BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertanyaan  awal  ketika  berbicara  tentang  negara  kesejahteraan  adalah bagaimana mendefinisikan konsep negara kesejahteraan itu sendiri, karena negara
kesejahteraan  bukanlah  sebuah  konsep  dengan  pendekatan  yang  baku.  Negara kesejahteraan sering ditengarai dari atribut-atribut kebijakan pelayanan sosial dan
transfer  sosial  yang  disediakan  negara  kepada  warganya,  seperti  pelayanan pendidikan,  lapangan  pekerjaan,  pengurangan  kemiskinan,  sehingga  negara
kesejahteraan dan kebijakan sosial sering diidentikan.
1
Saat  ini  upaya  untuk  mentransformasikan  gagasan  konsep  negara kesejahteraan  begitu  urgen.  Faktor  utama  yang  mendorong  mengapa  konsep
negara  kesejahteraan  begitu  urgen  dan  secepat  mungkin  harus  direalisasikan karena didasarkan pada fakta bahwa di negara-negara berkembang saat ini tingkat
kemiskinan  kian  hari  kian  memperihatinkan.  Peran  negara  yang  semakin berkurang  di  sektor  publik  seiring  dengan  berjalannya  proses  demokratisasi,
segala  sesuatu  yang  bukan  menjadi  urusan  negara  akan  diserahkan  kepada masyarakat.  Sebagai  salah  satu  contoh  misalnya  ialah  privatisasi  beberapa
perguruan tinggi negeri, rumah sakit dan perusahaan-perusahan milik negara. Tim  Peneliti  PSIK  dalam  bukunya  ”Negara  Kesejahteraan  dan
Globalisasi” ,  mengutip  dari  buku  Adam  Smith,  yang  berjudul  “An  Inquiry  into
1
Darmawan  Triwibowo  dan  Sugeng  Bahagijo,  Mimpi  Negara  Kesejahteraan  Jakarta: LP3ES, 2006, h. 8.
the Nature and the Causes of the Wealth of Nation” , menjelaskan bahwa ada dua
tugas  utama  yang  menjadi  tanggung  jawab  negara.  Pertama,  negara  memiliki kewajiban untuk menciptakan sebuah rasa aman bagi setiap warga negaranya dari
ancaman dalam bentuk apa pun. Kedua, kewajiban  negara  harus mendorong dan menciptakan  kesejahteraan ekonomi bagi semua warga  negara. Faktor keamanan
biasanya  menjadi  pilar  utama  bagi  terwujudnya  kesejahteraan  sosial.
2
Jadi keamanan  dan  kesejahteraan  merupakan  dua  hal  yang  sangat  sulit  untuk
dipisahkan,  situasi  sosial  dan  politik  yang  tidak  stabil  akan  menyulitkan terciptanya  kesejahteraan  sosial,  dan  situasi  keamanan  sulit  untuk  terwujud  bila
suatu negara warganya tidak memiliki jaminan kesejahteraan sosial. Mimpi  akan  terciptanya  sebuah  negara  yang  ”budiman”,  yakni  sebuah
negara yang kuat namun mencurahkan kuasanya untuk memenuhi dan melindungi hak-hak  warganya,  dan  negara  yang  berdaya  dan  peduli  terhadap  kebutuhan-
kebutuhan  dasar  sosial-politik-ekonomi  warga  negaranya.  Namun,  setelah  tiga dasawarsa lebih, negara lebih sering diidentikan dengan wajah bengisnya, angan-
angan  tentang  sebentuk  negara  yang  kuat  dan  budiman  bisa  menjadi  bahan ”cemooh.”  Tidak  bisa  dipungkiri  lagi  ruang  publik  didominasi  oleh  wacana
“emoh negara” atau “state denial”. Negara seolah-olah berasosiasi dengan segala
keburukan.  Di  ranah ekonomi,  negara  berkonotasi  dengan  kolusi,  inefisiensi  dan nepotisme;  di  ranah  birokrasi,  negara  bergandeng  makna  korupsi;  sedangkan
dalam ranah politik, negara disandingkan dengan aneka bentuk pelanggaran hak-
2
Tim  Peneliti  PSIK  Universitas  Paramadina,  Negara  Kesejahteraan  dan  Globalisasi: Pengembangan  Kebijakan  Dan  Perbandingan  Pengalaman
Jakarta:  PSIK  Universitas Paramadina, 2008, h. 16.
hak asasi manusia. Sebuah reputasi buruk yang seolah memberikan legitimasi bagi pelucutan kapasitas dan peran negara.
3
Pengalaman  empiris  negara-negara  Eropa  dengan  demikian  merupakan sumber telaah  yang menarik dan penting. Perjalanan  negara  kesejahteraan Eropa
yang dimulai dari era Otto Van Bismarck pada tahun 1883 hingga awal abad ke- 21  ini  telah  menggambarkan  pengalaman  empiris  yang  kaya  tentang  bagaimana
negara  menjalankan  peran  kesejahteraan  dan  beradaptasi  dengan  tantangan- tantangan  eksternal dan  internal  yang terus berubah. Eksperimen  yang dilakukan
negara-negara Eropa Barat dan Utara melalui format negara kesejahteraan tersebut menunjukkan  bahwa  negara  mampu  memikul  peran  yang  aktif  dalam
pengurangan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja  yang luas, sistem kesehatan dan pendidikan  yang terjangkau oleh warga, serta jaminan sosial  yang universal.
Hal  ini  membuktikan  bahwa  negara  kesejahteraan  walfare  state  merupakan bentuk paling riil dari angan-angan tentang ”negara budiman”.
4
Berbicara  mengenai  kesejahteraan,  secara  normatif  konsep  kesejahteraan dalam ajaran Islam sangat jelas dan gamblang. Walaupun masih agak sulit untuk
mendapatkan  definisi  yang  jelas  mengenai  konsep  kesejahteraan  dari  sudut pandang  Islam.  Apalagi  jika  dikaitkan  dengan  pengertian  dalam  khazanah  ilmu-
ilmu  sosial  modern.  Meskipun  demikian  tidak  bisa  dikatakan  bahwa  Islam  tidak memiliki  pandangan  tentang  kesejahteraan  sosial.  Berdasarkan  pada  realitas
perkembangan masyarakat Islam sendiri, di mana masyarakat Islam juga menjadi bagian  dari  masyarakat  dunia  yang  secara  evolutif  berkembang  dari  masyarakat
agraris  dan  kemudian  menjadi  masyarakat  industri.  Konsekuensi  dari  tahapan
3
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, h. 1-2.
4
Ibid ., h. 4.
perkembangan masyarakat  yang terjadi di Barat  inilah  yang  kini turut mengubah tatanan kehidupan sosial masyarakat Islam.
5
Menjadikan  Madinah  sebagai  pusat  pemerintahan  Islam  pertama merupakan sebuah langkah  yang berilian yang dilakukan oleh Nabi Muhammad.
Karena  dakwah  tauhid  yang  dibawa  oleh  Nabi  Muhammad  sulit  untuk  diterima penduduk Makkah pada saat itu, dan kuatnya keyakinan penduduk Makkah akan
kepercayaan  nenek  moyang  mereka  kepada  berhala  patung-patung  sebagai Tuhan.  Selain  itu  karena  kondisi  ekonomi  masyarakat  Makkah  yang  kuat,
menimbulkan  sikap  kapitalistik  dan  sikap  sombong,  dan  membanggakan kekuasaan  manusia.  Sehingga  ajaran  Islam  sulit  untuk  berkembang  dan  diterima
oleh masyarakat Makkah.
6
Sebuah  revolusi  tauhid  yang  digelontarkan  oleh  Nabi  Muhammad  telah memberikan  sebuah tamparan bagi para bangsawan  Arab saat itu. Karena secara
horizontal  menggusur  tatanan  sosial,  politik,  dan  budaya  tradisional.  Revolusi tauhid yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ternyata bukan hanya terletak pada
kalimat  tiada  “Tuhan  selain  Allah”nya  namun  pada  implikasinya.  Nabi Muhammad  yang  dekat  dengan  kelompok-kelompok  marginal,  banyak
mengambil  kebijakan-kebijakan  yang  menguntungkan  orang-orang  yang terlemahkan  mustadh’afin oleh  sistem  sosial-politik  Arab  saat  itu.  Oleh  karena
itu,  keberpihakan  Nabi  tersebut  mengindikasikan  adanya  kebijakan-kebijakan
5
Tim Peneliti  PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, h. 44-45.
6
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, Surabaya: Pustaka Islamika Press, 2003, h. 42.
sosialnya  yang  secara  substansial  memiliki  kedekatan  “teoritik”  dengan  konsep welfare state
.
7
Melihat  apa  yang  terkandung  dalam  semangat  kebijakan  welfare  state, terkandung  nilai-nilai  kerelaan  dan  ketulusan  untuk  membantu dan  meringankan
beban  orang  miskin  oleh  kaum  kaya.  Nilai-nilai  kesejahteraan  yang  terkandung dalam  Al-Qur’an  merupakan  tugas  atau  kewajiban  umat  Islam  untuk
mengaplikasikannya  dalam  kehidupan  bernegara  atau  sehari-hari,  dan  keadilan merupakan faktor dasarnya. Hal itu merupakan perintah, maka perintah zakat bagi
orang Islam yang mampu merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan, dan  apabila  perintah  itu  tidak  dilaksanakan  maka  negara  dalam  hal  ini  yang
memiliki wewenang untuk mengambilnya secara “paksa”. Karena di dalam harta yang kita miliki ada hak orang lain, yakni hak orang-orang fakir dan miskin.
Khalifah  Umar  bin  Khattab  sebagai  pemimpin  negara  Madinah  pasca kepemimpinan  Nabi  Muhammad  dan  Khalifah  Abu  Bakar,  berhasil  melakukan
perluasan  penaklukan  futuhat  wilayah-wilayah.  Luasnya  wilayah-wilayah  yang berada  di  bawah  pemerintahan  Madinah,  memaksa  Khalifah  Umar  bin  Khattab
untuk ekstra ketat ketika memilih pejabat-pejabat yang akan memimpin wilayah- wilayah  hasil  penaklukan.  Karena  dikhawatirkan  terjadinya  penyalahgunaan
kekuasaan,  maka  salah  satu  hal  terpenting  yang  harus  dilakukan  Khalifah  Umar bin  Khattab  adalah  melakukan  pengawasan  terhadap  tata  cara  para  pejabatnya
dalam  memperlakukan  penduduk  dan  Baitul  mal  atau  perbendaharaan  umat, sehingga  Khalifah  Umar  bin  Khattab  memberlakukan  suatu  kontrol  khusus
7
Tim  Peneliti  PSIK  Universitas  Paramadina,  Negara  Kesejahteraan  dan  Globalisasi, h.46
terhadap  para  pejabat  pemerintahan  dan  mencatat  kekayaan  mereka  pada permulaan penganggkatan mereka.
8
Puncak  sorotan  mengenai  diskursus  welfare  state  dalam  sejarah  politik Islam  adalah  pada  masa  kepemimpinan  Khalifah  Umar  bin  Khattab,  karena
Khalifah  Umar telah berhasil menggariskan suatu sistem “politik ekonomi”  yang kemudian  telah  dipakai  menjadi  dasar  politik  ekonomi  sehat  di  negara-negara
modern saat ini. Sistem politik ekonomi yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab,  yaitu penggunaan  kekayaan  negara  untuk mengatasi  kesulitan-kesulitan
yang sangat dan untuk mencukupi kebutuhan rakyat  yang mendesak.
9
Dalam arti kesejahteraan  rakyat  sebuah  negara  merupakan  hal  yang  mendasar  yang  harus
diwujudkan. Baitul mal
kas negara pada masa Khalifah Umar bin Khattab digunakan untuk  kesejahteraan  umat  Muslim,  sehingga  tunjangan  bagi  Khalifah  Umar
sebagai  kepala  negara  hanya  dua  potong  pakaian  musim  panas  dan  sepotong pakaian musim dingin, dan uang  yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seperti
seorang  Quraisy  yang  biasa.  Hal  ini  menggambarkan  bahwa  baitul  mal  lebih diperioritaskan  untuk  kepentingan  mensejahterakan  rakyat,  pertahanan  dan
pembangunan.
10
Pada  masa  Khalifah  Umar  pendapatan  negara  terbagi  menjadi  empat bagaian; Pertama, pendapatan yang diperoleh dari zakat dan ushr yang dikenakan
terhadap  muslim.  Kedua,  pendapatan  dari  Khumus  dan  sadaqah.  Ketiga, pendapatan yang diperoleh dari kharaj, fay, jizya, ushr dan sewa tanah-tanah milik
negara.  Keempat,  pendapatan  dari  sumber-sumber  lainnya.  Dari  semua  sumber
8
Rasul Ja’fariyan, Sejarah Khilafat, Jakarta: Al-Huda, 2006, h. 83-89.
9
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984, h. 103.
10
Inu Kencana, Ilmu Pemerintahan dan Al Qur’an, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, h. 191.
pendapatan  negara  ini  pemerintahan  Khalifah  Umar  memiliki  pengaturan distribusi yang sangat baik.
Fokus dari sebuah ide dasar negara kesejahteraan adalah bagaimana upaya negara  dalam  mengelola  semua  sumber  daya  yang  ada  demi  kesejahteraan
rakyatnya. Dalam  hal  ini  kebijakan  yang dilakukan atau dikeluarkan oleh  negara harus  berlandaskan  pada  prinsip  efisiensi  dalam  penggunaan  sumber  daya  yang
dimiliki negara dan prinsip keadilan dan kesamaan dalam proses distribusi sumber daya  negara.  Dalam  desain  negara  kesejahteraan  ada  dua  pertanyaan  mengenai
kebijakan  negara;  Pertama,  apa  tujuan  dari  sebuah  kebijakan?,  Kedua,  dengan metode atau cara apa tujuan kebijakan negara dapat tercapai?.
11
Prinsip-prinsip  negara  kesejahteraan  saat  ini,    jelas  dahulu  pernah dipraktekkan dalam kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, walaupun bentuk
negara kesejahteraan saat ini yang dipraktekan oleh negara-negara Barat berbeda- beda,  akan  tetapi  tujuan  dari  semua  negara  kesejahteraan  adalah  adanya
tanggungjawab  negara  untuk  menciptakan  kesejahteraan  warga  negaranya  lewat fasilitas-fasilitas  atau  bantuan-bantuan  yang  diciptakan  negara  untuk  warganya
yang lemah miskin.
B. Batasan dan Rumusan Masalah