LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pada umumnya yang dimaksud dengan anak cerdas adalah anak yang memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata atau anak yang memperoleh nilai akademis yang memuaskan. Sekarang ini banyak ditemukan lembaga- lembaga bimbingan atau les privat yang diikuti para pelajar untuk mengejar nilai-nilai akademik dengan kategori memuaskan agar dapat diterima di sekolah-sekolah favorit. Mayoritas masyarakat beranggapan bahwa anak yang diterima di sekolah favorit adalah anak yang cerdas dan memenuhi standar sesuai dengan ketentuan lembaga sekolah. Fenomena yang ditemui sekarang ini yaitu mayoritas sekolah favorit di perkotaan baik negeri maupun swasta mengadakan tes untuk menyeleksi anak cerdas sesuai dengan ketentuan lembaga sekolah. Melalui prasyarat-prasyarat itu, seolah-olah diprediksikan bahwa anak yang cerdas akan berhasil baik dalam studi maupun karir di kemudian hari. Walaupun prediksi tersebut dijadikan sebagai tolok ukur anak cerdas namun pada kenyataannya ada juga pelajar yang gagal di tengah studi mereka. Hal ini disebabkan oleh potensi yang diutamakan hanya potensi intelektual. Sampai saat ini, sekolah-sekolah favorit masih tetap menggunakan pengukuran kecerdasan intelektual untuk menyeleksi anak-anak yang cerdas Universitas Sumatera Utara dan masyarakat masih berpandangan bahwa anak yang diterima di sekolah favorit adalah anak yang cerdas Zulfiah, 2009. Fenomena lain misalnya ada mantan mahasiswa yang selalu masuk dalam peringkat 3 besar sewaktu kuliah dan lulus dengan predikat cum laude ternyata gagal dalam karir pekerjaannya. Sebaliknya seseorang yang bahkan berpendidikan SMP saja tidak lulus dapat menjadi seorang pengusaha alat berat yang berhasil. Dari kedua fenomena di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan otak atau IQ Intelligence Quotient bukanlah faktor utama yang menentukan keberhasilan hidup seseorang Martin, 2003. IQ hanya menyumbang paling banyak 20 kesuksesan dalam hidup seseorang sedangkan 80 ditentukan oleh faktor lain Goleman, 1995. Selama ini pandangan umum terhadap kecerdasan manusia terlalu sempit yakni masyarakat berpandangan bahwa IQ merupakan potensi kecerdasan manusia yang paling penting dan mengabaikan serangkaian potensi lain yang berpengaruh dalam menentukan keberhasilan hidup seseorang. Goleman 1995 mengemukakan faktor-faktor yang terkait mengapa orang yang memiliki IQ tinggi gagal dan orang yang memiliki IQ rata-rata menjadi sangat sukses. Faktor-faktor ini mengacu pada suatu cara lain untuk menjadi cerdas yang disebut dengan “kecerdasan emosional” atau EI Emotional Intelligence Goleman, 1995. Goleman 1995 mendefinisikan kecerdasan emosi EI sebagai kemampuan individu untuk menyadari emosinya, mengendalikan emosi, memotivasi diri, memiliki perasaan empati serta memiliki kecakapan dalam Universitas Sumatera Utara bersosialisasi. Kecerdasan emosi lebih dapat dijadikan acuan untuk memprediksi apakah seorang individu kelak menjadi sukses atau tidak. Berbeda dengan IQ yang telah ditentukan sejak lahir, kecerdasan emosi yang baik dapat dipelajari dan diraih sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan individu Goleman, 1995. Kecerdasan emosi penting untuk dikembangkan dalam diri setiap individu terutama pada anak yang cerdas Zulfiah, 2009. Hal ini disebabkan oleh adanya fenomena bahwa jika anak yang cerdas di sekolah dan memiliki prestasi akademik yang bagus tidak dapat mengelola emosinya dengan baik, maka prestasi akademiknya yang bagus tidak akan banyak bermanfaat bagi dirinya sendiri. Oleh sebab itu kecerdasan emosional perlu lebih dihargai dan dikembangkan pada anak sejak usia dini Goleman, 1999. Kecerdasan emosi dapat dipelajari dan guru pertama yang dapat mengajarkan mengenai emosi kepada anak adalah orangtua. Pola asuh orangtua dalam keluarga sangat penting bagi setiap anak karena pengaruhnya sangat besar pada kehidupan anak di kemudian hari. Pola asuh yang keliru dapat menjadikan anak bermasalah Gottman DeClaire, 1997. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pola asuh orangtua parenting style memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak Collins Kuczaj, 1991. Selain itu ada berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orangtua yakni dengan disiplin yang keras atau pemahaman yang empatik, dengan ketidakpedulian Universitas Sumatera Utara atau kehangatan, dan sebagainya dapat berakibat mendalam dan permanen bagi kehidupan emosional anak Goleman, 1995. Gottman dan DeClaire 1997 mengemukakan bahwa orangtua dapat membantu mengembangkan kecerdasan emosi anak dengan memberikan pelatihan emosi pada anak yang disebut dengan istilah “emotion coaching”. Emotion coaching merupakan suatu proses dimana orangtua dengan aktif mendengarkan ungkapan perasaan anaknya, menerima perasaan anaknya serta memberikan bimbingan, batasan perilaku, dan membantu anak menyelesaikan permasalahannya agar anak dapat belajar bagaimana mengendalikan perasaan atau emosi yang dirasakannya dengan cara yang benar Gottman DeClaire, 1997. Pembelajaran emosi yang dapat diberikan orangtua bukan hanya melalui hal-hal yang diucapkan dan dilakukan oleh orangtua secara langsung kepada anak-anaknya melainkan juga melalui contoh-contoh yang mereka berikan ketika menangani perasaan mereka sendiri atau perasaan yang biasa muncul antara suami dan istri. Dewasa ini hasil penelitian menunjukkan bahwa mempunyai orangtua yang cerdas secara emosional merupakan keuntungan yang besar sekali bagi anak. Cara-cara yang digunakan pasangan suami istri untuk menangani perasaan-perasaan diantara mereka dan tindakan- tindakan langsung mereka pada anak memberikan pelajaran-pelajaran yang efektif bagi anak-anak mereka sebab anak adalah murid yang pintar dan sangat Universitas Sumatera Utara peka terhadap transisi emosi yang paling halus dalam keluarga Goleman, 1995. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa sikap, pengasuhan dan kondisi orangtua baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kemampuan pengendalian emosi anak. Eisenberg dkk. dalam Sarwono, 2007 menemukan bahwa perilaku emosional orangtua berpengaruh pada perilaku pengendalian diri anak Sarwono, 2007. Penelitian lain yang dilakukan oleh Shields dalam Sarwono, 2007 menunjukkan bahwa anak-anak yang diperlakukan tidak baik maltreated lebih menunjukkan perilaku sulit menyesuaikan diri maladaptive daripada anak-anak yang diperlakukan dengan baik. Perilaku maladaptive yang dimaksud adalah ketidakmampuan mengendalikan amarah dan tidak mau berteman sedangkan perilaku yang adaptive adalah perilaku prososial dan suka berteman. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa perlakuan orangtua pada anak mempengaruhi perilaku adaptasi anak Sarwono, 2007. Penelitian yang dilakukan oleh Chang di Cina dalam Sarwono, 2007 menunjukkan bahwa perlakuan kasar dari orangtua berpengaruh secara langsung atau tidak langsung pada pengendalian emosi anak dan mempengaruhi agresivitas anak di sekolah. Perlakuan kasar dari ibu lebih mempengaruhi pengendalian emosi anak sedangkan perlakuan kasar ayah lebih mempengaruhi agresivitas anak. Perlakuan kasar ayah juga lebih mempengaruhi anak laki-laki daripada anak perempuan Sarwono, 2007. Universitas Sumatera Utara Dari beberapa hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa perlakuan atau pola asuh yang diterapkan orangtua kepada anaknya berpengaruh terhadap pengendalian emosi atau kecerdasan emosi anak. Oleh sebab itu orangtua dapat membantu mengembangkan kecerdasan emosi anak dengan memberikan emotion coaching. Anak dapat memiliki kemampuan untuk mencintai dan menghargai orang lain, anak dapat merasa nyaman dengan perasaannya sendiri dan anak dapat belajar untuk mengungkapkan emosinya dengan cara yang benar Goleman, 1995. Gottman dan DeClaire 1997 mengemukakan bahwa tidak semua orangtua mampu berperan sebagai guru emosi yang baik. Ada orangtua yang berbakat menjadi guru emosi yang baik dan ada orangtua yang tidak berbakat menjadi guru emosi yang baik. Pada umumnya karakteristik orangtua dapat dikategorikan menjadi dua jenis yaitu orangtua yang mampu berperan sebagai pelatih emosi emotion coaches yang baik dan orangtua yang kurang mampu berperan sebagai pelatih emosi emotion coaches yang baik. Orangtua yang mampu berperan sebagai pelatih emosi emotion coaches yang baik disebut dengan istilah “Emotion Coaches” Gottman DeClaire, 1997. Dalam hal ini orangtua mengajarkan kepada anaknya bagaimana strategi yang tepat dalam menghadapi kehidupan yang tidak konsisten. Orangtua tidak menolak ataupun mengabaikan kemarahan, kesedihan dan ketakutan anaknya. Orangtua menerima emosi negatif anaknya dan menggunakan situasi tersebut untuk Universitas Sumatera Utara mengajarkan kepada anaknya pelajaran yang dapat diperoleh dari situasi tersebut serta membentuk hubungan yang lebih dekat dengan anaknya Gottman DeClaire, 1997. Sebaliknya orangtua yang kurang mampu berperan sebagai emotion coaches yang baik dapat dikategorikan sebagai 1 Dismissing parents yaitu orangtua yang mengabaikan dan tidak memperdulikan emosi negatif anak, 2 Disapproving parents yaitu orangtua yang tidak suka anaknya mengungkapkan emosi negatif dan akan memberikan hukuman kepada anaknya apabila mereka mengungkapkan emosi negatif tersebut, dan 3 Laissez-faire parents yaitu orangtua yang menerima emosi negatif anaknya tetapi tidak memberikan bimbingan bagaimana cara mengendalikan emosi negatif tersebut Gottman DeClaire, 1997. Gottman dan DeClaire 1997 mengemukakan lima langkah dalam emotion coaching yang umumnya digunakan oleh orangtua untuk meningkatkan kecerdasan emosi anak yaitu 1 Menyadari emosi diri sendiri dan emosi anak Awareness, 2 Menerima emosi anak sebagai peluang untuk lebih dekat dengan mereka dan mengajarkan kepada mereka bagaimana cara mengatasi emosi mereka Acceptance, 3 Mendengarkan dengan empati dan pengertian Empathy, 4 Membantu anak memberi label pada emosi yang sedang dirasakannya dengan kata-kata Labeling, dan 5 Menentukan batas- batas perilaku yang boleh dilakukan anak ketika membantu anak menyelesaikan masalahnya Problem-Solving. Universitas Sumatera Utara Orangtua memiliki peluang yang besar untuk mengembangkan kecerdasan emosi anak dengan memberikan emotion coaching sejak dini Gottman DeClaire, 1997. Emotion coaching sebaiknya diberikan pada masa kanak-kanak awal yaitu antara usia empat sampai tujuh tahun sebab pada masa ini anak mulai membentuk hubungan sosial dengan teman sebayanya dan anak dapat mengembangkan ketrampilan mengatur emosinya ketika berinteraksi dengan teman sebayanya Gottman DeClaire, 1997. Hal ini sesuai dengan penelitian Gottman dan DeClaire 1997 yang menunjukkan bahwa anak yang berhasil mengendalikan emosinya ketika berhubungan dengan kelompok sosialnya pada masa kanak-kanak tengah yaitu antara usia delapan sampai dua belas tahun adalah anak yang telah belajar mengendalikan emosinya pada masa kanak-kanak awal melalui emotion coaching. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa emotion coaching yang diberikan oleh orangtua mempengaruhi kecerdasan emosi anak. Setiap orangtua memiliki tingkat kecerdasan emosi yang berbeda sehingga hal ini menyebabkan adanya perbedaan dalam kemampuan melatih emosi anaknya. Orangtua yang memiliki kecerdasan emosi tinggi mampu berperan sebagai emotion coaches yang baik bagi anak dan sebaliknya orangtua yang memiliki kecerdasan emosi rendah kurang mampu berperan sebagai emotion coaches yang baik bagi anaknya. Di dalam penelitian ini emotion coaching akan dilihat pada masa kanak-kanak akhir sebab pada masa kanak-kanak awal anak masih berada pada tahapan awal emotion coaching diberikan. Oleh sebab itu peneliti Universitas Sumatera Utara ingin meneliti hubungan antara emotion coaching yang dilakukan oleh orangtua dengan perkembangan kecerdasan emosi anak pada masa kanak- kanak tengah.

B. PERUMUSAN MASALAH