100.000 orang pelayat bahkan lebih.
47
Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat dan keridhaan-Nya kepadanya, Amin.
2. Perkembangan Spritual dan Intelektual Ibnu Taimiyah
Sejak masih kecil Ibnu Taimiyah sudah mulai menghafal al- Qur‟an, yang ia
lanjutkan dengan menghafal hadist serta riwayatnya, ia juga telah belajar kitab dari syikh ternama dan dari buku-buku induk dalam hadits seperti Musnad Imam
Ahmad, Shahih al- Bukhari dan Muslim, Jami‟ at-Tirmidzi, Sunnah Abi Dawud
dan an- Nasa‟i, Ibnu Majah serta Darul Quthni.
Para ulama berkata; “Buku pertama yang ia hafal adalah “al-Jam‟u baina as- Shahihaini” karya Imam al-Humaidi”, mereka juga berkata, “Sesungguhnya ia
telah mendengar hafalan Musnad Imam Ahmad beberapa kali.”
Selain memperdalam ilmu hadits ia juga belajar ilmu lain seperti matematika, sangat perhatian terhadap ilmu-ilmu bahasa Arab, menghafal beberapa matan
dalam berbagai disiplin ilmu dan sejarah bangsa Arab klasik, ia mempunyai pandangan dan perhatian khusus terhadap buku Sibawaih sehingga buku ini
didalami dengan sangat teliti.
48
Oleh karena kesungguhan dan kecerdasan otaknya, maka sebelum berusia genap 20 tahun, ia telah menjadi seorang yang alim yang disegani. Dalam usianya
yang masih sangat muda itu, Ibnu Taimiyah telah menjadi seorang ahli Agama dan ahli hukum. Bahkan menurut Prof. Gibb, ia berhasil menjadi professor dari
Mazhab Hambali dalam ilmu hukum.
49
Ia memiliki perhatian yang tinggi terhadap fiqih Hambali, dengan cara mengikuti dan meneliti mazhab ini dari masa ke masa,
namun ia tidak meninggalkan mazhab lain terutama Mazhab Syafi‟i. Pada usianya yang belum genap 20 tahun itu juga ia harus kehilangan
ayahnya. Dan pada usia 22 tahun kemudian Ibnu Taimiyah menggantikan posisi ayahnya sebagai guru besar hukum mazhab Hambali serta menggantikannya
47
Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005 hal. 225-226
48
Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005 hal. 205-206
49
Ali Sami‟ al-Nasysyar dalam Mukoddimah Editor, Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar‟iyah; Etika Politik Islam, terj. H. Firdaus A. N, Jakarta: Dja Pena Djawatan Penerangan Agama,
1960 hal. 9
dalam mengajar Hadits; sejajar dengan Ibnu Daqiq a- „Ied dan para ulama besar
lainya yang pada zaman itu sedang naik daun, dan sudah mengajar di berbagai sekolah dan Masjid Jami‟ di Damaskus. Namun demikian kredebilitas Ibnu
Taimiyah bila tidak bisa dikatakan melebihi, tidak lebih rendah pula. Ayahnya Abdul Hamid bin Abdussalam Syihabuddin merupakan sebaik-
baik pendidik bagi anaknya, karena ia merupakan ulama besar dalam Mazhab Hambali serta seorang ulama Hadits yang sangat otoritatif menonjol. Ia melihat
anaknya memiliki kelebihan dibanding teman sebayanya dalam hal kesungguhan dan perhatian kepada hal-hal yang bermanfaat dalam bidang ilmu dan studi, akal
dan hatinya terbuka terhadap hal-hal disekelilingnya, ia memiliki ingatan yang cukup tajam, pikiran yang selalu siaga, hafalan yang cukup kuat, pemikiran yang
lurus serta kecerdasan semenjak kanak-kanak. Ia menggunakan seluruh apa yang dianugerahkan Allah kepadanya di jalan
ilmu pengetahuan untuk mendalami pendapat dan gagasan para Sahabat. Dengan menggunakan methode induktif ia meneliti dan mempelajari kajian-kajian fiqih
yang telah ditulis oleh ulama-ulama yang sangat otoritatif dalam bidang teori dan esperimen empiris seperti seperti Umar bin al-Khathab, Ali bin Abi Thalib,
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhum. Ia juga sangat intens mempelajari fatwa-fatwa Said bin al-Mu
sayyib, Ibrahim Nahk‟i, a-Qasim bin Muhammad dan ulama-
ulama Tabi‟iin yang lain. Semua ilmu ini ia sinergikan dengan pengetahuan yang berkembang pada
zamannya, sehingga dapat disimpulkan tidak ada satu bidang ilmu pun yang tidak ia dalami.
Salah seorang ul ama zamannya berkata; “Sungguh Allah telah melembutkan
ilmu pengetahuan dihadapan Ibnu Taimiyah sebagaimana Allah Subhanallah wa Ta‟ala telah melembutkan besi dihadapan Nabi Dawud, apabila ia ditanya tentang
disiplin ilmu tertentu, orang-orang yang saat itu mendengar jawabannya pasti akan mengira bahwa ia tidak menguasai disiplin ilmu lain selain itu, dan akan
menyimpulkan bahwa tidak ada orang lain yang lebih menguasai darinya. Adapun kakeknya Adussalam bin abdullah, seorang faqih dari mazhab
hambali, ia seorang imam, ahli Hadits, juga mufassir yang faqih dan menguasai
ilmu-ilmu bahasa, ia dikenal sebagai salah seorang Huffadz yang tersohor pengarang kita;
“Muntaqa al-Akbar”, buku ini telah disyarah oleh Imam Asy- Syaukani dengan judul,
“Nailul Authar Syarh Muntaqa al-Akbar.”
50
Dari sini dapat kita ketahui bahwa baik Ayah maupun kakek Ibnu Taimiyah merupakan
tokoh dan ulama Muslimin yang ternama, keduanya memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam membentuk kehidupan Imam kita Syekhul Islam Ibnu
Taimiyah. Sebenarnya sejak ia masih muda telah terkumpul sifa-sifat sebagai seorang
mujtahid. Dan benar, tidak lama kemudian ia telah menjadi seorang imam, yang diakui oleh ulama-ulama besar yang dikenal ilmu, keutamaan dan keimanannya.
Dan semua itu sebelum beliau mencapai umur tiga puluh tahun. Disamping ia dikenal sebagai ulama yang hebat, ia juga dikenal sebagai seorang yang banyak
ibadah, banyak berzikir dan banyak membaca al- Qur‟an.
Ia juga seorang yang wara‟ dan zuhud, hampir tak memiliki sesuatupun dari perbendaharaan dunia, kecuali apa-apa yang merupakan kebutuhan pokoknya. Ini
adalah keadaannya yang dikenal oleh orang-orang yang sezaman dengannya, bahkan oleh semua manusia secara umum. Bahkan ia juga dikenal sebagai
seorang yang memiliki firasat yang tajam, memiliki doa yang dikabulkan, dan memiliki banyak karamah yang diakui banyak kalangan.
Dan tentang keberkahan Ibnu Taimiyah, al-Allamah al-Umari menuturkan, “Abu Hafash Umar bin Ali bin Musa al-Bazzar al-Baghdadi menceritakan, dia
berkata, Aku dituturkan oleh as-Syaikh al- Muqri‟ Taqiyuddin Abdullah bin
Ahmad bin Sa‟id, dia mengatakan, “suatu kali aku sakit parah di Damaskus, maka Syaikhul Islam datang menjengukku, sedang saya didera oleh demam dan
sakit yang berat. Maka Syaikhul Islam datang mendoakanku, lalu berkata kepadaku, „Bangunlah, keafiatan telah datang‟. Maka ketika ia berdiri dan
50
Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005 hal. 205-206
meninggalkanku, kesembuhan benar-benar telah datang kepadaku, dan aku sembuh setelah itu.
51
Untuk mengetahui lebih dalam lagi dedikasi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap usahanya menyebarkan syiar Islam, dapat dilihat dari beberapa
pandangan tokoh-tokoh Islam lainnya. Diantara beberapa pandangn tentang Ibnu Taimiyah ialah sebgai berikut:
1. Imam al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abdul Hadi
wafa tahun 744 H. berkata: “Dia adalah Syaikhl al-Imam ar-Rabbani,
imamnya para imam, mufti pemberi fatwa umat, samudra ilmu, penghulu para penghafal hadits, ahli makna dan lafadz, orang yang tiada duanya
pada masanya, Syaikh al-Islam, tanda zaman dan turjumal al-Qur ‟an, ahli
zuhud yang paling alim, ahli ibadah, penghalau para ahli bid‟ah dan salah seorang mujtahid terakhir, pendatang Damaskus dan pemilik beberapa
karya yang tidak ada padanannya. 2.
Imam al-Hafidz, ahli fiqih dan sastra Ibnu Sayyid an-Nas Fathuddin Abu al-Fath Muhammad al-
Ya‟muri al-Mishri al-Syafi‟i, ketika berbicara tentang al-
Mizzy berkata: “Dialah al-MIzzy yang menuntunku untuk melihat Syaikh al-Islam Taqiyuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul
Halim bin Abdus Salam bin Taimiyah. Saya melihatnya termasuk orang yang menddapatkan ilmu, hampir saja ia menguasai seluruh hadits dan
atsar secara hafalan, jika berbicara dalam bidang tafsir, maka ia adalah pembawa panjinya, jika ia berfatwa dalam fiqih, maka ia mengetahui
ghayah dan tujuannya, jika berbicara dalam hadits, maka ia adalah pemilik ilmunya dan mempunyai riwayatnya, jika dihadirkan dihadapannya ilmu
perbandingan agama al-Milal wa an-Nihal tidak terlihat orang yang lebih luas wawasanya dalam hal itu darinya. Ia menonjol dalam setia bidang
cabang ilmu atas sesamanya, tidak ada mata yang melihatnya kemudian
51
Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu
Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008 hal.
19-40
melihat yang semisal dengannya dan mata beliau tidak melihat orang yang semisal dengannya.
3. Imam Abu al-Hajjaj Yusub al-Mizzy wafat tahun 742 H. berkata: “ saya
tidak melihat semisalnya dan dia tidak melihat orang semisal dengannya. Saya tidak melihat orang yang lebih mengetahui tentang Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah dan tidak lebih mengetahui keduanya a- Qur‟an dan
sunnah dari padanya. 4.
al-Allamah Kamaluddin bin al-Zamlaki berkata: “Jika ditanya salah satu cabang ilmu, orang yang melihat dan mendengarnya menyangka bahwa
dia tidak mengetahui selain cabang ilmu tersebut dan menghukumi bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui cabang ilmu tersebut seperti dia.
Para ahli fiqih dari berbagai kelompok jika duduk bersamanya, mereka mengambil dari padanya faedah dalam mazhab-mazhab mereka yang tidak
mereka ketahui sebelumnya, tidak pernah diketahui bahwa beliau bermunadzarah berdebat dengan seseorang kemudian dia terputus
kalah, tidak berbicara dalam suatu ilmu baik ilmu syariah maupun ilmu yang lainnya kecuali ia mengungguli para ahlinya dan para ilmuan yang
menisbahkan dirinya pada ilmu tersebut, ia mempunyai tangan panjang dalam mengarang dengan bagusnya kata-kata pilihan, urutan, pembagian
dan penjelasan, dan terkumpul pada dirinya syarat- syarat ijtihad.”
52
5. Al-Qadhi al-Imam Ibnu Daqiq al-„Id berkata: “Ketika saya bertemu
dengan Ibnu Taimiyah, saya melihat seorang laki-laki yang pada dirinya terkumpul semua disiplin ilmu di hadapanya. Beliau mengambil apa yang
beliau inginkan dan meninggalkan apa yang beliau inginkan.” Dinukil oleh al-Allamah Shiddiq Hasan Khan dalam Abjad al-Ulum.
53
Dan masih banyak lagi pandang tokoh-tokoh Islam lainnya tentang Ibnu Tamiyah.
Namun demikian, Ibnu Taimiyah tidak selalu mendapat komentar positif. Banyak juga kalangan yang justru menyudutkannya, ia dituduh sebagai seorang
52
Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu
Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan......... hal. 42
53
Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc,
dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul.... hal. 13-14
yang tidak pernah naik haji atau melarang naik haji.
54
Bahkan pada tingakat yang paling ekstrim, Ibnu Taimiyah dituduh seorang “atheis”. Akan tetapi merupakan
suatu hal yang alamiah jika kekerasannya terhadap musuh-musuhnya mendatangkan reaksi yang keras juga. Ada juga yang menuduhnya zindik, seperti
Ibnu Bathuthah, Ibnu Hajar al-Haytami, Taqiyuddin al-Subki, Izzuddin bin Jama‟ah, Abu Hayyan al-Zhahiri al-Andalusi. Diantara mereka juga ada yang
memintak sultan untuk mengenakan sanksi kepadanya. Usulan itu mendapatkan sambutan. Beberapa tahun lamanya ia menjalani hidup dalam beberapa penjara di
Mesir dan Damaskus. Sebenarnya lawan-lawannya itu tidak mampu menandinginya dalam hal pengetahuan, tetapi mereka melebihinya dalam hal
persengkokolan. Demikianlah sedikit mengenai perkembangan spritual dan intelektual Ibnu
Taimiyah, dan bagaimana sikapnya yang sangat tegas dan bersungguh-sungguh dalam menegakkan kalimatullah di muka bumi ini. Ia tidak hanya menyerang
dengan pena, tetapi juga dengan sekuat tenaga dengan pedang, terlebih lagi dengan musuh-musuh Islam.
3. Karya-karya Ibnu Taimyah