Aqidah Islam Sebagai Aqidah Tauhid

Nya dari kesesatan dan kebingungan dengan mengirimkan seseorang mujadid yang akan menghidupkan kembali ajaran-ajaran-Nya. Proses tajdid ini juga diperlukan karena pemahaman umat islam terhadap ajaran islam telah semangkin jauh dari bentuk aslinya. Namun sang mujadid akan tetap berpegang teguh pada kebenaran mutlak yang terdapat dalam al- Qur‟an. Pada pengertian ini, pembaharuan islam berbeda dengan pembaharuan yang terjadi di dunia lain yang bersifat reformasi dan revolusi. Dimana yang datang kemudian akan menjadi evaluasi dan menghapuskan pendapat yang lama. Begitu juga pembaharuan islam mempunyai rujukan yang jelas, yaitu al- Qur‟an. Sementara pembaharuan lain akan terus berproses mencari dan tidak memiliki rujukan yang mutlak dan pasti.

B. Ciri-Ciri Aqidah Islam yang Murni

1. Aqidah Islam Sebagai Aqidah Tauhid

Konsep fundamental dalam Islam adalah Tauhid yakni mengakui keesaan Tuhan dan menolak segala bentuk penyekutuan terhadap-Nya. Konsep ini dituangkan dengan jelas dan sederhana pada surat Al-Ikhlas surat ke 112 yang terjemahannya antara lain : a. Katakanlah “Allah Tuhan itu satu”. b. “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu”. c. “Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan”. d. “dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. Tauhid merupakan bentuk masdhar gerund dari “Wahhada Yuwahhidu Tauhiidan” yang artinya “mengesakan” atau “menunggalkan”, dan secara lengkap bermakna mengesakan Allah dalam segala perbuatan-Nya, dan meyakini bahwa Dia sendiri lah yang menciptakan, mengatur serta menguasai alam semesta dan seisinya Rubbubiyah-Nya, Ikhlas beribadah kepada-Nya Uluhiyah-Nya serta menetapkan baginya nama-nama dan sifat- sifat-Nya. Dengan demikian, tauhid ada tiga macam pembagiannya; tauhid rubbubiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma‟ wa sifat. 11 Dan seperti yang 11 Darwis Abu Ubaidah. Panduan Akidah ahlu Sunnah wal Jamaah, Jakarta: Pustaka al- Kautsar 2008hal. 48-53 sudah masyur diketahui bahwa pembagian ini sudah disepakati oleh jumhur ulama dengan dalil-dalil yang shahih dan qoth‟i. Dalam bahasa Arab, Tuhan disebut sebagai Allah. Kata ini secara etimologis terhubung dengan ilah “ketuhanan“, Allah adalah juga kata yang digunakan oleh orang Kristen Nasrani dan Yahudi Arab sebagai terjemahan dari ho theos dari Perjanjian Baru dan Septuaginta. Nama “Allah” tidak memiliki bentuk jamak dan tidak diasosiasikan dengan jenis kelamin tertentu. Dalam Islam sebagaimana disampaikan dalam Al Qur‟an dikatakan: “Dia Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan pula, dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat”. QS 42-11 Allah adalah Nama Tuhan ilah dan satu-satunya Tuhan sebagaimana perkenalan-Nya kepada manusia melalui Al Quran : “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan yang hak selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. QS. 20 : 14 Pemakaian kata Allah secara linguistik mengindikasikan kesatuan. Umat Islam percaya bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah sama dengan Tuhan umat Yahudi dan Nasrani, dalam hal ini adalah Tuhan Ibrahim. Namun, Islam menolak ajaran Kristen menyangkut paham Trinitas dimana hal ini dianggap Politheisme. Mengutip Qur‟an, surat An-Nisa4 :171: “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agama dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al-Masih, Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan yang diciptakan dengan kalimat-Nya yang disampaikannya kepada Maryam dan dengan tiupan roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Dan janganlah kamu mengatakan :”Tuhan itu tiga”, berhentilah dari ucapan itu. Itu lebih baik bagi kamu. Sesungguhnya Allah Tuhan yang Maha Esa. Maha suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara”. Dalam Islam visualisasi atau penggambaran Tuhan tidak dijumpai, hal ini dilarang karena dapat berujung pada pemberhalaan dan justru penghinaan, karena Tuhan tidak serupa dengan apapun Asy-Syuraa QS. 42 : 11. Sebagai gantinya, Islam menggambarkan Tuhan dalam 99 nama gelar julukan Tuhan asma‟ul husna yang menggambarkan sifat ketuhanan-Nya sebagaimana terdapat pada Al Qur‟an. Ajaran Islam dituliskan di dalam Alquran dan hadis. Seseorang yang ingin mempelajari agama Islam mutlak harus menguasai bahasanya, bisa mempelajari sendiri atau mengikuti apa-apa saja yang dikatakan oleh para buya, ustaz, kyai dan guru mereka. Tidak semua umat Islam membaca langsung dan mampu memahami isi Alquran dan hadis. Sebagian besar orang Islam menempuh cara yang kedua yaitu mengikuti apa-apa yang diucapkan para ulama. Hal ini seringkali menghasilkan penghayatan Islam yang hanya sepotong-sepotong. Padahal Islam merupakan dien, ajaran lengkap yang memberikan dasar acuan hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ada empat jenis penghayatan Islam secara sepotong-sepotong oleh penganutnya yaitu : 1. Dogmatis. Ajaran dari ulama diterima bulat-bulat dan ditelan mentah-mentah tanpa sikap kritis, sehingga memunculkan sikap fanatisme yang membuta. Sikap fanatisme ini dapat dijadikan hiburan bagi si miskin dan perisai bagi si kaya. 2. Rasionalistik. Menerima ajaran Islam sebatas jangkauan pikirannya saja; yang dilaksanakan hanyalah syariat agama yang menurutnya berguna bagi dirinya. 3. Formalistik. Melaksanakan ajaran Islam sebagai formalitas belaka, misalnya karena keturunan orang Islam. Agama sering difungsikan sebagai perisai, alat politik dalam pergaulan. 4. Hakikat. Inti ajaran diserapditerima tetapi syariatnya tidak dilaksanakan. Contohnya, karena inti ajaran sholat adalah berdoa dan ingat kepada Allah, maka mereka meninggalkan sholat. Yang mereka lakukan hanya doa dan ingat. Melakukan puasa cukup hanya tidak memakan makanan tertentu saja atau puasa khusus lainnya tanpa tuntunan syariat. Untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, Islam harus dihayati dan diamalkan secara kaffah utuh, tidak sepotong-potong atau sebagian. Penghayatan Islam secara kaffah dilakukan dengan cara menggabungkan penghayatan yang sepotong-potong, sehingga menghasilkan penghayatan yang utuh.

2. Kejelasan Ruang Lingkup Aqidah Islam