Pelayanan anak di perpustakaan umum dan arsip daerah profinsi DKI Jakarta dalam memenuhi kebutuhan informasi

(1)

PERANAN KERAJAAN GOWA

DALAM PERNIAGAAN

ABAD XVII

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Strata Satu (S1)

(

Dosen Pembimbing: Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA)

Disusun Oleh

Mualim Agung Wibawa

NIM : 105022000844

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011 M/1431 H


(2)

PERANAN KERAJAAN GOWA

DALAM PERNIAGAAN

ABAD XVII

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh

Mualim Agung Wibawa NIM. 105022000844

Dosen Pembimbing

Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA NIP. 195912221991031003

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul ”PERANAN KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN ABAD XVII”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 04 Januari 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.) pada program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.

Jakarta, 04 Januari 2011

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA. Sholikatus Sa’diyah, M.Pd. NIP: 195912221991031003 NIP: 197504172005012007

Anggota

Penguji Pembimbing

Drs. H. Azhar Saleh, MA Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA NIP: 195810121992031004 NIP: 195912221991031003


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 02 November 2010


(5)

i ABSTRAKSI

Nama: Mualim Agung Wibawa (105022000844) Judul : Kerajaan Gowa Dalam Perniagaan Abad XVII

Fokus perhatian studi ini adalah upaya untuk mengkaji dan mengungkapkan secara deskriptif naratif mengenai faktor-faktor yang menyebabkan Kerajaan Gowa pada abad XVII dapat berkembang menjadi Bandar internasional, Bandar transit dalam dunia perdagangan nusantara.

Sejak masa pra-Kolonial, pelabuhan Makassar (Somba Opu) sudah dikenal sebagai pintu ke kawasan timur Indonesia. Kota yang terletak di ujung selatan pulau Sulawesi ini memiliki sejarah yang panjang sebagai Bandar niaga yang kosmopolitan. Dasar-dasar kemajuan ekonomi Makassar pula tidak hanya faktor strategis sebagai entrepot yang menghubungkan kawasan Laut Jawa, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Banda, dan Jaringan lokal lainnya serta perdagangan jarak jauh dengan China, India, dan Eropa, tetapi juga sebagai produsen komoditi perdagangan penting, terutama beras. Dan jangkauan jaringannya telah mencapai hampir seluruh kawasan Nusantara, Australia Utara, Kepupalauan Filipina, Makao, China, dan beberapa kota pelabuhan di Semenanjung Malaya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi Somba Opu seperti letak geografisnya yang sangat strategis terutama letak dan iklimnya menyebabkan Kerajaan Gowa dapat berkembang dalam jaringan pelayaran dan perdagangan hingga menjadi bandar internasional, bandar transito di abad XVII. Penyebab lain adalah jumlah penduduknya yang terus meningkat dikarenakan raja memperkenankan kepada pedagang-pedagang dari seluruh Nusantara dan asing untuk tinggal dan menetap ataupun hanya berdagang di sekitar kerajaan Gowa atau pelabuhan Somba Opu. Luas kota (wilayah), dan sifat pemerintah terhadap para pedagang dan masyarakatnya yang senantiasa memberi perlindungan. Selain itu didukung pula oleh sarana dan prasarana seperti pasar, bandar niaga, laut dan alat transportasi laut. Pada akhir abad XVII yaitu pada tahun 1669 mengalami kemunduran hal ini disebabkan oleh VOC yang memonopoli perdagangan dengan mengembangkan prinsip laut tertutup (mare clausum).

Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyarankan agar para sejarawan dapat meningkatkan perhatiannya dalam mengungkap fakta-fakta sejarah lokal dari berbagai aspek sehingga gambaran kehidupan bangsa indonesia dan juga aspek-aspek kemaritiman dapat terungkap secara menyeluruh dan utuh.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus menyeru kepada iman, menuntun kepada jalan lurus, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari segala yang munkar.

Selanjutnya, selama penyusunan skripsi ini, banyak sekali hambatan yang penulis hadapi baik dari segi teknis maupun keterbatasan waktu, meskipun begitu semua ini tidak meyurutkan keinginan penulis untuk tetap menyelesaikan kewajiban serta tanggung jawab penulis sebagai mahasiswa di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir dalam perkuliahan di Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, adapun tujuan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Humaniora (S. Hum).

Sehubungan dengan penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bpk. DR. H. Abd. Wahid Hasyim, M. Ag. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan seizinnya skripsi ini dapat dibuat dan diujikan.

2. Bapak Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA., Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, yang telah banyak membantu penulis dalam ke


(7)

iii

akademikan dan yang telah dengan sabar serta teliti dalam memberikan bimbingan kepada penulis.

3. Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd. Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, yang telah banyak memberikan kemudahan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.

4. Bapak DR. H. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag. Dosen Penasehat Akademik, yang telah banyak memberikan nasehat-nasehat selama penulisan.

5. Seluruh staff dosen dan karyawan Fakultas Adab dan Humaniora, khususnya dosen Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.

6. Staff perpustakaan pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), dan perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) serta Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI Jakarta) yang telah memberikan data referensi kepada penulis.

7. Kedua orangtua, ayahanda Ruhiyat dan Ibunda Rohyati, yang telah banyak memberikan bantuan moril maupun materil serta do’a restu yang tak pernah putus beliau panjatkan, agar penulis dapat terus dan kuat untuk menyelesaikan skripsi, rasa cinta dan kasih sayang beliau yang begitu besar.

8. Kakakku, Enggalia Evriyanti Mulida, keponakanku Hanifah Putri, dan adikku Ammar Muhammad Zakkiniya, yang telah memberikan do’a, semangat, dan dukungan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.


(8)

iv

9. Teman-teman seperjuangan SPI angkatan 2005, khususnya, yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.

Penulis hanya dapat berdo’a semoga bantuan dan amal baik Bapak/Ibu/Sdr/i mendapat imbalan dari Allah Swt. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu, penulis mohon kritik dan saran yang membangun dalam rangka saling mengingatkan antara sesama manusia untuk menuju kearah kehidupan yang lebih baik. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 18 Februari 2011 Rabiulawal 1432 H


(9)

v

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI………....i

KATA PENGANTAR………ii

DAFTAR ISI……….......v

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN...vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...6

C. Tujuan Penelitian...7

D. Tinjauan Kepustakaan...9

E. Metodologi Penelitian...11

F. Sistematika Penulisan...13

BAB II POTRET WILAYAH DAN MASYARAKAT GOWA A. Letak Geografis...15

B. Demografis Masyarakat Gowa...19

C. Kerajaan Gowa Pra-Islam...20

D. Sistem Pemerintahan Pra-Islam...22

E. Sejarah Berdirinya Kerajaan Gowa...27

F. Perkembangan Kerajaan Gowa Pra-Islam...28


(10)

vi

BAB III ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA

A. Kehadiran Kerajaan Gowa dalam Perniagaan...34 B. Posisi Makassar dalam Jaringan Perdagangan

dan Sistem Perdagangan...39 C. Era Perdagangan dan Hubungan dengan Bangsa Lain...44 D. Alat Transportasi Perdagangan...51

BAB IV PERAN KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN ABAD XVII

A. Peran Kerajaan Gowa dalam Jaringan Pelayaran

Dan Perdagangan Nusantara...55 B. Kebangkitan Emporium dan Kapitalisme Ekonomi...59 C. Perdagangan Keramik Asing di Makassar...61

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...75 DAFTAR PUSTAKA...78 LAMPIRAN I


(11)

vii

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

ANRI : Asip Nasional Republik Indonesia EIC : East India Company

ENI : Encyclopaedie van Nederlansch Oost-Indie

KITLV : Koninklijk Instituut voor Taal-. Land en Volkenkunde RIMA : Review of Indonesian and Malaysian Affaires

TBG : Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde VOC : Vereenigde Oost-Indische Compagnie

BKI : Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van de Koninklijk Instituut


(12)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semangat bangsa Eropa untuk ke Asia dipengaruhi oleh berita Marco Polo1. Menurut berita tersebut, dunia timur (Asia Tenggara) memiliki tanah yang subur dan hasil rempah-rempah serta penduduknya ramah tamah, tanaman di dunia timur tidak pernah mengalami musim gugur seperti di Eropa, karena itu bangsa Eropa semakin terdorong dan berlomba-lomba mencari jalan ke Asia Tenggara lewat samudera.

Orang Eropa yang pertama datang ke Indonesia adalah orang Portugis, kemudian orang Spanyol, dan disusul oleh Belanda. Orang-orang Portugis datang ke Indonesia mempunyai tiga motif yaitu petualangan, ekonomi, dan agama. Sedangkan kedatangan orang-orang Belanda ke Indonesia mempunyai dua motif yaitu ekonomi dan petualangan.2 Pada tahun 1595 perseroan Amsterdam untuk pertama kalinya mengirim angkatan kapal ke Indonesia di bawah pimpinan Cornelis de Houtman.3 Mereka mendarat di pelabuhan Banten, dan mereka disambut baik oleh penguasa-penguasa Banten, karena maksud mereka hanyalah untuk berdagang.

Pada abad ke-16 Aceh masih merupakan pelabuhan kecil, namun sudah mulai disegani oleh tetangganya (Pidie dan Pasai) yang kemudian harus mengakui

1

A. Kardiyat Wiharyanto, Asia Tenggara Zaman Pranasionalime, (Jogjakarta: Universitas Sanata Dharma, 2005). Hal 94.

2

Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto, Pusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia,

(Jakarta: Balai Pustaka, 1992). Hal 45.

3

Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium.(Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993). hal. 70.


(13)

2 keunggulannya. Tome Pires melaporkan bahwa pada waktu itu (sekitar 1512) aceh memiliki 30-40 buah kapal berbentuk lancaran untuk keperluan maritimnya.

Suatu ketika Sultan Banten mendapat laporan bahwa nakhoda Belanda dengan anak buahnya itu keluar masuk kampung penduduk dengan sikap kurang ajar yang melukai perasaan penduduk. Sultan amat marah karena tamu tersebut melanggar sopan santun sebagai orang asing yang tidak menghormati adat istiadat serta keyakinan penduduk. Cornelis de Houtman dengan seluruh anak buahnya ditangkap dan dimasukan ke dalam penjara. Akan tetapi kawan-kawannya yang masih berada di kapal datang menghadapi Sultan dan memohon dibebaskannya semua tawanan dengan sanggup membayar uang tebusan.4

Di situlah orang-orang Belanda memperlihatkan sikap “manisnya” seolah -olah menunjukkan keinginannya untuk bersahabat dengan Banten. Mereka tidak tergesa-gesa memperlihatkan wataknya yang sesungguhnya. Belanda menanamkan kesan bahwa kedatangannya ke Banten semata-mata hendak berdagang. Tetapi malang nasib yang dialami Cornelis de Houtman. Dalam pelayarannya ketika menyinggahi Aceh, ia mati terbunuh.5

Pelayaran Belanda selanjutnya terjadi pada tahun 1598 yang dipimpin oleh Jacob van Neck, Waerwijk, Heemskerck yang berlabuh di pelabuhan Banten, mereka diterima baik oleh penguasa-penguasa Banten karena pada waktu itu Belanda dapat menyesuaikan dirinya juga karena Banten baru mengalami kerugian-kerugian akibat tindakan orang-orang Portugis.

4

Saefudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya. (Bandung :

Al-Ma’arif, 1981). hal. 375-376

5

Saefudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya. (Bandung :


(14)

3 Untuk menyaingi pelayaran dan perdagangan dengan orang-orang Barat itu maka Belanda mendirikan VOC. VOC merupakan serikat dagang Hindia Belanda yang didirikan pada tahun 1602 sebagai suatu wadah koperasi bagi pedagang Belanda yang sejak saat berdirinya membiayai semua usaha-usaha perdagangan Belanda dan semua aktifitas politik Belanda di kepulauan Indonesia.6 Didirikannya VOC (Verenigigde Oost Indische Compagnie) oleh Belanda karena terdorong oleh persaingan hebat dengan bangsa Inggris, Portugis, dan Spanyol.

Perkumpulan dagang Belanda (VOC) mengangkat Peter Both selaku gubernur Jenderal untuk Timur, Asia (1609-1614). Jan Pieterzoon Coen, pegawai perkumpulan dagang Belanda (VOC) yang diberi mandat sebagai gubernur Jenderal di Indonesia bila berhasil menguasai nusantara. Jelas sekali, bahwa sejak semula Belanda datang ke Indonesia bukan semata-mata hendak berdagang, tetapi tujuan utamanya politik, atau tegasnya yaitu kolonialisme, penjajahan.

Persaingan antar Belanda dan Portugis telah melipat gandakan harga pembelian lada, cengkeh dan pala dalam jangka waktu beberapa tahun yang memang pada saat itu rempah-rempah sangat sulit untuk mereka dapatkan, sedangkan perjalanan mereka untuk mendapatkan rempah-rempah ini memakan waktu yang cukup lama dan juga sulit. Tapi bila dilihat secara ekonomis, Belanda mempunyai kedudukan lebih kuat daripada Portugis.

Sebagaimana halnya dengan Banjarmasin, pelabuhan Makassar (Ujung Pandang) pun pada masa Tome Pires belum memainkan peranan yang penting. Mungkin pada waktu itu Sulawesi Selatan masih berada pada zaman peralihan

6


(15)

4 ketika kekuatan orang Makassar yang sebelumnya berpusat di Siang (kini Pangkajene Kepulauan) mulai menurun dengan munculnya kekuatan gabungan Gowa dan Tallo yang kemudian memeperkembangkan Makassar sebagai pelabuhan yang besar. Demikian pula dipantai Timur Sulawesi Selatan Kerajaan Luwu mundur berangsur-angsur sehingga akhirnya kerajaan Bone berhasil menjadi kekuatan Bugis yang terkemuka.7

Makasar dengan lokasi pelabuhannya yang baik sangat menarik sebagai stasiun dalam pelayaran antara Maluku dan Malaka. Kemudian kemunduran pelabuhan-pelabuhan Jawa mendorong perkembangan yang sangat pesat pada abad XVII. Di sini di kota Makassar dan daerah di dekatnya, Gowa, telah aktif dalam pelayaran dan perdagangan paling tidak dari awal abad ke-16.

Terletak di antara Jawa dan Maluku, kerajaan Makassar dan Gowa menduduki posisi yang secara strategis sangat menguntungkan. Setelah penguasa Makassar dan Gowa masuk Islam pada 1605, kekuatannya pun mulai menyebar ke daerah-daerah lain di semenanjung Sulawesi bagian barat daya, pantai timur Kalimantan dan sebagian Kepulauan Sunda Kecil, khususnya di pulau Sumba dan Sumbawa. Raja-rajanya memaksa penguasa Buton (lepas pantai Sulawesi bagian tenggara) untuk mengalihkan pengakuan kedaulatannya dari Ternate ke Gowa. Portugis, yang terusir dari sebagian besar Maluku, menjadikan Makassar kantor pusat mereka untuk perdagangan rempah.

Para sultan Makassar, walaupun mereka Muslim, mengikuti kebijakan dengan hati-hati terhadap orang Eropa, dan menyatakan bahwa mereka ingin tetap netral dalam perang antara Belanda dan Portugis. Mereka menolak kedua belah

7

Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga Di Indonesia, Jilid I: Pra Sejarah Hingga 17 Agustus 1945, (Jakarta: Yayasan Pusat Studi Pelayaran Niaga Di Indonesia / PUSPINDO, 1990). Hal. 47.


(16)

5 pihak itu untuk membangun pos dagang berbenteng di wilayah mereka. Portugis, yang merasa aman di bawah perlindungan sang Sultan, dengan rela tunduk pada semua peraturannya. Orang Belanda mendirikan ”lodge”, yaitu kantor dagang di Makassar tapi karena menggunakan cara yang kasar dalam mengahadapi beberapa pengutang dari kota itu, maka merekapun mendapat kemarahan Sultan. Dari sejak itu sampai 1667, Makassar tetap menjadi pusat oposisi terhadap orang Belanda. Portugis, Inggris, dan bahkan Denmark berdagang dari pelabuhan itu, di situ perdagangan berlangsung marak.

Pada abad ke tujuh belas, Makasar sudah merupakan bandar dan pelabuhan yang ramai di Indonesia bagian timur, kota ini sangat penting artinya terutama dalam perdagangan hasil bumi yang pada waktu itu sangat digemari dan sangat dibutuhkan oleh dunia. Letaknya sangat strategis dan baik sekali ditengah-tengah lalu lintas perdagangan antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur.

Tidaklah mengherankan jikalau kerajaan Gowa mendapat perhatian yang besar sekali dari orang-orang asing. Orang-orang Eropa seperti orang Portugis, orang Spanyol, orang Inggris, dan juga orang Belanda yang berusaha mencari hubungan dan ingin bersahabat dengan raja Gowa.8

Orang-orang Belanda ketika datang ke Indonesia pada mulanya tidak menaruh perhatian kepada kerajaan Gowa yang terletak di kaki barat Sulawesi Selatan. Belanda pada mulanya dalam perjalanan ke timur sesudah berangkat dari pelabuhan-pelabuhan Jawa, mereka meneruskan perjalanannya ke Maluku. Tentang pentingnya kerajaan Gowa baru diketahui setelah mereka merampas

8

M. D. Sagimun, Sultan Hasanuddin Ayam Jantan dari Ufuk Timur. (Jakarta. Balai Pustaka, 1992). Hal. 87.


(17)

6 kapal Portugis di dekat perairan Maluku yang ternyata memiliki seorang awak Makasar.

Dari orang Makasar mereka mengetahui bahwa pelabuhan Gowa merupakan transito dari kapal-kapal yang berlayar dari atau ke Maluku. Dari keterangan-keterangan ini Belanda dapat menarik kesimpulan bahwa pelabuhan Gowa sebenarnya sangat baik karena terletak antara Malaka dan Maluku.9

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembentukan Gowa sebagai kota perdagangan, tidak dapat dipahami tanpa pengetahuan tentang kehidupan perniagaan penduduk Sulawesi Selatan dan posisi Makassar dalam peta perdagangan Nusantara baik pada masa Kerajaan maupun masa pemerintahan Hindia Belanda. Tampilnya Kerajaan Gowa sebagai kerajaan perdagangan tidak dapat dipisahkan dari posisi Makassar yang secara Geografis sangat strategis di tengah jaringan pelayaran Nusantara dan Asia Tenggara.

Ruang lingkup penelitian ini bersifat ekonomi, topik utama yang akan dianalisis dalam penelitian ini, secara khusus terfokus pada hal-hal yang bertalian dengan perdagangan, seperti komoditi perdagangan berupa barang ekspor dan impor, alat transaksi dan pelaksanaan perdagangan.

Untuk menghindari melebarnya pembahasan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membatasi pembahasan pada “PERANAN KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN ABAD XVII”.

9

Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto, Pusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia,


(18)

7 Untuk memahami pertumbuhan kota Makassar perlu adanya penelusuran sejarah bandar ini. Beberapa pertanyaan dapat diajukan sebagai permasalahan, yaitu:

1. Sejak kapan Kerajaan Gowa berperan dalam percaturan perdagangan Nusantara?

2. Faktor-faktor apakah yang mendukung Kerajaan Gowa menjadi Bandar Perniagaan?

3. Jenis-jenis Komoditas apakah yang diperjualbelikan di Makassar?

C. Tujuan Penelitian

Selama ini penelitian sejarah banyak terpusat di Jawa mungkin karena sumber-sumbernya lengkap. Di wilayah-wilayah luar Jawa belum banyak diteliti memang karena sumber-sumbernya kurang. Sekarang tiba waktunya untuk mengusahakan penelitian sejarah di luar Jawa perlu dikembangkan, sehingga gambaran sejarah nasional menjadi makin lengkap, disamping untuk mengimbangi penelitian sejarah Jawa. Oleh karena itu studi sejarah lokal di luar Jawa seperti pengkajian sejarah Kerajaan Gowa ini sangat penting artinya terutama dalam rangka penelitian sejarah Indonesiasentrisme.

Dipilihnya kajian ini, karena dapat dikatakan bahwa rentang waktu abad ke XVII yang oleh Anthony Reid disebut sebagai The age of Commerce merupakan periode yang dinamis, yang memperlihatkan besarnya pengaruh internal dan eksternal. Yang dimaksud dengan internal adalah terjadinya perkembangan kerajaan Gowa setelah bersatu dengan kerajaan Tallo dan adanya konflik intern dalam perebutan hegemoni antara kerjaaan Gowa dengan kerajaan


(19)

8 Bone. Sedangkan pengaruh eksternal adalah adanya konstelasi pertikaian dan perebutan hegemoni antara kekuatan perdagangan Portugis dengan perdagangan Belanda, serta terjadinya pergeseran jalur pelayaran dan Jaringan perdagangan dari Jawa Timur ke Makassar.10Kondisi ini sangat berpengaruh pada penetapan dan pengembangan jaringan perdagangan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan faktor-faktor yang mendukung terbentuknya Kerajaan Gowa sebagai Bandar Niaga pelabuhan Maritim. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memahami hubungan antara kota pelabuhan dengan perkembangan kebudayaan sebagai akibat interaksi antar bangsa yang menyertai kegiatan perdagangan. Penulisan skripsi ini mempunyai tujuan umum, yaitu:

1. Menambah wawasan intelektual khususnya wawasan kesejarahan, terkait sejarah Nusantara. Khususnya mengenai Kerajaan Gowa dalam perniagaan di Nusantara abad XVII.

2. Mengungkapkan sistem perdagangan, sistem pengelolaan pelabuhan, jenis komoditas yang diperjualbelikan, dan faktor-faktor yang mendukung Kerajaan Gowa sebagai kota niaga maritim.

3. Untuk menyumbang hasil karya penelitian mengenai Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara abad XVII di Perpustakaan, khususnya perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah, dan perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora.

10

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Terjemahan), (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995). Hal. 103.


(20)

9 D. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Seperti telah diungkapkan pada halaman sebelumnya, penulisan sejarah Nusantara khusunya di luar pulau Jawa masih sangatlah minim. Namun ada beberapa sejarahwan asing dan lokal yang telah melakukan penelitian tentang daerah Makassar. Sumber lokal penting bagi kajian Makassar khususnya Kerajaan Gowa adalah Naskah Perjanjian Bongaya “Bongaas CH Verdrag, 18 November 1667”11 yang merupakan salah satu koleksi dari Arsip Nasional Republik Indonesia; “Lontara’ Patturioyoloanganna ri tu-Gowaya”, milik: Arsip Nasional Republik Indonesia. Naskah maupun Lontara ini merupakan salah satu sumber lokal yang memuat cerita tentang sejarah awal kerajaan-kerajaan di Makassar. Meskipun berbentuk naskah dan lontara’ yang kebenarannya sulit untuk dibuktikan. Nilai yang dapat diambil dari sumber tersebut, penulis berpendapat bahwasannya lontara ini bisa memberikan cerminan kehidupan bermasyarakat, berpolitik, melakukan kegiatan ekonomi dan perdagangan yang menitik beratkan untuk kesatuan dan persatuan bangsa.

Tulisan lain tentang Makassar juga telah dilakukan oleh A. Makkarausu Amansyah dalam bingkisan tahun I/20, dengan judul, Imangngakrangi Daeng

Manrabbia Karaeng Somba ke XIV, dalam bingkisan ini banyak memberikan

gambaran tentang konstalasi politik Tumapa’risi Kallonna yang dianggap unggul dalam ekspansi territorial. Pada sumber ini penulis berpendapat bahwa kehidupan

11(18 November) “Bongaisch Tractaat (contract van vreide vrind in bond genootschaap

tuschen de heer Cornelis Speelman en den Paduka Sierie Sulthan Kaslan oudijn koning van

Macassar en descelfs”, (bundel No. 273. dan “Geschiedkundig overzigt van Celebes”, 1 band.


(21)

10 berpolitik sangatlah penting untuk menjalin persahabatan dan juga persaudaraan antar bangsa serta dapat pula memajukan perekonomian suatu bangsa.

J.C. Van Leur dalam bukunya yang berjudul “Indonesian trade and society

Lessays in asian social and economic history”12 telah memberikan informasi

tentang situasi dan kondisi ekonomi dan perdagangan di Nusantara yang sudah sejak dulu melakukan hubungan interaksi dengan bangsa asing khususnya Belanda (VOC). Buku ini banyak memberikan gambaran mengenai produk-produk yang diperjualbelikan terutama pada abad XVII di Nusantara dan khususnya di kepulauan Sulawesi Selatan yang ketika pada masa kejayaan Kerajaan Gowa mempunyai peranan yang sangat penting dalam perdagangan dan pelayaran di wilayah Indonesia bagian timur.

Sejarah Makassar pada abad XVII, pernah dtulis oleh Darmawati A. Dalam tesisnya “Somba Opu Dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan

Nusantara Abad XVII.13 Tulisan ini berisikan tentang bagaimana perdagangan

rempah-rempah yang meningkat pada abad XVII berpengaruh terhadap kondisi politik Kerajaan Gowa. Di dalam tesis ini dijelaskan mengenai perdagangan rempah-rempah yang sangat popular ketika itu, yang mana rempah-rempah pada waktu itu sangat dibutuhkan oleh bangsa Eropa dan juga Asia lainnya. Bahkan harganya lebih mahal dibandingkan dengan komoditas lainnya seperti keramik, beras, lada, dan lain sebagainya.

12

J.C. Van Leur, Indonesian trade and society Lessays in asian social and economic history, (Bandung : Sumur Bandung, 1960). Hal. 403-404.

13

Darmawati, A. Somba Opu Dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Nusantara Abad XVII (Tesis Fakultas Pascasarjana UNM, Makassar: Universitas Negeri Makassar, 2002). Hal. 17-18.


(22)

11 E. METODOLOGI PENELITIAN

Penulisan sejarah merupakan hasil rekonstruksi imajinatif terhadap masa lampau dengan melalui suatu proses intelektual pada metode-metode sejarah.

Dalam penulisan ini penulis menggunakan pendekatan multi-dimensional. Dengan menggunakan pendekatan multi-dimensional diharapkan dapat memberikan gambaran sejarah menjadi lebih bulat dan menyeluruh sehingga dapat dihindari kesepihakan atau determinisme. Karena hubungan antara suatu aspek memberikan pengaruh terhadap aspek lainnya.14

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode Deskriptif naratif. Disini penulis berusaha mendeskripsikan dan atau menggambarkan suatu peristiwa atau kondisi yang terjadi di Nusantara sekitar abad XVII yang telah membawa pengaruh kepada perkembangan perdagangan di Kerajaaan Gowa. Tujuannya adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memperifikasi serta mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat. Adapun langkah-langkah penelitiannya adalah sebagai berikut :

Heuristik.Tahapan ini merupakan tahapan atau kegiatan menemukan dan

menghimpun sumber, informasi, serta jejak-jejak masa lampau. Sumber yang penulis temukan dalam tahapan Heuristik ini adalah sumber tertulis, sumber tertulis dibagi ke dalam dua bagian yaitu, sumber primer dan sumber sekunder.

Sumber primer adalah, sumber yang keterangannya diperoleh secara langsung dari

orang yang menyaksikan peristiwa secara langsung dengan mata kepalanya sendiri. Sumber sekunder adalah, sumber yang keterangannya diperoleh dari

14

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992). Hal. 87.


(23)

12 orang yang tidak menyaksikan peristiwa secara langsung. Dalam usaha mendapatkan data dengan metode ini, penulis melakukan kunjungan ke beberapa perpustakaan antara lain: Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan juga ke Arsip Nasional Indonesia (ANRI) untuk mendapatkan arsip-arsip Belanda, ataupun tempat-tempat lain yang dapat penulis manfaatkan untuk mencari sumber-sumber yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini. Baru setelah itu, data-data dihimpun dan diseleksi guna dijadikan sebagai rujukan utama dalam upaya penulis mendeskripsikan tentang tema yang telah penulis angkat.

Kritik. Tahapan ini merupakan tahapan atau kegiatan meneliti sumber

informasi secara kritis. Sumber yang telah ditemukan melalui tahapan Heuristik itu diuji lebih lanjut, pengujian itu dilakukan melalui kritik. Baik kritik intern maupun kritik ekstern.

Interpretasi. Tahapan ini merupakan tahapan menafsirkan fakta-fakta serta

menetapkan makna yang saling berhubungan dari mulai fakta yang satu dengan fakta yang lainnya sehingga diperoleh data atau keterangan dari permasalahan yang dimaksud.

Historiografi. Tahapan ini merupakan tahapan atau kegiatan

menyampaikan hasil-hasil rekonstruksi imaginatif daripada masa lampau sesuai dengan jejak-jejaknya. Dengan perkataan lain, tahapan Historiografi adalah


(24)

13 tahapan kegiatan penulisan. Hasil penafsiran atas fakta-fakta itu ditulis menjadi kisah sejarah yang selaras.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini tersusun dari lima bab di antaranya:

Bab I adalah pendahuluan tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, studi kepustakaan, metodologi penelitian dan juga sistematika penulisan.

Bab II menjelaskan tentang potret wilayah dan kehidupan masyarakat Gowa, demografis masyarakat Gowa, kerajaan Gowa pra Islam, sistem pemerintahan kerajaan Gowa, dan sejarah berdirinya Kerajaan Gowa, serta perkembangan Kerajaan Gowa pra-Islam, juga islamisasi kerajaan Gowa. Mengingat letaknya yang strategis di tengah-tengah jalur perdagangan Nusantara telah menjadikan Makassar banyak disinggahi oleh para pedagang dan juga para ulama dari seluruh nusantara yang sengaja ingin berdagang maupun berdakwah ke daerah Makassar dan sekitarnya.

Bab III, bab ini memberikan penjelasan tentang sejarah awal kehadiran kerajaan Gowa sebagai bandar niaga. Serta membahas posisi Makassar dalam jaringan perdagangan dan sistem perdagangan, dan era kemajuan perdagangan juga hubungan perdagangan dengan bangsa lain, dan yang terakhir membahas tentang alat transportasi yang digunakan oleh para pedagang. Hal ini sangat diperlukan mengingat bahwa kerajaan Gowa atau pelabuhan Somba Opu terletak di tengah-tengah kepulauan Nusantara sehingga mudah untuk dikunjungi oleh para pedagang asing maupun lokal.


(25)

14 Bab IV membahas tentang periode dimana Kerajaan Gowa telah berperan dalam jaringan pelayaran dan perdagangan di Nusantara, kebangkitan emporium dan kapitalisme ekonomi, serta perdagangan keramik asing di Makassar. Pokok bahasan dalam bab ini membahas seputar seberapa besar peran Kerajaan Gowa dalam memajukan perdagangan.

Bab V berisi tentang kesimpulan penelitian serta saran-saran untuk penelitian lanjutan.


(26)

15 BAB II

POTRET WILAYAH DAN MASYARAKAT GOWA

A. Letak Geografis

Suatu hal yang jelas dalam konteks pembicaraan sebuah Negara ialah adanya paling tidak tiga unsur yang mendukung berdirinya negara tersebut: daerah tertentu, daerah itu punya rakyat, dan adanya kekuasaan yang berdaulat. Dari sisi lain, sebuah negara pada dasarnya adalah hasil perjanjian manusia, karena ingin mempertahankan kemerdekaan sebagai naluri manusiawinya. Oleh mereka diadakanlah perjanjian dan dibentuklah sebuah negara yang mana mereka semua menjadi warganya.1

Kata ”Makassar” selalu digunakan untuk menerangkan kata yang mendahuluinya, seperti orang Makassar, Tanah Makassar, Kerajaan Makassar, dan Kota Pelabuhan Makassar. Orang Makassar adalah salah satu kelompok etnis yang bermukim di wilayah pesisir barat dan selatan Sulawesi bagian selatan. Pulau ini terletak antara Kalimantan di bagian barat dan Kepulauan Maluku di sebelah timur serta anatar kepulauan Sulu yang meupakan wilayah Filipina disebelah utara dan kepulauan Nusa Tenggara di sebelah selatan. Masing-masing secara berurutan, dipisahkan oleh Selat Makassar dan Laut Banda serta Laut Maluku, Laut Sulawesi, dan Laut Flores.

Bila dilihat dari atas langit Kepulauan Sulawesi maka akan terlihat bahwa bentuk Pulau Sulawesi menyerupai huruf ”K” sehingga memiliki empat jazirah dan

1

Abd. Kadir Ahmad, Islam Di Tanah Gowa. (Makassar-Sulawesi Selatan: Penerbit INDOBIS Graphic Design, 2004). hal. 9.


(27)

16 tiga teluk. Antara jazirah selatan dan jazirah tenggara terdapat Teluk Bone; antara jazirah tenggara dan jazirah baratlaut terdapat Teluk Tomini; dan antara jazirah baratlaut dan jazirah utara terdapat Teluk Tomini atauTelukGorontalo. Wilayah permukiman kelompok etnis Makassar, yang disebut Tanah Makassar, meliputi daerah yang kini dikenal sebagai: Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Maros, Kotamadya Makassar, Gowa, Bantaeng, dan Bulukumba.2

Pentingnya penentuan lokasi ini bukan saja untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang wilayah Kerajaan itu sendiri, tetapi juga untuk dapat dimengerti betapa aspek geografis memberikan dampak yang besar terhadap corak kebudayaan masyarakat. Secara geografis Kerajaan Gowa terletak pada koordinat antara 5° 33’ 6” sampai 5° 34’ 7” Lintang Selatan dan 12° 38’ 6” sampai 12° 33’ 6” Bujur Timur.

Memang Selat Makassar sejak dahulu sudah menjadi jalur lintas perdagangan yang terkenal. Kemungkinan itu dapat dilihat dengan ditemukannya Kerajaan tertua di Indonesia, Kutai (400 M) dengan salaha seorang rajanya yang termasyhur yang bernama Mulawarman. Dengan demikian di selat Makassar sejak abad ke V M, tidak mustahil terdapat kerajaan-kerajaan lokal, misalnya kerajaan Gowa. Letak Geografis yang demikian strategis itulah yang memberikan watak tersendiri kepada Gowa sebagai Kerajaan maritim, dan mampu mengembangkan sayapnya kesegala penjuru baik dalam arti ekonomi, maupun politik.

Pada pase tertentu dari perkembangannya Gowa merupakan persimpangan jalur lintas perniagaan antara Timur dan Barat Nusantara. Bahkan pada masa

2

Edward L. Poelinggomang, “Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan


(28)

17 kejayaannya (abad XVII M) kekuasaan dan atau pengaruh Kerajaan Gowa sudah mencapai batas-batas yang sedemikian jauh, meliputi :

a. Laut Tiongkok Utara dan Philipina di Utara.

b. Daerah Kerajaan Ternate dan bahkan pantai Utara Benua Australia di Timur. c. Selat Karimata, Lautan Nusantara (sekarang Laut Jawa) dan Selat Lombok di

Barat.

Dengan pengaruh di sini dimaksudkan bahwa daerah-daerah tersebut sudah pernah dijelajahi oleh pelaut-pelaut Gowa.

Selain pantai Utara Benua Australia tempat-tempat yang sudah terjangkau oleh para pelaut Gowa (Makassar) di luar Nusantara ialah ”Sulu, Mindanao, Siam, Hongkong, Makao, Malaka, Kalikut di India dan juga bahkan bukan tidak mungkin sampai ke pulau Madagaskar dan pantai Timur Benua Afrika”.3

Apabila dilihat dari persamaan bahasa yang digunakan maka dapat diketahui pada suatu fase dalam perkembangannya semua daerah yang berbahasa Makassar pernah menjadi daerah inti Kerajaan Gowa sejak dari Pangkaje’ne kepulauan, Maros, Makassar, Takalar, Je’neponto, Bantaeng dan sebagian Bulukumba.

Letak geografis yang sangat strategis ini memungkinkan Gowa dapat memperoleh gengsi internasional dalam kehidupan maritim dan politik sekaligus memberikan dampak yang besar terhadap pembentukan kehidupan orang Gowa yang dinamis kreatif. Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh A.A. Cense bahwa

3Ibid.,


(29)

18 ”suatu masyarakat seperti Gowa yang sepanjang masa telah merasakan pengaruh asing berganti sama sekali bukan masyarakat yang statis”.4

Dengan lokalisasi seperti disebutkan bahwa Kerajaan Gowa terletak pada daerah dataran tinggi dan dataran rendah yang terletak di sepanjang pesisir pantai dan yang dialiri oleh sungai Je’neberang. Hal ini memungkinkan adanya penghidupan ganda di sektor maritim (nelayan) dan di sektor pertanian yang ternyata telah mampu menunjang munculnya Gowa sebagai kerajaan yang besar di zamannya.

Orang-orang Gowa digolongkan ke dalam suku bangsa Makassar (Tu

Mangkasara’). Seperti halnya suku-suku bangsa lain di Nusantara, suku Makassar berasal dari India yang datang ribuan tahun yang lalu secara bergelombang. Menurut penelitian para Etnolog, orang Makassar termasuk turunan orang Melayu Muda

(Dentro Melayu) yang datang pada gelombang kedua. Sebelum mereka datang di

Sulawesi Selatan sebelumnya sudah ada orang Melayu Tua tetapi kemudian terdesak dari pesisir pantai oleh Melayu Muda. Dengan demikian dapat diduga keturunan Melayu Muda didukung oleh suku bangsa Makassar, Bgis dan Mandar.

Jati dirinya adalah kelompok masyarakat beretnis Makassar. Dalam sejarah perjalanan panjang telah tercipta suatu momentum dalam hidup dan kehidupan yang dapat mencerminkan kekhasan sebagai masyarakat Gowa. Bentuk kekhasan inilah yang diprediksikan sebagai unsur budaya yang telah dihasilkan masyrakat Gowa dalam menapak perjalanan panjang.5

4

A.A. Cense, Beberapa Catatan Mengenai Penulisan Sejarah Makassar, (Bugis. Bhratara, 1972). hal. 16.

5

Pananrangi Hamid, Sejarah Daerah Gowa. (Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional,1990).hal. 60.


(30)

19 B. Demografis Masyarakat Gowa

Didukung oleh kondisi alam yang cukup memadai dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat Gowa, sebelumnya telah hidup menggeluti berbagai jenis bidang usaha, seperti di antaranya berburu, meramu, menangkap ikan, bertani, dan beternak.

Berburu merupakan suatu kegiatan dalam usaha memenuhi kebutuhan masyarakat. Binatang buruan saat itu adalah rusa dan babi. Pemburuan binatang sejenis rusa, dilakukan guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging sebagai bahan konsumsi. Sedangkan pemburuan binatang babi dilakukan dengan tujuan untuk usaha pemberantasan binatang perusak tanaman.

Kegiatan meramu merupakan suatu usaha yang dilakukan masyarakat, guna memenuhi kebutuhan hidup akan berbagai hasil hutan. Seperti di antaranya kayu bakar, damar, dan rotan. Kegiatan menangkap ikan dilakukan masyarakat saat itu memanfaatkan sarana penangkapan di sungai dan di laut. Sehingga ikan yang ditangkap terdiri atas ikan jenis air tawar dan ikan laut. Semua bentuk penangkapan dilakukan dengan memanfaatkan cara dan peralatan tradisional, seperti di antaranya perangkap yang terbuat dari bambu dan jenis jala.

Bertani dilakukan masyarakat saat itu dengan memanfaatkan dua jenis lahan, yaitu lahan kering dan lahan basah. Lahan kering difungsikan untuk tanaman perkebunan. Para petani berusaha di sektor persawahan dengan menanam padi di musim penghujan, dan di musim kemarau diselingi tanaman palawija dan berbagai jenis sayur-sayuran.


(31)

20 Kegiatan beternak diusahakan masyarakat guna memenuhi kebutuhan hidupnya akan daging ternak, di samping usaha pemenuhan kebutuhan akan media pembajak lahan persawahan. Jenis ternak untuk kebutuhan konsumsi. Seperti ayam, itik, dan kambing. Sedangkan hewan kerbau dan sapi untuk keperluan pembajak sawah.

Sedangkan kegiatan lainnya hingga saat ini menjadi mata pencaharian pokok masyarakat Gowa secara umum, seperti bertani, beternak, dan menangkap ikan. Bahkan cara dalam jenis peralatan operasional yang digunakan dalam menekuni usaha bertani, beternak, dan menangkap ikan sudah berubah ke cara dan peralatan yang lebih profesional dan modern.6

C. Kerajaan Gowa Pra-Islam 1. Kepercayaan Pra-Islam 1.1. Kepercayaan Masyarakat

Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Kerajaan Gowa, penduduknya telah mengenal dan menganut kepercayaan asli,7 suatu faham dogmatis yang terjalin dengan adat-istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, terutama pada suku bangsa yang masih terbelakang. Pokok kepercayaannya merupakan apa saja dari adat dan kebiasaan hidup yang mereka peroleh dari warisan nenek moyangnya. Kepercayaan asli tersebut umumnya bersifat animisme dan dinamisme.

6

Pananrangi Hamid, Sejarah Daerah Gowa. Hal. 61

7

Menurut Rachmat Subagya, kepercayaan asli atau agama asli adalah kerohanian/kepercayaan khas dari suatu bangsa atau dari suku bangsa, yang berasal dan dikembangkan di tengah-tengah bangsa itu sendiri, dan tidak dipengaruhi oleh kerohanian/kepercayaan bangsa lain atau menirunya. Kepercayaan ini timbul dan tumbuh secara spontan bersama suku bangsa itu sendiri. Lihat: Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981). Hal. 1.


(32)

21 Sebagai pengantar dalam pemujaan dan upacara kurban, orang yang memegang peranan penting adalah kasuwiang-kasuwiang8 dan anrong-guru9, tau-towa10, dibantu oleh para bissu,11 pinati12 dan sanro (dukun).13 Kesemuanya menggunakan ilmu-ilmu gaib, ilmu sihir dengan bermacam jenis jampi dan mantera-manteranya, dengan berbagai alat penangkal, dan jimat sebagai mediator untuk mengusai alam dan sekitarnya, menundukkan makhluk-makhluk bernyawa. Mereka pulalah yang menentukan mana pantangan, pemali kasipali,14 yang merupakan jenis larangan yang bertalian dengan kepercayaan itu dengan adat. Mereka pula yang menetapkan hukumnya, bahwa barang siapa melanggar pantangan-pantangan tertentu terhadap larangan tertentu, akan ditimpa berbagai bencana.15

Hal ini dapat diketahui dari kesaksian orang-orang Portugis yang sekali pun hanya memberi keterangan yang terlalu singkat tentang kepercayaan dan ibadah keagamaan di wilayah Kerajaan Gowa pada abad XVI, namun demikian data ini menarik, sekalipun sebenarnya agama orang Gowa zaman dahulu dapat diketahui

8

Kasuwiang-kasuwiang adalah semacam pemuka-pemuka adat atau juga orang yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan acara keagamaan.

9

Anrong Guru adalah semacam sesepuh adat.

10

Tau-towa adalah yang bertindak untuk membacakan mantra-mantra.

11Bissu

biasanya bertanggung jawab atas benda-benda keramat yang tertinggi dan dilibatkan dalam upacara-upacara besar kerajaan yang terdapat pada kerajaan-kerajaan besar.

12

Pinati melakukan upacara untuk benda-benda keramat yang kurang penting dan juga dilibatkan dalam upacara-upacara kecil untuk pertanian, sunatan, kematian, dan perkawinan.

13

Mengenai jenis-jenis sanro, lihat: T. Sianipar, ”Obat dan Mantera Peranan Dukun dalam Masyarakat Bugis-Makassar,” dalam Dukun Mantra Kepercayaan Masyarakat, (Jakarta: Grafikatama Jaya, 1992). Hal. 17-20.

14

Pemali kasipali, merupakan suatu jenis larangan yang berhubungan dengan adat. Dikatakan bahwa barang siapa yang melanggar larangan ini akan ditimpa bencana.

15

Ahmad Makarausu Amansjah, “Kepercayaan-kepercayaan Bugis-Makassar Sebelum Mengenal Islam”, (dalam Bingkisan No. 18, Th. I, 1968). Hal. 6-7.


(33)

22 dengan melihat sisa-sisa kepercayaan yang kita lihat saat ini, dan melalui kesusasteraan pra-Islam, khususnya cerita mitos La Galigo.16

1.2. Pranata Keagamaan

Secara historis, pranata keagamaan atau kepercayaan di wilayah Kerajaan Gowa telah cukup mapan, jauh sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, karena mereka telah menganut ajaran yang lebih menekankan kepada kerohanian-kejiwaan. Masyarakat Gowa sadar bahwa dunianya terdiri dari dua aspek, yaitu dunia yang nyata dan dunia yang tidak tampak. Dunia yang tidak tampak adalah dunia di luar jangkauan panca inderanya dan menurut keyakinannya bahwa di dalam dunia itu terdapat berbagai makhluk dan kekuatan alam yang tidak dapat dikuasai oleh manusia secara biasa, melainkan dengan cara yang luar biasa. Akibat ketidak berdayaan untuk menghadapi kemurkaan makhluk dan kekuatan alam tersebut, timbullah ketakutan terhadap mereka. Demikianlah asal mula terbentuknya pranata keagamaan menurut kepercayaan animisme, dinamisme dan kepercayaan kepada Dewata. Sangat sulit menentukan secara pasti kapan kepercayaan itu dimulai, karena sampai sekarang pun kepercayaan tersebut masih ada sebagian masyarakat yang tetap menganutnya.17

2. Sistem Pemerintahan Pra-Islam

Pada awal pertumbuhan Kerajaan Gowa, sewaktu kerajaan ini masih merupakan suatu federasi kerajaan kecil (gallarang) kehidupan kenegaraan diatur oleh

16

Periksa: Gilbert Hamonic “Studi Perbandingan Kosmogoni Sulawesi Selatan tentang

Naskah Asal-Usul Dewata-Dewata Bugis yang belum pernah diterbikan”, dalam Citra Masyarakat Indonesia, (Jakarta: PT Sinar Harapan-Archipel, 1983). Hal. 13-40.

17


(34)

23 seorang ketua umum yang disebut paccalaya. Peranan ini selanjutnya hilang dengan munculnya tokoh Tumanurung yang selanjutnya akan menjadi tokoh utama dalam pemerintahan Kerajaan Gowa. Ia merupakan simbol persatuan seluruh orang Makassar, karena dipandang lebih mulia dari orang lain, maka ia digelari sombaya. Untuk lebih rincinya akan diurutkan susunan pemerintahan Kerajaan Gowa seperti berikut ini:

Sombaya adalah gelar raja yang memimpin Kerajaan Gowa. Adapun yang

paling sesuai dan memenuhi syarat untuk menjadi raja di Gowa ialah yang disebut Karaeng ti’no. Karaeng ti’no di Gowa ialah seorang yang baik ayah maupun ibunya berdarah bangsawan tertinggi, dan masih dianggap keturunan langsung dari raja Gowa pertama. Raja Gowa memiliki kekuasaan mutlak (absolut). Dalam bahasa Makassar diistilahkan: ”makkanama’ numammio” artinya: ”aku berkata dan engkau mengiyakan”, maksudnya: aku bertitah dan engkau harus mengiyakan”. Ini bermakna bahwa semua titah raja harus di- ”iya” kan dan dituruti. Begitu absolutnya kekuasaan seorang raja Gowa. Dalam menjalankan pemerintahan, raja Gowa didampingi oleh beberapa orang pembesar atau pejabat Kerajaan18, yakni:

Pertama, pabbicara butta.19Arti sebenarnya juru bicara tanah atau juru bicara

negeri. Jabatan ini adalah merupakan jabatan tertinggi setelah raja, yang dapat disetarakan dengan jabatan perdana menteri, mahapatih atau mangkubumi kerajaan.

18

Abdurrazak Daeng Patunru, Sejarah Gowa, (Ujung Pandang: YKSS, 1993). Hal. 127-129; Sagimun M. D., Sultan Hasanuddin Menentang VOC, (Jakarta: Depdikbud, 1986). Hal. 5-15.

19Pabbicara buta

adalah juru bicara negeri yang jabatannya hampir setara dengan perdana menteri.


(35)

24

Kedua, tu-mailalang towa20 (towa = tua; tu = orang; ilalang = dalam).

Jabatan ini adalah jabatan pembesar kerajaan yang berfungsi menyampaikan dan meneruskan segala perintah raja Gowa kepada kepala distrik, atau kepala wilayah, dan lain-lain. Selain itu ia bertugas menjaga agar supaya segala perintah raja Gowa dilaksanakan sungguh-sungguh dan sering pula mendampingi sidang-sidang yang diadakan untuk membahas persoalan yang sifatnya sangat mendesak. Tumailalang

towa-lah yang menyampaikan kepada sidang tersebut segala kehendak dan titah raja

Gowa. Segala keputusan, saran-saran atau pesan-pesan raja Gowa, juga disampaikan oleh tumailalang towa.

Ketiga,tu-mailalang lolo.21 Pembesar kerajaan ini selalu berada di dekat raja

Gowa. Pejabat inilah yang menerima usul-usul dan permohonan untuk diteruskan kepada raja Gowa. Ia menyampaikan segala perintah raja mengenai persoalan rumah tangga istana. Jabatan tumailalang towa dan tumailalang lolo diangkat dan diberhentikan oleh raja Gowa.

Keempat, tu-kajannagang

22

. Jabatan ini Semacam menteri kerajaan yang memegang urusan keamanan dalam negeri. Dia menjadi penuntut umum kerajaan dan mengatur tata tertib dalam lingkungan pejabat-pejabat istana raja Gowa. Mereka sering membahas dan merencanakan segala persoalan yang bersangkutpaut

20 Tu-mailalang towa.

Jabatan ini adalah jabatan pembesar kerajaan yang berfungsi menyampaikan dan juga meneruskan segala perintah raja kepada kepala-kepala perwakilan setiap wilayah.

21 Tu-mailalang lolo.

Merupakan pejabat yang menerima segala usulan-usulan dan juga permohonan dan kemudian diteruskan kepada raja.

22Tu-kajannagang.

Ini merupakan jabatan semacam menteri yang memegang segala urusan keamanan dalam negeri.


(36)

25 peperangan. Juga dikenal jabatan pati-matarang23; semacam menteri kerajaan yang mengatur urusan pertahanan dan peperangan. Pejabat ini yang memilih dan menetapkan laskar-laskar Gowa untuk diturunkan ke medan perang.

Kelima, gallarang24. Untuk mempermudah pengawasan administrasi dari

pusat terhadap daerah-daerah yang tersebar, wilayah kerajaan dibagi jadi distrik-distrik yang disebut gallarang. Gallarang-gallarang ini memiliki hubungan dan kepentingan timbal balik yang kuat dengan pusat. Dalam sistem pemerintahan Kerajaan Gowa, gallarang ini mempunyai wakil yang diutus untuk duduk dalam satu lembaga adat yang disebut bate salapanga25. (bate = panji, bendera; salapang = sembilan). Jadi bate salapanga bermakna pemegang bendera atau pembawa panji yang sembilan orang. Mula-mula institusi ini disebut kasuwiang salapanga

(kasuwiang = mengabdi; salapang = sembilan).

Keenam, matowa26. Inimerupakan jabatan yang setingkat di bawahgallarang.

Pejabat ini dipilih secara langsung oleh rakyat untuk satu jangka waktu masa jabatan yang tidak ditentukan. Dalam sistem administrasi baru sesudah kemerdekaan Indonesia, jabatan ini disamakan dengan kepala Kampung.

23

Mattulada, Latoa: Satu Lukisan Analisis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis.

(Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995). Hal.404-405.

24Gallarang,

merupakan suatu jabatan pengawas administrasi kerajaan.

25Bate Salapanga,

yang berarti pemegang bendera atau sembilan orang pembawa panji.

26Matowa,

ini merupakan jabatan yang setingkat di bawah gallarang atau kepala pengawas wilayah adminstrasi.


(37)

26

Ketujuh, sabannara (syahbandar).27 Jabatan tradisional ini sebenarnya sudah

hilang sejak aktivitas perdagangan Gowa merosot atau sejak tidak berfungsinya lagi pelabuhan dagang Kerajaan Gowa di Maccini Sombala, muara Sungai Je’ne’ Berang.

Kedelapan,alakaya28. Disebut juga daengta alakaya. Dia adalah seorang

laki-laki banci yang bertingkah laku dan berpakaian seperti perempuan. Lebih lazim dikenal dengan nama bissu. Dalam upacara majelis adat (Dewan Kerajaan) daengta

alakaya duduk berdekatan dengan sombaya, di samping benda-benda pusaka kerajaan

yang disebut dengan kalompoang, dialah yang memberi mantera-mantera pada benda-benda pusaka tersebut, sebab jika kalompoang sakti, maka diharapkan juga akan menambah kesaktian raja.

Adapun daerah yang berada pada wilayah kerajaan, secara garis besar dapat dibagi atas: Pertama, palili ata’ rikale: daerah ini disebut pula mapatundang ata’ yaitu daerah taklukkan yang menuntut biaya dan korban yang besar ketika terjadi penaklukan atas daerah tersebut. Pada daerah ini ditempatkan seorang wakil dari pusat sedangkan penguasa daerah bersangkutan dipindah ke pusat untuk suatu jabatan tertentu. Pejabat perwakilan ini disebut jannang.

Kedua, palili ata’ mate’ne. Daerah taklukan yang termasuk dalam kelompok ini merupakan daerah otonomi, penguasa daerah tersebut tidak ditarik ke pusat. Ia masih memperoleh kesempatan menjalankan pemerintahannya seperti semula.

27 Sabannara,

atau yang disebut dengan Syahbandar. Jabatan ini biasanya yang menguasai suatu bandar perniagaan di satu wilayah tertentu.

28 Alakaya,

adalah seorang laki-laki yang bertingkah laku dan juga berpakaian seperti perempuan yang mendampingi raja dalam satu upacara pemberian mantera-mantera pada benda-benda pusaka kerajaan.


(38)

27 Daerah yang termasuk kelompok ini mempunyai kewajiban membayar upeti setiap tahun, sesuai dengan biaya kesalahannya dalam penaklukkan daerah tersebut.

D. Sejarah Berdirinya Kerajaan Gowa

Periode awal berdirinya kerajan Gowa sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Beberapa sumber yang ada menerangkan masalah ini sangat ringkas dan sama sekali belum cukup untuk dapat dijadikan sebagai sumber utama dalam upaya menyimak sejarah Kerajaan Gowa. Akan tetapi nama Makassar telah disebut-sebut pada abad XIV dalam kitab Nagarakertagama29 yang ditulis oleh Mpu Prapanca, pada zaman keemasan Kerajaan Majapahit di Jawa (1365). Isi dari kitab tersebut yaitu menceritakan mengenai seluruh wilayah Sulawesi menjadi daerah Kerajaan Majapahit, yaitu Bantayan (Bantaeng), Luwuk (Luwu) bisa kemungkinan Luwuk, Udamakatraya (Talaud), Makasar (Makassar), Butun (Buton), Banggawai (Banggai), Kunir (P. Kunyit), Selaya (Selayar), Solot (Solor), Muar (Kep. Kei).30 Petunjuk yang disajikan dari keterangan kitab tersebut adalah nama Kerajaan Gowa tidak disebut-sebut sebagai suatu Kerajaan orang Makassar, yang mendiami Jazirah Sulawesi Selatan. Ada kemungkinan Gowa hanyalah merupakan daerah kecil yang belum memiliki peranan penting ketika itu.

Bila di Jawa, Sumatra, Bali, dan Kalimantan ditemukan beberapa prasasti (batu atau logam tembaga), namun di Sulawesi-Selatan sampai sekarang belum

29

T. G. Th. Pigeaud, Java in The 14 th Century A Study ini Cultural History the Nagarakertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit 1365 A. D. (Leiden: KITLV-The Hague Martinus Nijhoff, 1962). Hal. 34.

30

Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, (Ujung Pandang: Bhakti Baru-Berita Utama, 1982). Hal. 8.


(39)

28 ditemukan satu prasasti (tulisan) di atas batu atau logam. Keberadaan prasasti ini sangat penting sekali artinya dalam pengungkapan sejarah suatu daerah atau dinasti pemerintahan, demikian pula stratifikasi masyarakat. Dalam prasasti itu sering tersebut nama raja, atau tempat, serta angka tahun. Dengan demikian pertumbuhan dan perkembangan suatu kerajaan atau dinasti dapat diketahui, akan tetapi tentu saja tidak semua prasasti dapat diterima begitu saja sebab ada pula terdapat beberapa salinan yang kadang-kadang terdapat kesalahan dalam menyalin.31

Berhubung karena di Sulawesi-Selatan belum diketemukan suatu prasasti yang dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui waktu yang tepat pertumbuhan dan perkembangan suatu kerajaan atau dinasti, maka sebagai pegangan dasar untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan di Sulawesi-Selatan, hanyalah berdasarkan cerita-cerita rakyat, benda-benda peninggalan sejarah, sumber-sumber tertulis dari bangsa asing, dan naskah-naskah lontara’.32

Menurut Mattulada, sumber-sumber utama dari sejarah kuno Sulawesi-Selatan dapat diperoleh dalam berbagai macam lontara’ berupa peninggalan-peninggalan tertulis orang Bugis-Makassar dari zaman dahulu.33 Di dalam Lontara’ Gowa dikemukakan bahwa peletak dasar adanya raja-raja pemerintahan di Kerajaan Gowa

31

Hadimuljono dan Abd. Mutallib, Sejarah Kuno Sulawesi Selatan, (Ujung Pandang: Kanwil SPSP Prop. Sul-Sel, 1979). Hal. 12-13.

32

Menurut Zainal Abidin Farid (Budayawan dan Ahli lontara’) bahwa yang dimaksud dengan tulisan lontara’ adalah tiap-tiap tulisan beraksara Bugis-Makassar yang disebut ”urupu’ sulapa’ eppa”’

(Bugis), ”urupu’ sulapa’ appa’ka” (Makassar) = huruf segi empat yang mungkin berasal dari perkataan

Makassar ”raung ta” atau ”dautta”. Sebelum orang-orang Sulawesi Selatan mempergunakan kertas, daun lontarlah digunakan dan kalam (pena) yang dibuat dari lidi pohon enau, serta air perasan daun

”ciping” (sejenis kacang-kacangan) sebagai tinta. Lihat: Andi Zainal Abidin Farid, Lontara’ sebagai

Sumber Sejarah Terpendam (masa 1500-1800), (Makassar: Lembaga Penelitian Hukum Fak. Hukum UNHAS, 1970). Hal. 14.

33

Mattulada, Latoa: Satu Lukisan Analisis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995). Hal. 65.


(40)

29 itu ialah munculnya seorang putri di Tamalate yang dikenal dengan sebutan

Tumanurung ri Tamalate sebagai raja Gowa yang pertama. Dan pada masanya lah

terbentuk suatu pemerintahan dan konsep kebudayaan yang tercipta di Gowa.

Adalah jelas bahwa konsepsi Tumanurung mengandung unsur mitologis. Tetapi disini pulalah besarnya peranan dalam sejarah terbentuknya kerajaan pada banyak tempat. Pada dasarnya apa yang disebut mitos adalah sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi.

Sebenarnya konsep Tumanurung sebagai peletak dasar-dasar pemerintahan bukan hanya berlaku secara tipikal di Gowa saja, melainkan juga didapati pada banyak kerajaan kuno di Sulawesi Selatan. Namun demikian illusi tentang Tumanurung, oleh para sejarawan Kerajaan Gowa yang disebut ”palontara” senantiasa digambarkan dengan memberikan tekanan pada dimensi manusiawinya.

E. Islamisasi Kerajaan Gowa

Menguraikan isu ini terasa betapa kurangnya rekaman-rekaman sejarah baik dalam bentuk tertulis mapun dalam bentuk lisan, sementara yang adapun sangat minus dan terbatas. Bahwa peristiwa masuknya Islam di Kerajaan Gowa secara resmi ditandai dengan kedatangan Syekh Abdul Makmur Khatib Tunggal beserta kawan-kawannya adalah jelas. Namun keadaan itu tidak dapat menafikan suatu asumsi bahwa sebelum ketiga Dato yang notabennya dari Minangkabau, agama Islam sudah ada di wilayah Kerajaan Gowa. Bahkan Islam sudah mulai menanamkan akar-akarnya dan karenanya sudah dikembangkan sebelum kehadiran mereka.


(41)

30 Dengan dasar pemikiran di atas mudahlah dipahami bahwasannya para muballig Islam sudah bertebaran dalam wilayah Kerajaan Gowa jauh sebelum periode Dato ri Bandang dengan rekannya. Hal ini jelas, sebab seperti diuraikan pada bagian sebelumnya, pedagang-pedagang Melayu dari berbagai tempat sudah berdatangan di Gowa sejak dekade pertama abad XVI. Bahkan ketika orang-orang Portugis datang di Gowa pada tahun 1512 mereka mendapati bukan saja pedagang Melayu yang memegang kontrol perdagangan jalur lintas Maluku tetapi juga pedagang-pedagang dari Jawa.

Tahap pertama, kontak dan perkenalan awal dengan Islam, disusul penerimaan Islam utamanya oleh penduduk pelabuhan dan daerah pesisir. Ini berlangsung dalam masa lima abad sejak I H/VIII M sampai abad V H/XII M. Tahap kedua, yaitu penyebaran dan penerimaan Islam secara universal bukan hanya terbatas di daerah pesisir tetapi sudah menembus dinding-dinding daerah di belakang batas pantai. Ini berlangsung dari abad VI H/XIII M.34

Pada masa pemerintahan I Manngerangi Daeng Manrabbia yang bergelar Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna raja Gowa ke-14 agama Islam diterima sebagai agama resmi kerajaan. Sultan Alauddin dinobatkan menjadi raja ketika baru berusia 7 tahun. Itulah sebabnya sebelum dewasa maka pemerintahan kerajaan dijalankan oleh Mangkubumi/Raja Tallo yang bernama I Malingkaang Daeng Manyonri’ Karaeng Katangka, Karaeng Matoaya, Tumenanga ri Agamana atau nama keislamannya di sebut Sultan Abdullah Awalul Islam. Mangkubumi inilah yang memegang peranan yang penting sekali dalam usaha mengembalikan keharuman dan


(42)

31 kejayaan yang hampir punah di bawah kekuasaan raja ke-13, Tunipasulu. Banyak penulis Barat yang menulis bahwa raja Gowa itu ialah Karaeng Matoaya itu sendiri.

H. J. De Graaf misalnya, menulis dalam Geschiendenis van Indonesia, bahwa Karaeng Matoaya, Tumenanga ri Agamana, menaklukkan seluruh Sulawesi dan daerah-daerah sekitarnya. Disebut pula bahwa dalam tahun 1603, raja Gowa dan saudara perempuannya memeluk agama Islam. Raja itu bernama Karaeng Matoaya Tumenanga ri Agamana.

Terjadi banyak peristiwa dalam masa pemerintahan baginda Sultan Alauddin misalnya, pembangunan masjid yang diprakarsai oleh Mangkubumi/Raja Tallo Karaeng Matoaya. Baginda dan mangkubuminya menjadi dwi tunggal dalam membawa Kerajaan Gowa ke puncak kejayaannya. Baginda didampingi oleh Mangkubumi, Karaeng Matoaya, selama kurang lebih 43 tahun lamanya.

G. Penerimaan Islam sebagai agama Kerajaan

Sesungguhnya agama Islam sudah sampai di Makassar, sejak raja Gowa ke-10 Tunipalangga (1546-1565), yaitu ketika baginda memberi ijin kepada nahkoda Bonang, untuk menetap di Mangalekana (Somba Opu). Raja Gowa ke-12 Tunijallo telah mendirikan sebuah masjid (1565-1590) bagi orang-orang Islam di Mangalekana. Raja Gowa dan Tallo menerima Islam dengan resmi sebagai agamanya menurut Lontara Gowa-Tallo, ialah pada malam Jum’at, 9 Jumadil-awal 1014 H atau tanggal 22 september 1605. dinyatakan bahwa Mangkubumi Kerajaan Gowa/Raja Tallo I Malingkaeng Daeng Manyonri mula-mula menerima dan mengucapkan


(43)

32 kalimat syahadat dan sesudah itu barulah raja Gowa ke-14 Mangarangai Daeng Manrabbia.

Dua tahun kemudian, seluruh rakyat Gowa dan Tallo dinyatakan memeluk agama Islam, dengan upacara sembahyang Jum’at bersama yang pertama di masjid Tallo tanggal 9 November 1607. Pada waktu yang sama di Bandar Makassar, pedagang-pedagang Melayu dan Orang-orang Makassar yang sudah memeluk Islam di sekitar Benteng Somba Opu, di masjid Mangallekana juga diselenggarakan sembahyang Jum’at dan doa syukur. Dalam khotbah didoakan keselamatan baginda dan kesempurnaan kota raja Makassar sebagai ibu kota Kerajaan Islam yang ternama di Sulawesi Selatan.

Adapun ulama Islam yang mengislamkan kedua raja tersebut dan rakyatnya ialah Abdullah Ma’mur Khatib Tunggal (kemudian lazim disebut Dato’ri Bandang). Beliau berasal dari kota tengah (Minangkabau). Beliau mengajar syariat Islam sebagai langkah dalam da’wah dan penyebarannya. Beliau dibantu oleh dua orang rekannya yang juga berasal dari Sumatra untuk menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan.35 Dua orang itu ialah:

1. Khatib Sulaiman, kemudian dikenal dengan nama Dato’ Patimang. Beliau bertugas menyebarkan agama ini di Tana Luwu. Raja Luwu yang mula-mula memeluk agama Islam Lapati Were Daeng parabiung, dan setelah masuk Islam namanya menjadi Matinroe ri Ware’.

2. Khatib Bungsu, kemudian dikenal dengan nama Dato’ri Tiro. Beliau mengajarkan Islam melalui ajaran Tasawuf, di daerah Tiro, Bulukumba dan

35


(44)

33 sekitarnya sesuai dengan keinginan penduduk di tempat-tempat itu yang menyukai faham kebatinan.

Setelah Kerajaan Gowa-Tallo menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan, maka timbullah hasrat sesuai dengan tuntutan syariat Islam yang diterimanya sebagai kebenaran yang harus disebarkan ke seluruh pelosok negeri, kerajaan-kerajaan tetangga dan raja-raja negeri sahabat. Dengan demikian maka Makassar mendapat kehormatan menjadi pusat penyebaran Islam di Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke-XVII. Sesuai dengan konvensi raja-raja Bugis-Makassar yang sudah ada semenjak dahulu kala, yaitu suatu ikrar (Paseng) di antara mereka, barang siapa di antara mereka menemukan jalan yang baik maka hendaklah menyampaikan hal yang baik yang ditemukannya itu kepada yang lain. Sesuai dengan tuntutan syariat dan sejalan dengan konvensi itu, maka raja Gowa menyampaikan jalan yang lebih baik itu kepada kerajaan-kerajaan Bugis.36

Jauh sebelum rezim Sultan Alauddin, serangan-serangan dari invansi militer sudah merupakan kebanggaan bagi setiap perang yang terjadi di Gowa yang senatiasa berada pada posisi yang menguntungkan sekalipun terkadang ia juga harus mengalami kekalahan. Seorang raja perkasa, seperti sultan Alauddin, tentu saja berupaya untuk melestarikan kebanggaan itu, betapapun ia tidak menerima Islam, apalagi kalau dilihat bahwa kerajaan-kerajaan besar Bugis telah berhasil membentuk sekutu fakta pertahanan bersama yang bagi Gowa tidak lain merupakan sebuah ancaman besar terhadap keberadaannya.

36


(45)

34

BAB III

ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA

A. Kehadiran Kerajaan Gowa dalam Perniagaan

Gowa sebagai kerajaan niaga yang pernah memainkan peranan penting dikawasan Nusantara bagian Timur bukanlah negara yang berkuasa di sektor perdagangan saja, melainkan juga memperoleh kekuasaan dan kekayaannya dari sektor agricultural. Bahkan munculnya sebagai standar transito untuk sebagian besar pedagang dimungkinkan oleh sektor ini. Hasil pertanian, terutama beras telah berhasil mensuplai penduduk dengan stok yang senantiasa lebih dari cukup. Dari sektor ini pula mereka memproduksi kapas untuk bahan pakaian dalam berbagai bentuk tanpa harus mengimpor lagi pakaian dari bahan yang sama.

Namun demikian, berbicara tentang Kerajaan Gowa masa silam pertama-tama ia harus melihat sebagai suatu negara niaga lebih dari negara yang hanya terpukau dalam lingkup pertanian saja. Pandangan ini akan segera dimengerti dan disorot dari kehidupan perekonomian dan kebudayaan bahwa berkat kehiduypan maritim, kerajaan Gowa mempunyai gengsi internasional dan dapat berhubungan dengan bangsa-bangsa lain dibelahan bumi ini.1

Sebenarnya kemunculan Gowa sebagai negara niaga paling tidak, sudah nampak sejak dekade pertama abad XVI yang untuk sebagian besarnya adalah efek dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Pada tahun 1511 dimana saat Malaka takluk, banyak pedagang pindah dari Malaka ke tempat-tempat laintermasuk ke Gowa.

1


(46)

35

Tidak dapat dipastikan bilamana kerajaan Gowa terlibat dalam kegiatan perniagaan. Beberapa peneliti memperkirakan awal kemunculannya pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-9, Karaeng Tumaparisi Kallonna.2 Dugaan itu didasarkan atas tiga faktor. Pertama, sebelum masa pemerintahannya istana raja dan pusat pemerintahan berada di Tamalatea (wilayah Sungguminasa) yang terletak jauh dari wilayah pantai sekitar enam kilometer. Hal ini dipandang sebagai faktor yang menunjukkan bahwa kerajaan itu berorientasi ke dunia agraris. Kedua, raja ini yang mengawali pemindahan istana dan pusat pemerintahan ke Benteng Somba Opu yang dibangun di pesisir dekat muara Sungai Berang. Wilayah Somba Opu ini yang dijadikan Bandar niaga kerajaan itu, sehingga dipandang sebagai awal kerajaan itu terlibat dalam dunia niaga. Terakhir pada masa pemerintahannya baru dikenal adanya jabatan syahbandar yang bertugas mengatur lalu lintas niaga dan pajak perdagangan di pelabuhan.3

Apa yang mendorong raja ini mengalihkan perhatiannya pada dunia niaga tidak diketahui dengan pasti. Akan tetapi bila memperhatikan latar belakang perkembangan niaga di wilayah ini, usaha yang dilakukannya dapat diperkirakan terdorong oleh besarnya keuntungan ekonomi dalam dunia niaga. Latar belakang keluarga Karaeng Tumaparisi Kallonna memiliki pertalian darah dengan keluarga pedagang. Ibunya, I Rerasi, adalah putri pedagang kapur dari daerah utara yang mengunjungi kerajaan tersebut pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-7, Batara

2

H.D. Mangemba, Kota Makassar Dalam Lintasan Sejarah (Makassar, Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, 1972). Hal. 1; Anthony Reid, “The Rise of Makassar”. Hal. 131-134.

3

Pejabat syahbandar yang diangkat adalah pejabat tumailalang lolo yang bernama I daeng Pamatte; Abdurrazak Daeng Patunru, Sejarah Gowa, (Ujung Pandang: YKSS, 1993). Hal. 11-12.


(47)

36

Gowa. Dalam hubungan ini ia tentunya dipengaruhi oleh jiwa dagang yang diwarisinya dan keadaan kegiatan keluarganya.

Langkah awal yang ditempuh kerajaan Gowa dalam mengembangkan pengaruh kekuasaannya, yaitu menaklukan kerajaan saudara dan tetangganya yaitu Tallo dan sekutu-sekutunya seperti Maros dan Polobangkaeng yang telah lama bergiat dalam dunia niaga. Kemudian kerajaan Gowa bergiat memperluas pengaruh kekuasaannya dengan menaklukan kerajaan-kerajaan lainnya seperti Garassi, Katingang, Parigi, Siang, Suppa, Sidendreng, Lembangang, Bulukumba dan Selayar. Sementara bekas sekutu Tallo (Maros dan Polobangkaeng) dan beberapa kerajaan yang kuat seperti Salumeko, Bone dan Luwu dijalin perjanjian persahabatan. Politik perluasan kekuasaan itu terkandung harapan bahwa kerajaan-kerajaan itu nantinya akan mengalihkan kegiatan perniagaan mereka ke Bandar niaga Kerajaan Gowa.

Pada dasarnya kerajaan itu melakukan hubungan niaga dengan Gowa, akan tetapi mereka tetap bergiat mengembangkan Bandar niaga mereka masing-masing. Keadaan itu dipandang menghambat usaha untuk mengembangkan dan memajukan perniagaan, sehingga ketika Tunipallangga menduduki tahta dilaksanakan penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan di wilayah pesisir, seperti siang, Bacukiki, Suppa, Sidendreng, Bajeng, Lengkese, Polobangkaeng, Lamuru, Soppeng, Lamatti, Wajo, Panaikang, Duri, Bulukumba, berbagai kerajaan kecil disekitar Bone, dan kerajaan kecil lainnya. Berbeda dengan pendahulunya, raja ini


(48)

37

dinyatakan memaksakan kerajaan-kerajaan yang ditaklukan untuk mengangkut penduduk dan harta bendanya ke Gowa.4

Penduduk wilayah taklukan yang diangkut itu ditempatkan di sekitar Pelabuhan Tallo dan Pelabuhan Somba Opu. Kehadiran mereka itu bukan hanya meningkatkan jumlah penduduk tetapi yang terpenting adalah untuk memanfaatkan keahlian mereka, terutama yang telah berpengalaman dan bergiat pada pusat-pusat perdagangan asal mereka, untuk memajukan Bandar niaga Kerajaan Gowa. Kebijaksanaan itu berarti bukan semata-mata ditujukan untuk mengeksploitasi tenaga dan barang tetapi juga berusaha untuk memanfaatkan serta mengalihkan kemampuan dan tekhnologi dari kerajaan-kerajaan taklukan. Itulah sebabnya pada periode pemerintahannya terjadi perubahan dalam bidang organisasi politik, ekonomi dan sosial. Daerah-daerah yang ditaklukan tersebut disamping penduduknya bergiat dalam bidang niaga adalah daerah yang kaya akan produksi pertanian, peternakan dan perikanan. Seperti diungkapkan Manoel Pinto ketika mengunjungi Sidendreng pada tahun 1548:

“Menurut saya negeri ini yang paling baik yang pernah saya lihat di dunia, karena daerahnya berupa daratan dimana padi, ternak, ikan dan buah-buahan berlimpah-ruah. Kotanya terletak di tepi danau di mana perahu-perahu besar dan kecil, berlayar simpang siur. Di sekeliling danau itu terdapat pula kota-kota yang makmur”.5

Demikian juga dengan kerajaan lainnya, seperti Pangkajene (Siang) dan Suppa. Bahkan penduduk Kerajaan yang ditaklukan dimanfaatkan sebagai tenaga kerja kasar ataupun dijual sebagai budak. Budak merupakan salah satu komoditi

4

G. J. Wolhoff dan Abdurrahim, Bingkisan Seri A: Sejarah Gowa, hal. 25; Abdurrazak Daeng Patunru, Sejarah Gowa (Ujung Pandang: YKSS, 1993). Hal. 13.

5

P. A. Tiele, “De Europpeers in den Malaischen archipel”, dalam BKI (vol. 28, No. I, 1980). Hal. 423.


(49)

38

perdagangan yang tidak kalah pentingnya pada waktu itu, baik untuk digunakan sebagai tenaga pendayung, pengangkut beban ataupun kegiatan kerja lainnya. Hal ini pula merupakan satu faktor yang menempatkan daerah Makassar pada masa itu sebagai pusat perdagangan budak, di samping orang-orang curian serta pengeksporan kembali budak-budak yang berasal dari Kalimantan, Timor, Manggarai, Solor, Alor, dan Tanimbar.6

Politik perluasan kekuasaan dan besarnya perhatian yang dilandasi oleh sikap terbuka dari penguasa Gowa terhadap kehidupan perniagaan akhirnya berhasil menempatkan Makassar sebagai satu-satunya pusat perdagangan dan pangkalan kegiatan maritim di wilayah itu. Disamping itu tidak dapat diabaikan begitu saja peranan para pedagang dan pelaut yang melakukan aktifitas niaga disana, yang telah berhasil menjadikan Makassar sebagai Bandar niaga tempat pemasaran produksi perdagangan. Karena itu Pelabuhan Makassar tampil sebagai Bandar utama mereka dalam hubungan dengan Bandar niaga lain.

Kemajuan yang dicapai itu ternyata tidak memberikan kepuasan bagi pedagang Belanda. Ini disebabkan karena pihak Belanda tidak menginginkan keberadaan pedagang Eropa dalam perdagangan rempah-rempah di Makassar. Bagi pihak Belanda pedagang lain merupakan musuh dan saingan. Di pihak lain Belanda yang telah menanamkan kekuasaannya setelah mengusir Portugis dan Spanyol melakukan gangguan terhadap perahu dagang-perahu dagang Makassar di perairan Maluku untuk dapat memonopoli perdagangan rempah-rempah.

6

Christian Pelras, “Sulawesi Selatan Sebelum Datangnya Islam Berdasarkan Kesaksian

Bangsa Asing”, dalam: Gilbert Hamonic, ed. Citra Masyarakat Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1983). Hal. 60-61.


(50)

39

Pertentangan antara VOC dengan Makassar pada dasarnya merupakan pertarungan pemikiran antara kebijaksanaan VOC “berdagang sendiri”

(allenhandel) atau lazim disebut monopoli versus perdagangan bebas yang

diterapkan kerajaan Gowa. Karena itu kerajaan Gowa bergiat membangun benteng-benteng pertahanan diawali dengan Benteng Tallo di bagian utara dan Benteng Panakkukang di bagian selatan, Benteng Ujung Tanah, Ujung Pandang, Barobaso, Mariso, Garasi dan Barombong, untuk melindungi kedudukan mereka dari ancaman kompeni; juga dipersiapkan pembuatan jenis perahu gorab sekitar tahun 1620. Menurut Nooteboom pembuatan perahu gorab merupakan bantuan dari Portugis. Pada tahun 1612 dibangun lagi Sembilan perahu gorab atas perintah Karaeng Matoaya (raja Tallo).7

B. Posisi Makassar dalam Jaringan Perdagangan dan Sistem Perdagangan

Kennet R. Hall meyakini sekitar abad XIV dan awal abad XV, terdapat lima jaringan perdagangan (commercial zones).8 Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Seilon, Birma, serta pesisir utara dan barat Sumatra; kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka;

ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka,

Thailand dan Vietnam Selatan (sebut saja dengan jaringan perdagangan Laut Cina Selatan); keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, meliputi pesisir barat Luzon, mindoro, Cebu, Mindanao dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam);

7

C. Nooteboom, Aziatische Galein. (Rotterdam: Het Museum voor Land- en Volkenkunde en het Maritiem Museum Prins Hendrik, 1951). Hal. 1. Usaha pembangunan kapal (dalam hal ini konstruksi serta gaya arsitekturnya) itu merupakan bantuan dari orang-orang Portugis, Melayu dan Arab.

8

H.A. Sutherland, Power, Trade and Islam in the Eastern Archipelago, 1700-1850,

dalam Philip Quarles van Ufford and Mattew Schoffeleers, ed., Religion Development : Toward An Integrated Approach. (Amsterdam: Free University Press, 1988). Hal. 145-146


(51)

40

kelima; jaringan Laut Jawa yang meliputi Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan

Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatra. Pada dasarnya setiap jaringan perdagangan itu memiliki pola perkembangan pertukaran internalnya akan tetapi berlangsung pula hubungan perdagangan antara jaringan perdagangan itu.

Transaksi dagang pada waktu itu umumnya dilakukan secara barter. Beras dan barang lainnya yang dibeli di pelabuhan bagian barat oleh pedagang Bugis Makassar, kemudian dijual secara barter dengan rempah-rempah. Penukaran secara barter ini didasarkan pada perbandingan kesatuan yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak.

Sistem penukaran seperti ini berlaku juga bagi barang dagangan yang berasal dari negeri asing, misalnya pertukaran antara kain buatan India dalam kesatuan potong dengan rempah-rempah dalam kesatuan bahar. Bahar digunakan sebagai kesatuan berat dan sering berbeda ukurannya disetiap tempat, seperti bahar Maluku = 600 pond, sedangkan bahar Malaka = 550 pond.9

Di bandar Somba Opu orang Portugis sering membawa tunai berupa mata uang timah Cina untuk kemudian diserahkan kepada pedagang Bugis Makassar yang akan pergi ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Para pedagang Bugis Makassar yang menerima semacam uang muka ini memberikan jaminan secara tertulis. Surat tanda terima ini ditulis dalam bahasa Melayu.10

9

J. C. van Leur, Indonesian trade and society Lessays in asian social and economic history, (Bandung: Sumur Bandung, 1960). Hal. 111

10

B.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, (Bandung: The Hague, 1955). Hal. 20-21


(52)

41

Sistem barter yang dipergunakan oleh para pedagang antara pedagang asing lokal, berupa tukar menukar barang dagangan yang diperlukan. Seperti pakaian, senjata, dan porselen dibawa oleh pedagang dari Cina, Gujarat dan Portugis. Kemudian ditukar ke pedagang Bugis Makassar untuk selanjutnya barang tersebut di bawa ke pelosok Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Nusa Tenggara untuk ditukar dengan rempah-rempah, kemudian dijual lagi ke pedagang asing.

Adapun alat tukar uang di bandar Somba Opu sekitar abad XVII, yaitu telah dibuat mata uang dari emas atau timah disebut dinar yang berbentuk besar dan kupa yang berbentuk kecil, semua menggunakan tulisan Arab. Mata uang dari timah disebut benggolo.11 Pada masa Karaeng Matoaya telah didirikan percetakan uang yang sangat menunjang bagi kelancaran perdagangan di bandar Somba Opu. Atas anjurannya mata uang emas dan perak dicetak, walaupun pada akhir tahun 1650 terjadi devaluasi emas yang semula masih bertahan nilainya sebesar 4 shilling atau 0,8 real Spanyol.12

Salah satu penghasilan terpenting bagi kerajaan yaitu perdagangan dan pemberian dalam bentuk barang maupun uang. Para bangsawan bertindak pula sebagai pedagang dan memberikan saham kepada pedagang yang membutuhkan dengan syarat-syarat tertentu. Sesuai yang termuat dalam kitab Amanna Gappa, yaitu pemberi saham acapkali menjadi pembeli barang yang dimodalinya atau menjadi calo dengan hak komisi, jual total penjualan kemudian dibagi tiga,

11Uka Thandrasasmita, “Les Fouilles et l’Histoire A Celebes Sud”

, (dalam Archipel 3, Paris, 1972). Hal. 283.

12

Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Jilid II, Terjemahan. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998). Hal. 12.


(53)

42

sepertiga pertama dan sepertiga kedua masing-masing untuk pemilik modal, sisanya digunakan untuk mengembalikan perongkosan peralatan dan awak kapal.

Para bangsawan dan orang kaya bukanlah saudagar dalam arti sebenarnya. Mereka ”berdagang” dalam bentuk Commenda, yakni menyerahkan barang dagangan kepada orang lain untuk diperdagangkan, ataupun hanya memberi uang sebagai modal.13 Misalnya hartawan yang menyerahkan dagangannya berupa rempah-rempah dan kain tenunan kepada saudagar dengan perjanjian bagi laba menurut ketentuan yang berlaku (persentasi laba dibagikan bisa berbeda) juga dalam pelayaran, apabila pemilik kapal adalah raja sistem bagi laba juga dipakai menurut ketentuan yang berlaku.

Adapun aturan yang berlaku dalam kerajaan Gowa tentang tata cara berdagang maupun berlayar, dan daftar sewa bagi orang yang berlayar, adalah sebagai berikut:

”Apabila orang naik di perahu, di daerah Makassar, di daerah Bugis, di Paser, di Sumbawa, di Kaili, pergi ke Aceh, ke Kedah, ke Kamboja, sewanya tujuh rial dari tiap-tiap seratus. Apabila orang naik di perahu di Makassar pergi ke Selayar, sewanya dua setengah dari tiap-tiap seratus. Apabila orang naik di perahu di Paser atau Sumbawa dan pergi ke daerah Buton, ke daerah Bugis, ke Timor, sewanya empat rial dari tiap seratus”. Sedangkan aturan tata cara berjualan, diungkapkan dalam pasal 7, bahwa ada lima jenis cara berjualan :

1) Berkongsi sama banyak; 2) Samatula;

3) Utang tanpa bunga; 4) Utang kembali;

13

J. C. van Leur, Indonesian trade and society Lessays in asian social and economic history……op.cit, (Bandung: Sumur Bandung, 1960). Hal. 228-229.


(1)

88

Lampiran 1.a

Gambar 1

Perahu Dagang Eropa6

6

Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Penerjemah: R.Z. Leirissa, P. Soemitro ed., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999). Hal. 54


(2)

89

Lampiran 1.b

Gambar 2

Perahu Dagang China (Jung China)7

7

Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Penerjemah: R.Z. Leirissa, P. Soemitro ed., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999). Hal. 55.


(3)

90

Lampiran 1.c

Gambar 3

Gambar Perahu Pinisi8

8

Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Penerjemah: R.Z. Leirissa, P. Soemitro ed., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999). Hal. 56.


(4)

91

Lampiran 1.d.

Gambar 4

Perahu Dagang Jung Asia Tenggara dan Perahu Dagang Melayu9

9

Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Penerjemah: R.Z. Leirissa, P. Soemitro ed., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999). Hal. 50.


(5)

92

Lampiran 1.e.

Gambar 5

Jenis Mata Uang Yang Beredar Pada Abad ke-XVII10

10

Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid I, (Jakarta: Gramedia, 1990). Hal.161


(6)

93

Lampiran II

Silsilah Raja-Raja Gowa11

Daftar Raja-raja Gowa yang memerintah sampai sesudah peperangan antara Gowa dan VOC.

I. TuManurunga ri Tamalate (1320-1345) II. Tumasalangga Baraya (1345-1370) III. I Puang Loe Lembang (1370-1395) IV. I Tuniatabanri (1395-1420)

V. Karampang Ri Gowa (1420-1445) VI. Tunatangka Lopi (1445-1460)

VII. Batara Gowa Tumenanga ri Parallakenna (1460) VIII. I Pakereta Tunijallo ri Pasukki (1460-1510)

IX. Daeng Matanre Karaeng Mangngutungi Tumaparrisi Kallonna (1510-1546)

X. I Marioga Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565)

XI. I Tajibarani Daeng Karaeng Data’Tunibatta (1565)

XII. I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590)

XIII. I Tepukaraeng Daeng Pirambu Karaeng Botolangkasa Tunipasulu (1590-1593)

XIV. I Mangngarangngi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna (memerintah 1593 -1639)

XV. I Mannuntungi Daeng Matola Karaeng Lakiung Sultan Muhammad Said Tumenanga ri Papambatunna (memerintah 1639-1653)

XVI. I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Muttawang Karaeng Botomangape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla’pangka (memerintah 1653 – 1669; lahir 12 januari 1631, wafat 12 juni 1670)

XVII. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tumammalianga ri Allu’ (memerintah : 1669 – 1674)

XVIII. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara (1674-1677)

XIX. I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung (1677-1709)

XX. La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)

11

Sagimun, M. D., Sultan Hassanudin Ayam Jantan dari Ufuk Timur. (Jakarta: Balai Pustaka, 1992). Hal. 181.