Nilai Pesantren Nilai Pesantren dalam Novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy dan Implikasinya Pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas XI SMA
lemari dua pintu. Kamar yang memuat empat ranjang tingkat akan dihuni delapan santri dan seterusnya.
77
b. Ukhuwah Islamiyah
Nilai ukhuwah islamiyah tentu salah satu yang mendasari kehidupan yang terdapat dalam pesantren. Hal ini dimaksudkan salah satunya agar kelak ketika
terjun di masyarakat, santri bisa menjalin persatuan umat, dimulai denganukhuwah islamiyah yang dipupuk dari menjadi santri. Salah satu bentuk
penanaman nilai ukhuwah islamiyah dalam pesantren adalah dengan tidak membeda-bedakan suku ataupun asal santri lainnya berasal. Pesantren
menerima semua santri dari berbagai daerah bahkan negara. Hal itu sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut.
Saat pertama kali masuk pesantren, aku menghuni kamar nomor 24 yang memuat enam ranjang tingkat dan enam lemari, tentu saja
dengan penghuni dua belas santri baru, dengan bermacam karakter dan penampilan. Kami datang dari seluruh penjuru negeri ini, dari
Bogor, Sumbawa, Padang, Bali, Kalimantan, Jakarta, Kendari, ambon, bahkan juga dari Malaysia, India, dan Brunei. Terdapat
juga beberapa santri dari Pattaya, Thailand.
78
Kemajemukan yang terdapat dalam kehidupan pesantren, menjadi gambaran awal bagaimana santri menyikapi perbedaan karakter, sifat, dan watak
temannya. Kehidupan pesantren yang berlangsung selama 24 jam, 7 hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun akan memberi pelajaran mengenai
perbedaan tersebut. Di sinilah tugas santri bersama agar dapat menjalin ukhuwah islamiyah.
Ukhuwah islamiyah yang berarti persaudaraan Islam adalah jiwa yang mengganggap saudara seagamanya bak saudaranya sendiri. Seperti dalam kutipan
berikut. “Masa kau tidak tahu? Aku kan berguru padamu, membaca dirimu,
membaca bakat dan keinginan-keinginan tersembunyimu. Sebab itu, aku mengagumimu, Jora. Dalam setiap keindahan dan
kebaikan, agaknya Tuhan selalu berpihak kepadamu. Dia
77
Ibid., hlm. 58
78
Ibid., hlm. 59
mengunggulkanmu melebihi yang lain dan kau menyambutnya dengan cinta dan kesalehan. Intuisiku mengatakan, kau adalah
kekasih Tuhan. Pantas kau begitu merindui-Nya. Kupikir, tidak hanya mereka yang cemburu, aku pun cemburu padamu. Tetapi aku
menyayangimu, sangat-
sangat menyayangimu.”
79
Pada kutipan di atas digambarkan bahwa Elya sangat menyayangi Jora walau tanpa pertalian saudara ataupun keluarga. Hal ini semata-mata karena rasa
kagum atas kesalehan Kejora kepada Rabb-Nya. Dalam kehidupan di pesantren, rasa ukhuwah islamiyah akan terjalin karena merasa berada pada posisi yang
sama, yaitu menuntut ilmu di pesantren. c.
Keikhlasan Pada hakikatnya, pesantren ingin menumbuhkan jiwa keikhlasan untuk
melakukan ibadah tanpa menuntut keuntungan-keuntungan tertentu. Ibadah dilakukan semata-mata karena kebutuhan rohani yang dirasa perlu dipenuhi.
Meski ibadah dalam pesantren adalah suatu hal yang wajib dilakukan oleh santri, namun tujuan akhirnya agar kelak santri merasa ibadah adalah kebutuhan.
Keikhlasan beribadah dalam novel Geni Joraterlihat dalam kutipan sebagai berikut:
Mengungsi dari kebekuan di kamar bersama kejahatan Soraya, dari kebosanan hidup di asrama, dari berbagai keinginan remaja yang
terpasung oleh berbagai batasan dan peraturan, kunaiki jalan layang bersama malam dan bintang-bintang. Bunyi kuangwung di dahan
nyiur, tarian kunang-kunang di atas rumputan yang menghampar luas di bawah kakiku, di atas jalan layang ini, di pucuk panggung
pertunjukan ini, kubentangkan semua mimpi tersembunyi, imajinasi-imajinasi yang terkunci, ke hadapan batin cakrawala.
Kubuka semua pintu dan sekat-sekat, cadar kebebasan, dalam keheningan paling tinggi yang dimiliki alam. Tahajudku di luar
atmosfer. Hingga subuh pelan mendesir.
80
Pada kutipan di atas menjelaskan bahwa tahajud dan salat malam bagi Kejora adalah semata sebaik-baiknya pelarian dari penatnya kehidupan di dunia.
Kejora yakin hanya dengan bermunajat kepada-Nya, maka semua sekat-sekat dan
79
Ibid., hlm. 126
80
Ibid., hlm. 63
cadar kebebasan bisa dihempaskan di keheningan malam dalam shalat tahajud yang Kejora lakukan. Pada kehidupan santri, ibadah dilakukan sebagai bentuk
kebutuhan dan bukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Ikhlas menerima cobaan adalah bagian dari jiwa keikhlasan yang dipupuk
dalam kehidupan di pesantren. Hal ini sebagaimana terdapat pada kutipan berikut. Seharian, Sonya uring-uringan. Ia mendiamkanku. Jika naik
ranjang menjelang tidur, kakinya menginjakkan tangga ranjang tingkat kami dengan keras hinggs menimbulkan getaran yang
cukup mengganggu. Ia akan mengulang-ulang tingkahnya hingga melihat aku kehabisan akal untuk menahan kesabaran. Dari atas
ranjangnya, Sonya akan membersihkan debu kasur, kadang dengan memukul-mukulnya agar semua debu keluar mengotori permukaan
wajahku dan mengganggu pernapasanku selagi aku tidur di bawahnya.
81
Tingkah laku Sonya yang bisa dianggap keterlaluan, membuat Kejora sudah pada tahap ikhlas untuk menerimanya dan memilih tidak membalasnya.
Sikap Kejora dalam menghadapi orang yang telah berbuat buruk kepadanya, sangat pantas ditiru. Jiwa keikhlasan akan membawa hati menuju ketenangan.
d. Tanggung Jawab
Kehidupan pesantren identik dengan segala tata tertib yang berlaku. Bentuk tata tertib tersebut, selain untuk mendisiplinkan santri. Juga sebagai
bentuk tanggung jawab santri terhadap pesantren. Pesantren yang kebanyakan mewajibkan santrinya untuk bermukim dengan segala jadwal kegiatan yang ada,
kedisiplinan memegang peran penting agar semua kegiatan di dalam pesantren dapat berjalan dengan lancar. Di pesantren Jora menimba ilmu, terdapat tata tertib
yang bertujuan untuk mendisiplinkan santri yang masuk. Seperti tertulis pada kutipan berikut.
Di samping kurikulum yang bagus, pesantren kami dikenal sangat disiplin dan ketat. Saat pertama masuk pesantren, pemandangan
aneh yang pertama yang kulihat adalah saat memasuki pintu ketiga. Ada tiga pintu harus dilewati untuk sampai ke dalam asrama
81
Ibid., hlm. 58
pesantren. Di pintu terakhir ini, terdapat sebuah ruangan bernama “Ruang Pemeriksaan”. Duduk di dalamnya seorang encik
panggilan perempuan keturunan Arab bernama Rahmah yang biasa dipanggil Encik Rahmah dengan kacamata plus bertangkai
frame warna cokelat tua serta seonggok tas kulit cokelat yang senantiasa tertutup di samping kirinya, ia duduk di atas kursi
sambil mengulum permen cina beraroma cengkih kesukaannya.
82
Pada kutipan di atas, terdapat ruang pemeriksaan yang bertujuan memeriksa santri dari segala barang yang bersifat duniawi dan berlebih-lebihan.
Barang-barang yang bersifat demikian, akan dirampas demi kebaikan santri itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa santri dalam prosesnya menuntut ilmu, wajib
menanggalkan sifat-sifat yang bersifat duniawi agar selalu ingat bahwa tujuannya berada di dalam pesantren semata ingin menuntut ilmu.
Hal yang dapat memupuk nilai tanggung jawab yang berikutnya terdapat pada kutipan sebagai berikut:
Jam tidur kami adalah pukul sepuluh malam, tetapi satu jam sebelumnya, ada bel berbunyi yang merupakan bel peringatan bagi
santri-santri yang suka keluyuran untuk segera memasuki kamar masing-masing. Di atas pukul sepuluh malam, tak ada satu santri
pun yang boleh berada di luar kamar, kecuali untuk keperluan ke kamar mandi. Baru di atas pukul dua belas malam, diperbolehkan
keluar untuk qiyamul lail atau belajar di mushala, di kelas, atau di tempat-tempat yang terang, seperti di atas jalan layang yang
membentang antara kamar enam hingga kamar khusus para ustadzah atau di atas panggung pertunjukan dengan lampu yang
cukup terang.
83
Pada kutipan di atas, diterangkan tentang tata tertib mengenai waktu jam tidur. Sebagai seorang yang menuntut ilmu di pesantren, kedisiplinan dianggap
penting karena santri hidup di suatu tempat tanpa pendampingan orang tua. Dan ditambah banyaknya kegiatan yang santri harus dijalani, membuat kedisiplinan
penting untuk ditaati agar semua kegiatan berjalan dengan lancar. Selain kedisiplinan yang berkaitan dengan rutinitas yang harus dijalani,
terdapat beberapa peraturan yang menyangkut akidah keislaman. Salah satunya,
82
Ibid., hlm. 59
83
Ibid., hlm. 62
pelarangan tingkah laku yang menyerupai ketertarikan sesama jenis. Seperti terdapat pada kutipan sebagai berikut:
Biasanya, para pelaku lesbian akan dihukum cambuk sebanyak delapan puluh kali dengan perincian : dua puluh kali untuk tangan
kanan, dua puluh kali untuk tangan kiri, dua puluh kali untuk kaki kanan, dan dua puluh untuk kaki kiri. Lalu mereka dikirim kembali
pulang kepada orangtua masing-masing setelah wali murid dipanggil dan diberi wejangan tentang perilaku para putri mereka
oleh
mudirul ma‟had. Dalam seluruh kehidupan pesantren, kejahatan lesbian merupakan kejahatan paling tidak terampuni
84
Gambaran hukuman yang tertera pada kutipan di atas adalah salah satu bentuk kedisiplinan agar santri tetap berada pada koridor yang benar. Hukuman
merupakan bagian dari kedisiplinan. Hukuman dapat menjadi instrumen pendidikan bagi para santri yang bermasalah, dengan pola hukuman yang bersifat
mendidik. Kembali lagi pada tanggung jawab yang santri pikul. Berani berbuat, berani bertanggung jawab.
Selain peraturan di atas, terdapat peraturan di pesantren Kejora yang muncul karena adanya kasus penerimaan santri baru tanpa penyeleksian terlebih
dahulu. Hal ini terdapat pada kutipan sebagai berikut. Bersama Elya, aku membicarakan kebijaksanaan pesantren dalam
hal penerimaan para santri baru. Seharusnya, pesantren lebih selektif dan hati-hati, terutama terhadap sampah busuk yang
hendak mencari nama harum melalui citranya. Salah-salah, justru pesantren yang kena batunya. Aku senang saat mengetahui bahwa
mudirul ma‟had berkeputusan untuk mengembalikan para santri baru yang telah kronis penyakit moralnya ke hadapan orangtua
mereka masing-masing, dengan pertimbangan bahwa pesantren ini dikhususkan untuk tempat
tholabul „ilmi dan bukan tempat untuk rehabilitasi.
85
Bentuk tanggung jawab pesantren di mana Kejora sekolah adalah menjadi tempat para santri menuntut ilmu. Bukan sebagai tempat rehabilitasi calon-calon
santri yang bermasalah. Hal ini bukan suatu bentuk melempar tanggung jawab, karena sebenarnya tiap pesantren ketika awal didirikan mempunyai tujuan
84
Ibid., hlm. 119
85
Ibid., hlm. 76
tersendiri. Namun, tidak sedikit pesantren yang memang dikhususkan sebagai tempat rehabilitasi.
Pengaruh nilai tanggung jawab pada karakter Jora dapat terlihat dari kutipan berikut, kondisi ketika Kejora sudah keluar dari pesantren, namun tetap
memegang teguh tanggung jawab dirinya terhadap agamanya. Setelah enam tahun menyeberangi lautan ilmu di pesantren, tidak
lantas membuatku kedinginan untuk berjemur di bawah hangatnya matahari cinta seorang Zakky.
“Tak ada sebiji mata pun mengawasi kita. Tidak juga Elya,” selalu ia berkata.
“Lalu, di mana Tuhanmu saat ini? Allah kita yang kau sebut-sebut dengan suara parau itu. Di mana dia sekarang, Zakky?”
86
Pada kutipan di atas diceritakan ketika Kejora dan Zakky berada di Damaskus untuk menghadiri berbagai macam aktivitas, Zakky kerap kali
menawarkan untuk menginap dalam satu kamar dengan alasan romantis. Namun, Kejora tetap bersikeras untuk memesan kamar yang berlainan. Hal ini berarti
Kejora memegang teguh nilai tanggung jawab dirinya terhadap agamanya. e.
Tawaduk Tawaduk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rendah diri atau
rendah hati. Sikap ketawadukan adalah salah satu identitas seorang santri di pesantren. Baik ustaz maupun kiyai adalah orang-orang yang wajib dipatuhi
perintahnya, selama berada pada koridor yang benar dan menuju kebaikan. Dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy berikut, terdapat kutipan dialog
beserta peristiwa yang menunjukkan sifat tawadhu sebagai berikut: “Jika sekali lagi berani mengacau, saya persilakan keluar dari
ruangan ini. Paham?”
“Paham, Ustadz.” “Pandang mataku Paham?”
“Paham sekali, Ustadz.”
86
Ibid.,hlm. 18
Ternyata, Namya tidak memiliki keberanian memandang mata Ustad Omar. Ia terus menunduk dan tetap cegukan.
87
Pada kutipan di atas, diceritakan ketika Namya melakukan hal yang tidak baik dengan membuat fitnah atas Kejora dan ustaz Omar. Namun, ketika ustaz
Omar menegor Namya, seketika itu pula Namya tidak berkutik dan langsung terdiam. Senakal-nakalnya Namya, ia menyadari bahwa seorang ustaz atau guru
adalah sosok yang wajib dihormati dan diikuti perintahnya. Sikap yang demikian adalah salah satu contoh sikap tawadhu yang diterapkan di dunia pesantren.
f. Kemandirian
Allah swt b erfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib
suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa yang pada diri mereka. ”
[QS. Al- Ra’d : 11]. Ayat ini adalah ayat yang berisi tentang kemandirian.
Sebagai institusi pendidikan yang rata-rata mewajibkan santrinya untuk mukim di asrama, maka nilai kemandirian pada diri santri wajib hukumnya. Para
santri sejak dini dididik menjadi pribadi mandiri yang bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan dan masa depan kehidupannya.
Praktik kemandirian terlihat dari keseharian santri yang mengharuskan santri mengurus semua keperluannya sendiri. Seperti pada kutipan berikut ini
Kulihat jauh di depan sana sebuah langkah terayun, menuju mushala. Seorang santri,
ta‟mirah mushala, tengah siap membangunkan mimpi para santri dengan alunan ayat-ayat suci Al-
Qur’an. Elya merangkulku dengan sayang.
88
Pada kutipan di atas menunjukan bagaimana seorang santri terbangun dari lelapnya tidur. Mereka dibangunkan dengan alunan ayat-ayat suci Al-
qur’an. Tidak ada orang tua yang membangunkan seperti ketika di rumah.
Praktik kemandirian juga bisa melalui pemberian kewenangan untuk mengelola suatu organisasi, baik intra sekolah maupun ekstra sekolah. Organisasi-
87
Ibid., hlm. 54
88
Ibid., hlm. 77
organisasi ini tidak saja ditunjukan untuk mempersiapkan santri agar bertanggung jawab atas sikap, keputusan dan tindakan yang dipilihnya, tetapi juga sebagai
wahana pendewasaan kepribadian yang mandiri. Di dalam novel Geni Jora ini, juga terdapat organisasi di mana Kejora dan Elya mengambil peran di dalamnya.
Sebagaimana terdapat pada kutipan sebagai berikut. Elya Huraibi merupakan salah seorang santri, anggota Majelis
Tahkim, tempat aku menjadi ketuanyaa. Biasanya, ketua majelis tahkim dijabat oleh kakak kelas lima, tetapi dalam kasus
perkecualian, ia bisa dijabat oleh santri kelas empat dengan melihat reputasi keseluruhan dari santri tersebut
89
g. Kejujuran
Sebagai lembaga pendidikan keislaman, pesantren tentu meneladani sifat- sifat Rasulullah saw, salah satunya kejujuran. Bahkan Nabi Muhammad saw
memiliki julukan sebagai Al Amin, yaitu orang yang dapat dipercaya. Dalam kehidupan pesantren, nilai kejujuran ditanamkan pada diri tiap-tiap santri. Hal ini
dimulai dari hal yang kecil. Jujur ketika mengambil jatah makanan di matbahmisalnya.
Dalam novel Geni Jora, nilai kejujuran ditunjukkan oleh Kejora ketika harus menjawab pertanyaan ustaz Omar atas pernyataan Namya, sebagaimana
terdapat pada kutipan berikut: “Kau, Namya Coba ulangi sekali lagi, apa yang kau katakan tadi?”
“Saya bilang pada Jora kalau otaknya hebat” Namya cukup percaya diri dan tak tanggung-tanggung dalam
berbohong. Dalam urusan satu ini, Namya memang jago.
90
Pada kutipan di atas, Namya mengubah pernyataannya. Semula, ia melontarkan sebuah fitnah bahwa ustaz Omar jatuh cinta kepada Jora. Namun,
dengan lihainya Namya mengganti dengan perkataan lain agar tidak dimarahi oleh ustaz Omar. Walau begitu, Jora langsung menunjukan sifat yang seharusnya
89
Ibid., hlm. 72
90
Ibid., hlm. 53
dilakukan dengan mengatakan yang sebenarnya. Seperti pada kutipan sebagai berikut:
“Benar begitu, Joharah?” Ustaz Omar sering memanggilku Joharah, bahasa Arabnya Kejora.
Aku tergagap. Sulit bagiku membohongi Ustaz Omar. Tapi sulit bagiku membuka kedok Namya. Kini, posisiku berada di antara
dua titik rawan yang menghendaki sebuah kearifan untuk menghakimi. Jika berpihak pada Ustaz Omar, Namya akan marah
dan mungkin membenciku. Sebaliknya, jika memihak Namya, ia akan merajalela dan Ustaz Omar akan kehilangan kepercayaan
kepadaku. Tak ada cara lain; qulil haqqa walaw murron, katakan benar, sepahit apapun.
91
Selain Kejora, nilai kejujuran juga ditunjukkan oleh ustaz Omar Basalamah. Sebagai pendidik, ustaz Omar memiliki citra yang baik dan bisa
menjadi panutan para anak didiknya. Dalam novel ini, citra ustaz Omar Basalamah diceritakan dalam dialog antara Namya dan Sonya sebagai berikut:
Sore harinya di kamar, kudengar Namya mengadu pada kakaknya perihal komentar Ustaz Omar. Sonya pun menanggapi begini.
“Omar si Jubah Hitam menyamakan inta dengan Badui? Nggak terbalik, nih? Rumah tipe 46, mobilVolvo rongsokan. Ah ...
Sudahlah Nanti kita amplopi harem-nya yang tebel, biar lulus ujian inta
.” “Lulus apa mampus? Si Jubah Hitam nggak mempan sogokan,
tahu?” Namya membalas kakaknya sengit. “Bener juga. Jika dianya mempan digosok, eh, disogok maksudku,
pastilah sudah pakai BMW sekarang.” “Itulah masalahnya. Malaikat steril begitu susah diambil hati.
Jangan pikir diamplopi. Salah-salah, aku yang disuruh go a away Bayangkan bagaimana reaksi Abi nanti.”
92
Citra ustaz Omar Basalamah yang tidak mempan disogok adalah bukti bahwa sang Ustaz yang merupakan pendidik, mencontohkan sikap yang bisa
diteladani oleh anak didiknya. Ustaz Omar Basalamah mempunyai julukan „Malaikat Steril’ oleh Namya dan Sonya. Malaikat Steril dan tidak mempan
91
Ibid., hlm. 53
92
Ibid., hlm. 56
disogok adalah cermin nilai kejujuran yang secara tidak langsung ingin ditunjukkan oleh ustaz Omar Basalamah kepada murid-muridnya.
Selain ustaz Omar Basalamah, nilai kejujuran juga ditunjukkan oleh Encik Barkah. Encik Barkah adalah pengganti Encik Rahmah yang bertugas bak petugas
kepolisian untuk menggerayangi seseorang yang dicurigai membawa barang- barang terlarang di pesantren. Semasa Encik Rahmah menjabat, Kejora seringkali
menyaksikan Encik Rahmah menerima sogokan dari para santri agar barang sitaannya kembali. Saat tiba giliran Kejora menjadi ketua majelis tahkim, Encik
Barkah ditunjuk sebagai pengganti Encik Rahmah. Pada saat bertugas inilah, Encik Barkah menunjukkan jiwa kejujurannya. Sebagaimana tertulis dalam
kutipan berikut. Di tangan Encik Barkah, tak ada satu pun surat cinta yang lolos, apalagi gaun-
gaun mahal dan keren.
93
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Encik Barkah tidak seperti Encik Rahmah. Beliau menjalani tugasnya dengan jiwa kejujuran.
h. Kesabaran
Dalam dunia pesantren, kesabaran kerap dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari harus sabar menunggu giliran mengambil makanan di
matbah, sabar menunggu antrian mandi karena keterbatasan kamar mandi, sabar menunggu kiriman orang tua untuk bekal selama di pesantren, dan tentunya sabar
dalam menghadapi masalah-masalah yang ada selama di pesantren. Kehidupan dalam pesantren yang membuat santri harus bersosialisasi
dengan santri lainnya selama 24 jam membuat beberapa aktivitas sosial tak terelakkan. Masalah yang timbul karena salah paham, selisih pendapat, beda
persepsi dan lainnya akan ditemui para santri. Peran kesabaran inilah yang harus dimiliki pada diri santri.
93
Ibid., hlm. 61
Nilai kesabaran dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy juga ditunjukan oleh sikap Kejora dan Elya dalam menghadapi terpaan fitnah yang
menghampiri mereka. Fitnah yang dilontarkan oleh Sonya sangat berdampak buruk terhadap Kejora dan Elya. Awalnya, Kejora merasa tidak kuat dan sudah
berada pada titik penghabisan kesabarannya. Namun, Elya kerap kali memberi kekuatan agar Kejora sabar dan ikhlas menjalaninya. Sikap Kejora dalam
menghadapi masalah ini, ia alihkan menjadi hal yang positif. Seperti yang tertulis dalam kutipan sebagai berikut.
Untuk beberapa waktu, aku bermukim di ruang keasingan. Sendiri tanpa teman. Membaca kembali hari-hari yang lewat, mimpi-
mimpi yang berkarat, lalu jiwaku yang sekarat. Tubuhku mengurus dan tatap mataku menembus. Kuletakkan seluruh duniaku pada
buku dan kata-kata. Kususun mimpiku dalam baris-baris yang bermakna, sejak awal alinea hingga tamat para pembaca. Jadilah
aku “sang juara”, menempati rangking pertama. Aku membelalakkan mata dunia, hingga bisik-bisik mereka mereda,
hingga segalanya lalu berubah.
94
Pengaruh nilai kesabaran terhadap tokoh Kejora ialah ia menunjukkan, bahwa dengan sabar menghadapi cobaan yang ada, lalu coba mengalihkannya
dengan hal yang positif, Kejora berhasil berprestasi sampai terpaan fitnah tersebut hilang seiring waktu. Hal ini tentu bisa menjadi teladan. Ketika diterpa cobaan
fitnah yang bertubi-tubi, cara menyikapinya dengan tidak menanggapi dan mencari sesuatu yang lebih positif, agar fitnah dibungkam dengan prestasi.
i. Kesetaraan
Perbedaan warna kulit, bahasa, jenis kelamin, suku, ras, dan golongan adalah kehendak Allah swt yang tidak mungkin bisa dinafikan manusia. Berbagai
perbedaan tersebut adalah fitrah, sebagaimana halnya dengan kodrat penciptaan alam semesta dan seluruh isinya yang beraneka rupa. Perbedaan tidaklah
ditujukan agar manusia saling berselisih, merendahkan atau menjatuhkan satu sama lainnya, namun supaya manusia saling mengenal, memahami dan
melengkapi.
94
Ibid., hlm. 128-129
Semua manusia memiliki kedudukan yang setara di mata Allah swt. Hal ini sesuai dengan yang tertulis dalam QS. Al Hujurat: 13,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang bertakwa kepada-Nya
,” yang menegaskan bahwa semua manusia sama dalam pandangan Allah, kecuali kadar
ketakwaannya. Dalam konteks agama yang membedakan mereka adalah kadar ketakwaannya saja, maka dalam konteks bermasyarakat yang menjadi ukuran
adalah moral dan etika dalam berhubungan dengan berbagai kelompok.Begitu pula diterapkan dalam kehidupan pesantren di kesehariannya. Nilai kesetaraan ini
terdapat dalam kutipan sebagai berikut.
Ia pun berontak dan menangkis penilaian Ustaz Omar. Namya berpikir, bukanlah setiap berangkat dan pulang dari pesantren
menuju kampung halaman di sang konglomerat Arab itu, Mohammed Nouval Al-Katiri, juga memiliki pesawat pribadi?
Bagaimana mungkin Ustaz Omar menyamakan dirinya dengan manusia Badui?
95
Dalam kutipan di atas, ustaz Omar ingin mengajarkan kepada Namya, bahwa kekayaan ayahnya tidak akan mempengaruhi penilaian dirinya atas Namya.
Ustaz Omar menyamakan Namya dengan manusia Badui karena perilaku Namya yang menjurus ke arah primitif dengan melakukan tindakan yang tidak terpuji.
ustaz Omar tidak melakukan diskriminasi terhadap Namya. Tetapi perbuatan Namya lah yang mengindikasikan tindakan tidak setara dengan berbuat tidak baik
terhadap sesamanya atau Kejora khususnya. Dengan demikian ustaz Omar telah menerapkan nilai-nilai kesetaraan kepada para santrinya.
j. Kesungguhan
Seperti yang tertulis dalam sebuah kata mutiara dalam bahasa Arab, “Man
Jadda Wa Jada”siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil, hal ini menjadi semboyan di kebanyakan pesantren. Tak terkecuali di pesantren Kejora
menimba ilmu. Kejora yang mendapatkan predikat sebagai sang juara kelas,
95
Ibid., hlm. 55
menunjukkan hasil yang dia peroleh adalah hasil kesungguhan yang dia kerjakan. Seperti yang tertulis dalam kutipan sebagai berikut.
Kubuka seratus halaman, seribu, sejuta, bahkan semiliar halaman dari buku-buku dunia, kitab-kitab abadi dan pidato-pidato, kuliah
para guru, para ustaz, dan para dosen. Sebagai murid, sebagai santriwati, sebagai mahasiswi, aku duduk menghadapi mereka satu
per satu. Kupasang pendengaran dan kupusatkan penglihatan. Kuserap pengetahuan dengan otak dan fuad-ku. Kukunyah ilmu
untuk memenuhi gizi pertumbuhan kehidupanku. Maka aku berdiri kini, di hadapannya, ustazku.
96
Pada kutipan di atas, digambarkan bagaimana usaha Kejora sebelum menghadapi ujian. Kejora menunjukkan kesungguhannya untuk mendapatkan
hasil yang sebaik-baiknya. Nilai kesungguhan yang diterapkan di pesantren mempengaruhi Kejora untuk terus berusaha sampai tidak berhenti pada beberapa
ratus halaman, bahkan ada semiliar halaman dia baca. Dan ketika mendapatkan penjelasan dari guru, Kejora benar-benar menyimak, sehingga pemahaman dari
sang guru tidak terlewatkan oleh Kejora. Hal-hal inilah yang harus bisa menjadi teladan para murid.