Hakikat Pesantren Nilai Pesantren dalam Novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy dan Implikasinya Pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas XI SMA
tersebut adalah
jiwa keikhlasan,
jiwa kesederhanaan,
jiwa kemandirian, jiwa ukhuwah Islamiyah, dan jiwa kebebasan yang
bertanggung jawab. Adapun uraiannya sebagai berikut.
a. Jiwa keikhlasan
Jiwa ini tergambar dalam ungkapan “sepi ing pamrih”, yaitu
perasaan semata-mata untuk beribadah yang sama sekali tidak dimotivasi oleh keinginan memperoleh keuntungan-keuntungan
tertentu.
42
Jiwa keikhlasan dalam kehidupan pesantren diterapkan pada hal- hal yang kecil, misalnya dalam hal beribadah. Santri diharapkan akan
terbiasa untuk melakukan ibadah-ibadah yang wajib sampai sunnah dengan cara mewajibkannya terlebih dahulu menjadi bagian dari
keseharian santri, kemudian tujuan akhir yang pesantren harapkan adalah keikhlasan santri untuk menganggap ibadah sebagai kebutuhan.
b. Jiwa kesederhanaan
Kehidupan di pesantren diliputi suasana kesederhanaan yang bersahaja. Sederhana di sini bukan berarti pasif, melarat, nrimo, dan
miskin, melainkan mengandung kekuatan hati, ketabahan, dan pengendalian diri di dalam menghadapi berbagai macam rintangan
hidup sehingga diharapkan akan terbit jiwa yang besar, berani, bergerak maju, dan pantang mundur dalam segala keadaan.
43
Kesederhanaan dalam praktiknya di pesantren dapat dilihat dari hal yang paling pokok bagi manusia, yaitu sandang, pangan, dan papan.
c. Jiwa kemandirian
Berdikari, yang biasanya dijadikan akronin dari “berdiri di atas kaki sendiri”, bukan hanya berarti bahwa seorang santri harus belajar
42
Abdul Halim, Modernisasi Pesantren Studi Transformasi Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan Pesantren, Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2013, hlm. 44
43
Ibid.,hlm. 45
mengurus keperluannya sendiri, melainkan telah menjadi semacam prinsip bahwa sedari awal pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
tidak pernah
menyandarkan kelangsungan
hidup dan
perkembangannya pada bantuan dan belas kasihan pihak lain.
44
Kemandirian diterapkan sejak awal santri bermukim di pesantren. Jauh dari orang tua mengharuskan santri untuk berjuang sendiri.
Contoh sederhananya santri harus mengelola kebutuhan hidupnya dari mulai belanja sabun mandi, merapikan kasur dan lemari serta mengatur
keuangan dari kiriman orang tua.
d. Jiwa ukhuwah islamiyah
Suasana kehidupan di pesantren selalu diliputi semangat persaudaraan yang sangat akrab sehingga susah dan senang tampak
dirasakan bersama tentunya, terdapat banyak nilai-nilai keagamaan yang melegimitasinya.
45
Penerapan ukhuwah islamiyah dalam pesantren dapat terlihat dari kebersamaan yang santri jalani sehingga tercipta keakraban di antara
mereka. Kegiatan-kegiatan yang berlangsung bersama-sama misalnya salat berjamaah, tidur pada kamar yang sama, jam makan yang
bersamaan, mengantri pada kamar mandi yang sama, serta berada dalam satu kelompok mengaji. Kebersamaan inilah yang akhirnya
menimbulkan kasih sayang di antara para santri. Ketika salah satu santri sakit, maka teman santri yang lainnya lah yang pertama kali tahu
dan merawatnya. Ketika teman belum mendapat kiriman dari orang tua, maka masih ada teman santri yang bisa meminjamkan uang. Hal
ini terlebih karena mereka berada pada posisi yang sama dan adanya kasih sayang di antara mereka.
44
Ibid.,hlm. 45
45
Ibid.,hlm. 45
e. Jiwa kebebasan
Para santri diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya kelak di tengah masyarakat. Mereka bebas menentukan masa depannya-dengan
berbekal jiwa yang besar dan optimisme yang mereka dapatkan selama ditempa di pesantren.
46
Pesantren di masa sekarang tidak mewajibkan santrinya kelak hanya untuk menjadi ulama. Santri dibebaskan menjadi apapun selama
bermanfaat bagi orang lain. Hal ini terlihat dari kebebasan santri untuk memilih menjadi apapun dan pesantren dapat mengakomodirnya.
Misal ketika santri ingin menjadi atlet, maka pesantren tidak akan melarang santri tersebut untuk mengejar prestasinya dan bahkan
mengakomodirnya dengan cara mengikutkan santri tersebut ke berbagai kompetisi, salah satunya Pospenas Pekan Olahraga dan Seni
antar Pondok Pesantren Tingkat Nasional. Selain nilai-nilai di atas, terdapat nilai-nilai lainnya menurut pendapat
Lanny Octavia dkk dalam buku Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, sebagai berikut:
1. Cinta Tanah Air
Para ulama pesantren telah merumuskan konsep persaudaraan yang terjalin antar sesama Muslim ukhuwaah Islamiyah, antar sesama
anak bangsa ukhuwwah wathoniyyah dan antar sesama manusia ukhuwah basyariyyah. Konsep persaudaraan ini dirumuskan oleh
KH. Achmad Siddiq, pimpinan Pondok Pesantren As-Siddiqiyah di Jember, mantan Ketua Rais Suriyah PBNU dan sekretaris pribadi KH.
Wahid Hasyim pada tahun 1950. KH. Abdurrahman Wahid Gus Dur kemudian menyebarluaskan, memberi pemaknaan lebih mendalam dan
46
Ibid.,hlm. 46
menerapkan konsep tersebut dalam pergaulan yan lebih luas, di mana seluruh ulama pesantren pun ikut mengamini langkah tersebut.
47
2.
Kasih Sayang
Sebagai lembaga pendidikan agama, pesantren memiliki peran dan tanggung jawab dalam pengembangan kasih sayang kepada santri.
Dalam praktiknya pendidikan kasih sayang di pesantren dilakukan dengan cara-cara berikut:
Pertama, para kiai dan ustaz memberikan kesempatan dan mendorong para santri dengan berbagai cara dan momentum untuk
menunjukan kepedulian terhadap orang lain. Kedua, menciptakan suasana emosional; yang kondusif seperti saling menghargai,
menerima, menyayangi, menghibur dan membantu teman dan sebagainya. Ketiga, pesantren menyediakan model perilaku sosial yang
positif. Kiai mencontohkan hal-hal yang baik yang bisa diteladani santrinya. Keempat, memberikan dukungan dan penguatan pada para
santri. Kelima, pesantren menyediakan sarana yang mendorong tumbuhnya kasih sayang di dalam jiwa para santri, seperti kitab-kitab,
kegiatan-kegiatan keagamaan, diskusi bertema sosial, dan latihan merespon permasalahan atau kesulitan yang dialami orang lain secara
positif.
48
3. Kedamaian
Kedamaian dalam tradisi pondok pesantren terdapat pada gaya hidup keseharian, dan cara pandang keagamaan dalam merespon dan
menyikapi persoalan kemanusian. Pertama, kedamaian dalam konteks gaya hidup kiai dan para santri hidup secara damai, senantiasa dalam
suasana belajar dan mengaji atau tafaqquh fi al-din belajar- mengajarseputar agama, jauh dari hiruk pikuk kehidupan duniawi.
47
Lanny, Octavia, dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, Jakarta: Renee Book, 2014, hlm.32-33
48
Ibid.,hlm. 52-53
Kedua, kedamaian dalam konteks cara-pandang keagamaan. Dengan penguasaan atas kekayaan khazanah kitab kuning, kiai dan santri tidak
memahami Islam secara sempit, literalis, dan kaku. Mereka menyuguhkan pemahaman Islam yang rahmatan lil alamin kasih
sayang bagi seluruh alam, anti kekerasan dan cinta damai. Pemahaman keislaman inilah yang diajarkan pada para santri di
pondok pesantren.
49
4. Toleransi
Di pesantren, tradisi toleransi terbentuk oleh pengaruh kitab fikih klasik yang membahas suatu persoalan dari berbagai sudut pandang
yang berbeda. Perbedaan pendapat ulama ikhtilaf al – ulama
mendorong para kiai dan santri untuk fleksibel dalam menyikapi perbedaan dan tidak mudah menyalahkan pihak lain. Kemajemukan
pandangan dalam tradisi fikih pesantren merasuk ke dalam alam bawah sadar kiai dan santri dan membuat mereka tidak fanatik karena
terbiasa mendapati banyak pandangan dalam kehidupan. Dalam lingkup mazhab Syafi’i saja hukum fikih tidak tunggal, apalagi jika
dibandingkan dengan fikih mazhab lainnya. Realitas perbedaan ini biasanya dibahas secara bersama secara musyawarah dalam bentuk
diskusi atau bat sul masa‟il. Sementara itu, orang yang terdoktrin
dengan pemahaman tunggal dalam menafsirkan ayat cenderung beragama keras radikal.
50
5. Kesetaraan
Kesetaraan berasal dari kata tara, yang berarti sama tingkatan dan kedudukan. Dengan demikian, kesetaraan menunjukan adanya
tingkatan atau kedudukan yang sama. Kesetaraan diperoleh melalui sikap dan perlakuan yang sama terhadap sesama manusia, tanpa
49
Ibid.,hlm. 70-71
50
Ibid.,hlm. 101-102
membedakan warna kulit, suku, agama, jenis kelamis, kelas sosial- ekonomi dan sebagainya.
51
KH. Muhammad Nashih Sachal, Lc., salah satu pimpinan Pondok Pesantren Syaichona Moch. Cholil Bangkalan Madura, mengutip dalil
Al- Quran, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah
adalah yang bertakwa kepada-Nya ,” yang mengaskan bahwa semua
manusia sama dalam pandangan Allah, baik kaya ataupun miskin, pejabat ataupun rakyat kecil. Jika dalam konteks agama yang
membedakan mereka adalah kadar ketakwaannya saja, maka dalam konteks negara yang menjadi ukuran adalah moral dan etika dalam
berhubungan dengan berbagai kelompok.
52
6. Musyawarah
Dalam sebuah kalam hikmah dikatakan, “Separuh akalmu terdapat pada saudaramu. Maka bermusyawarahlah agar engkau memiliki akal
yang utuh dan sempurna .” Kalam hikmah inilah yang barangkali
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kegiatan pembelajaran santri-santri di pesantren. Selain menggunakan metode sorogan,
bandongan, atau weton, pendidikan di pesantren juga diajarkan menggunakan metode musyawarah atau dalam bahasan yang lebih
dikenal dengan istilah batsul masail. Forum ini pada dasarnya memfasilitasi para santri dalam penguatan keilmuan dan peningkatan
kecakapan retorika berbicara. Di samping memiliki muatan luhur yakni para santri diajak berpikir, berpendapat, berdebat dan
berpolemik secara argumentatif dan sistematis. Dalam lain ungkapan, melalui forum inilah para santri juga dilatih untuk menyampaikan
statemen, ide, gagasan, wacana atau pandangannya secara teratur, tertata, lugas dan mudah dipahami. Capaian pendidikan santri melalui
metode musyawarah atau batsul masail inilah pda gilirannya dapat
51
Ibid.,hlm. 111
52
Ibid.,hlm. 125
mengantarkan mereka secara sosiologis-akademik memiliki keilmuan Islam yang memadai dan kecakapan dalam berkomunikasi.
53
7. Tradisi „Roan’ : Gotong Royong di Pesantren
Salah satu istilah yang populer digunakan untuk menunjukan aktivitas gotong royong atau kerja bakti yang melibatkan banyak santri
di pesantren adalah kegiatan „roan’. Istilah ini banyak digunakan di beberapa pesantren, terutama di daerah Cirebon. Di Pondok Pesantren
Babakan, Ciwaringin, Cirebon, misalnya, kegiatan ini dilakukan pada hari Jumat pagi. Selain dianggap efektif karena kegiatan pendidikan di
pesantren diliburkan, kegiatan di madrasah-madrasah juga libur. Bagi para santri, kegiatan roan ini memiliki pelajaran tersendiri, terutama
memupuk mereka dalam kebersamaan dan kepedulian terhadap hal-hal yang baik. Mereka menyadari arti penting bahwa kesulitan apa pun
dalam bebankerja jika dilakukan dalam kebersamaan atau bersama- sama akan terasa mudah dan relatif lebih cepat selesai.
54
8. Kepedulian Sosial
Salah satu bentuk kepedulian ditunjukkan oleh para eksponen Pondok Pesantren Rakha, yang memiliki visi mengurangi angka
kemiskinan. Salah satu pengurusnya KH. Zainal Abidin, yang juga merupakan Direktur Eksekutif LSM Yayasan Dinamika Inovasi
Swadaya, turut mengadvokasi masyarakat dayak di Kotabaru dalam mempertahankan hutan sakral tempat pemujaan mereka dari ancaman
eksploitasi pengusaha. Sementara itu, pemihakan terhadap warga sekitar juga ditunjukkan oleh Pesantren Darussalam, khususnya terkait
dengan kesempatan mencari nafkah melalui sektor informal. Keberadaan pesantren ini dengan ribuan santrinya, menumbuhkan
perekonomian lokal. Saat istirahat, para santri mengunjungi deretan
53
Ibid.,hlm. 144-145
54
Ibid.,hlm.163-164
kios makanan yang diberi tempat di area halaman pesantren. Dengan demikian keberadaan pesantren secara nyata ikut memberi berkah
rezeki kepada warga di sekitarnya.
55
9. Tanggung Jawab
Pesantren merupakan sebuah wilayah yang memiliki budayanya tersendiri, sebagai sub-kultur di tengah kultur nusantara lainnya.
Proses interaksi dan afiliasi di pesantren berbeda dengan lingkungan non-pesantren. Pesantren memiliki cara tersendiri dalam melaksanakan
pembelajaran dan menanamkan jiwa agamis dan nasionalis pada santri.
Salah satu nilai yang menonjol di pesantren adalah tanggung jawab, baik terhadap diri sendiri, lingkungan, orang tua, masyarakat, bangsa
dan negara. Para kiai nyai dan ustaz ustazah bertanggung jawab memberikan pendidikan keagamaan kepada para santri, baik melalui
kajian kitab maupun teladan nyata. Sementara santri bertanggung jawab untuk belajar dan mengaji secara sungguh-sungguh serta
mengamalkan ilmu yang diperolehnya dalam kehidupan.
56
Selain itu, para santri juga dididik menjadi manusia bertanggung jawab melalui organisasi, di mana masing-masing bagian mempunyai
tugas dan tanggung jawab sendiri. Hukuman –atau dalam istilah
pesantren disebut ta‟zir – juga merupakan salah satu metode memupuk
kesadaran para santri supaya bertanggung jawab.
10. Penghargaan
Penghargaan bukanlah sekadar norma yang diajarkan di pesantren, tetapi juga dicontohkan oleh para kiainyai, ustazustazah, dan para
santriwanwati. Para kiai dan ustaz adalah suri teladan bagi santri dan masyarakat di sekitarnya. Penghargaan mereka terhadap ilmu-ilmu
55
Ibid.,hlm. 174
56
Ibid.,hlm. 188
keagamaan ditunjukkan melalui pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka pun menghargai para santri sebagai penuntut ilmu
thalib al-ilm. Perhatian dan kasih sayang mereka terhadap santri ditunjukkan dengan nasihat dan doa agar mereka kelak menjadi orang-
orang yang bermanfaat dan berkah ilmunya serta bisa mengajarkannya kepada masyarakat.
Di sisi lain, para santri pun tentunya menghargai kiai yang mengasuh mereka di pesantren. Di Pesantren Bali Bina Insani,
misalnya, para santri menyebut sang kiai KH. Ketut Jama dengan panggilan “ayah”. Para santri merasakan ikatan batin yang kuat dengan
kiai yang dianggap sebagai orangtua sendiri. Selain menghormati kiai, para santri juga menghormati keluarga kiai. Di Jawa misalnya,
panggilan “Gus” adalah salah satu bentuk penghormatan para santri terhadap putra kiai, dan “Ning” sebagai penghormatan terhadap kiai
putri kiai. Ketika berhadapan dengan kiai dan keluarganya, para santri akan menggunakan bahasa halus kromo inggil, bebasan, Sunda
lemes. Para santri pun mendengarkan dan mematuhi perkataan kiai, sam‟an wa tha‟atan. Begitu pentingnya arahan kiai, sehingga para
alumnus pesantren rata-rata tetap bersilaturahmi dan sowan kepada kiai-kiai mereka.
Selain itu, penghargaan juga diwujudkan antar sesama santri walaupun mereka datang dari berbagai macam daerah, suku, bahasa
dan budaya yang berbeda. Keragaman dianggap sebagai kekayaan yang harus dijaga, dihargai dan dirayakan. Jaringan dan pergaulan
nasional tersebut berlanjut setelah mereka terjun di tengah masyarakat. Santri yang ideal bukanlah mereka yang cerdas dan pandai menguasai
pelajaran dan pengajian, melainkan mereka yang berakhlak mulia dan mengamalkan ilmunya. Santri pun menghargai dan menghormati santri
yang lebih tua dan santri yang lebih lama mengenyam pendidikan di pesantren.
57
11. Kemandirian
Sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia, pesantren memberikan perhatian penting terhadap nilai dan praktik
kemandirian. Para santri sejak dini dididik untuk menjadi pribadi yang mandiri agar bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan dan
masa depan kehidupannya. Masa-masa penanaman nilai kemandirian di pesantren inilah yang sering kali disebut banyak kalangan
memberikan kontribusi pada pembentukan kepribadian manusia yang bertanggung jawab.
58
12. Kejujuran
Tujuan fundamental pendidikan adalah menanamkan nilai kejujuran kepada peserta didiknya. Kejujuran bukan hanya dimilki
wilayah kognisi semata, melainkan dipraktikkan dalam kenyataan kehidupan. Hal yang paling menonjol nilai kejujuran di pesantren
diwujudkan dengan sikap jujur pada diri sendiri. Para santri hidup menampilkan diri sendiri dengan apa adanya, dalam istilah pesantren
tidak „neko-neko’ atau „ita-itu’. Sehingga terkesan kehidupannya penuh dengan kesederhanaan, tak mengenal gengsi, dan tak menghias
diri secara berlebihan. Para santri pun jika ada yang bersalah, melanggar tata-tertib pesantren atau madrasah, mereka mengakui
kesalahan, tidak menghindar atau mencari-cari alasan dan siap menerima sangsi sebagai konsekuensi dari perbuatannya itu.
59
57
Ibid.,hlm.201-202
58
Ibid.,hlm. 214
59
Ibid.,hlm. 244
13. Sikap Tawaduk
Tawaduk atau rendah hati kerap ditemui di kalangan pesantren. Hal ini ditunjukan dengan tidak mengemukakan pendapat jika tidak
mengerti atau tidak meraa cukup argumentasi. Ketika mengajar dalam sebuah pengajian, seorang ustaz tidak akan menganggap pendapatnya
sebagai yang paling benar. Di akhir pengajian selalu diucapkan sebuah kata-kata yang mendeklarasikan bahwa hanya Allah yang Maha Tahu.
“Wallahu a‟lam bi al-shawab”
60
14. Kesabaran
Di antara sekian banyak akhlak yang harus ada di dalam diri setiap Muslim, kesabaran adalah yang paling banyak disebutkan dalam Al-
Quran, bahkan disebutkan lebih dari seratus kali. Hal ini tidak lain karena kesabaran merupakan pusat dari segala macam akhlak baik.
Kalau kita menelisik lebih dalam mengenai suatu kebaikan, kita akan menemukan bahwa landasannya adalah kesabaran; iffah menjaga
kesucian diri adalah menahan diri dari nafsu syahwat dan menahan pandangan dari suatu yang diharamkan. Zuhd tidak suka pada
keduniawian adalah menahan diri dari kehidupan yang berlebihan. Qanaah merasa puas dengan apa yang dimilikinya adalah menahan
diri dari berlebih-lebihan dan merasa puas dengan apa yang dimiliki. Hilm lemah lembut adalah menahan diri dari amarah. Waqr bersikap
tenang adalah tidak tergesa-gesa dan tidak kurang akal. Berani adalah menahan diri dari hal-hal yang mendorong untuk melarikan diri.
Memaafkan adalah menahan diri untuk tidak melakukan balas dendam. Dermawan adalah menahan diri untuk tidak memenuhi panggilan
kekikiran. Semangat adalah menahan diri dari sesuatu yang mengajak pada kelemahan atau kemalasan.
61
60
Ibid.,hlm. 258
61
Ibid.,hlm. 270
Dunia pesantren memang akrab dengan kesabaran. Baik dalam pembelajaran, cara dan sikap hidup maupun saat menyelesaikan
berbagai persoalan. Di Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid, hal itu diajarkan dalam pendidikan dan perilaku keseharian. Menurut KH.
Sudein Muhammad, kesabaran dan keikhlasan menjadi nafas penting dalam kehidupan pesantren. Demikian juga dengan ajaran Islam yang
menganjurkan setiap umatnya untuk bersikap sabar dalam menghadapi cobaan dan terus berusaha untuk melakukan yang terbaik di dalam
hidup. Para pengasuh mengekspresikan kesabaran dengan sikap qanaah, yaitu menerima apapun yang telah diberikan oleh Allah swt
dan tidak berupaya untuk hidup secara berlebihan.
62
15.
Kesungguhan
Keagungan diraih dengan kesungguhan, bukan semata dengan [alasan] keturunan. Apakah ada [keagungan] keturunan yang diraih
tanpa kesungguhan? Banyak hamba menyandang pangkat merdeka, banyak pula orang merdeka berpangkat hamba sahaya. [Syekh al-
Zarnuji, Ta’lim al-Muta’alim]. Kutipan kitab Ta’lim al-Muta’alim di
atas menjelaskan tentang arti kesungguhan. Ta’lim al-Muta’alim adalah kitab yang di kebanyakan pesantren pelajari.
Secara kebahasaan, kata kesungguhan bersalah dari kata dasar „sungguh’, yang berarti ulet, rajin, dan kerja keras. Dalam bahasa
Arab, kesungguhan dipadankan dengan kata jiddun, jihad, ijtihad, dan mujahadah yang berarti mengerahkan segala daya upaya untuk
melakukan sesuatu.
63
Usaha yang kita lakukan akan menentukan hasil yang kita peroleh. Mereka yang berusaha lebih keras tentu akan mendapatkan hasil yang
jauh lebih optimal dibandingkan dengan mereka yang usahanya tidak besar. Orang-orang besar yang berhasil dalam hidup ini adalah mereka
62
Ibid.,hlm. 272-273
63
Ibid.,hlm. 224
yang berani mengambil risiko besar untuk mendapatkan hal yang besar.
Dalam dunia pesantren, santri diwajibkan belajar bahasa Arab dan membaca kitab „gundul’ tanpa harakat. Hal ini tentu memerlukan
kesungguhan dan keseriusan untuk mempelajarinya. Usaha yang ditempuh bisa dengan membuat jadwal khusus setiap hari untuk
mempelajari bahasa
Arab, mengoleksi
buku-buku panduan,
berkonsultasi dengan orang-orang yang menguasai ilmunya, dan banyak lainnya. Selain itu diperlukan pengorbanan baik waktu, tenaga,
dan uang.
64