Unsur-unsur intrinsik novel Nilai Pesantren dalam Novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy dan Implikasinya Pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas XI SMA

metonomia atau metafora untuk mengekspresikan para tokoh. 16 Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat dan hubungan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Tahap awal suatu karya pada umumnya berupa pengenalan, pelukisan, atau penunjukan latar, namun hal tersebut tak berarti bahwa pelukisan dan penunjukan latar hanya dilakukan pada tahap awal cerita. Cerita berkisah tentang seseorang atau beberapa orang tokoh. peristiwa-peristiwa dalam cerita tentulah terjadi pada suatu waktu atau dalam suatu rentang waktu tertentu dan pada suatu tempat tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun latar cerita. 17 Pendapat Abrams yang dikutip dari buku Teori Pengkajian Fiksi, latar disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Stanton mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta cerita sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi 18 . Latar sendiri dikategorikan menjadi tiga bagian, yakni latar tempat, latar waktu, latar sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu,, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. 19 Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan 16 Rene Wellek dan Austin Warren, op. cit., hlm. 290-291 17 Sudjiman, op. cit., hlm. 44 18 Nurgiyantoro, op. cit.,hlm. 209 19 Ibid.,hlm. 225 dengan peristiwa sejarah. 20 Sedang latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. 21 Dapat disimpulkan, latar setting memberikan kesan realistis terhadap pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh- sungguh terjadi. Latar juga amat erat kaitannya dengan tokoh dan juga plotalur. Peristiwa-peristiwa yang dialami para tokoh tidak dapat dilepaskan dari tempat, perjalanan waktu, dan keadaan sosial yang melatarbelakangi peristiwa-peristiwa tersebut. Dalam Nurgiyantoro, latar terbagi menjadi latar fisik dan latar spiritual, latar netral dan latar fungsional. Latar fisik adalah latar tempat secara jelas menunjuk pada lokasi tertentu, yang dapat dilihat dan dirasakan kehadirannya, sedang latar spiritual adalah latar yang berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Latar netral adalah sebuah tempat hanya sekadar sebagai tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan tidak lebih dari itu dan tidak akan mempengaruhi pemplotan dan penokohan, sedang latar fungsional adalah latar yang mampu mempengaruhi cerita dan bahkan ikut menentukan perkembangan plot dan pembentukan karakter tokoh, karena mempengaruhi perkembangan plot dalam sebuah cerita fiksi, latar fungsional tidak dapat digantikan dengan latar lain tanpa mengganggu atau bahkan merusak cerita. 22 d. Alur Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. 23 Sudjiman dalam Melani Budianta berpendapat, alur adalah rangkaian peristiwa direka dan dijalin dengan seksama membentuk alur yang menggerakkan jalannya cerita melalui rumitan ke arah klimaks 20 Ibid.,hlm. 230 21 Ibid.,hlm. 233 22 Ibid.,hlm. hlm. 302-308 23 Stanton, op. cit.,hlm. 26 dan selesaian. 24 John Mullan berpendapat, alur atau plot adalah sebagai berikut, Does every novel have a plot? Colloquially the word „plot‟ is often used as i f it were synonymous with „story‟ or „narrative‟, as if it uncover some hidden design. Some novels are not much interested in plot it all. Some novelist have suspected that plot isinherently unrealistic, unlifelike. Others, meanwhile, are enjoyed especially for their plots. It is useful to distinguish between plot, narrative and story. We can think of novel‟s story as the material of its events and characters-what happens in it. 25 Apakah tiap novel mempunyai plot alur? Biasanya kata „plot’ seringkali disamakan dengan kata „cerita’ atau „cerita’. Beberapa novel malah tidak begitu tertarik dengan jalan cerita sama sekali. Beberapa penulis novel bahkan menyangka bahwa plot itu tidak sesuatu yang penting, tidak realistic, dan tidak seperti kehidupan sebenarnya. Sedangkan yang lain malah menikmati jalan cerita. Ini sangat berguna untuk membedakan antara plot, narasi dan cerita. Kita bisa memikirkan cerita novel sebagai materi apa yang terjadi di dalamnya dan siapa saja karakternya. Abrams berpendapat, alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah cerita. Dalam cerita modern, alur tidak selalu dimulai dengan pengenalan dan diakhiri tahap penyelesaiaan. Ada kemungkinan cerita dimulai dengan konflik. Ada kemungkinan cerita yang dimulai dari penyelesaian. 26 Sudjiman membagi atas alur utama dan alur bawahan. Alur utama merupakan rangkaian peristiwa utama yang menggerakkan jalan cerita. Alur bawahan adalah alur yang disusupkan di sela-sela bagian alur utama sebagai variasi. Alur bawahan adalah lakuan tersendiri yang masih ada hubungannya dengan alur utama. 27 24 Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra, Magelang: Penerbit Indonesia Tera, 2006, hlm. 86 25 John, Mullan, How Novel Works, New York: Oxford University Press, 2006, hlm. 169. 26 Siswanto, op. cit.,hlm. 159 27 Ibid.,hlm. 160 Dari penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa alur adalah suatu rangkaian cerita yang membangun cerita. Dimulai dengan adanya permulaan cerita lalu dilanjutkan dengan sebuah peristiwa sehingga memunculkan konflik lalu mencapai klimaks dan diakhiri dengan penyelesaian. e. Sudut Pandang Unsur selanjutnya dari sebuah prosa, dalam hal ini novel adalah sudut pandang point of view. Sudut pandang pada dasarnya merupakan strategi teknik, siasat, yang sengaja dipilih pengarang untuk mengungkapkan gagasan dan ceritanya untuk menampilkan pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan yang semua ini disalurkan melalui sudut pandang tokoh. 28 Istilah sudut pandang yang dalam bahasa Inggris point of view atau viewpoint mengandung arti : suatu posisi di mana si pencerita berdiri, dalam hubungan dengan ceritanya, yakni suatu sudut pandang di mana peristiwa diceritakan : point of view is the position which the narrator stands in relation to the story; the standpoint from which events are narrated. 29 Dari sisi tujuan, sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama. Pada „orang pertama-utama’, sang karakter utama bercerita dengan kata- katanya sendiri. Pada „orang pertama-sampingan’, cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama sampingan . Pada „orang ketiga-terbatas’, pengarang mengacu pada semua karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter saja. Pada „orang ketiga- tidak terbatas’, pengarang mengacu pada setiap karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga dapat membuat 28 Albertine, Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, Yayasan Obor: Jakarta: 2011, hlm. 88 29 Ibid.,hlm. 89 beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir atau saat ketika tidak ada satu karakter pun hadir. 30 f. Gaya bahasa Gaya bahasa mencakup berbagai figur bahasan antara lain; metafor, simile, antitesis, hiperbola dan paradoks. Pada umumnya gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau objek. Dengan menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi lebih segar dan berkesan. 31 Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya Teori Pengkajian Fiksi menyebut gaya bahasa dengan istilah style gaya. Gaya yang dikenal dengan kata style diturunkan dari kata lain stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. “kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata- kata secara indah.” Burhan Nurgiyantoro berpendapat mengenai gaya style sebagai berikut: “Stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik itu sendiri merupakan suatu bentuk pilihan, dan pilihan itu dapat dilihat pada bentuk ungkapan bahasa seperti yang dipergunakan dalam karya.” 32 Stile sendiri ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahsa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain. Dapat diartikan gaya bahasa bahasa adalah cara yang khas, yang dipakai pengarang untuk mengungkapkan sesuatu cerita dengan indah dan sesuai khas seorang pengarang. Hal tersebut meliputi ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bahasa figuratif, dan penggunaan kohesi sehingga dapat menyentuh emosi dari pembaca cerita 30 Stanton, op. cit., hlm. 53-54 31 Minderop, op. cit.,hlm. 88 32 Nurgiyantoro, op. cit.,hlm. 369-370 karya si pengarang. Tentunya setiap pengarang memiliki gaya bahasa tersendiri dalam bercerita.

C. Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra merupakan disiplin ilmu tentang kehidupan masyarakat yang objek kajiannya mencakup fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial yang menunjukkan hubungan interaksi sosial dalam suatu masyarakat. 33 Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio Yunani Socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman dan logi logos berarti sabda, perkataan, perumpaan. Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosisocius berarti masyarakat, logilogos berarti ilmu. Jadi sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan evolusi masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas sansekerta berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik. Ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan, dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain: Pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek- aspek kemasyarakatannya. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkadnung di dalamnya. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangan. Analisis terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan seberapa jauh peranannya dalam mengubah struktur kemasyarakatan. 33 Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, hlm. 4 Analisis yang berkaitan dengan manfaat karya dalam membantu perkembangan masyarakat. Analisis mengenai seberapa jauh kaitan langsung antara unsur-unsur karya dengan unsur-unsur masyarakat. Analisis mengenai seberapa jauh keterlibatan langsung pengarang sebagai anggota masyarakat. Sosiologi sastra adalah analisis institusi sastra Sosiologi sastra adalah kaitan langsung antara karya sastra dengan masyarakat. Sosiologi sastra adalah hubungan searah positivistik Sosiologi sastra adalah hubungan dwiarah dialektik antara sastra dengan masyarakat Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat. Pemahaman yang berkaitan dengan aktivitas kreatif sebagai semata- mata proses sosiokultural. Pemahaman yang berkaitan dengan aspek-aspek penerbitan dan pemasaran karya. Analisis yang berkaitan dengan sikap-sikap masyarakat pembaca. 34 Sebagai sebuah dunia miniatur, karya satra berfungsi untuk menginventarisasikan sejumlah besar kejadian-kejadian, yaitu kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi. Pada dasarnya, seluruh kejadian dalam karya, bahkan juga karya-karya yang termasuk ke dalam genre yang paling absurd pun merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ciri kreativitas dan imajinasinya, sastra memiliki kemungkinan yang paling luas dalam mengalihkan keragaman kejadian alam semesta ke dalam totalitas naratif semantis, dari kuantitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fiksional. 35

D. Hakikat Pesantren

1. Pengertian Pesantren Pesantren didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen. 36 Nama 34 Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 1-3 35 Ibid.,hlm. 35 36 Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005, hlm. 2 tempat pendidikan Islam tradisional ini, pesantren secara etimologis asalnya pe-santri-an, berarti “tempat santri”. Santri atau murid umumnya sangat berbeda-beda mendapat pelajaran dari pemimpin pesantren Kyai dan oleh para guru ulama atau ustad. Pelajarannya mencakup berbagai bidang tentang pengetahuan Islam. 37 Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, selama ini pesantren dikenal sebagai pencetak para ulama andal di Indonesia. Ini terkait dengan misi utama pesantren sebagai lembaga pencetak thaifah mutafaqqihina fiddin para ahli agama. Tak terhitung jumlahnya ulama yang telah lahir dari pesantren. Kita mengenal nama-nama seperti Imam Nawawi Al-Bantani, HOS Tjokroaminoto, Buya Hamka, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Imam Zarkasyi, KH. Abdurrahman Wahid. Mereka adalah sebagian kecil dari para alumni pesantren yang menjadi ulama di kemudian hari. Pengertian lain, pesantren atau pondok adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia indigenous. 38 2. Fungsi Pesantren Menurut Ma’shum, fungsi pesantren semula mencakup tiga aspek yaitu fungsi religius diniyyah, fungsi sosial ijtimaiyyah, dan fungsi edukasi tarbawiyyah. Ketiga fungsi ini masih berlangsung hingga sekarang. Fungsi lain adalah sebagai lembaga pembinaan moral dan kultural. A. Wahid Zaeni menegaskan bahwa di samping lembaga pendidikan, pesantren juga sebagai lembaga pembinaan moral dan kultural, baik di kalangan para santri maupun santri dengan 37 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Jakarta : Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1986, hlm.16 38 Nurcholis Madjid, Bilik Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta : Penerbit Paramadina, 1997, hlm. 3 masyarakat. Kedudukan ini memberikan isyarat bahwa penyelenggaraan keadilan sosial melalui pesantren lebih banyak menggunakan pendekatan kultural. 39 3. Sistem Pendidikan Pesantren Pesantren adalah sistem pendidian yang melakukan kegiatan setiap hari. Santri tinggal di asrama dalam satu kawasan bersama guru, kiai, dan senior mereka. Oleh karena itu, hubungan yang terjalin antara santri-guru-kiai dalam proses pendidikan berjalan intensif, tidak sekadar hubungan formal ustad-santri di dalam kelas. Dengan demikian kegiatan pendidikan berlangsung sepanjang hari, dari pagi hingga malam hari. 40 Pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak bisa lepas dari beberapa unsur dasar yang membangunnya. Dalam sistem pendidikan pesantren unsur yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Aktor atau pelaku, kiyai, ustad, santri, dan pengurus. b. Sarana perangkat keras: masjid, rumah kiyai, rumah dan asrama pesantren, gedung atau madrasah dan sebagainya. c. Sarana perangkat lunak: tujuan, kurikulum, kitab, penilaian, tata tertib, perpustakaan, pusat dokumentasi dan penerangan, cara pengajaran, keterampilan, pusat pengembangan masyarakat dan alat-alat pendidikan lainnya. 41 4. Nilai Pesantren Pola kehi dupan pesantren termanifestasikan dalam istilah “panca jiwa” yang di dalamnya memuat “lima jiwa” yang harus diwujudkan dalam proses pendidikan dan pembinaan karakter santri. Kelima jiwa 39 Qomar, op. cit.,hlm.23 40 Ibid.,hlm.64 41 Nur Inayah, Sistem Pendidikan Formal di Pondok Pesantren, dalam jurnal http:pshi.fisip.unila.ac.idjurnalfilesjournals5articles227submissionoriginal227-649-1- SM.pdf diakses pada tanggal 18 Juli 2016