Posisi Makassar dalam Jaringan Perdagangan dan Sistem Perdagangan

39 Pertentangan antara VOC dengan Makassar pada dasarnya merupakan pertarungan pemikiran antara kebijaksanaan VOC “berdagang sendiri” allenhandel atau lazim disebut monopoli versus perdagangan bebas yang diterapkan kerajaan Gowa. Karena itu kerajaan Gowa bergiat membangun benteng-benteng pertahanan diawali dengan Benteng Tallo di bagian utara dan Benteng Panakkukang di bagian selatan, Benteng Ujung Tanah, Ujung Pandang, Barobaso, Mariso, Garasi dan Barombong, untuk melindungi kedudukan mereka dari ancaman kompeni; juga dipersiapkan pembuatan jenis perahu gorab sekitar tahun 1620. Menurut Nooteboom pembuatan perahu gorab merupakan bantuan dari Portugis. Pada tahun 1612 dibangun lagi Sembilan perahu gorab atas perintah Karaeng Matoaya raja Tallo. 7

B. Posisi Makassar dalam Jaringan Perdagangan dan Sistem Perdagangan

Kennet R. Hall meyakini sekitar abad XIV dan awal abad XV, terdapat lima jaringan perdagangan commercial zones. 8 Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Seilon, Birma, serta pesisir utara dan barat Sumatra; kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka; ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand dan Vietnam Selatan sebut saja dengan jaringan perdagangan Laut Cina Selatan; keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, meliputi pesisir barat Luzon, mindoro, Cebu, Mindanao dan pesisir utara Kalimantan Brunei Darussalam; 7 C. Nooteboom, Aziatische Galein. Rotterdam: Het Museum voor Land- en Volkenkunde en het Maritiem Museum Prins Hendrik, 1951. Hal. 1. Usaha pembangunan kapal dalam hal ini konstruksi serta gaya arsitekturnya itu merupakan bantuan dari orang-orang Portugis, Melayu dan Arab. 8 H.A. Sutherland, Power, Trade and Islam in the Eastern Archipelago, 1700-1850, dalam Philip Quarles van Ufford and Mattew Schoffeleers, ed., Religion Development : Toward An Integrated Approach. Amsterdam: Free University Press, 1988. Hal. 145-146 40 kelima; jaringan Laut Jawa yang meliputi Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatra. Pada dasarnya setiap jaringan perdagangan itu memiliki pola perkembangan pertukaran internalnya akan tetapi berlangsung pula hubungan perdagangan antara jaringan perdagangan itu. Transaksi dagang pada waktu itu umumnya dilakukan secara barter. Beras dan barang lainnya yang dibeli di pelabuhan bagian barat oleh pedagang Bugis Makassar, kemudian dijual secara barter dengan rempah-rempah. Penukaran secara barter ini didasarkan pada perbandingan kesatuan yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak. Sistem penukaran seperti ini berlaku juga bagi barang dagangan yang berasal dari negeri asing, misalnya pertukaran antara kain buatan India dalam kesatuan potong dengan rempah-rempah dalam kesatuan bahar. Bahar digunakan sebagai kesatuan berat dan sering berbeda ukurannya disetiap tempat, seperti bahar Maluku = 600 pond, sedangkan bahar Malaka = 550 pond. 9 Di bandar Somba Opu orang Portugis sering membawa tunai berupa mata uang timah Cina untuk kemudian diserahkan kepada pedagang Bugis Makassar yang akan pergi ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Para pedagang Bugis Makassar yang menerima semacam uang muka ini memberikan jaminan secara tertulis. Surat tanda terima ini ditulis dalam bahasa Melayu. 10 9 J. C. van Leur, Indonesian trade and society Lessays in asian social and economic history, Bandung: Sumur Bandung, 1960. Hal. 111 10 B.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Bandung: The Hague, 1955. Hal. 20- 21 41 Sistem barter yang dipergunakan oleh para pedagang antara pedagang asing lokal, berupa tukar menukar barang dagangan yang diperlukan. Seperti pakaian, senjata, dan porselen dibawa oleh pedagang dari Cina, Gujarat dan Portugis. Kemudian ditukar ke pedagang Bugis Makassar untuk selanjutnya barang tersebut di bawa ke pelosok Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Nusa Tenggara untuk ditukar dengan rempah-rempah, kemudian dijual lagi ke pedagang asing. Adapun alat tukar uang di bandar Somba Opu sekitar abad XVII, yaitu telah dibuat mata uang dari emas atau timah disebut dinar yang berbentuk besar dan kupa yang berbentuk kecil, semua menggunakan tulisan Arab. Mata uang dari timah disebut benggolo. 11 Pada masa Karaeng Matoaya telah didirikan percetakan uang yang sangat menunjang bagi kelancaran perdagangan di bandar Somba Opu. Atas anjurannya mata uang emas dan perak dicetak, walaupun pada akhir tahun 1650 terjadi devaluasi emas yang semula masih bertahan nilainya sebesar 4 shilling atau 0,8 real Spanyol. 12 Salah satu penghasilan terpenting bagi kerajaan yaitu perdagangan dan pemberian dalam bentuk barang maupun uang. Para bangsawan bertindak pula sebagai pedagang dan memberikan saham kepada pedagang yang membutuhkan dengan syarat-syarat tertentu. Sesuai yang termuat dalam kitab Amanna Gappa, yaitu pemberi saham acapkali menjadi pembeli barang yang dimodalinya atau menjadi calo dengan hak komisi, jual total penjualan kemudian dibagi tiga, 11 Uka Thandrasasmita, “Les Fouilles et l’Histoire A Celebes Sud”, dalam Archipel 3, Paris, 1972. Hal. 283. 12 Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Jilid II, Terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998. Hal. 12. 42 sepertiga pertama dan sepertiga kedua masing-masing untuk pemilik modal, sisanya digunakan untuk mengembalikan perongkosan peralatan dan awak kapal. Para bangsawan dan orang kaya bukanlah saudagar dalam arti sebenarnya. Mereka ”berdagang” dalam bentuk Commenda, yakni menyerahkan barang dagangan kepada orang lain untuk diperdagangkan, ataupun hanya memberi uang sebagai modal. 13 Misalnya hartawan yang menyerahkan dagangannya berupa rempah-rempah dan kain tenunan kepada saudagar dengan perjanjian bagi laba menurut ketentuan yang berlaku persentasi laba dibagikan bisa berbeda juga dalam pelayaran, apabila pemilik kapal adalah raja sistem bagi laba juga dipakai menurut ketentuan yang berlaku. Adapun aturan yang berlaku dalam kerajaan Gowa tentang tata cara berdagang maupun berlayar, dan daftar sewa bagi orang yang berlayar, adalah sebagai berikut: ”Apabila orang naik di perahu, di daerah Makassar, di daerah Bugis, di Paser, di Sumbawa, di Kaili, pergi ke Aceh, ke Kedah, ke Kamboja, sewanya tujuh rial dari tiap-tiap seratus. Apabila orang naik di perahu di Makassar pergi ke Selayar, sewanya dua setengah dari tiap-tiap seratus. Apabila orang naik di perahu di Paser atau Sumbawa dan pergi ke daerah Buton, ke daerah Bugis, ke Timor, sewanya empat rial dari tiap seratus”. Sedangkan aturan tata cara berjualan, diungkapkan dalam pasal 7, bahwa ada lima jenis cara berjualan : 1 Berkongsi sama banyak; 2 Samatula; 3 Utang tanpa bunga; 4 Utang kembali; 13 J. C. van Leur, Indonesian trade and society Lessays in asian social and economic history ……op.cit, Bandung: Sumur Bandung, 1960. Hal. 228-229. 43 5 kalula Adapun berkongsi sama banyak yaitu cara berdagang dengan menanggung resiko sama-sama, memikul bersama keuntungan dan kerugian. Tetapi kerugian yang dipikul bersama hanya terbatas pada tiga hal, yaitu apabila barangnya rusak di lautan, kebakaran atau kecurian. Sedangkan yang tidak dipikul bersama ditanggung oleh pelaksana perdagangan, yaitu : 1 dijudikan 2 diperlacurkan 3 dipergunakan beristri 4 diboroskan 5 dipinjamkan 6 dimadatkan 7 diberikan untuk makan kepada yang menjadi tanggungannya. Adapun yang disebut samatula, adalah yang empunya barang jualan yang memikul segala kerusakannya. Labanya dibagi tiga, dua bagian diambil oleh yang empunya dagangan, sebagian diambil oleh si pembawa. Mengenai utang tanpa bunga, si pemberi utang hanya menagih saja, jikalau telah sampai janjinya. Perjanjian dengan utang yang bisa kembali, terlebih dahulu ditetapkan sesuai harga barang. Kalau laku atau rusak, maka membayarlah yang berutang. Kalau tidak laku atau tidak berganti rupa, maka barang boleh dikembalikan. Perihal utang disamakan dengan perihal jual beli, yakni harus bercermin pada adat, segala hal telah ditetapkan menurut peraturan-peraturan tertentu. 44 Dalam pasal 9, disebutkan bahwa sesama penjual tidak tunggu menunggu kekeliruan, misalnya dalam hal bayar membayar. Jikalau setelah diterima, barulah diketahui tidak cukup pembayarannya, atau robek bagi barang yang berlembar, dicukupkannyalah yang robek. Sebab tidak boleh mengembalikan barang yang telah diputuskan harganya, kalau ternyata dengan sesama pedagang. Kalula atau disebut juga anak guru, merupakan orang yang dipercayakan menjual barang dagangan. Kalula tidak mungkin bercerai dari pemilik barang yang sudah dianggap sebagai atasannya. Sehingga dalam membuat perjanjian tidak memberatkan keluarganya, jika barang rusak karena kesalahan sendiri, Kalula sendiri yang menanggung, keluarganya tidak ikut menanggung resiko.

C. Era Perdagangan dan Hubungan dengan Bangsa Lain