 78. 66 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1984, hal. 14. Universitas Sumatera Utara 4 Ruang lingkup lingkup hukum harta kekayaan. Menurut J. Satrio, bahwa “Pembuat Undang-Undang dalam Pasal 1313 KUH Perdata mencoba memberikan perumusan tentang apa itu yang disebut perjanjian, tetapi ia sama sekali tidak menjelaskan apa itu perikatan”. 67 Mariam Darus Badrulzaman, mengartikan bahwa “Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara 2 dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu”. 68 Menurut M. Yahya Harahap, bahwa “Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian : suatu hubungan hukum kekayaanharta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”. 69 Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut terlihat masih belum ada kesepakatan dalam penggunaan kata perjanjian dan perikatan, karena walaupun menggunakan kata yang berbeda namun pada umumnya tetap mengacu kepada pengertian mengenai perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, namun penulis dalam penulisan ini menggunakan istilah “Perikatan” untuk “Verbintenis” sedangkan “Perjanjian” untuk istilah “overeenkomst”. 67 J. Satrio, Op.Cit., hal 1. 68 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung 2001, hal 1. 69 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal 6. Universitas Sumatera Utara Pasal 1313 KUH Perdata dan pendapat tersebut di atas, dapatlah dijelaskan bahwa dalam suatu perjanjian terdapat hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang menimbulkan perikatan. Dengan demikian untuk adanya suatu perjanjian paling sedikit harus ada dua pihak yaitu kreditur dan debitur. Sesuai dengan uraian tersebut dapatlah dimengerti bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan sesuatu. 70 Pengertian di atas juga menunjukkan bahwa perjanjian terjadi pada saat persetujuan itu disepakati. Dalam hal ini jelaslah persetujuan merupakan hal yang utama karena setiap pihak yang membuat perjanjian telah memikirkan tentang hak yang akan diperoleh sebagai keuntungam baginya dan kewajiban sebagai beban prestasi yang harus dilaksanakan. Perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Apabila seseorang berjanji kepada orang lain, maka perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang biasa diistilahkan dengan perjanjian sepihak, di mana hanya seorang saja yang wajib menyerahkan sesuatu kepada orang lain, sedangkan orang yang menerima penyerahan itu tidak memberikan sesuatu sebagai balasan kontra prestasi atas sesuatu yang diterimanya. Sementara itu, apabila dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak berhak untuk menerima apa 70 Ibid . Universitas Sumatera Utara yang diperjanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan. 71 Kontrak pada umumnya janji-janji mengandung atau memuat para pihak itu saling “berlawanan”, misalnya dalam perjanjian jual beli, tentu saja satu pihak menginginkan barang, sedangkan pihak lain menginginkan uang karena tidak mungkin terjadi jual beli kalau kedua belah pihak menginginkan hal yang sama. 72 Perjanjian merupakan suatu peristiwa yang kongkret dan dapat dinikmati, baik yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda dari kegiatan yang tidak kongkrit, tetapi abstrak atau tidak dapat dinikmati karena perikatan itu hanya merupakan akibat dari adanya perjanjian tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang dijanjikan. KUH Perdata mengenal berbagai jenis perjanjian, salah satunya adalah jual beli. Jual beli merupakan salah satu dasar pemindahan atau pengalihan hak milik dari satu orang kepada orang lain. Pasal 1457 KUH Perdata menyebutkan “Jual beli adalah suatu persetujuan dimana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Perjanjian jual beli dianggap telah terjadi pada saat pihak penjual dan pembeli telah tercapai kata sepakat tentang benda dan harganya, meskipun pembayaran harga itu penyerahan bendanya belum dilakukan. 71 Ibid 72 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 3 Universitas Sumatera Utara Selain itu, pengertian jual beli juga dikemukakan oleh S.B.Marsh dan J. Soulbsby yang dialih bahasakan oleh Abdul Kadir Muhammad bahwa perjanjian jual beli adalah perjanjian di mana penjual memindahkan atau setuju memindahkan hak miliknya atas suatu barang kepada pembeli sebagai imbalan sejumlah uang yang disebut harga. 73 Pengertian di atas menjelaskan bahwa dalam perjanjian jual beli tercakup dua unsur yang pokok yaitu barang dan harga. Sehingga perjanjian jual beli dianggap sudah berlangsung antar pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat tentang “keadaan barang dan harga barang” tersebut. Perkataan jual beli menunjukkan bahwa satu pihak dinamakan penjual, sedang pihak lainnya dinamakan pembeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang timbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “Koopt en Verkoopt” yaitu Verkoopt menjual dan Koopt membeli. 74 Pasal 1145 KUH Perdata menyebutkan : Jika penjualan telah dilakukan tunai, maka si penjual bahkan mempunyai kekuasaan menuntut kembali barang-barangnya, selama barang-barang ini masih berada di tangan si pembeli, sedangkan ia dapat menghalang-halangi dijualnya terus barang-barang itu, asal saja penuntutan kembali itu dilakukan di dalam jangka waktu tiga puluh hari setelah penyerahannya. Kemudian dalam Pasal 1457 KUH Perdata ditentukan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk 73 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian Business Law, Alumni Bandung, 2006, hal. 243. 74 Ibid ., hal. 245. Universitas Sumatera Utara menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Mengenai adanya suatu perjanjian yang terdapat di luar KUH Perdata tersebut didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Para pihak bebas menentukan objek perjanjian, sesuai dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata, ditegaskan bahwa setiap perjanjian harus melaksanakan dengan iktikad baik. Sedangkan wujud dari suatu perjanjian menurut Pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa pemberian sesuatu, perbuatan atau tidak berbuat sesuatu. Makna asas kebebasan berkontrak harus dicari dan ditentukan dalam kaitannya dengan pandangan hidup bangsa. Disepakati sejumlah asas Hukum Kontrak menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagai berikut : 1. Asas Konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. 2. Asas Kepercayaan Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari. 3. Asas Kekuatan Mengikat Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan yang mengikat. Terikatannya para pihak pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap Universitas Sumatera Utara beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan, dan kebebasan akan mengikat para pihak. 4. Asas Persamaan Hak Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan. 5. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. 6. Asas Moral Asas ini terlihat di dalam Zaakwaarneming, di mana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela moral yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata. 7. Asas Kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. 8. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak. 75 Perjanjian baik dilakukan secara tertulis maupun lisan sama-sama mengikat para pihak yang membuatnya, asalkan memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun demikian, perjanjian secara lisan di dalam dunia perdagangan dan bisnis kurang disukai karena apabila terjadi sengketa sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti. Pembuktian perjanjian yang dibuat secara lisan dapat 75 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku standar Perkembangannya di Indonesia , Alumni Bandung, 1990, hal. 42-44. Universitas Sumatera Utara dilakukan dengan saksi. Para saksi adalah manusia yang tidak luput dari lupa, sifat yang tidak jujur, atau meninggal dunia.

B. Syarat Sahnya Perikatan Jual Beli

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata menegaskan bahwa “ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan demikian, Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata tersebut menganut asas kebebasan berkontrak, maksudnya setiap orang bebas mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian serta bebas untuk menentukan isi dari perjanjian dimaksud menurut yang dikehendaki dalam batas- batas tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Pasal 1320 KUH Perdata menegaskan bahwa “untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat”, yaitu sebagai berikut. a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; c. Suatu hal tertentu, dan d. Suatu sebab yang halal. ad.1 Kata Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri Kesepakatan yang dimaksud merupakan persetujuan kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian. Mengenai hal ini, Subekti merumuskan bahwa “maksud dari kesepakatan itu adalah kedua subyek yang mengadakan perjanjian Universitas Sumatera Utara harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok, apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain dan mereka menghendaki sesuatu secara timbal balik”. 76 Abdulkadir Muhammad mengatakan sepakat sebagai suatu persetujuan kehendak, seia sekata antara para pihak yang membuat perjanjian itu, pokok perjanjian itu berupa objek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. 77 Kesepakatan ini menunjukkan bahwa orang sebagai subjek hukum bebas menyatakan kehendaknya. Lahirnya suatu perjanjian karena adanya kesepakatan kedua belah pihak yang dinyatakan secara tertulis maupun secara lisan. Dalam perjanjian jual beli tanah, kesepakatan antara para pihak baik secara tertulis maupun secara lisan. Pihak yang menjual secara bersama dengan pembeli membuat perjanjian jual beli tersebut. Akibat adanya perjanjian tersebut maka terjadi hubungan hukum antara penjual sebagai pihak yang menjual dengan terlebih dahulu mengurus izin yang dijanjikan dengan pembeli seperti pada objek penelitian izin yang diperjanjikan adalah izin peralihan sekaligus izin alih fungsi penggunaan tanah. Apabila kesepakatan telah tercapai antara para pihak, maka para pihak terikat untuk mentaati semua isi perjanjian yang telah mereka sepakati tersebut. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata. 76 Subekti, Op Cit, hal. 18. 77 Ibid. Universitas Sumatera Utara ad.2 Kecakapan untuk Membuat Perjanjian Pada dasarnya setiap orang yang telah dewasa dan tidak terganggu ingatannya, cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang dewasa yang terganggu ingatannya, anak di bawah umur dan orang yang berada di bawah pengampuan dianggap tidak cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. 78 Dalam membuat sesuatu perjanjian seseorang haruslah cakap bertindak dalam lalu lintas hukum, karena dalam perjanjian itu seseorang terikat untuk melaksanakan suatu prestasi dan harus dapat mempertanggung jawabkannya. 79 Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1339 KUH Perdata “bahwa setiap orang adalah cakap untuk mengadakan persetujuan, kecuali orang-orang yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap”. M. Yahya Harahap, menyatakan bahwa “subjek yang dianggap memiliki kecakapan memberikan persetujuan adalah orang yang mampu melakukan tindakan hukum. Umumnya mereka yang mampu melakukan tindakan hukum adalah orang dewasa yang waras akal budinya, bukan orang yang sedang berada di bawah pengampuan wali maupun di bawah “curatele”. 80 Subjek dari suatu perjanjian harus cakap bertindak menurut hukum. Dalam hal ini akan terikat dengan segala ketentuan yang telah disepakati bersama, maka ia harus mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Orang yang tidak sehat pikirannya walaupun telah dewasa, tidak dapat menyelenggarakan kepentingannya 78 Subekti, Op.Cit., hal. 19. 79 Ibid. 80 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 6. Universitas Sumatera Utara dengan baik dan memerlukan bantuan dari pihak lain untuk menyelenggarakan kepentingannya. Ketidakcakapan ini disebut tidak cakap untuk mengadakan hubungan hukum, hal ini dikarenakan ia tidak dapat menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik. 81 Orang yang belum dewasa, umumnya belum dapat menentukan dengan sempurna dan tidak mampu mengendalikan ke arah yang baik, sehingga ia dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. Sedangkan orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang yang berdasarkan keputusan hakim dinyatakan bahwa ia tidak mampu atau pemboros di dalam mengendalikan keinginannya sehingga bagi mereka harus ada wakil dari orang tertentu untuk menyelenggarakan kepentingannya. 82 Setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya cakap bertindak menurut hukum. Ahmadi Miru mengatakan bahwa: Seorang dikatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum jika orang tersebut belum cukup 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang telah berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum diangap telah cakap kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau pemboros. 83 ad.3 Suatu hal Tertentu Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan, hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu 81 Ibid. 82 Ibid., hal. 9. 83 Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 29. Universitas Sumatera Utara perselisihan. 84 Barang yang dimaksud dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang yang sudah ada di tangan si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Akibat syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya adalah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka perjanjian itu dianggap batal demi hukum. 85 Persyaratan yang demikian itu sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian haruslah tertentu barangnya atau sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya”. ad.4 Sesuatu Sebab yang Halal Untuk sahnya suatu perjanjian juga harus memenuhi syarat yang dinamakan sebab atau yang diperbolehkan. Akan tetapi, yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang terjadi sebab orang yang mengadakan perjanjian, yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang adalah “isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah 84 R. Subekti, Op.Cit, hal. 19 85 Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit, hal. 94 Universitas Sumatera Utara dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak. 86 Jika perjanjian yang berisi causa yang tidak halal, maka perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa atau sebab, ia dianggap tidak pernah ada. 87 Apabila dalam membuat perjanjian tidak terdapat suatu hal tertentu, maka dapat dikatakan bahwa objek perjanjian tidak ada. Oleh karena itu, perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang diperjanjikan. Sedangkan suatu perjanjian yang isinya tidak ada sebab yang diperbolehkan atau isinya melanggar ketentuan, maka perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan karena melanggar undang- undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Dari keempat syarat tersebut, secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi dua syarat pokok yaitu sebagai berikut. a. Syarat Subjektif. Syarat subjektif adalah sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan bertindak dalam bidang hukum. 88 Kedua syarat ini dikatakan subjektif karena ditujukan kepada orang atau objek yang mengadakan perjanjian. Apabila syarat 86 Ibid, hal. 94. 87 Ibid, hal. 96. 88 Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 32. Universitas Sumatera Utara subjektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang bersangkutan dapat dibatalkan. Adapun yang membatalkan suatu perjanjian itu adalah hakim dengan permintaan dari orang yang berkepentingan. b. Syarat Objektif Syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Kedua syarat ini dikatakan syarat objektif karena merupakan benda atau objek dari perjanjian. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. 89

C. Jual Beli sebagai Dasar Peralihan Hak Guna Usaha

Peralihan hak atas tanah merupakan salah satu peristiwa danatau perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik kepada pihak lainnya. Peralihan tersebut bisa disengaja oleh karena adanya perbuatan hukum seperti jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya, dan juga tidak disengaja karena adanya peristiwa hukum seperti peralihan karena warisan. Muhammad Yamin Lubis menyebutkan bila ada kehendak yang disengaja dan disepakati atas sebidang tanah milik, maka di dalamnya ada pengalihan hak atas tanah tersebut. Bila pengalihan tersebut dipaksakan oleh kewenangan dan kekuasaan Negara, maka dicabut atau mungkin dinasionalisasikan. Dan ini pun harus dengan menempuh persyaratan, sebab terjadi pemutusan hubungan hukum kepemilikan di dalamnya. 90 89 Ibid . 90 M. Yamin Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung , 2008, hal. 27. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dijelaskan bahwa peralihan hak atas tanah adalah suatu peristiwaperbuatan hukum yang mengakibatkan berpindahnya hak seseorang terhadap tanah ke pihak lain, sehingga menyebabkan kehilangan kewenangannya terhadap tanah tersebut. Salah satu cara untuk menguasai atau memiliki hak atas tanah adalah melalui proses jual beli. Pengertian jual beli menurut ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu berjanji mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu benda dan pihak yang lainnya berjanji untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Dengan demikian, jelas bahwa hak atas tanah dapat dilakukan peralihan dari pihak yang menguasainya kepada pihak lain, dimana peralihan tersebut dapat dilakukan dengan salah satunya melalui jual beli. Menurut Budi Harsono, jual beli tanah menurut hukum adat merupakan kekuatan hukum yang bersifat tunai. Jual beli tanah dalam hukum adat adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara tunai dilakukan 91 Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa secara umum pengertian jual beli adalah suatu perjanjian antara pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar dengan harga yang telah ditetapkan. Yang dijanjikan pihak penjual adalah menyerahkan atau memindahkan haknya atas barang yang ditawarkan atau dijual sedangkan yang dijanjikan oleh pihak pembeli membayar harga yang telah disetujuinya. Jadi peralihan hak atas tanah merupakan salah satu peristiwa danatau 91 Harun Al Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 15 Universitas Sumatera Utara perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik kepada pihak lainnya. Konsep jual beli tanah di Indonesia yang diambil UUPA konsep hukum adat adalah bahwa jual beli tanah telah selesai dengan sempurna dan hak telah berlaluberalih kepada pembeli setelah selesai ditandatanganinya akta PPAT. Pencatatan peralihan hak di Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah hanya untuk memperoleh alat pembuktian yang kuat mengenai sahnya peralihan hak seperti yang tercantum di dalam Pasal 23 UUPA. Apabila Pasal 23 UUPA dihubungkan dengan Pasal 19 ayat 2 huruf c, yang menyatakan bahwa “pendaftaran itu meliputi pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”. Peralihan hak atas tanah juga dapat dilakukan terhadap tanah Hak Guna Usaha termasuk dalam hal ini melalui jual beli. Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dapat beralih artinya bahwa jika pemegang haknya meninggal dunia, hak tersebut jatuh kepada ahli warisnya. 92 Namun demikian, di dalam UUPA tidak terdapat ketentuan soal pemindahan hak tersebut. 93 Berdasarkan surat keputusan Menteri Agraria No. SK 13Depag66 disebutkan bahwa peralihan Hak Guna Usaha dilakukan di hadapan PPAT Khusus. Bukan PPAT yang ada di kecamatan, melainkan PPAT Khusus yang ditunjuk dari kalangan pejabat lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Hal ini sekaligus merupakan pengawasan peralihan Hak Guna Usaha tersebut dan Peralihan 92 Oloan Sitorus dan HM. Zaki Sierrad, Op.Cit., hal. 124. 93 Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 191. Universitas Sumatera Utara Hak Guna Usaha harus dengan izin dari Kepala Badan Pertanahan Nasional termasuk pengalihan saham-saham. 94 PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu. 95 PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya. 96 Mengenai peralihan Hak Guna Usaha ini juga terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, yakni Pasal 16 ayat 4, yang berbunyi “Peralihan Hak Guna Usaha karena jual beli, kecuali melalui lelang, tukar menukar penyertaan dalam modal, dan hibah dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah”. Hak Guna Usaha termasuk syarat-syarat pemberiannya juga setiap peralihan dan hapusnya Hak Guna Usaha harus didaftarkan menurut ketentuan peraturan pemerintah. Pendaftaran ini merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya Hak Guna Usaha serta sahnya peralihan Hak Guna Usaha, kecuali Hak Guna Usaha tersebut hapus karena jangka waktunya berakhir. 97 Muhammad Yamin, dalam hal ini menegaskan, bahwa Hak Guna Usaha harus didaftarkan agar memberikan kepastian hukum dan dapat merupakan alat pembuktian 94 AP. Parlindungan, Op.Cithal. 163. 95 Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. 96 Pasal 3 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. 97 Ibid, hal. 139. Universitas Sumatera Utara yang kuat bagi setiap yang memperolehnya. Untuk saat ini Hak Guna Usaha diatur dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. 98

D. Alih Fungsi Penggunaan Tanah dan Wewenang Pemberian Izin Alih Fungsi

Penggunaan Tanah Alih fungsi yang dimaksud dalam penulisan tesis ini adalah alih fungsi penggunaan tanah dari pengunaan untuk fungsi yang lama ke fungsi tanah yang baru. Hal ini dapat dilakukan terhadap objek tanah Hak Guna Usaha sebagaimana alih fungsi penggunaan tanah yang dilakukan oleh salah satu peralihan hak atas tanah di Kabupaten Deli Serdang sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Rahim 99 alih fungsi penggunaan tanah adalah permohonan yang diajukan untuk mengalihkan fungsi penggunaan tanah objek Hak Guna Usaha HGU dari pengunaan untuk fungsi yang lama ke fungsi tanah yang baru seperti halnya pengajuan alih fungsi yang dilakukan oleh PT. Anugrah Tambak Prakasindo, dimana tanah yang sebelumnya adalah areal tambak kemudian setelah dilakukan peralihan dialihfungsikan menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Dalam pelaksanaannya peralihan fungsi penggunaan tanah objek Hak Guna Usaha HGU dari pengunaan untuk fungsi yang lama ke fungsi tanah yang baru dilakukan atas permohonan pemegang hak atas tanah kepada BupatiWalikota, dalam hal ini Bupati BupatiWalikota, dimana tanah Hak Guna Usaha tersebut berada yang dimaksudkan untuk menyesuaikan peruntukan tanah dimaksud sesuai dengan 98 Muhammad Yamin, ibid., hal. 28 99 Wawancara dengan Abdul Rahim Kasi Badan Hukum Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara, Tanggal Juni 2010. Universitas Sumatera Utara ketentuan Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW. Dengan kata lain, persetujuan terhadap alih fungsi tanah tersebut juga harus sesuai dengan Tata Ruang Wilayah RTRW. Hal ini harus dibuktikan dengan adanya persetujuan Pemerintah Daerah Setempat yaitu dengan Persetujuan Peruntukan Penggunaan Tanah yang diterbitkan BupatiWalikota. Selanjutnya sesuai dengan Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional tertanggal 19 Februari 1999, Nomor 3 Tahun 1999, khususnya Pasal 8 dan Bab III, tentang Badan Pertanahan Nasional, menentukan bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional provinsi setempat yang berwenang untuk memberi keputusan mengenai permohonan pemberian keputusan mengenai pemberian hak untuk pertama kali, mengenai permohonan pemberian perpanjangan jangka waktu hak dan pemberian hak selanjutnya baik dengan hak yang sama pembaharuan hak atau dengan hak jenis lainnya perubahan hak Hak Guna Usaha atas tanah negara, apabila luas tanah yang diberikan luasnya tidak lebih dari 200 Ha hektar. 100 Sedangkan apabila luas tanahnya lebih dari 200 Ha, maka yang berwenang untuk memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tanah menjadi kewenagan Mentri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional. 100 Penjelasan Peraturan Mentri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1999 Pasal 8 Universitas Sumatera Utara Hal ini dibenarkan oleh Abdul Rahim 101 dalam memberikan Hak Guna Usaha atas tanah kewenangan Pejabat Badan Pertanahan Nasional dengan ketentuan sebagaimana tersebut di atas. Namun dalam hal perubahan penggunaan atau alih fungsi tanah khususnya dalam proses Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara juga sebagai pihak yang terlibat dalam proses penerbitan pemberian izin perubahan penggunaan fungsi tanah. Hal ini dapat dilihat dari proses permohonan Alih Fungsi Penggunaan Tanah yang dilakukan oleh PT. Anugrah Tambak Prakasindo terhadap tanah objek Hak Guna Usaha yaitu 1 Tanah seluas 335,8 Ha SHGU No. 42001 terletak di Desa Pematang Lalang, Kecamatan Pecut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumetera Utara Masa HGU 25 Tahun, dan 2 Tanah seluas 94,67 Ha SHGU No. 11995 terletak di Desa Pematang Lalang, Kecamatan Pecut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumetera Utara Masa HGU 25 Tahun. Selain itu, dalam memberikan izin pengalihan fungsi penggunaan tanah juga harus memenuhi kelayakan dari intansi terkait yang menyangkut dengan aspek teknis kesesuaian lahan atau tanah Hak Guna Usaha yang dimohonkan alih fungsi ini dengan keadaan sebenarnya. Penetapan tentang kelayakan teknis ini dilakukan setelah pihak dinas terkait mempelajari pertimbangan aspek penatagunaan tanah yang diajukan oleh pihak Badan Pertanahan Nasional. 101 Wawancara dengan Abdul Rahim Kasi Badan Hukum Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara, Tanggal Juni 2010. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya dapat pula dijelaskan bahwa permohonan pengalihan fungsi penggunaan tanah ini dilakukan karena pihak PT. Anugrah Tambak Prakasindo yang bergerak dalam bidang tambak akan mengalihkan tanah Hak Guna Usaha dimaksud kepada pihak lain yaitu PT Perkebunan Sungai Wang yang bergerak dalam bidang usaha perkebunan kelapa sawit. Peralihan Hak Guna Usaha tersebut tidak dilakukan secara langsung dengan akta jual beli tetapi diawali dengan perikatan jual beli antara para pihak saja yang hanya dibuat dengan akta dibawah tangan. Hal ini disebabkan pihak pembelipenerima peralihan terlebih dahulu menginginkan adanya izin peralihan sekaligus alih fungsi penggunaan tanah dari instansi terkait, dimana tanah yang menjadi objek jual beli sebelumnya adalah areal tambak kemudian setelah dilakukan peralihan dialih fungsikan menjadi areal perkebunan kelapa sawit. 102 Proses peralihan Hak Guna Usaha yang diikuti dengan alih fungsi penggunaan tanah dalam praktek harus memenuhi persyaratan pengajuan Hak Guna Usaha secara umum yaitu 1 syarat mengenai diri pemohon, 2 syarat mengenai tanahnya dan 3 syarat pembiayaan yang ketiganya akan dijelaskan pada bab selanjutnya, juga harus memenuhi persyaratan antara lain : 1. Kesepakatan antara para pihak untuk melakukan transaksis jual beli 2. Akta notaris atau peraturankeputusan tentang pendirian badan hukum para pihak baik pemegang Hak Guna Usaha maupun penerima peralihan Hak Guna Usaha 3. Proposal rencana penggunaan tanah objek peralihan 102 Wawancara dengan Abdul Rahim Kasie Badan Hukum Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara, Tanggal Juni 2010. Universitas Sumatera Utara 4. Izin BupatiWalikota mengenai kesuaian penggunaan tanah rencana tata ruang wilayah RTRW setempat. 5. Kelayakan teknis penggunaan tanah oleh instansi terkait dalam objek penelitian adalah Dinas Perkebunan Jadi menurut penulis yang didasarkan pada keterangan di atas, dalam proses alih fungsi penggunaan tanah Hak Guna Usaha dilakukan atas izin Badan Pertanahan Nasional dan persetujuan dari berbagai pihak terkait dalam hal ini, pemerintah daerah, dinas dimana dalam hal ini menyangkut objek tanah perkebunan adalah Dinas Perkebunan. Setelah pemohon memenuhi semua ketentuan dalam rangka alih fungsi penggunaan tanah dimaksud, maka wewenang pemberian izin alih fungsi penggunaan tanah tersebut tetap merupakan wewenang dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara tempat dimana objek tanah tersebut berada. Universitas Sumatera Utara

BAB III AKIBAT HUKUM DARI PERALIHAN HAK GUNA USAHA

SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH A. Tinjauan Umum tentang Hak Guna Usaha Hak Guna Usaha HGU adalah untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, untuk perusahaan pertanian atau peternakan Pasal 28 UUPA. Tujuan penggunaan tanah yang dipunyai dengan Hak Guna Usaha dibebankan pada tanah yang dikuasai oleh negara. Hak Guna Usaha termasuk hak atas tanah yang bukan bersumber pada hukum adat, melainkan atas tanah baru yang diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern. Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu lama. Menurut ketentuan Pasal 29 UUPA, jangka waktu paling lama 25 tahun, dan untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan paling lama 35 tahun. Jangka waktu tersebut masih dapat diperpanjang lagi selama 25 tahun atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keadaan perusahaan serta dapat diperbaharui selama 35 tahun. Berhubung jangka waktu itu paling lama, maka Hak Guna Usaha tidak dimungkinkan pemberiannya oleh pemilik tanah. Alasannya adalah pemilik tanah akan terlalu lama terpisah dengan tanahnya. Lagi pula, pada tanah milik yang 64 Universitas Sumatera Utara dikuasai oleh pihak lain itu berlaku kadaluarsa. Oleh karena itu, Hak Guna Usaha hanya dimungkinkan atas tanah yang dikuasai Negara. 103 Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah negara. Tanah negara berarti tanah di atas mana pihak lain tidak mempunyai suatu hak. Dapat juga tanah yang bersangkutan ini adalah tanah negara yang merupakan “kawasan hutan”. Pemberian Hak Guna Usaha dapat dilakukan setelah tanah bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan. Di dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah PP No.40 Tahun 1996 dinyatakan bahwa tanah negara yang diberikan dengan Hak Guna Usaha harus bebas dari kepentingan pihak lain. Apabila tanah negara termasuk di dalam kawasan hutan, hal mana berarti bahwa tanah itu harus dipergunakan untuk hutan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Maka menurut Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 ini, tanah tersebut harus terlebih dahulu dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan Pasal 4 ayat 2 PP No.40 Tahun 1996. 104 Sering sesuatu pemberian hak atas tanah hanya dilihat dari segi hukum administrasi saja atas tanah yang menurut ketentuan termasuk objek Undang-undang No. 3 Tahun 1960 Jo. Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961, atau objek nasionalisasi UU No. 86 Tahun 1958 atau Peraturan Presidium Kabinet No. 5 103 Suardi, Hukum Agraria, Badan Penerbit IBLam, Jakarta, 2005, hal. 38. 104 Lebih Lanjut lihat Pasal 4 PP No.40 Tahun 1996. Universitas Sumatera Utara Tahun 1965 jo. Peraturan Direktur Jenderal Agraria No. 3 Tahun 1968 atau Peraturan Presidium Kabinet No. 2 Tahun 1965 mengenai proyek tanah Perusahaan Negara, penjualan rumah-rumah negeri Golongan III Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1977 dan lain sebagainya. 105 Demikian pula kebijaksanaan pemerintah di bidang landreform seperti dimulai dengan penghapusan tanah-tanah partikelir UU No. 1 Tahun 1958 dan pengaturan batas pemilikan tanah pertanian UU No. 56 Tahun 1960 jo. Peraturan Pemerintah No. 223 Tahun 1961 dimana pertimbangan-pertimbangan pemberian haknya adalah didasarkan pada prinsip prioritas, dimana penentuan hak terhadap prioritas pemberian hak ini adalah mutlak merupakan wewenang pemerintah dalam tindakannya di lapangan hukum administrasi. Hasil tersebut sering disebut sebagai penetapan kebijaksanaan pemerintah yang mempunyai nilai friess ermessen keputusan pemerintah dianggap paling baik sesuai dengan tujuan doelmatige dan berdasarkan hukum rechtmatige. 106 Kewenangan pemerintah tersebut jika dilihat dari aspek lain, selain aspek hukum yang justru lebih ditonjolkan yaitu aspek sosial ekonomi, misalnya suatu tuntutan seorang pemilik tanah terhadap sekelompok warga masyarakat yang 105 Husni Nasution, Perubahan Kebijakan Pemerintah Atas Jangka Waktu Hak Guna Usaha, MKn, SPS USU, Medan, 2008, hal 8. 106 Ibid ., hal 9 Universitas Sumatera Utara memiliki hak atas tanah sebagai hasil redistribusi 107 , yang apabila hanya segi hukumnya saja yang digunakan sebagai pertimbangan, tentunya akibatnya akan menimbulkan hal-hal negatif terhadap warga masyarakat tersebut, yang tidak jarang akan menyebabkan krisis sosial dan mengganggu kewibawaan pemerintah. Hak Guna Usaha dapat diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 lima ha. Jika luas tanah 25 ha atau lebih, harus menggunakan investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman Pasal 28 ayat 2 UUPA. Maksud ketentuan ini adalah agar Hak Guna Usaha dimanfaatkan tidak hanya oleh perusahaan besar, melainkan juga oleh perusahaan yang tidak besar yang berusaha di bidang pertanian, perikanan atau peternakan. Menurut Pasal 5 PP No. 40 Tahun 1996 mengenai luasnya Hak Guna Usaha yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Luas minimum tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah lima hektar. 2. Luas maksimum tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada perorangan adalah dua puluh lima hektar. 3. Luas maksimum tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada badan hukum ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan, dengan mengingat luas yang diperlukan untuk pelaksanaan suatu usaha yang paling berdaya guna di bidang yang bersangkutan. Dengan demikian dari uraian-uraian di atas dapat di pahami bahwa Pasal 5 dari Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 ini mengenai luas minimum tanah dan 107 Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1961 Universitas Sumatera Utara luas maksimumnya yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha, luas minimum itu adalah 5 ha ayat 1 dan luas maksimumnya adalah 25 ha ayat 2 untuk perorangan. Ketentuan mengenai minimum dan maksimum ini adalah sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam Pasal 28 ayat 2 UUPA. Dinyatakan lebih lanjut bahwa soal penentuan dari pada minimum dan maksimum yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha ini harus disesuaikan dengan investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman ayat 2 Pasal 28 UUPA dan dijelaskan pula dalam UUPA bahwa pemberian Hak Guna Usaha adalah dalam rangka penggunaan oleh perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan Pasal 28 ayat 1 UUPA. Ditegaskan lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 bahwa luas maksimum tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada badan hukum ditetapkan oleh Menteri AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha bersangkutan. Dan juga diingat kepada luas yang diperlukan untuk pelaksanaan satuan usaha yang berdayaguna di bidang yang bersangkutan. Jadi inilah kiranya yang telah dirumuskan dalam UUPA sebagaimana harus memperhatikan juga perkembangan zaman dan investasi untuk tipe perusahaan yang diperlukan. Selanjutnya mengenai jangka waktu Hak Guna Usaha menurut Pasal 8 PP No.40 Tahun 1996 bahwa Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tiga puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 dua puluh lima tahun. Sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha dan Universitas Sumatera Utara perpanjangannya berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama. Luas Hak Guna Usaha menurut Mentri Negara AgrariaKBPN Nomor 3 Tahun 1999 yaitu sesuai dengan Pasal 8 Bab III Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 HAhektar. Menurut Pasal 14 KBPN Nomor 3 Tahun 1999 di atas 200 ha pemberian wewenang Hak Guna Usaha dari Kepala Badan Pertanahan Wilayah Propinsi kepada Mentri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional. Selanjutnya hal ini diatur dalam PP No.40 Tahun 1996. Dengan kemudahannya karena dapat dimintakan sekaligus perpanjangan dengan pembaharuan haknya. Sehingga dimungkinkan Hak Guna Usaha itu 120 tahun. 108 Hak Guna Usaha terjadi karena penetapan pemerintah, sesuai dengan Pasal 31 UUPA. Selain itu, Hak Guna Usaha juga terjadi karena konversi 109 hak dari Hak Erfpacht untuk perusahaan kebun besar yang masih berlaku pada tanggal 24 September 1960 dan konversi Hak Milik Adat dan hak-hak lain yang sejenis di mana tanah yang dimaksud adalah tanah pertanian, tanah perikanan, atau tanah peternakan, 108 Muhammad Yamin, Jawaban Singkat Pertanyaan Dalam Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria , Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hal. 26. 109 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Universitas Sumatera Utara dimana yang memilikinya tidak memenuhi syarat umum yang dapat dimiliki tanah dengan Hak Milik yang ditetapkan dalam Pasal 21 UUPA. 110 Selanjutnya pengaturan subjek Hak Guna Usaha dapat dilihat pada Pasal 30 UUPA yang menyatakan sebagai berikut: 1. Yang dapat menggunakan Hak Guna Usaha adalah: a. Warga negara Indonesia; b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 2. Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh Hak Guna Usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika Hak Guna Usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Ketentuan Pasal 30 UUPA tersebut berhubungan erat dengan kewarganegaraan seseorang, oleh karena Hak Guna Usaha ini hanya untuk warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku di Indonesia dan tunduk kepada hukum Indonesia, jadi hanya badan hukum Indonesia yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha. Oleh karena tanah yang di atasnya melekat Hak Guna Usaha yang jatuh kepada bukan warga negara atau badan hukum Indonesia, maka jika tidak dialihkan dalam jangka waktu satu tahun 110 Marihot P Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori dan Praktek, Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 137. Universitas Sumatera Utara setelah tidak dipenuhi syarat-syarat tentang pemilikan, maka haknya menjadi hapus. 111 Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah negara. Tanah negara berarti tanah di atas mana pihak lain tidak mempunyai suatu hak. Dapat juga tanah yang bersangkutan ini adalah tanah negara yang merupakan kawasan hutan. Pemberian Hak Guna Usaha dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan. Pada penjelasan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 dinyatakan bahwa tanah negara yang diberikan dengan Hak Guna Usaha harus bebas dari kepentingan pihak lain. Apabila tanah negara termasuk di dalam kawasan hutan, hal mana berarti bahwa tanah itu harus dipergunakan untuk hutan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Maka menurut PP No. 40 Tahun 1996 tanah tersebut harus terlebih dahulu dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan. 112 Apabila yang telah diberikan dengan Hak Guna Usaha merupakan tanah yang dikuasai dengan hak tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka pelaksanaan daripada ketentuan Hak Guna Usaha baru dapat dilaksanakan setelah diselesaikannya pelepasan hak sesuai dengan tata cara yang diatur dalam perundang- undangan yang berlaku. Menurut ketentuan Pasal 4 ayat 3 PP No. 40 Tahun 1996 bahwa hanya dapat diberikan suatu tanah dengan status Hak Guna Usaha kepada 111 Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, Edisi Kedua, 2001, hal. 24. 112 Pasal 4 ayat 2 PP No. 40 Tahun 1996. Universitas Sumatera Utara seseorang, apabila sudah diselesaikan pelepasan hak daripada orang-orang yang masih mempunyai hak atau mengklaim sesuatu hak atas tanah bersangkutan. 1. Tata Cara Memperoleh Hak Guna Usaha dan Pejabat yang Berwenang Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tertanggal 26 Juni 1973, juncto Permendagri Nomor 6 Tahun 1972 tertanggal 30 Juni 1972 dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1988, tertanggal 19 Juli 1988, tentang Badan Pertanahan Nasional, maka permohonan untuk memperoleh Hak Guna Usaha disampaikan oleh pemohon kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Propinsi setempat secara tertulis dengan mengisi blankoformulir yang tersedia dalam rangkap 6 enam dengan tembusan kepala Kantor Pertanahan Kabupatenkota yang bersangkutan. Permohonan Hak Guna Usaha tersebut harus memuat berbagai keterangan yang merupakan syarat-syarat permohonan Hak Guna Usaha, yaitu : 1 Diri pemohon a. Akta notaris atau peraturankeputusan tentang pendirian badan hukum PT, PNPD, koperasi. Jika badan hukum tersebut berbentuk perseroan terbatas, permohonan tersebut dilengkapi: b. Surat rekomendasi bank pemerintah, yang menunjukkan bonafiditas pemohon b. Sudi kelayakanproyek proposalrencana dalam mengusahakan tanah perkebunan yang dilegalisir oleh dinas perkebunan propinsi. c. Surat pernyataan tersedianya tenaga ahli yang berpendidikan dan berpengalaman dalam pengusahaan perkebunan disertai riwayat hidupnya. Universitas Sumatera Utara d. Riwayat badan hukum serta surat keterangan dari komando daerah kepolisian, dimana direksi dan dewan komisaris PTPNPD berdomisili, seperti dimaksud dalam surat edaran menteri dalam negeri Nomor SJ. 16639, tertanggal 1 Juni 1976. 2 Mengenai tanah yang dimohon a. Surat keterangan pendaftaran tanah SKPT dari kantor pertanahan kabupatenkotamadya setempat, jika mengenai tanah hak b. Girikketitir, bila mengenai tanah adat c. Bukti perolehan hak pembebasan atau jual beli d. Gambar situasi yang dibuat oleh kantor pertanahan kabupatenkota atau Kantor Wilayah Pertanahan Nasional Propinsi setempat. e. Rekomendasi dari pejabatinstansi yang terkait, f. Fatwa tata guna tanah yang dibuat oleh kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional propinsi. g. Pertimbangan kepala kantor Badan Pertanahan Nasional propinsi, apabila tanah yang dimohon merupakan tanah negara yang belum diusahakan sebagai perkebunan. 3. Biaya pengurusan permohonan Hak Guna Usaha a. Biaya formulir isian permohonan dan surat keputusan Rp. 1.000,- b. Biaya pengukuran dan pembuatan gambar situasi ditetapkan sesuai dengan perhitungan setempat, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 tahun 1978 juncto nomor 12 tahun 1978. Universitas Sumatera Utara c. Biaya pendaftaran Hak Guna Usaha sebesar Rp. 5.000,- di daerah perkotaan dan Rp. 500,- di daerah pedesaan untuk perorangan. Bila untuk badan hukum: Rp. 50.000,- d. Biaya formulir isian dan sertifikat Rp. 1.750,- e. Honorarium panitia pemeriksa tanah panitia B sebesar Rp. 3.000,-orang f. Biaya transport anggota lainnya panitia B dan petugas survey tata guna tanah menurut lumpsum sesuai dengan golongan sebagai dimaksud dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor BTU1581978, tertanggal 31 Januari 1978. Kemudian setelah proses pengajuan dan dipenuhinya berbagai persyaratan yang diperlukan dilanjutnya dengan proses PemberianPenerbitan Surat Keputusan dengan tahapan sebagai berikut. 1. Proses penerbitan surat keputusan Hak Guna Usaha di tingkat propinsi Setelah berkas permohonan hak diterima kepala Badan Pertanahan Nasional propinsi, segera: a. Memerintahkan kepada para kepala bidang PHT, Perseroan Terbatas penatagunaan tanah dan penguasaan tanah untuk: 1 mencatat permohonan daftar permohonan Hak Guna Usaha; 2 meneliti apakah syarat-syarat yang diperlukan telah lengkap; 3 memanggil pemohon untuk melengkapi permohonan yang belum lengkap. Universitas Sumatera Utara b. Apabila permohonan dimaksud telah lengkap, maka kepala kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional propinsi bersama-sama anggota panitia pemeriksaan tanah panitia B mengadakan pemeriksaan setempat. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan tanah. c. Apabila semua persyaratan telah lengkap dan tidak ada keberatan untuk mengabulkan permohonan Hak Guna Usaha, maka oleh Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Wilayah Propinsi menerbitkan surat keputusan pemberian Hak Guna Usaha tersebut. d. Bila wewenang untuk memberikan Hak Guna Usaha berada pada pusat, maka berkas dimaksud dengan pertimbangan disampaikan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk mendapatkan penyelesaiannya, dengan tembusan Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKotamadya setempat, kepala Dinas Perkebunan Propinsi dan Direktur Jenderal Perkebunan. 2. Proses Penerbitan Surat Keputusan Hak Guna Usaha di tingkat pusat a. Setelah menerima berkas permohonan Hak Guna Usaha dari Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Wilayah Propinsi, kepala Badan Pertanahan Nasional Cq. Deputi Bidang Hak-hak atas tanah memerintahkan kepada direktur pengurusan hak-hak tanah Cq. Kepala Sub Direktorat Hak Guna Usaha, untuk: 1 Mengadakan pencatatan dalam buku khusus yang disediakan. Universitas Sumatera Utara 2 Mengadakan penelitian apakah persyaratan yang diperlukan dan bila belum lengkap agar segera meminta pada Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Wilayah Propinsi yang bersangkutan untuk dilengkapi. 3. Apabila semua keteranganpersyaratan sudah lengkap, maka permohonan tersebut dibahas oleh team pertimbangan Hak Guna Usaha perkebunan besar. 4. Setelah mendapat persetujuan dari team pertimbangan hak Hak Guna Usaha perkebunan besar, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional menerbitkan surat keputusan pemberian Hak Guna Usaha. 5. Surat keputusan pemberian Hak Guna Usaha diberikan kepada pemohonpenerima hak melalui Kantor Badan Pertanahan Nasional Wilayah Propinsi yang bersangkutan. 6. Setelah si pemohon menerima kutipan surat keputusan pemberian Hak Guna Usaha tersebut, maka pemohon diwajibkan untuk segera memenuhi kewajiban, di antaranya a uang pemasukan, b uang wajib tahunan dan c uang penyelenggaraan landreform. Dengan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 tahun 1965 juncto Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1975, maka mengenai pemberian Hak Guna Usaha atas tanah negara, dikenakan uang pemasukan dan uang wajib tahunan, yang harus disetorkan pada kas negara. Adapun besarnya ditetapkan dengan perhitungan rumus sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara 1. Hak Guna Usaha 30 tahun 60 x 50 x Luas Tanah x Harga Hak Guna Usaha = Rp. X 1 uang pemasukan: 13 x Rp. X 2 uang wajib tahunan: 123 x 23 x Rp. X 2. Hak Guna Usaha 25 tahun 2530 x 60 x Luas Tanah x Harga Hak Guna Usaha = Rp. X 1 uang pemasukan: 13 x Rp. X 2 uang wajib tahunan: 123 x 23 x Rp. X Selain dari uang pemasukan dan uang wajib tahunan, maka kepada penerima hak dipungut uang penyelenggaraan landreform sebesar Rp. 50 dari uang pemasukan. Dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional, ketentuan mengenai biaya pemberian Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal 16 ayat 1 dan 2, yaitu : Pasal 16 1 Tarif Pelayanan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a berupa Pelayanan Pendaftaran: a. Keputusan Perpanjangan Hak Atas Tanah untuk Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai Berjangka Waktu; dan b. Keputusan Pembaruan Hak Atas Tanah untuk Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai Berjangka Waktu , dihitung berdasarkan rumus T = 2‰ x Nilai Tanah + Rp100.000,00 Universitas Sumatera Utara 2 Tarif Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b berupa Pelayanan Pendaftaran Pemindahan Peralihan Hak Atas Tanah untuk Perorangan dan Badan Hukum, dihitung berdasarkan rumus T = 1‰ x Nilai Tanah + Rp 50.000,00 113 Penjelasan Pasal 16 tersebut juga menyebutkan bahwa “nilai tanah” yang dimaksud adalah adalah nilai pasar market value yang ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional dalam peta zona nilai tanah yang disahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk tahun berkenaan dan untuk wilayah yang belum tersedia peta zona nilai tanah digunakan Nilai Jual Objek Pajak atas tanah pada tahun berkenaan. 114 Namun demikian, pada penelitian yang penulis lakukan mengenai pembiayaan ini masih menggunakan tarif lama, yaitu yang didasarkan pada ketentuan yang berlaku sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional. Kemudian menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri, tertanggal 19 Februari 1999, Nomor 3 Tahun 1999, tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah Negara oleh Badan Pertanahan Nasional, khususnya Pasal 8 Bab III dan pasal 14 Bab IV, menentukan bahwa Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi setempat yang berwenang untuk 113 Lihat Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak 114 Penjelasan pasal16 Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak Universitas Sumatera Utara memberi keputusan mengenai permohonan pemberian hak untuk pertama kali,perpanjangan jangka waktu hak dan pemberian hak selanjutnya baik dengan hak yang sama pembaharuan hak atau dengan hak jenis lainnya perubahan hak, atas tanah Hak Guna Usaha yang Luasnya tidak lebih dari 200 Ha. 115 Sedangkan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan yang tidak dilimpahkan pada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kepala Kantor pertanahan KabupatenKotamadya. 116

2. Jangka Waktu Hak Guna Usaha