telah dipersiapkan terlebih dahulu. Adapun penelitian lapangan dilakukan dengan narasumber terkait dalam hal ini Pejabat Badan Pertanahan dan para pihak serta
notaris dalam peralihan Hak Guna Usaha yang disertai alih fungsi penggunaan tanah.
5. Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Studi Dokumen yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang
Hak Guna Usaha. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting.
b. Wawancara
53
dengan menggunakan pedoman wawancara interview quide
54
. Wawancara dilakukan terhadap responden dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini
dilakukan dengan cara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam depth interview.
6. Analisis Data
Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat deskriftif analistis, maka setelah diperoleh data sekunder, dilakukan pengelompokan data yang sama
Publications, London New Delhi, 1992, Hal. 71, menyatakan bahwa terminologi informan berarti “the individual who provides information”.
53
Herman Warsito, Loc.cit, yang menyatakan wawancara merupakan alat pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara interviewer, responden interview informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara interviewer,
responden interview pedoman wawancara, dan situasi wawancara.
54
Ibid, hal. 73. Menyatakan pedoman wawancara yang digunakan pewawancara, menguraikan masalah penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk daftar pertanyaan.
Isi pertanyaan yang peka dan tidak menghambat jalannya wawancara.
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan kategori yang ditentukan, penulusuran data dalam penelitian ini mulai dari ketentuan peraturan perundangan mengenai syarat peralihan Hak Guna Usaha
melalui perikatan jual-beli yang diatasnya dilakukan alih fungsi penggunaan tanah, termasuk mengenai data lapangan yang merupakan kenyataan dan pelaksanaannya.
Kemudian diuji dan dianalisis dengan teori hukum yang ada serta peraturan perundangan yang berlaku. Untuk mengambil kesimpulan dilakukan dengan
pendekatan deduktif.
Universitas Sumatera Utara
BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI
PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH
A. Pengaturan tentang Perikatan Jual Beli
Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUH Perdata menyebutkan bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan,
baik karena Undang-Undang”.
55
Dari ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata tersebut diketahui bahwa timbulnya perikatan karena persetujuan dan karena Undang-Undang,
dengan demikian dikatakan bahwa Undang-Undang dan perjanjian adalah sumber perikatan.
56
Secara garis besar menurut KUH Perdata sumber perikatan dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Perikatan yang bersumber dari Undang-Undang Perikatan yang lahir dari Undang-Undang ini asas kebebasan mengadakan
perjanjian tidak berlaku. Suatu perbuatan menjadi perikatan adalah karena kehendak Undang-Undang. Untuk perikatan-perikatan yang lahir dari
perjanjian maka pembentuk Undang-Undang memberikan aturan-aturan yang umum. Tidak demikian halnya dengan perikatan yang lahir dari Undang-
55
Lihat Pasal 1233 KUHPerdata
56
Dalam Pasal 1233 KUHPerdata walaupun tidak ada disebutkan mengenai kata perjanjian akan tetapi J. Satrio memberikan maksud yang sama dengan kata persetujuan yaitu terjemahan dari
kata Belanda “Overeenkomst”. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 2.
38
Universitas Sumatera Utara
Undang dimana pembentuk Undang-Undang tidak memberikan aturan-aturan yang umum.
Untuk terjadinya perikatan di atas, Undang-Undang tidak mewajibkan dipenuhinya syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan untuk terjadinya perjanjian.
57
Oleh karena perikatan ini bersumber dari Undang-Undang, sehingga terlepas dari kemauan para pihak. Perikatan yang bersumber dari Undang-Undang semata-mata
adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum perikatan di antara para pihak yang
bersangkutan, terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut. Perikatan yang lahir dari Undang-Undang sebagai akibat perbuatan orang
yang menurut hukum misalnya mengurus kepentingan orang lain secara sukarela zaakwaarneming, dimana sebagai akibatnya, Undang-Undang menetapkan beberapa
hak dan kewajiban, yang harus mereka perhatikan seperti hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian.
Perikatan yang lahir dari Undang-Undang sebagai akibat perbuatan orang yang melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata,
58
Undang-Undang menetapkan kewajiban orang itu untuk memberi ganti rugi.
Perbuatan melawan hukum onrechmatige daad memang hampir serupa dengan wanprestasi sehingga dapat dikatakan, wanprestasi adalah juga merupakan
“genus spesifik” dari “onrechmatige daad” seperti yang dirumuskan dalam Pasal
57
Lihat syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
58
Lihat Pasal 1365 KUHPerdata.
Universitas Sumatera Utara
1365 KUHPerdata. Oleh karena itu, sebagaimana juga halnya dalam onrechmatige daad
perbuatan melawan hukum, maka dalam wanprestasi pun demikian halnya. Yakni wanprestasi sebagai perbuatan melawan hak kreditur.
59
2. Perikatan yang bersumber dari perjanjian
Dalam perikatan yang lahir melalui perjanjian, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya mempunyai kebebasan untuk mengadakan segala jenis perikatan,
dengan batasan yaitu tidak dilarang oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
60
Dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata disebutkan “semua perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
61
Dengan adanya kebebasan mengadakan perjanjian maka subjek-subjek perikatan tidak hanya terikat untuk mengadakan perikatan-perikatan yang namanya ditentukan
oleh Undang-Undang yaitu sebagaimana yang tercantum pada Bab V sampai dengan Bab XVIII dalam Buku ke III KUHPerdata, tetapi berhak untuk mengadakan
perjanjian-perjanjian yang namanya tidak ditentukan oleh Undang-Undang. Menurut Suharnoko, akibat hukum dari suatu perikatan yang lahir dari
perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak, karena memang perjanjian didasarkan atas kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak yang
membuat perjanjian. Sedangkan akibat hukum dari suatu perikatan yang lahir dari
59
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung 1992, hal 61.
60
Lihat Pasal 1337 KUHPerdata.
61
Lihat Pasal 1338 KUHPerdata.
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang tidak dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat hukumnya ditentukan oleh Undang-Undang. Apabila atas perjanjian yang
disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat diajukan gugatan wanprestasi karena ada hubungan kontraktual antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang
menderita kerugian. Apabila tidak ada hubungan kontraktual antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak menderita kerugian, maka dapat diajukan gugatan
perbuatan melewan hukum.
62
Selanjutnya mengenai perikatan ini dapat juga dilihat dari ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
63
Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata di atas dapat dipahami, pengertian perjanjian hanya mengenai perjanjian sepihak termasuk juga pada
perbuatan dan tindakan, seperti zaakwarneming, onregmatige daad. Abdulkadir Muhammad mengatakan Pasal 1313 KUH Perdata kurang memuaskan karena ada
kelemahannya yaitu : 1.
Hanya menyangkut sepihak saja. Dari rumusan ini diketahui satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih.
Kata kerja “mengikat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak
62
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta 2004, hal 115-116.
63
Lihat Pasal 1313 KUHPerdata
Universitas Sumatera Utara
dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu saling “mengikat diri” terlihat dari adanya consensus dari kedua belah pihak.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus maksudnya dalam
pengertian “perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa zaakwaarneming dan tindakan melawan hukum yang tidak
mengandung adanya consensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan” saja.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Dikatakan terlalu luas karena terdapat
juga dalam lapangan hukum keluarga yang terdapat dalam buku I seperti janji kawin, pelangsungan perkawinan. Sedangkan perjanjian yang
dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan bersifat personal.
4. Dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan
perjanjian, sehingga para pihak mengikat dirinya tidak untuk apa.
64
Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah “Suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan diri untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.
65
Menurut R. Subekti perjanjian adalah “Suatu peristiwa dimana seseorang mengikatkan diri kepada orang lain atau lebih dimana orang tersebut saling berjanji
untuk melakukan suatu hal”.
66
Berdasarkan rumusan perjanjian di atas dijumpai beberapa unsur dalam suatu perjanjian, yaitu sebagai berikut.
1 Perikatan hubungan hukum.
2 Subyek hukum.
3 Isi hak dan kewajiban.
64
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1992, hal. 78.
65
Ibid, hal. 78.
66
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1984, hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
4 Ruang lingkup lingkup hukum harta kekayaan.
Menurut J. Satrio, bahwa “Pembuat Undang-Undang dalam Pasal 1313 KUH Perdata mencoba memberikan perumusan tentang apa itu yang disebut perjanjian,
tetapi ia sama sekali tidak menjelaskan apa itu perikatan”.
67
Mariam Darus Badrulzaman, mengartikan bahwa “Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di
antara 2 dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi
prestasi itu”.
68
Menurut M. Yahya Harahap, bahwa “Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian : suatu hubungan hukum kekayaanharta benda antara dua orang atau
lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.
69
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut terlihat masih belum ada kesepakatan dalam penggunaan kata perjanjian dan perikatan, karena walaupun menggunakan kata
yang berbeda namun pada umumnya tetap mengacu kepada pengertian mengenai perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, namun penulis dalam
penulisan ini menggunakan istilah “Perikatan” untuk “Verbintenis” sedangkan “Perjanjian” untuk istilah “overeenkomst”.
67
J. Satrio, Op.Cit., hal 1.
68
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung 2001, hal 1.
69
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal 6.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1313 KUH Perdata dan pendapat tersebut di atas, dapatlah dijelaskan bahwa dalam suatu perjanjian terdapat hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
yang menimbulkan perikatan. Dengan demikian untuk adanya suatu perjanjian paling sedikit harus ada dua pihak yaitu kreditur dan debitur. Sesuai dengan uraian tersebut
dapatlah dimengerti bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan sesuatu.
70
Pengertian di atas juga menunjukkan bahwa perjanjian terjadi pada saat persetujuan itu disepakati. Dalam hal ini jelaslah persetujuan merupakan hal yang
utama karena setiap pihak yang membuat perjanjian telah memikirkan tentang hak yang akan diperoleh sebagai keuntungam baginya dan kewajiban sebagai beban
prestasi yang harus dilaksanakan. Perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji
kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Apabila seseorang berjanji kepada orang lain, maka perjanjian
tersebut merupakan perjanjian yang biasa diistilahkan dengan perjanjian sepihak, di mana hanya seorang saja yang wajib menyerahkan sesuatu kepada orang lain,
sedangkan orang yang menerima penyerahan itu tidak memberikan sesuatu sebagai balasan kontra prestasi atas sesuatu yang diterimanya. Sementara itu, apabila dua
orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak berhak untuk menerima apa
70
Ibid .
Universitas Sumatera Utara
yang diperjanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan.
71
Kontrak pada umumnya janji-janji mengandung atau memuat para pihak itu saling “berlawanan”, misalnya dalam perjanjian jual beli, tentu saja satu
pihak menginginkan barang, sedangkan pihak lain menginginkan uang karena tidak mungkin terjadi jual beli kalau kedua belah pihak menginginkan hal yang sama.
72
Perjanjian merupakan suatu peristiwa yang kongkret dan dapat dinikmati, baik yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda dari kegiatan
yang tidak kongkrit, tetapi abstrak atau tidak dapat dinikmati karena perikatan itu hanya merupakan akibat dari adanya perjanjian tersebut yang menyebabkan orang
atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang dijanjikan. KUH Perdata mengenal berbagai jenis perjanjian, salah satunya adalah
jual beli. Jual beli merupakan salah satu dasar pemindahan atau pengalihan hak milik dari satu orang kepada orang lain. Pasal 1457 KUH Perdata menyebutkan
“Jual beli adalah suatu persetujuan dimana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
telah dijanjikan”. Perjanjian jual beli dianggap telah terjadi pada saat pihak penjual dan pembeli telah tercapai kata sepakat tentang benda dan harganya, meskipun
pembayaran harga itu penyerahan bendanya belum dilakukan.
71
Ibid
72
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, pengertian jual beli juga dikemukakan oleh S.B.Marsh dan J. Soulbsby yang dialih bahasakan oleh Abdul Kadir Muhammad bahwa perjanjian
jual beli adalah perjanjian di mana penjual memindahkan atau setuju memindahkan hak miliknya atas suatu barang kepada pembeli sebagai imbalan sejumlah uang yang
disebut harga.
73
Pengertian di atas menjelaskan bahwa dalam perjanjian jual beli tercakup dua unsur yang pokok yaitu barang dan harga. Sehingga perjanjian jual beli
dianggap sudah berlangsung antar pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat tentang “keadaan barang dan harga barang” tersebut.
Perkataan jual beli menunjukkan bahwa satu pihak dinamakan penjual, sedang pihak lainnya dinamakan pembeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang timbal
balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “Koopt en Verkoopt” yaitu Verkoopt menjual dan Koopt membeli.
74
Pasal 1145 KUH Perdata menyebutkan : Jika penjualan telah dilakukan tunai, maka si penjual bahkan mempunyai
kekuasaan menuntut kembali barang-barangnya, selama barang-barang ini masih berada di tangan si pembeli, sedangkan ia dapat menghalang-halangi
dijualnya terus barang-barang itu, asal saja penuntutan kembali itu dilakukan di dalam jangka waktu tiga puluh hari setelah penyerahannya.
Kemudian dalam Pasal 1457 KUH Perdata ditentukan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
73
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian Business Law, Alumni Bandung, 2006, hal. 243.
74
Ibid ., hal. 245.
Universitas Sumatera Utara
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.
Mengenai adanya suatu perjanjian yang terdapat di luar KUH Perdata tersebut didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Para pihak bebas menentukan objek perjanjian, sesuai dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH
Perdata, ditegaskan bahwa setiap perjanjian harus melaksanakan dengan iktikad baik. Sedangkan wujud dari suatu perjanjian menurut Pasal 1234 KUH Perdata dapat
berupa pemberian sesuatu, perbuatan atau tidak berbuat sesuatu. Makna asas kebebasan berkontrak harus dicari dan ditentukan dalam
kaitannya dengan pandangan hidup bangsa. Disepakati sejumlah asas Hukum Kontrak menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagai berikut :
1. Asas Konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.
2. Asas Kepercayaan Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat
menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari.
3. Asas Kekuatan Mengikat Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan yang mengikat.
Terikatannya para pihak pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap
Universitas Sumatera Utara
beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan, dan kebebasan akan mengikat para pihak.
4. Asas Persamaan Hak Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan.
5. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan
perjanjian itu. 6. Asas Moral
Asas ini terlihat di dalam Zaakwaarneming, di mana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela moral yang bersangkutan
mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata.
7. Asas Kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan
berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam
masyarakat.
8. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.
75
Perjanjian baik dilakukan secara tertulis maupun lisan sama-sama mengikat para pihak yang membuatnya, asalkan memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal
1320 KUH Perdata. Namun demikian, perjanjian secara lisan di dalam dunia perdagangan dan bisnis kurang disukai karena apabila terjadi sengketa sulit untuk
dijadikan sebagai alat bukti. Pembuktian perjanjian yang dibuat secara lisan dapat
75
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku standar Perkembangannya di Indonesia
, Alumni Bandung, 1990, hal. 42-44.
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan saksi. Para saksi adalah manusia yang tidak luput dari lupa, sifat yang tidak jujur, atau meninggal dunia.
B. Syarat Sahnya Perikatan Jual Beli
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata menegaskan bahwa “ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan demikian, Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata tersebut menganut asas kebebasan berkontrak, maksudnya setiap
orang bebas mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian serta bebas untuk menentukan isi dari perjanjian dimaksud menurut yang dikehendaki dalam batas-
batas tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Pasal 1320 KUH Perdata menegaskan bahwa “untuk sahnya suatu perjanjian
harus memenuhi empat syarat”, yaitu sebagai berikut. a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; c.
Suatu hal tertentu, dan d.
Suatu sebab yang halal. ad.1 Kata Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri
Kesepakatan yang dimaksud merupakan persetujuan kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian. Mengenai hal ini, Subekti merumuskan bahwa
“maksud dari kesepakatan itu adalah kedua subyek yang mengadakan perjanjian
Universitas Sumatera Utara
harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok, apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain dan mereka menghendaki sesuatu
secara timbal balik”.
76
Abdulkadir Muhammad mengatakan sepakat sebagai suatu persetujuan kehendak, seia sekata antara para pihak yang membuat perjanjian itu, pokok
perjanjian itu berupa objek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain.
77
Kesepakatan ini menunjukkan bahwa orang sebagai subjek hukum bebas menyatakan kehendaknya. Lahirnya suatu perjanjian karena adanya kesepakatan
kedua belah pihak yang dinyatakan secara tertulis maupun secara lisan. Dalam perjanjian jual beli tanah, kesepakatan antara para pihak baik secara
tertulis maupun secara lisan. Pihak yang menjual secara bersama dengan pembeli membuat perjanjian jual beli tersebut. Akibat adanya perjanjian tersebut maka terjadi
hubungan hukum antara penjual sebagai pihak yang menjual dengan terlebih dahulu mengurus izin yang dijanjikan dengan pembeli seperti pada objek penelitian izin yang
diperjanjikan adalah izin peralihan sekaligus izin alih fungsi penggunaan tanah. Apabila kesepakatan telah tercapai antara para pihak, maka para pihak terikat untuk
mentaati semua isi perjanjian yang telah mereka sepakati tersebut. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.
76
Subekti, Op Cit, hal. 18.
77
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
ad.2 Kecakapan untuk Membuat Perjanjian
Pada dasarnya setiap orang yang telah dewasa dan tidak terganggu ingatannya, cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang dewasa yang terganggu
ingatannya, anak di bawah umur dan orang yang berada di bawah pengampuan dianggap tidak cakap bertindak dalam lalu lintas hukum.
78
Dalam membuat sesuatu perjanjian seseorang haruslah cakap bertindak dalam lalu lintas hukum, karena dalam perjanjian itu seseorang terikat untuk melaksanakan
suatu prestasi dan harus dapat mempertanggung jawabkannya.
79
Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1339 KUH Perdata “bahwa setiap orang adalah cakap
untuk mengadakan persetujuan, kecuali orang-orang yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap”.
M. Yahya Harahap, menyatakan bahwa “subjek yang dianggap memiliki kecakapan memberikan persetujuan adalah orang yang mampu melakukan tindakan
hukum. Umumnya mereka yang mampu melakukan tindakan hukum adalah orang dewasa yang waras akal budinya, bukan orang yang sedang berada di bawah
pengampuan wali maupun di bawah “curatele”.
80
Subjek dari suatu perjanjian harus cakap bertindak menurut hukum. Dalam hal ini akan terikat dengan segala ketentuan yang telah disepakati bersama, maka ia
harus mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Orang yang tidak sehat pikirannya walaupun telah dewasa, tidak dapat menyelenggarakan kepentingannya
78
Subekti, Op.Cit., hal. 19.
79
Ibid.
80
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
dengan baik dan memerlukan bantuan dari pihak lain untuk menyelenggarakan kepentingannya. Ketidakcakapan ini disebut tidak cakap untuk mengadakan
hubungan hukum, hal ini dikarenakan ia tidak dapat menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik.
81
Orang yang belum dewasa, umumnya belum dapat menentukan dengan sempurna dan tidak mampu mengendalikan ke arah yang baik, sehingga ia
dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. Sedangkan orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang yang berdasarkan
keputusan hakim dinyatakan bahwa ia tidak mampu atau pemboros di dalam mengendalikan keinginannya sehingga bagi mereka harus ada wakil dari orang
tertentu untuk menyelenggarakan kepentingannya.
82
Setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya cakap bertindak menurut hukum. Ahmadi Miru mengatakan bahwa:
Seorang dikatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum jika orang tersebut belum cukup 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21
tahun. Sebaliknya setiap orang yang telah berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum diangap telah cakap kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah
pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau pemboros.
83
ad.3 Suatu hal Tertentu Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang
diperjanjikan, hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu
81
Ibid.
82
Ibid., hal. 9.
83
Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
perselisihan.
84
Barang yang dimaksud dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang yang sudah ada di tangan si berutang pada waktu
perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.
Akibat syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya adalah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul
perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka perjanjian itu dianggap batal demi hukum.
85
Persyaratan yang demikian itu sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian
haruslah tertentu barangnya atau sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya”. ad.4 Sesuatu Sebab yang Halal
Untuk sahnya suatu perjanjian juga harus memenuhi syarat yang dinamakan sebab atau yang diperbolehkan. Akan tetapi, yang dimaksud dengan causa yang halal
dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi
perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang terjadi sebab orang yang
mengadakan perjanjian, yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang adalah “isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah
84
R. Subekti, Op.Cit, hal. 19
85
Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit, hal. 94
Universitas Sumatera Utara
dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.
86
Jika perjanjian yang berisi causa yang tidak halal, maka perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan
perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa atau sebab, ia dianggap
tidak pernah ada.
87
Apabila dalam membuat perjanjian tidak terdapat suatu hal tertentu, maka dapat dikatakan bahwa objek perjanjian tidak ada. Oleh karena itu, perjanjian tersebut
tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang diperjanjikan. Sedangkan suatu perjanjian yang isinya tidak ada sebab yang diperbolehkan atau isinya melanggar
ketentuan, maka perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan karena melanggar undang- undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Dari keempat syarat tersebut, secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi dua syarat pokok yaitu sebagai berikut.
a. Syarat Subjektif.
Syarat subjektif adalah sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan bertindak dalam bidang hukum.
88
Kedua syarat ini dikatakan subjektif karena ditujukan kepada orang atau objek yang mengadakan perjanjian. Apabila syarat
86
Ibid, hal. 94.
87
Ibid, hal. 96.
88
Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
subjektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang bersangkutan dapat dibatalkan. Adapun yang membatalkan suatu perjanjian itu adalah hakim dengan permintaan dari
orang yang berkepentingan. b.
Syarat Objektif Syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Kedua
syarat ini dikatakan syarat objektif karena merupakan benda atau objek dari perjanjian. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
89
C. Jual Beli sebagai Dasar Peralihan Hak Guna Usaha
Peralihan hak atas tanah merupakan salah satu peristiwa danatau perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik
kepada pihak lainnya. Peralihan tersebut bisa disengaja oleh karena adanya perbuatan hukum seperti jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya, dan juga tidak disengaja
karena adanya peristiwa hukum seperti peralihan karena warisan. Muhammad Yamin Lubis menyebutkan bila ada kehendak yang disengaja dan
disepakati atas sebidang tanah milik, maka di dalamnya ada pengalihan hak atas tanah tersebut. Bila pengalihan tersebut dipaksakan oleh kewenangan dan kekuasaan
Negara, maka dicabut atau mungkin dinasionalisasikan. Dan ini pun harus dengan menempuh persyaratan, sebab terjadi pemutusan hubungan hukum kepemilikan di
dalamnya.
90
89
Ibid .
90
M. Yamin Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung , 2008, hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dijelaskan bahwa peralihan hak atas tanah adalah suatu peristiwaperbuatan hukum yang mengakibatkan berpindahnya
hak seseorang terhadap tanah ke pihak lain, sehingga menyebabkan kehilangan kewenangannya terhadap tanah tersebut. Salah satu cara untuk menguasai atau
memiliki hak atas tanah adalah melalui proses jual beli. Pengertian jual beli menurut ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang
satu berjanji mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu benda dan pihak yang lainnya berjanji untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Dengan demikian,
jelas bahwa hak atas tanah dapat dilakukan peralihan dari pihak yang menguasainya kepada pihak lain, dimana peralihan tersebut dapat dilakukan dengan salah satunya
melalui jual beli. Menurut Budi Harsono, jual beli tanah menurut hukum adat merupakan
kekuatan hukum yang bersifat tunai. Jual beli tanah dalam hukum adat adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya pada saat
yang bersamaan secara tunai dilakukan
91
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa secara umum pengertian jual beli adalah suatu perjanjian antara pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar dengan harga yang telah ditetapkan. Yang dijanjikan pihak penjual adalah
menyerahkan atau memindahkan haknya atas barang yang ditawarkan atau dijual sedangkan yang dijanjikan oleh pihak pembeli membayar harga yang telah
disetujuinya. Jadi peralihan hak atas tanah merupakan salah satu peristiwa danatau
91
Harun Al Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 15
Universitas Sumatera Utara
perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik kepada pihak lainnya.
Konsep jual beli tanah di Indonesia yang diambil UUPA konsep hukum adat adalah bahwa jual beli tanah telah selesai dengan sempurna dan hak telah
berlaluberalih kepada pembeli setelah selesai ditandatanganinya akta PPAT. Pencatatan peralihan hak di Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah hanya untuk
memperoleh alat pembuktian yang kuat mengenai sahnya peralihan hak seperti yang tercantum di dalam Pasal 23 UUPA.
Apabila Pasal 23 UUPA dihubungkan dengan Pasal 19 ayat 2 huruf c, yang menyatakan bahwa “pendaftaran itu meliputi pemberian surat tanda bukti hak yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”. Peralihan hak atas tanah juga dapat dilakukan terhadap tanah Hak Guna
Usaha termasuk dalam hal ini melalui jual beli. Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dapat beralih artinya bahwa jika pemegang haknya
meninggal dunia, hak tersebut jatuh kepada ahli warisnya.
92
Namun demikian, di dalam UUPA tidak terdapat ketentuan soal pemindahan hak tersebut.
93
Berdasarkan surat keputusan Menteri Agraria No. SK 13Depag66 disebutkan bahwa peralihan Hak Guna Usaha dilakukan di hadapan PPAT Khusus.
Bukan PPAT yang ada di kecamatan, melainkan PPAT Khusus yang ditunjuk dari kalangan pejabat lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Hal ini
sekaligus merupakan pengawasan peralihan Hak Guna Usaha tersebut dan Peralihan
92
Oloan Sitorus dan HM. Zaki Sierrad, Op.Cit., hal. 124.
93
Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 191.
Universitas Sumatera Utara
Hak Guna Usaha harus dengan izin dari Kepala Badan Pertanahan Nasional termasuk pengalihan saham-saham.
94
PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT
tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu.
95
PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.
96
Mengenai peralihan Hak Guna Usaha ini juga terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, yakni Pasal 16 ayat 4, yang berbunyi “Peralihan
Hak Guna Usaha karena jual beli, kecuali melalui lelang, tukar menukar penyertaan dalam modal, dan hibah dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pejabat pembuat
akta tanah”. Hak Guna Usaha termasuk syarat-syarat pemberiannya juga setiap peralihan
dan hapusnya Hak Guna Usaha harus didaftarkan menurut ketentuan peraturan pemerintah. Pendaftaran ini merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai
hapusnya Hak Guna Usaha serta sahnya peralihan Hak Guna Usaha, kecuali Hak Guna Usaha tersebut hapus karena jangka waktunya berakhir.
97
Muhammad Yamin, dalam hal ini menegaskan, bahwa Hak Guna Usaha harus didaftarkan agar memberikan kepastian hukum dan dapat merupakan alat pembuktian
94
AP. Parlindungan, Op.Cithal. 163.
95
Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
96
Pasal 3 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
97
Ibid, hal. 139.
Universitas Sumatera Utara
yang kuat bagi setiap yang memperolehnya. Untuk saat ini Hak Guna Usaha diatur dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996.
98
D. Alih Fungsi Penggunaan Tanah dan Wewenang Pemberian Izin Alih Fungsi
Penggunaan Tanah
Alih fungsi yang dimaksud dalam penulisan tesis ini adalah alih fungsi penggunaan tanah dari pengunaan untuk fungsi yang lama ke fungsi tanah yang baru.
Hal ini dapat dilakukan terhadap objek tanah Hak Guna Usaha sebagaimana alih fungsi penggunaan tanah yang dilakukan oleh salah satu peralihan hak atas tanah di
Kabupaten Deli Serdang sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Rahim
99
alih fungsi penggunaan tanah adalah permohonan yang diajukan untuk mengalihkan fungsi
penggunaan tanah objek Hak Guna Usaha HGU dari pengunaan untuk fungsi yang lama ke fungsi tanah yang baru seperti halnya pengajuan alih fungsi yang dilakukan
oleh PT. Anugrah Tambak Prakasindo, dimana tanah yang sebelumnya adalah areal tambak kemudian setelah dilakukan peralihan dialihfungsikan menjadi areal
perkebunan kelapa sawit. Dalam pelaksanaannya peralihan fungsi penggunaan tanah objek Hak Guna
Usaha HGU dari pengunaan untuk fungsi yang lama ke fungsi tanah yang baru dilakukan atas permohonan pemegang hak atas tanah kepada BupatiWalikota, dalam
hal ini Bupati BupatiWalikota, dimana tanah Hak Guna Usaha tersebut berada yang dimaksudkan untuk menyesuaikan peruntukan tanah dimaksud sesuai dengan
98
Muhammad Yamin, ibid., hal. 28
99
Wawancara dengan Abdul Rahim Kasi Badan Hukum Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara, Tanggal Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
ketentuan Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW. Dengan kata lain, persetujuan terhadap alih fungsi tanah tersebut juga harus sesuai dengan Tata Ruang Wilayah
RTRW. Hal ini harus dibuktikan dengan adanya persetujuan Pemerintah Daerah Setempat yaitu dengan Persetujuan Peruntukan Penggunaan Tanah yang diterbitkan
BupatiWalikota. Selanjutnya sesuai dengan Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan
Pertanahan Nasional tertanggal 19 Februari 1999, Nomor 3 Tahun 1999, khususnya Pasal 8 dan Bab III, tentang Badan Pertanahan Nasional, menentukan bahwa Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional provinsi setempat yang berwenang untuk memberi keputusan mengenai permohonan pemberian keputusan mengenai
pemberian hak untuk pertama kali, mengenai permohonan pemberian perpanjangan jangka waktu hak dan pemberian hak selanjutnya baik dengan hak yang sama
pembaharuan hak atau dengan hak jenis lainnya perubahan hak Hak Guna Usaha atas tanah negara, apabila luas tanah yang diberikan luasnya tidak lebih dari 200 Ha
hektar.
100
Sedangkan apabila luas tanahnya lebih dari 200 Ha, maka yang berwenang untuk memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tanah
menjadi kewenagan Mentri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional.
100
Penjelasan Peraturan Mentri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1999 Pasal 8
Universitas Sumatera Utara
Hal ini dibenarkan oleh Abdul Rahim
101
dalam memberikan Hak Guna Usaha atas tanah kewenangan Pejabat Badan Pertanahan Nasional dengan ketentuan
sebagaimana tersebut di atas. Namun dalam hal perubahan penggunaan atau alih fungsi tanah khususnya dalam proses Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera
Utara juga sebagai pihak yang terlibat dalam proses penerbitan pemberian izin perubahan penggunaan fungsi tanah. Hal ini dapat dilihat dari proses permohonan
Alih Fungsi Penggunaan Tanah yang dilakukan oleh PT. Anugrah Tambak Prakasindo terhadap tanah objek Hak Guna Usaha yaitu 1 Tanah seluas 335,8 Ha
SHGU No. 42001 terletak di Desa Pematang Lalang, Kecamatan Pecut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumetera Utara Masa HGU 25 Tahun, dan 2
Tanah seluas 94,67 Ha SHGU No. 11995 terletak di Desa Pematang Lalang, Kecamatan Pecut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumetera Utara Masa
HGU 25 Tahun. Selain itu, dalam memberikan izin pengalihan fungsi penggunaan tanah juga
harus memenuhi kelayakan dari intansi terkait yang menyangkut dengan aspek teknis kesesuaian lahan atau tanah Hak Guna Usaha yang dimohonkan alih
fungsi ini dengan keadaan sebenarnya. Penetapan tentang kelayakan teknis ini dilakukan setelah pihak dinas terkait mempelajari pertimbangan aspek penatagunaan
tanah yang diajukan oleh pihak Badan Pertanahan Nasional.
101
Wawancara dengan Abdul Rahim Kasi Badan Hukum Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara, Tanggal Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya dapat pula dijelaskan bahwa permohonan pengalihan fungsi penggunaan tanah ini dilakukan karena pihak PT. Anugrah Tambak Prakasindo yang
bergerak dalam bidang tambak akan mengalihkan tanah Hak Guna Usaha dimaksud kepada pihak lain yaitu PT Perkebunan Sungai Wang yang bergerak dalam bidang
usaha perkebunan kelapa sawit. Peralihan Hak Guna Usaha tersebut tidak dilakukan secara langsung dengan akta jual beli tetapi diawali dengan perikatan jual beli antara
para pihak saja yang hanya dibuat dengan akta dibawah tangan. Hal ini disebabkan pihak pembelipenerima peralihan terlebih dahulu menginginkan adanya izin
peralihan sekaligus alih fungsi penggunaan tanah dari instansi terkait, dimana tanah yang menjadi objek jual beli sebelumnya adalah areal tambak kemudian setelah
dilakukan peralihan dialih fungsikan menjadi areal perkebunan kelapa sawit.
102
Proses peralihan Hak Guna Usaha yang diikuti dengan alih fungsi penggunaan tanah dalam praktek harus memenuhi persyaratan pengajuan Hak Guna
Usaha secara umum yaitu 1 syarat mengenai diri pemohon, 2 syarat mengenai tanahnya dan 3 syarat pembiayaan yang ketiganya akan dijelaskan pada bab
selanjutnya, juga harus memenuhi persyaratan antara lain : 1.
Kesepakatan antara para pihak untuk melakukan transaksis jual beli 2.
Akta notaris atau peraturankeputusan tentang pendirian badan hukum para pihak baik pemegang Hak Guna Usaha maupun penerima peralihan Hak Guna Usaha
3. Proposal rencana penggunaan tanah objek peralihan
102
Wawancara dengan Abdul Rahim Kasie Badan Hukum Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara, Tanggal Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
4. Izin BupatiWalikota mengenai kesuaian penggunaan tanah rencana tata ruang wilayah RTRW setempat.
5. Kelayakan teknis penggunaan tanah oleh instansi terkait dalam objek penelitian adalah Dinas Perkebunan
Jadi menurut penulis yang didasarkan pada keterangan di atas, dalam proses alih fungsi penggunaan tanah Hak Guna Usaha dilakukan atas izin Badan Pertanahan
Nasional dan persetujuan dari berbagai pihak terkait dalam hal ini, pemerintah daerah, dinas dimana dalam hal ini menyangkut objek tanah perkebunan adalah
Dinas Perkebunan. Setelah pemohon memenuhi semua ketentuan dalam rangka alih fungsi penggunaan tanah dimaksud, maka wewenang pemberian izin alih fungsi
penggunaan tanah tersebut tetap merupakan wewenang dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional Provinsi
Sumatera Utara tempat dimana objek tanah tersebut berada.
Universitas Sumatera Utara
BAB III AKIBAT HUKUM DARI PERALIHAN HAK GUNA USAHA
SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH A.
Tinjauan Umum tentang Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha HGU adalah untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29,
untuk perusahaan pertanian atau peternakan Pasal 28 UUPA. Tujuan penggunaan tanah yang dipunyai dengan Hak Guna Usaha dibebankan pada tanah yang dikuasai
oleh negara. Hak Guna Usaha termasuk hak atas tanah yang bukan bersumber pada hukum
adat, melainkan atas tanah baru yang diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern. Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu lama. Menurut
ketentuan Pasal 29 UUPA, jangka waktu paling lama 25 tahun, dan untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan paling lama 35 tahun.
Jangka waktu tersebut masih dapat diperpanjang lagi selama 25 tahun atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keadaan perusahaan serta dapat diperbaharui
selama 35 tahun. Berhubung jangka waktu itu paling lama, maka Hak Guna Usaha tidak dimungkinkan pemberiannya oleh pemilik tanah. Alasannya adalah pemilik
tanah akan terlalu lama terpisah dengan tanahnya. Lagi pula, pada tanah milik yang
64
Universitas Sumatera Utara
dikuasai oleh pihak lain itu berlaku kadaluarsa. Oleh karena itu, Hak Guna Usaha hanya dimungkinkan atas tanah yang dikuasai Negara.
103
Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah negara. Tanah negara berarti tanah di atas mana pihak lain tidak mempunyai suatu hak. Dapat
juga tanah yang bersangkutan ini adalah tanah negara yang merupakan “kawasan hutan”. Pemberian Hak Guna Usaha dapat dilakukan setelah tanah bersangkutan
dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan. Di dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
Dan Hak Pakai Atas Tanah PP No.40 Tahun 1996 dinyatakan bahwa tanah negara yang diberikan dengan Hak Guna Usaha harus bebas dari kepentingan pihak lain.
Apabila tanah negara termasuk di dalam kawasan hutan, hal mana berarti bahwa tanah itu harus dipergunakan untuk hutan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Maka menurut Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 ini, tanah tersebut harus terlebih dahulu dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan Pasal 4 ayat 2 PP
No.40 Tahun 1996.
104
Sering sesuatu pemberian hak atas tanah hanya dilihat dari segi hukum administrasi saja atas tanah yang menurut ketentuan termasuk objek Undang-undang
No. 3 Tahun 1960 Jo. Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961, atau objek nasionalisasi UU No. 86 Tahun 1958 atau Peraturan Presidium Kabinet No. 5
103
Suardi, Hukum Agraria, Badan Penerbit IBLam, Jakarta, 2005, hal. 38.
104
Lebih Lanjut lihat Pasal 4 PP No.40 Tahun 1996.
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1965 jo. Peraturan Direktur Jenderal Agraria No. 3 Tahun 1968 atau Peraturan Presidium Kabinet No. 2 Tahun 1965 mengenai proyek tanah Perusahaan Negara,
penjualan rumah-rumah negeri Golongan III Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1977 dan lain sebagainya.
105
Demikian pula kebijaksanaan pemerintah di bidang landreform seperti dimulai dengan penghapusan tanah-tanah partikelir UU No. 1 Tahun 1958 dan
pengaturan batas pemilikan tanah pertanian UU No. 56 Tahun 1960 jo. Peraturan Pemerintah No. 223 Tahun 1961 dimana pertimbangan-pertimbangan pemberian
haknya adalah didasarkan pada prinsip prioritas, dimana penentuan hak terhadap prioritas pemberian hak ini adalah mutlak merupakan wewenang pemerintah dalam
tindakannya di lapangan hukum administrasi. Hasil
tersebut sering
disebut sebagai
penetapan kebijaksanaan
pemerintah yang mempunyai nilai friess ermessen keputusan pemerintah dianggap paling baik sesuai dengan tujuan doelmatige dan berdasarkan hukum
rechtmatige.
106
Kewenangan pemerintah tersebut jika dilihat dari aspek lain, selain aspek hukum yang justru lebih ditonjolkan yaitu aspek sosial ekonomi, misalnya suatu
tuntutan seorang pemilik tanah terhadap sekelompok warga masyarakat yang
105
Husni Nasution, Perubahan Kebijakan Pemerintah Atas Jangka Waktu Hak Guna Usaha, MKn, SPS USU, Medan, 2008, hal 8.
106
Ibid ., hal 9
Universitas Sumatera Utara
memiliki hak atas tanah sebagai hasil redistribusi
107
, yang apabila hanya segi hukumnya saja yang digunakan sebagai pertimbangan, tentunya akibatnya akan
menimbulkan hal-hal negatif terhadap warga masyarakat tersebut, yang tidak jarang akan menyebabkan krisis sosial dan mengganggu kewibawaan pemerintah.
Hak Guna Usaha dapat diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 lima ha. Jika luas tanah 25 ha atau lebih, harus menggunakan investasi
modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman Pasal 28 ayat 2 UUPA. Maksud ketentuan ini adalah agar Hak Guna
Usaha dimanfaatkan tidak hanya oleh perusahaan besar, melainkan juga oleh perusahaan yang tidak besar yang berusaha di bidang pertanian, perikanan atau
peternakan. Menurut Pasal 5 PP No. 40 Tahun 1996 mengenai luasnya Hak Guna Usaha
yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1.
Luas minimum tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah lima hektar.
2. Luas maksimum tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha
kepada perorangan adalah dua puluh lima hektar. 3.
Luas maksimum tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada badan hukum ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan
pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan, dengan mengingat luas yang diperlukan untuk pelaksanaan
suatu usaha yang paling berdaya guna di bidang yang bersangkutan.
Dengan demikian dari uraian-uraian di atas dapat di pahami bahwa Pasal 5 dari Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 ini mengenai luas minimum tanah dan
107
Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1961
Universitas Sumatera Utara
luas maksimumnya yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha, luas minimum itu adalah 5 ha ayat 1 dan luas maksimumnya adalah 25 ha ayat 2 untuk perorangan.
Ketentuan mengenai minimum dan maksimum ini adalah sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam Pasal 28 ayat 2 UUPA. Dinyatakan lebih lanjut bahwa soal
penentuan dari pada minimum dan maksimum yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha ini harus disesuaikan dengan investasi modal yang layak dan teknik
perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman ayat 2 Pasal 28 UUPA dan dijelaskan pula dalam UUPA bahwa pemberian Hak Guna Usaha adalah dalam
rangka penggunaan oleh perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan Pasal 28 ayat 1 UUPA. Ditegaskan lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah No.40 Tahun
1996 bahwa luas maksimum tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada badan hukum ditetapkan oleh Menteri AgrariaKepala Badan Pertanahan
Nasional dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha bersangkutan. Dan juga diingat kepada luas yang diperlukan untuk
pelaksanaan satuan usaha yang berdayaguna di bidang yang bersangkutan. Jadi inilah kiranya yang telah dirumuskan dalam UUPA sebagaimana harus memperhatikan juga
perkembangan zaman dan investasi untuk tipe perusahaan yang diperlukan. Selanjutnya mengenai jangka waktu Hak Guna Usaha menurut Pasal 8 PP
No.40 Tahun 1996 bahwa Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tiga puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 25 dua puluh lima tahun. Sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha dan
Universitas Sumatera Utara
perpanjangannya berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama.
Luas Hak Guna Usaha menurut Mentri Negara AgrariaKBPN Nomor 3 Tahun 1999 yaitu sesuai dengan Pasal 8 Bab III Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Propinsi memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 HAhektar. Menurut Pasal 14
KBPN Nomor 3 Tahun 1999 di atas 200 ha pemberian wewenang Hak Guna Usaha dari Kepala Badan Pertanahan Wilayah Propinsi kepada Mentri Negara
AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional. Selanjutnya hal ini diatur dalam PP No.40 Tahun 1996. Dengan kemudahannya karena dapat dimintakan sekaligus
perpanjangan dengan pembaharuan haknya. Sehingga dimungkinkan Hak Guna Usaha itu 120 tahun.
108
Hak Guna Usaha terjadi karena penetapan pemerintah, sesuai dengan Pasal 31 UUPA. Selain itu, Hak Guna Usaha juga terjadi karena konversi
109
hak dari Hak Erfpacht untuk perusahaan kebun besar yang masih berlaku pada tanggal 24
September 1960 dan konversi Hak Milik Adat dan hak-hak lain yang sejenis di mana tanah yang dimaksud adalah tanah pertanian, tanah perikanan, atau tanah peternakan,
108
Muhammad Yamin, Jawaban Singkat Pertanyaan Dalam Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria
, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hal. 26.
109
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
Universitas Sumatera Utara
dimana yang memilikinya tidak memenuhi syarat umum yang dapat dimiliki tanah dengan Hak Milik yang ditetapkan dalam Pasal 21 UUPA.
110
Selanjutnya pengaturan subjek Hak Guna Usaha dapat dilihat pada Pasal 30 UUPA yang menyatakan sebagai berikut:
1. Yang dapat menggunakan Hak Guna Usaha adalah:
a. Warga negara Indonesia;
b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia. 2.
Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini
dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga
terhadap pihak yang memperoleh Hak Guna Usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika Hak Guna Usaha yang bersangkutan tidak
dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan
diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan Pasal
30 UUPA
tersebut berhubungan
erat dengan
kewarganegaraan seseorang, oleh karena Hak Guna Usaha ini hanya untuk warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia dan tunduk kepada hukum Indonesia, jadi hanya badan hukum Indonesia yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha. Oleh karena tanah
yang di atasnya melekat Hak Guna Usaha yang jatuh kepada bukan warga negara atau badan hukum Indonesia, maka jika tidak dialihkan dalam jangka waktu satu tahun
110
Marihot P Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori dan Praktek, Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 137.
Universitas Sumatera Utara
setelah tidak dipenuhi syarat-syarat tentang pemilikan, maka haknya menjadi hapus.
111
Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah negara. Tanah negara berarti tanah di atas mana pihak lain tidak mempunyai suatu hak. Dapat
juga tanah yang bersangkutan ini adalah tanah negara yang merupakan kawasan hutan. Pemberian Hak Guna Usaha dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan
dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan. Pada penjelasan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 dinyatakan bahwa
tanah negara yang diberikan dengan Hak Guna Usaha harus bebas dari kepentingan pihak lain. Apabila tanah negara termasuk di dalam kawasan hutan, hal mana berarti
bahwa tanah itu harus dipergunakan untuk hutan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Maka menurut PP No. 40 Tahun 1996 tanah tersebut harus terlebih dahulu
dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan.
112
Apabila yang telah diberikan dengan Hak Guna Usaha merupakan tanah yang dikuasai dengan hak tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka
pelaksanaan daripada ketentuan Hak Guna Usaha baru dapat dilaksanakan setelah diselesaikannya pelepasan hak sesuai dengan tata cara yang diatur dalam perundang-
undangan yang berlaku. Menurut ketentuan Pasal 4 ayat 3 PP No. 40 Tahun 1996 bahwa hanya dapat diberikan suatu tanah dengan status Hak Guna Usaha kepada
111
Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, Edisi Kedua, 2001, hal. 24.
112
Pasal 4 ayat 2 PP No. 40 Tahun 1996.
Universitas Sumatera Utara
seseorang, apabila sudah diselesaikan pelepasan hak daripada orang-orang yang masih mempunyai hak atau mengklaim sesuatu hak atas tanah bersangkutan.
1.
Tata Cara Memperoleh Hak Guna Usaha dan Pejabat yang Berwenang
Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tertanggal 26 Juni 1973, juncto Permendagri Nomor 6 Tahun 1972 tertanggal 30 Juni
1972 dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1988, tertanggal 19 Juli 1988, tentang Badan Pertanahan Nasional, maka permohonan untuk
memperoleh Hak Guna Usaha disampaikan oleh pemohon kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional Propinsi
setempat secara
tertulis dengan
mengisi blankoformulir yang tersedia dalam rangkap 6 enam dengan tembusan kepala
Kantor Pertanahan Kabupatenkota yang bersangkutan. Permohonan Hak Guna Usaha tersebut harus memuat berbagai keterangan
yang merupakan syarat-syarat permohonan Hak Guna Usaha, yaitu : 1
Diri pemohon a.
Akta notaris atau peraturankeputusan tentang pendirian badan hukum PT, PNPD, koperasi. Jika badan hukum tersebut berbentuk perseroan terbatas,
permohonan tersebut dilengkapi: b. Surat rekomendasi bank pemerintah, yang menunjukkan bonafiditas pemohon
b. Sudi kelayakanproyek proposalrencana dalam mengusahakan tanah
perkebunan yang dilegalisir oleh dinas perkebunan propinsi. c.
Surat pernyataan tersedianya tenaga ahli yang berpendidikan dan berpengalaman dalam pengusahaan perkebunan disertai riwayat hidupnya.
Universitas Sumatera Utara
d. Riwayat badan hukum serta surat keterangan dari komando daerah kepolisian,
dimana direksi dan dewan komisaris PTPNPD berdomisili, seperti dimaksud dalam surat edaran menteri dalam negeri Nomor SJ. 16639, tertanggal 1 Juni
1976. 2
Mengenai tanah yang dimohon a.
Surat keterangan pendaftaran tanah SKPT dari kantor pertanahan kabupatenkotamadya setempat, jika mengenai tanah hak
b. Girikketitir, bila mengenai tanah adat
c. Bukti perolehan hak pembebasan atau jual beli
d. Gambar situasi yang dibuat oleh kantor pertanahan kabupatenkota atau
Kantor Wilayah Pertanahan Nasional Propinsi setempat. e.
Rekomendasi dari pejabatinstansi yang terkait, f.
Fatwa tata guna tanah yang dibuat oleh kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional propinsi.
g. Pertimbangan kepala kantor Badan Pertanahan Nasional propinsi, apabila
tanah yang dimohon merupakan tanah negara yang belum diusahakan sebagai perkebunan.
3. Biaya pengurusan permohonan Hak Guna Usaha a.
Biaya formulir isian permohonan dan surat keputusan Rp. 1.000,- b.
Biaya pengukuran dan pembuatan gambar situasi ditetapkan sesuai dengan perhitungan setempat, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2
tahun 1978 juncto nomor 12 tahun 1978.
Universitas Sumatera Utara
c. Biaya pendaftaran Hak Guna Usaha sebesar Rp. 5.000,- di daerah perkotaan
dan Rp. 500,- di daerah pedesaan untuk perorangan. Bila untuk badan hukum: Rp. 50.000,-
d. Biaya formulir isian dan sertifikat Rp. 1.750,-
e. Honorarium panitia pemeriksa tanah panitia B sebesar Rp. 3.000,-orang
f. Biaya transport anggota lainnya panitia B dan petugas survey tata guna tanah
menurut lumpsum sesuai dengan golongan sebagai dimaksud dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor BTU1581978, tertanggal 31 Januari
1978. Kemudian setelah proses pengajuan dan dipenuhinya berbagai persyaratan
yang diperlukan dilanjutnya dengan proses PemberianPenerbitan Surat Keputusan
dengan tahapan sebagai berikut.
1. Proses penerbitan surat keputusan Hak Guna Usaha di tingkat propinsi
Setelah berkas permohonan hak diterima kepala Badan Pertanahan Nasional propinsi, segera:
a. Memerintahkan kepada para kepala bidang PHT, Perseroan Terbatas
penatagunaan tanah dan penguasaan tanah untuk: 1
mencatat permohonan daftar permohonan Hak Guna Usaha; 2
meneliti apakah syarat-syarat yang diperlukan telah lengkap; 3
memanggil pemohon untuk melengkapi permohonan yang belum lengkap.
Universitas Sumatera Utara
b. Apabila permohonan dimaksud telah lengkap, maka kepala kantor wilayah Badan
Pertanahan Nasional propinsi bersama-sama anggota panitia pemeriksaan tanah panitia B mengadakan pemeriksaan setempat. Hasil pemeriksaan dituangkan
dalam berita acara pemeriksaan tanah. c.
Apabila semua persyaratan telah lengkap dan tidak ada keberatan untuk mengabulkan permohonan Hak Guna Usaha, maka oleh Kepala Kantor Badan
Pertanahan Nasional Wilayah Propinsi menerbitkan surat keputusan pemberian Hak Guna Usaha tersebut.
d. Bila wewenang untuk memberikan Hak Guna Usaha berada pada pusat, maka
berkas dimaksud dengan pertimbangan disampaikan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk mendapatkan penyelesaiannya, dengan tembusan
Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKotamadya setempat, kepala Dinas Perkebunan Propinsi dan Direktur Jenderal Perkebunan.
2. Proses Penerbitan Surat Keputusan Hak Guna Usaha di tingkat pusat
a. Setelah menerima berkas permohonan Hak Guna Usaha dari Kepala Kantor
Badan Pertanahan Nasional Wilayah Propinsi, kepala Badan Pertanahan Nasional Cq. Deputi Bidang Hak-hak atas tanah memerintahkan kepada
direktur pengurusan hak-hak tanah Cq. Kepala Sub Direktorat Hak Guna Usaha, untuk:
1 Mengadakan pencatatan dalam buku khusus yang disediakan.
Universitas Sumatera Utara
2 Mengadakan penelitian apakah persyaratan yang diperlukan dan bila
belum lengkap agar segera meminta pada Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Wilayah Propinsi yang bersangkutan untuk
dilengkapi. 3.
Apabila semua keteranganpersyaratan sudah lengkap, maka permohonan tersebut dibahas oleh team pertimbangan Hak Guna Usaha perkebunan besar.
4. Setelah mendapat persetujuan dari team pertimbangan hak Hak Guna Usaha perkebunan besar, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional menerbitkan surat
keputusan pemberian Hak Guna Usaha. 5. Surat
keputusan pemberian
Hak Guna
Usaha diberikan
kepada pemohonpenerima hak melalui Kantor Badan Pertanahan Nasional Wilayah
Propinsi yang bersangkutan. 6. Setelah si pemohon menerima kutipan surat keputusan pemberian Hak Guna
Usaha tersebut, maka pemohon diwajibkan untuk segera memenuhi kewajiban, di antaranya a uang pemasukan, b uang wajib tahunan dan c uang
penyelenggaraan landreform. Dengan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 tahun 1965 juncto
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1975, maka mengenai pemberian Hak Guna Usaha atas tanah negara, dikenakan uang pemasukan dan uang wajib
tahunan, yang harus disetorkan pada kas negara. Adapun besarnya ditetapkan dengan perhitungan rumus sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Hak Guna Usaha 30 tahun
60 x 50 x Luas Tanah x Harga Hak Guna Usaha = Rp. X 1
uang pemasukan: 13 x Rp. X 2
uang wajib tahunan: 123 x 23 x Rp. X 2.
Hak Guna Usaha 25 tahun 2530 x 60 x Luas Tanah x Harga Hak Guna Usaha = Rp. X
1 uang pemasukan: 13 x Rp. X
2 uang wajib tahunan: 123 x 23 x Rp. X
Selain dari uang pemasukan dan uang wajib tahunan, maka kepada penerima hak dipungut uang penyelenggaraan landreform sebesar Rp. 50 dari uang
pemasukan. Dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan
Tarif atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional, ketentuan mengenai biaya pemberian Hak Guna Usaha diatur
dalam Pasal 16 ayat 1 dan 2, yaitu : Pasal 16
1 Tarif Pelayanan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 huruf a berupa Pelayanan Pendaftaran: a. Keputusan Perpanjangan Hak Atas Tanah untuk Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai Berjangka Waktu; dan b. Keputusan Pembaruan Hak Atas Tanah untuk Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, atau Hak Pakai Berjangka Waktu , dihitung berdasarkan rumus
T = 2‰ x Nilai Tanah + Rp100.000,00
Universitas Sumatera Utara
2 Tarif Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 huruf b berupa Pelayanan Pendaftaran Pemindahan Peralihan Hak Atas Tanah untuk Perorangan dan Badan
Hukum, dihitung berdasarkan rumus
T = 1‰ x Nilai Tanah + Rp 50.000,00
113
Penjelasan Pasal 16 tersebut juga menyebutkan bahwa “nilai tanah” yang dimaksud adalah adalah nilai pasar market value yang ditetapkan oleh
Badan Pertanahan Nasional dalam peta zona nilai tanah yang disahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk tahun berkenaan dan untuk wilayah yang belum tersedia
peta zona nilai tanah digunakan Nilai Jual Objek Pajak atas tanah pada tahun berkenaan.
114
Namun demikian, pada penelitian yang penulis lakukan mengenai pembiayaan ini masih menggunakan tarif lama, yaitu yang didasarkan pada ketentuan yang
berlaku sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak yang berlaku pada Badan
Pertanahan Nasional. Kemudian menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri, tertanggal 19 Februari
1999, Nomor 3 Tahun 1999, tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah Negara oleh Badan Pertanahan
Nasional, khususnya Pasal 8 Bab III dan pasal 14 Bab IV, menentukan bahwa Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi setempat yang berwenang untuk
113
Lihat Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak
114
Penjelasan pasal16 Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak
Universitas Sumatera Utara
memberi keputusan mengenai permohonan pemberian hak untuk pertama kali,perpanjangan jangka waktu hak dan pemberian hak selanjutnya baik
dengan hak yang sama pembaharuan hak atau dengan hak jenis lainnya perubahan hak, atas tanah Hak Guna Usaha yang Luasnya tidak lebih dari 200 Ha.
115
Sedangkan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan yang tidak dilimpahkan pada Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kepala Kantor pertanahan KabupatenKotamadya.
116
2. Jangka Waktu Hak Guna Usaha