1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
PembaharuanPemurnian merupakan
terjemahan bahasa
Barat “modernisasi,” atau dalam bahasa Arab al-tajdid, mempunyai pengertian “pikiran,
gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern.” Dengan jalan itu pemimpin-pemimpin Islam modern mengharap akan dapat melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran kepada
kemajuan.
1
Tajdid pembaharuan dalam istilah islam berarti menghidupkan kembali rambu-rambu Islam dan menegakkan kembali pilar-pilar Islamiyah agama ini
dengan menjaga nash-nash yang shahih secara bersih, dan membersihkan agama ini dari bid‟ah dan penyimpangan yang mengotorinya, baik dalam bidang
Nazhariyah pemikiran, Amaliyah ibadah maupun bidang Sulukiyah perilaku akhlak.
2
Ada sejumlah ayat yang dapat dikemukakan yang sering menjadi dasar bagi kaum muslim dalam mencari kemurnian Islam yaitu ayat al-Quran yang
paling sering dikutip adalah :
1
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang,1982hal. 1
2
Agus Hasan Bashari, LC. Mewaspadai Gerakan Kontekstualisasi al- Qur‟an, Surabaya:
Pustaka as-Sunnah 2003hal.35
Artinya : “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah ialah Islam”
QS. Ali Imran: 19; dan dalam surat al-Maaidah ayat 3 Allah berfirman :
Artinya: “Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kamu sekalian agamamu,
dan Aku sempurkan nikmat- Ku bagimu, Aku ridhai Islam sebagai agamamu” QS.
5: 3. Juga sebuah hadits yang sering dikemukakan adalah yang artinya: “Aku
tinggalkan untukmu dua perkara yang tidak akan sesat bila kamu sekalian memegangi keduanya yakni Al-
Quran dan Sunnah Rasulullah”. Gerakan kemurnian pembaharuan dilakukan karena terjadinya krisis
akidah, kemerosotan moral, kelemahan politik dan ekonomi, serta jumud dalam pemikiran. Dapat diartikan juga bahwa kondisi tersebut terjadi karena adanya
sikap yang melampaui batas dalam urusan agama yang tidak sesuai dengan syari‟at Islam.
Sesunguhnya sikap melampaui batas itu tidak hanya terdiri dari satu macam, melainkan terdiri dari beberapa macam tergantung dengan jenis perbuatan
yang dilakukan para hambah. Akan tetapi secara umum terbagi menjadi dua macam, yaitu:
i‟tiqadi atau yang berhubungan dengan akidah dan amali atau yang berhubungan dengan muamalah.
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan seseorang atau kelompok melenceng dari jalan yang lurus dan jauh dari manhaj yang benar yang telah
dibawa Rasulallah SAW dan manhaj para sahabat dan tabi‟in setelah mereka. Di antara faktor-faktor itu terdapat faktor-faktor yang bersifat eksternal dan internal.
Salah satu contoh faktor eksternal adalah masuknya para misionaris dari umat Yahudi, Majusi dan dari penganut agama-agama sesat lainnya ke dalam agama
islam dengan tujuan untuk melakukan tipu daya, serta ambisi mereka untuk menghancurkan islam lalu menggantikan agama islam dengan kesesatan. Mereka
melakukan itu dengan cara menjauhkan kaum muslimin dari agama mereka yang benar dengan menimbulkan keraguan di hati mereka terhadap agama mereka,
serta dengan membuat hal-hal baru di dalam agama yang bertentangan dengan apa yang telah dijalani oleh golongan Salafus-Shalih dari umat ini.
Sedangkan faktor internal terbagi menjadi dua bagian, yaitu faktor-faktor yang bersifat umum dan faktor-faktor yang bersifat khusus. Yang terpenting di
antara faktor- faktor umum adalah: berbuat bid‟ah, kebodohan, mengikuti hawa
nafsu, mengutamakan akal dari pada nash, fanatik mengikuti dengan membabi buta mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang telah ada dan melemparkan tuduhan
buruk kepada orang- orang dari golongan Ahli Sunnah wal Jama‟ah. Faktor khusus
ringkasnya adalah menentang atau bertetangan dengan manhaj Ahla Sunnah wal Jamaa‟ah dalam pandangan dan dalam pembuktian.
3
Akibat faktor-faktor tersebut salah satunya adalah kolonialisme Barat Yahudi, Majusi, dan lain-lain terhadap dunia Islam yang berkepanjangan
menyebabkan kehidupan kaum Muslim di permukaan bumi tercabik-cabik. Kehidupan mereka terhiasi formalisme keberagamaan, kehidupan mistik yang
tidak sehat, tahayul menggantikan sikap orisinal Islam yang kreatif, lenyapnya daya kritis dan keimanan terdesak menjadi ortodoksi yang sempit.
Situasi demikian meniscayakan umat Islam untuk mencari “sesuatu” sebagai tempat menggantungkan harapan untuk mendapatkan rasa aman. Sebagian
besar umat memilih untuk mengingat kembali masa lalu Islam yang gemilang. Masa kesempuranaan Islam yang telah menyejarah, yakni pada masa
Rasulullah dan para sahabat, zaman di mana Islam masih berada dalam wilayah yang masih terbatas. Islam dalam ruang dan waktu demikian didefinisikan
sebagai ideal, murni atau autentik. Islam autentik al-ashalah telah lama hilang dari masyarakat muslim, baik disebabkan kelalaian maupun oleh karena
“sengaja dicuri” orang lain.
4
Oleh karena itu, umat Islam memandang perlu mencari autentisitas Islam supaya umat Islam mendapatkan kembali
keemasannya. Salah satu toko pembaharu pada abat ke-14 adalah Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad ibnu Abd al-Halim ibnu Taimiyah, atau yang lebih dikenal
dengan syikh al-Islam Ibnu Taimiyah dari kalangan masyarakat hanbali.
3
Rusli, Rizal. Berlebih-lebihan dalam agama, jakarta: Pustaka Azzam 2002hl 86-89
4
Imam Khoiri. Dekontruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam. Yogyakarta: LkiS.2000hl. 19-20
Dalam tulisannya Ibnu Taimiyah yang berjudul Muhammadiyah dan Matarantai Pembaruan Islam, Haedar Nashir memaparkan bahwa jatuhnya
Kota Baghdad ke tangan pasukan Mongol pada 1258 telah menimbulkan dua kecenderungan. Pertama, masuknya praktik-praktik kehidupan dan keagamaan
yang bersifat mistis dan kemudian mencemari akidah dan moral umat kala itu, yang banyak penyimpangan dari kemurnian Islam. Kedua, kejatuhan politik
Islam, sehingga umat Islam menjadi lemah. Akibat dari dua hal tersebut kemudian umat Islam menjadi krisis secara akidah, merosot secara moral,
lemah secara politik, dan jumud secara pemikiran dan kondisi kehidupan. Dalam kondisi yang demikian itulah, muncul gerakan untuk memurnikan
kembali Islam dan melakukan pembaruan dalam kehidupan sebagaimana dipelopori oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 1263-1328 M untuk
memperbarui cara berpikir dan cara hidup umat Islam. Tema utama pemikiran Ibnu Taimiyah ialah gerakan al-ruju ila al-Quran
wa As-Sunnah kembali pada sumber ajaran Islam, yakni Alquran dan sunah. Dengan tekanan pada pemurnian akidah, gerakan ini sering disebut dengan muhyi
atsar al-salaf menghidupkan kembali ajaran ulama salaf yang saleh, yakni praktik ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW dan tiga
generasi sesudahnya, yakni generasi para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin. Gerakan pemurnian yang diusung Ibnu Taimiyah saat itu sejalan dengan
pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal, yang menghidupkan ajaran salafiyah, tetapi sekaligus membuka pintu ijtihad. Keras dalam ajaran akidah, tetapi terbuka pada
ijtihad. Karenanya, dalam perkembangan berikutnya, gerakan pemurnian tersebut menjadi bersenyawa dengan spirit ijtihad dan berorientasi pada bagaimana
membangkitkan kembali kemajuan umat Islam dari kemunduran dan kejumudan. Ibnu Taymiyyah memandang bahwa Islam telah dikotori oleh tasawuf dan tarekat
yang sama sekali tidak berorientasi kepada Sunnah Nabi. Tarekat yang dimaksud mengetengahkan konsep-konsep wali, wasilah, dan karamah yang mengandung
unsur khurafat dan syirik seperti kelompok sufi al-Ahmadiyah pasa masa Ibnu
Taimiyah.
5
Ibnu Taimiyyah berusaha menghilangkan itu semua dengan menyerukan “kembali kepada tauhid”.
6
Dari permasalahan ini, dan atas dasar pentingnya mengetahui bagaimana Islam yang sebenarnya dengan berlandaskan pada al-
Qur‟an dan as-Sunnah, maka penulis mengangkat sebuah judul:
“Peran Ibnu Taimiyah Dalam Pemurnian Aqidah Islam”. Dengan harapan dapat mengigatkan dan menumbuhkan rasa
kesadaran seluruh umat Islam terhadap pentingnya kemurnian akidah keyakinan sebagai modal dasar yang paling utama.
Adapun alasan memilih judul tersebut, yakni: 1.
Ibnu Taimiyah adalah sosok monumental sepanjang sejarah yang telah dilahirkan oleh sejarah. Umat ini sangat membutuhkan pribadi multi
dimensi seperti beliau; berwawasan luas, visioner, dan tak kenal menyerah. Beliau adalah prototipe ulama pembaharu yang memiliki
pemahaman Islam yang orisinil dan mendalam. Ilmu dan amalnya senantiasa membawa manfaat dan kemaslahatan bagi umat.
2. Memberi pemahaman yang jelas tentang kemurnian ajaran Islam. Salah
satu indikasinya adalah penerapan akidah yang benar tersebut dalam kehidup umat islam. Supaya sesuai dengan hakikat ajaran islam yang
sebenarnya yaitu kembali kepada al- Qur‟an dan as-Sunnah.
3. Kewajiban penulis sebagai mahasiswa jurusan pendidikan agama Islam
untuk membina dan menumbuh kembangkan nilai-nilai keagamaan, dengan titik penekanannya pada akidah tauhid sehingga memperoleh
keutamaan dalam taqarub ibadah kepada Allah, dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan duniawi.
4. Sebelumnya sudah ada mahasiswa program pascasarjana Institut Agama
Islam Negeri IAIN Imam Bonjol Padang dalam sebuah Tesisnya yang membahas tentang pemurnian ajaran agama Islam dalam pandangan Ibnu
5
Ibnu, Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu
Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008 hal.23-
24
6
Nurcholish, Madjid. Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina, 1997hal.157
Taimiyah. Akan tetapi ia lebih cenderung membahas masalah keterkaitannya atau pengaruhnya terhadapa gerakan Wahabi tanpa
menjelaskan dampak kemurnian Ibnu Taimiyah di Indonesia. Maka disini penulis merasa perlu untuk membahas dampak kemurniannya juga di
Indonesia. Demikian lebih dan kurang beberapa alasan penulis dalam memilih judul
di atas.
B. Identifikasi Masalah