dalam memimpin laki- laki yang dianggap lebih kuat dan mampu. Waria yang tampil berbeda dianggap semiwanita sehingga dinyatakan tidak memiliki kompetensi dalam memimpin dan
merusak citra laki- laki.
2.3 Kondisi Sosial Ekonomi Waria
Akibat perselisihan yang timbul antara waria dan masyarakat, waria mengalami semakin banyak kesulitan selain kekerasan fisik dan verbal yaitu penolakan. Penolakan pihak
keluarga mengakui sebagai anggota keluarga, penolakan pihak agama mengakui sebagai penganut agama tersebut dan penolakan dalam hal mencari pekerjaan. Kesulitan yang
semakin banyak yang dialami waria menimbulkan ketidakberdayaan dalam hal ekonomi. Penolakan pihak keluarga mendorong waria untuk bertahan hidup sendiri di tengah
masyarakat. Penolakan pihak agama membuat waria kesulitan mendapat bantuan dalam mencari pekerjaan dan rekomendasi positif untuk mendapatkan pekerjaan. Penolakan pihak
perusahaan membuat waria mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi sehari- harinya.
Sektor formal menuntut kejelasan status jenis kelamin dan penampilan fisik, sedangkan waria akibat dorongan hatinya ingin bebas tampil seperti wanita. Akibat
penampilan fisiknya yang berbeda, seorang waria dianggap tidak mampu melakukan pekerjaan- pekerjaan dengan baik. Penilaian umum berdasarkan penampilan fisik membuat
banyak penilaian negatif tentang kompetensi waria dalam pekerjaannya. Seakan saat waria tampil beda, maka dia pasti tidak mampu menaati aturan yang berlaku. Selain masalah
kompetensi dalam hal menyelesaikan pekerjaannya, menerima seorang pekerja waria dianggap dapat merusak citra perusahaan yang di nilai tidak hati- hati dalam memilih
karyawan. Penilaian secara fisik membuat banyak pihak menutup mata terhadap kemampuan
Universitas Sumatera Utara
dan kredibilitas seorang waria yang diasosiasikan sebagai pembangkang dengan kelainan jiwa.
Sektor informal terutama menjadi alternatif pekerjaan bagi waria. Banyak waria yang bekerja di salon, atau sebagai penjual jamu, atau pedagang asongan juga sebagai pengamen.
Namun, lagi- lagi akibat steriotipe negatif dalam masyarakat, usaha- usaha yang dilakukan waria dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berkembang. Seringkali waria diperlakukan dengan kasar, dan ketika membalas dengan kekerasan maka waria secara umum serta merta dihubungkan dengan pembuat onar dan
kriminalitas. Akibat kebutuhan yang mendesak dalam memenuhi kebutuhan ekonomi maka banyak
waria menggunakan jalan pintas dengan menjadi Pekerja Seks Komersial. Dengan begitu sebagian besar waria bekerja sebagai PSK dan diasosiasikan sebagai penular HIV AIDS.
Orientasi seks waria yang penyuka sesama jenis, dan pekerjaannya sebagai PSK menambah daftar panjang hal negatif tentang waria di mata masyarakat. Waria semakin dijauhi, ditakuti
dan dibenci. Kekerasan yang sering dialami waria sejak kecil dan sikap diskriminasi yang sering
dialami saat dewasa membuat para waria kurang peduli lingkungan dan kesehatan. Mereka terkesan “asal menjalani hidup”. Sehingga masyarakat umum menjadi semakin tidak mampu
bersikap toleransi terhadap sikap- sikap waria yang cenderung mengganggu ketentraman umum.
Pemerintah sendiri sepertinya kurang peduli terhadap nasib kaum minoritas seperti waria. Peraturan guna melindungi hak- hak waria kurang diperhatikan. Seringkali aparatur
penegak hukum justru melakukan tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum waria.
Universitas Sumatera Utara
Razia yang sering dilakukan polisi terhadap PSK seringkali lebih berat dialami waria dibanding wanita. Saat razia maupun saat di tahanan, waria seringkali dipukuli dan diancam.
Ditambah lagi dengan tidak adanya perlindungan hukum bagi waria yang mengalami tindak kejahatan. Kasus- kasus yang masuk seringkali diabaikan dan dalam suatu perselisihan
waria seringkali berada di pihak yang dipersalahkan. Banyak kasus penganiayaan bahkan pembunuhan yang terjadi pada waria tidak ditangani dengan baik oleh pihak berwajib.
Ketidakadilan yang dialami waria di tengah masyarakat mendorong mereka untuk berusaha bertahan hidup sendiri dengan aturan hukumnya sendiri. Hal ini berdampak munculnya
kasus- kasus kriminalitas yang dilakukan waria, yang berujung semakin sulit bagi waria mendapatkan simpati masyarakat.
Kasus- kasus kejahatan yang melibatkan waria baik waria sebagai pelaku maupun korban seringkali tidak adil bagi waria. Perbedaan penampilan yang ditunjukan waria
menimbulkan reaksi- reaksi negatif terhadap waria. Waria seringkali dipersalahkan dan ketika korbannya waria aparat berwajib seringkali tutup mata dan berpura- pura tidak tahu.
Kurangnya wawasan di pihak waria membuat mereka menerima perlakuan tidak adil tersebut dengan balas melakukan kekerasan. Sehingga waria selalu dikaitkan dengan tindak kejahatan.
Pekerjaan kebanyakan waria sebagai PSK, memunculkan anggapan bahwa semua waria PSK dan membuat masyarakat semakin menjauh dan tidak mau peduli.
Sulitnya mendapat pekerjaan dan perlindungan hukum bagi waria akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap waria, dipertegas dengan kesulitan mendapat status
kewarganegaraan waria yang tidak mendapat kepastian. Dalam kartu identitas kependudukan warga Indonesia selain nama, dan agama, jenis kelamin juga menjadi salah satu identitas
warga Indonesia. Para waria menginginkan agar mereka memiliki identitasnya tersendiri sebagai waria. Keinginan kuat untuk diakui sebagai diri sendiri membuat waria enggan
Universitas Sumatera Utara
disebut sebagai laki- laki, namun pemerintah dan masyarakat tidak berkenan menyatakan waria sebagai wanita. Para waria yang ingin tetap diizinkan berpenampilan sebagai wanita,
mengalami kesulitan saat di Kartu Tanda Penduduk ditulis sebagai laki- laki. Masalah KTP membuat waria kesulitan saat melakukan segala urusan administrasi dalam kependudukan
dan pekerjaan. Memperjuangkan hak transeksual, di antaranya adalah memperjuangkan hak untuk
bekerja pada sektor formal dan juga hak atas legal formal identitas mereka melalui proses yang panjang dan rumit. Perjuangan untuk pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan juga
pemajuan Hak Asasi Manusia juga ditempuh melalui jalur legislasi. Jalur pemenuhan Hak Asasi Manusia diperjuangkan keras ketika Amandemen Undang- Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945, yang tercantum dalam UUD pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia.
2.4 Pandangan Agama terhadap Waria