Pandangan Agama terhadap Waria

disebut sebagai laki- laki, namun pemerintah dan masyarakat tidak berkenan menyatakan waria sebagai wanita. Para waria yang ingin tetap diizinkan berpenampilan sebagai wanita, mengalami kesulitan saat di Kartu Tanda Penduduk ditulis sebagai laki- laki. Masalah KTP membuat waria kesulitan saat melakukan segala urusan administrasi dalam kependudukan dan pekerjaan. Memperjuangkan hak transeksual, di antaranya adalah memperjuangkan hak untuk bekerja pada sektor formal dan juga hak atas legal formal identitas mereka melalui proses yang panjang dan rumit. Perjuangan untuk pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan juga pemajuan Hak Asasi Manusia juga ditempuh melalui jalur legislasi. Jalur pemenuhan Hak Asasi Manusia diperjuangkan keras ketika Amandemen Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang tercantum dalam UUD pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia.

2.4 Pandangan Agama terhadap Waria

Hal serupa juga seringkali timbul dalam hal keagamaan, waria yang merupakan warga negara Indonesia juga beragama. Dalam ajaran agama Islam laki- laki dan perempuan duduk terpisah saat berada di Mesjid, hal ini menjadi masalah tersendiri bagi waria soal pembagian tempat ibadah. Ikut di barisan wanita, atau laki- laki, memakai mukenah atau sarung dan peci. Terkadang ada waria yang memilih duduk di barisan laki- laki atau secara sembunyi- sembunyi memakai mukenah dan solat sebagai wanita. Dan tidak jarang waria di usir saat memasuki Masjid karena dianggap tidak pantas berada di sana. Diskriminasi yang dialami waria hingga kini belum menemukan titik penyelesaian. Kecenderungan beragama pada setiap manusia adalah melalui hubungan primordial, tetapi orientasi agamanya sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Misalnya anak yang Universitas Sumatera Utara dilahirkan dalam tradisi Kristiani, secara kultur dia akan menjadi kristiani. Begitu juga bila seorang anak lahir di keluarga yang beragama Islam, secara otomatis dia menjadi muslim. Dalam hal orientasi seksual, Islam memberi legitimasi moral bahwa orientasi seksual yang benar adalah yang bersifat heteroseksual, tidak kepada yang lain seperti homoseksual 27 . Tuhan telah menciptakan manusia dengan berpasang- pasangan, yaitu pasangan manusia adalah laki- laki dengan perempuan. Masalah waria dari sisi agama dapat dilihat dengan lebih jelas dalam kitab- kitab fikih klasik, karena selama ini sumber otoritas yang bisa dibilang mampu mewakili dan cukup rinci dalam membahas persoalan waria adalah fikih. Dari sisi fikih nampaknya waria dapat diterima sebagai realitas sehingga sama sekali tidak ada pengingkaran atas keberadaan mereka 28 Pandangan fikih seperti ini terkesan positivistik, karena hanya melihat waria dari sisi biologis alat kelamin, tanpa melihat dari sudut psikologi atau kejiwaan. Padahal persoalan waria tidak dapat disederhanakan hanya dengan tolak ukur alat jenis kelamin. Problem waria meliputi berbagai aspek sehingga dalam pemberlakuan hukum pun dia tidak dapat ditentukan hanya dengan salah satu aspek dari sekian banyak aspek. Pandangan fikih yang demikian itu kemudian akan menghasilkan pemahaman yang parsial terhadap konteks waria dan berakibat pula pada hukum yang akan diberlakukan . Waria dalam kitab fikih disebut dengan khuntsa yang berarti lembut dan pendar. Khustsa juga berarti seseorang yang diragukan jenis kelaminnya, apakah laki- laki atau perempuan, karena memiliki alat kelamin laki- laki dan perempuan secara bersamaan atau pun tidak memiliki alat kelamin sama sekali, baik alat kelamin laki- laki maupun perempuan. 29 27 . M. Haryadi, “ Orientasi Seksual dalam Tradisi Islam”, tabloid Sehat, 14 September 2001, hal 4 28 . Lies Marcoes- Narstir, “ Wandu, Wadam, Waria, Khuntsa, dan Apalagi...; Sebuah Pengantar Pemetaan Masalah Gender dan Seksualitas Kaum Pasangan Sejenis”, Tabloid Sehat, tahun IV no: 23, P3M, 2000, hal 3. 29 . Zunly Nadia, op. Cit., hal 86 . Universitas Sumatera Utara Pemahaman tentang khuntsa di dalam fikih hanya mengacu pada kasus waria- hermafrodit dalam perspektif medis. Hal ini terjadi karena pada masa itu problem waria hanya didapati pada kaum waria hermafrodit. Sementara untuk saat ini dalam konteks waria terdapat berbagai macam kasus waria- hermafrodit sampai pada waria- transeksual yang saat banyak mendominasi dan transvestisme yang kesemuanya membutuhkan kejelasan status dan hukum, baik dalam hukum negara maupun agama. 30 Untuk kasus waria- hermafrodit acuan terhadap aspek lahir mungkin masih bisa diberlakukan, namun untuk kasus waria transeksual dan waria transvestisme di mana kelainan yang terjadi lebih pada aspek psikologi dan bukan pada hal- hal yang lahiriah maka mengacu pada hal- hal lahiriah tetap akan menjadi problem baru jika hukum tersebut diputuskan dan diberlakukan. Bagaimanapun juga fikih adalah produk interpretasi para ulama terhadap syari’ah yang dikembangkan semenjak abad kedua Hijriah dan merupakan sebuah ajaran non-dasar, bersifat lokal, elastis dan tidak pemanen. 31 Hadis menjadi sumber otoritatif kedua setelah Al-Qur’an seperti tercermin dari firman- firman Allah yang mewajibkan manusia untuk mengikuti wahyu-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. Hadis juga merupakan interpretasi awal terhadap Al-Qur’an yang berperan untuk memberikan bimbingan di dalam praktik aktual umat Islam. 32 Dalam Musnad Ahmad bin Hanbal kitab Musnad Bani Hasyim 1878, 2150, 2901, 2984, 2177, dan 3279 33 30 . Loc. cit 31 . Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al- Qur’an Jakarta: Paramadina, 1999, hal. 290 32 . Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad Bandung: Pustaka,1995, hal 45 33 . Abi ‘Abdillah Al- Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, jus II, hal 353 dan di dalam Sunan Al- Darimy, kitabIsti’dzad 2535 diungkapkan bahwa Rasulullah Saw melaknat orang yang berpenampilan menyerupai lawan jenisnya, serta orang yang memilih hidup melajang tanpa ikatan perkawinan. Karena hal itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Yang dimaksud dengan orang terlaknat di sini adalah mukhannats yaitu laki- laki yang memakai pakaian Universitas Sumatera Utara perempuan dan perempuan yang memakai pakaian laki- laki, mereka harus dikeluarkan dari rumah. Yang berarti mereka tidak diterima di dalam masyarakat dan tidak memiliki tempat di surga. Berdasarkan hadis, maka waria-transeksual dan waria-transvestisme dimasukan ke dalam golongan mukhannats yaitu pria yang dengan sadar dan sengaja memakai pakaian wanita, dan wanita yang secara sadar dengan sengaja memakai pakaian pria sebagai kesenangan dan melanggar kodrat, mereka ini diklaim sebagai orang terlaknat. Masalah kejelasan status jenis kelamin waria menjadi momok yang belum menemukan titik penyelesaian. Seringkali persoalan bila menyangkut waria, tidak diperhatikan atau malah diabaikan. Sisi religi waria dianggap tidak pantas dan hanya kedok untuk mendapatkan simpati. Padahal dalam kenyataannya, para waria benar- benar tulus menjalani kehidupan agamanya dan mengharapkan penerimaan yang tulus dari pihak keluarga, masyarakat dan pemerintahan. Ketakutan masyarakat terhadap akibat dari penyimpangan waria dan kesulitan dalam memahami persoalan pribadi seorang waria membuat banyak orang memilih untuk memusuhi dan ingin menghancurkan waria sampai ke akar- akarnya. Penerimaan waria dalam wacana masyarakat Muslim pada dasarnya berdasarkan hasil produk hukum agama. Kekuatan agama menunjukan kemampuan menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat. Sebagai basis keyakinan dan iman masyarakat, agama mampu mendorong pemeluknya untuk melihat realita sebagai obyek yang dijalani berdasarkan visi teologis agama tersebut. Sedangkan dalam praktiknya perubahan yang di dorong oleh semangat agama terkadang tidak sejalan dengan nilai kesucian agama tersebut. Di bandingkan dengan produk agama, negara relatf lebih fleksibel dalam memandang kehidupan waria, walaupun belum mampu menyentuh permasalahan yang lebih esensial di bidang hukum. Posisi waria agaknya hanya disejajarkan dengan individu yang memiliki Universitas Sumatera Utara penyakit sosial, seperti pelacuran dan kriminalitas. Hal ini menempatkan waria dalam kelompok marjinal yang tidak mempengaruhi ataupun menghambat pembangunan. Pengadaan panti waria, justru semakin menegaskan posisi mereka sebagai kelompok dengan masalah sosial. Isolasi yang dilakukan memperjelas kedudukan waria sebagai kelompok yang dianggap perlu dikucilkan dan diasingkan dari masyarakat. Respon tersebut bukan berarti kesalaanh pemerintah sepenuhnya, hanya saja cara tersebut justru seakan ingin menghilangkan waria dari masyarakat. Pada akhirnya, karena baik hukum maupun agama belum menjamin kehidupan waria sepenuhnya, maka etika sosial dalam masyarakat lah yang bekerja memberi penilaiannya sendiri terhadap waria. Sebagian masyarakat, memandang kehidupan waria sebagai kelompok sosial yang secara historis lebih cenderung di nilai sebagai penyandang penyakit sosial. Dalam masyarakat yang memiliki tatanan sosial yang mapan, sulit untuk menerima kehadiran waria, dengan alasan yang kurang jelas. Namun seringkali kelompok masyarakat yang mapan ini, justru menikmati keberadaan waria dalam tingkatan tertentu seperti perilaku lucu dalam acara televisi atau panggung hiburan. Sikap ambigu ini adalah cermin bagaimana masyarakat kelas tertentu menggunakan standar ganda terhadap kehidupan waria. 34 Pengakuan sosial merupakan hal yang sangat penting dan mendesak untuk diperhatikan berbagai pihak. Sebab, pengakuan sosial akan berdampak serius pada taraf kehidupan waria selanjutnya. Tanpa pengakuan sosial steriotipe negatif terhadap waria tidak akan pernah berubah. Hal ini dapat berakibat semakin mendalamnya jurang keterasingan secara sosial dan menciptakan bentuk baru subkultur waria dengan berbagai atributnya seperti, bahasa, tata nilai, gaya hidup dan bentuk solidaritasnya tersendiri. Dengan demikian kehidupan waria akan menjadi suatu kehidupan asing yang berada di luar jangkauan kehidupan masyarakat umum. 34 . Koeswirnarno, “ Waria dalam Ruang Sosial Islam”, hal. 13 Universitas Sumatera Utara Pemberian ruang sosial terhadap waria bukan berarti membenarkan segala bentuk penyimpangan dan memaafkan segala kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan waria apalagi menganggap wajar perilaku dan gaya hidupnya. Namun, memberi ruang gerak sosial sebagai upaya menghubungkan kehidupan waria yang terisolasi dari masyarakat umum dan menciptakan harmonisasi diantara keduanya. Sedangkan dalam agama, pemberian ruang sosial akan memberi wawasan yang mendalam yang lebih mendalam mengenai berbagai sisi kehidupan waria. Memandang waria hanya dalam kerangka teks- teks normatif hanya akan menimbulkan klaim- klaim buruk yang belum tentu benar. Jika agama selalu memandang kehidupan waria dalam bentuk hitam-putih, maka teks- teks ajaran agama tidak akan menemukan titik temu terhadap kehidupan nyata seorang waria. Dalam masalah ini, persoalan waria sebaiknya dipandang dari berbagai macam latar belakang yang menyebabkan mereka terbentuk menjadi berbagai macam kelompok yang memiliki karakteristik hukum tersendiri. Karena tanpa hukum yang jelas kedudukan mereka dalam kehidupan masyarakat tetap ambigu. Universitas Sumatera Utara

BAB III PROSES BERDIRINYA YAYASAN SRIKANDI SEJATI