BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Cacing Tanah
Cacing tanah termasuk hewan tidak bertulang belakang Invertebrata, filum Annelida, ordo Oligochaeta, dan kelas Clitellata yang hidup dalam tanah,
berukuran beberapa cm hingga panjang 2 m. Oligochaeta yang hidup di daratan terrestrial ada 10 famili dan berukuran lebih besar, disebut Megadrila, sedangkan
yang hidup di dalam air, ada tujuh famili dan berukuran lebih kecil, disebut Micodrila. Kelompok Megadrila inilah yang biasanya dikenal sebagai cacing tanah
yang diseluruh dunia tersebar sekitar 1.800 spesies, tetapi yang paling banyak dijumpai di Eropa, Asia Barat, dan sebagian besar Amerika Utara adalah yang
termasuk famili Lumbricidae. Hanafiah, dkk.2003. Secara alamiah, morfologi dan anatomi cacing tanah berevolusi menyesuaikan
diri terhadap lingkungannya. Faktor-faktor ekologis yang memengaruhi cacing tanah meliputi: a keasaman pH, b kelengasan, c temperatur, d aerasi dan CO
2
, e bahan organik, f jenis, dan g suplai nutrisi Hanafiah, dkk.2003.
2.1.1. Anatomis dan Morfologis
Secara sistematik, cacing tanah bertubuh tanpa kerangka yang tersusun oleh segmen-segmen fraksi luar dan fraksi dalam yang saling berhubungan secara integral,
diselaputi oleh epidermis berupa kutikula kulit kaku berpigmen tipis dan setae lapisan daging semu bawah kulit, kecuali pada dua segmen pertama bagian mulut;
bersifat hemaprodit berkelamin ganda dengan peranti kelamin seadanya pada
Universitas Sumatera Utara
segmen-segmen tertentu. Apabila dewasa, bagian epidermis pada posisi tertentu akan membengkak membentuk klitelum tabung peranakan atau rahim, tempat
mengeluarkan kokon selubung bulat berisi telur dan ova bakal telur. Setelah kawin kopulasi, telur akan berkembang di dalamnya dan apabila menetas langsung serupa
cacing dewasa. Secara struktural, cacing tanah mempunyai rongga besar coelomic yang
mengandung coelomycetes pembuluh-pembuluh mikro, yang merupakan sistem vaskuler tertutup. Saluran makanan berupa tabung anterior dan posterior, kotoran
dikeluarkan lewat anus atau peranti khusus yang disebut nephridia. Respirasi pernapasan terjadi melalui kutikuler Anas, 1990.
2.1.2. Manfaat Cacing Tanah
Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa cacing tanah merupakan makrofauna tanah yang berperan penting sebagai penyelaras dan keberlangsungan
ekosistem yang sehat, baik bagi biota tanah lainnya maupun bagi hewan dan manusia. Aristoteles mengemukakan pentingnya cacing tanah dalam mereklamasi tanah dan
menyebutnya sebagai “usus bumi” intestines of the earth Hanafiah, dkk.2003.
2.1.2.1.Bidang Farmasi
Di RRC, Korea, Vietnam, dan banyak tempat lain di Asia Tenggara, cacing tahah terutama dari jenis Lumbricus spp, bisa digunakan sebagai obat sejak ribuan
tahun yang lalu. Cacing tanah telah dicantumkan dalam Ben Cao Gang Mu, buku bahan obat standar farmakope pengobatan tradisional China. Di China, cacing tanah
akrab disebut naga tanah. Nama pasaran cacing tanah kering di kalangan pedagang obat-obatan tradisional China adalah ti lung kam.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian terhadao cacing tanah menyebutkan bahwa senyawa aktifnya mampu melumpuhkan bakteri patogen, khususnya Eschericia coli penyebab diare.
Bisik-bisik pengalaman nyata lain juga santer menyebutkan cacing bermanfaat untuk menyembuhkan rematik, batu ginjal, dan cacar air. Di beberapa negara Asia dan
Afrika, cacing tanah yang telah dibersihkan dan dibelah kemudian dijemur hingga kering, lazim dijadikan makanan obat healing foods. Biasanya disangrai atau
digoreng kering, disantap sebagai keripik cacing. Diduga kebiasaan menyantap cacing ini dapat membantu menekan angka kematian akibat diare di negara-negara
miskin Asia-Afrika. Dalam dunia moderen sekarang ini, senyawa aktif cacing tanah digunakan
sebagai bahan obat. Bahkan, tak sedikit produk kosmetik yang memanfaatkan bahan aktif tersebut sebagai substrat pelembut kulit, pelembab wajah, dan antiinfeksi.
Sebagai produk herbal, telah banyak merek tonikum yang menggunakan ekstrak cacing tanah sebagai campuran bahan aktif.
Ba Hoang, MD, PhD, di Vietnam, yang berpraktek pengobatan konvensional dan pengobatan tradisional China, telah membuktikan efektivitas cacing tanah untuk
mengobati pasien-pasiennya yang mengidap stroke, hipertensi, penyumbatan pembuluh darah arterosklerosis, kejang ayan epilepsi, dan berbagai penyakit
infeksi. Resep-resepnya telah banyak dijadikan obat paten untuk pengobatan alergi, radang usus, dan stroke.
Kegunaan cacing tanah sebagai penghancur gumpalan darah fibrimolysis telah dilaporkan oleh Fredericq dan Krunkenberg pada tahun 1920-an. Sayangnya,
laporan tersebut tidak mendapat tanggapan memadai dari para ahli saat itu. Sesudah
Universitas Sumatera Utara
masa tersebut, Mihara Hisahi, peneliti dari Jepang, berhasil mengisolasi enzim pelarut fibrin dalam cacing yang bekerja sebagai enzim proteolitik. Karena berasal dari
Lumbricus cacing tanah, maka enzim tersebut kemudian dinamakan lumbrokinase. Canada RNA Biochemical, Inc. kemudian mengembangkan penelitian
tersebut dan berhasil menstandarkan enzim lumbrokinase menjadi obat stroke. Obat berasal dari cacing tanah ini populer dengan nama dagang Boluoke. Lazim
diresepkan untuk mencegah dan mengobati penyumbatan pembuluh darah jantung ischemic yang berisiko mengundang penyakit jantung koroner PJK, tekanan darah
tinggi hipertensi, dan stroke. Selama ini obat penghancur gumpalan darah uang banyak digunakan adalah
aktivator jaringan plasminogen tissue-plasminogen activator, tPA dan stretokinase. Padahal, kedua jenis obat tersebut daya kerjanya lambat. Selain itu, aspirin-pun sering
digunakan untuk mencegah penggumpalan darah, sayangnya reaksinya terlalu asam bagi tubuh, sehingga banyak pengguna tidak tahan dan beresiko mengakibatkan tukak
lambung. Penelitian terhadap khasiat cacing tanah sudah pernah dilakukan juga secara
besar-besaran di China sejak tahun 1990, melibatkan tiga lembaga besar. Yakni Xuanwu Hospital of Capital Medical College, Xiangzi Provicial Peoples Hospital,
dan Xiangxi Medical College. Uji coba klinis serbuk enzim cacing tanah ini dikalukan terhadap 453 pasien pengderita gangguan pembuluh darah ischemic
cerebrovascular disease dengan 73 kesembuhan total Anonim. 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2.2.Bidang Pertanian
Tanah yang terkontaminasi logam berat dapat dimonitor oleh cacing tanah. Hasil penelitian Fang et al. 1999 dalam Paoletti 1999 menunjukkan bahwa di sub tropik, China
adanya korelasi negatif antara konsentrasi arsenic di tanah dengan populasi cacing tanah Megascolecidae. Selain itu cacing tanah sangat dipengaruhi oleh produk terkontaminasi Cu.
Tanah dengan konsentrasi 100-150 ppm Cu umumnya merusak populasi cacing tanah, sebab hanya sedikit spesies yang bertahan pada kondisi ini. Banyak spesies endogeis tidak
ditemukan pada tanah terkontaminasi Cu dan jumlah spesies lubang besar drastis seperti Lumbricus terrestris.
Jumlah cacing tanah bermanfaat untuk memonitoring sistem pertanian yang berbeda- beda, serta untuk mengevaluasi tanah terkontaminasi dan manajemen praktis seperti efek
residu pestisida, pengolahan tanah, pemadatan, dan bahan organik. Hasil penelitian di Alto Adige, Italia menunjukkan bahwa populasi cacing tanah pada kebun apel yang dikelola
secara konvensional lebih rendah dibandingkan dengan kebun apel yang dikelola secara organik Paoletti et al., 1995.
2.1.2.3.Bidang Peternakan
Dari hasil penelitian menunjukkan cacing tanah mempunyai kandungan protein cukup tinggi, yaitu sekitar 72, yang dapat dikategorikan sebagai protein
murni. Kalau dibandingkan dengan jenis bahan makanan asal hewan lainnya, misalnya ikan teri yang biasanya dipakai dalam campuran ransum unggas,
mempunyai kandungan protein protein kasar berkisar antara 58-67 dan bekicot dengan kandungan protein 60,90, masih jauh lebih rendah dibanding dengan cacing
tanah. Apalagi kalau dibandingkan dengan sumber protein dari bahan tanaman, seperti bungkil kedele, bungkil kelapa dan lain-lain, rata-rata kandungan proteinnya
Universitas Sumatera Utara
jauh lebih rendah dibanding cacing tanah. Demikian pula susunan asam amino yang sangat penting bagi unggas, seperti arginin, tryptophan dan tyrosin yang sangat
kurang dalam bahan pakan yang lain, pada cacing tanah kandungannya cukup tinggi. Kandungan arginin cacing tanah berkisar 10,7 tryptophan, 4,4 tyrosin, 2,25.
Oleh karena itu cacing tanah mempunyai potensi yang cukup baik untuk mengganti tepung ikan dalam ransum unggas dan dapat menghemat pemakaian bahan
dari biji-bijian sampai 70.Walaupun demikian, penggunaan cacing tanah dalam ransum unggas disarankan tidak lebih dari 20 total ransum. Hal ini sudah sangat
menguntungkan mengingat cacing tanah yang banyak tersebar di dataran nusantara kita dan potensinya cukup baik, serta sangat mudah untuk dibudidayakan sehingga
dapat menekan biaya makanan unggas yang sangat tinggi dipasaran, sehingga keuntungan yang akan diraih lebih tinggi Anonim
e
, 2009. 2.2.
Spesies Cacing Tanah 2.2.1. Drawida Sp.
Warna tubuh bagian dorsal kuning kecoklatan, bagian ventral kuning kekuningan pucat, panjang tubuh 65-160 mm, diameter 2,5-5,5 mm, jumlah segmen
135 – 160 Arlen, 2010. Kingdom
Animalia Filum
Annelida Kelas
Clitellata Subkelas
Oligochaeta Order
Moniligastrida Family
Moniligastridae
Universitas Sumatera Utara
Marga Drawida
Spesies ----
2.2.2. Mogascolex Sp.