Sumber-Sumber Pendapatan Negara Pada Periode Umar

yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” Q.S. Al Baqarah Ayat 177. Negara kesejahteraan yang diterapkan di negara-negara Barat dan model negara kesejahteraan Islam, secara nilai-nilai dan tujuan memiliki kesamaan, yaitu menciptakan kesejahteraan bagi semua warga negara terutama mereka yang terlemahkan karena ke tidak sempurnaan sistem pasar. Namun, ada perbedaan yang mendasar antara kedua model negara kesejahteraan tersebut yang terletak pada landasan filosofisnya. Islam mengajarkan falsafah kesejahteraan yang unik, komprehensif dan konsisten dengan fitrah manusia. Dalam ajaran Islam semua manusia memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu tidak boleh sampai menciptakan kerugian terhadap umat manusia yang lain, sehingga manusia dalam ajaran Islam bertanggung jawab atas semua tindakannya dihadapan Allah Swt. di akhirat nanti. Seperti telah disinggung di atas, bahwa konsep kesejahteraan dalam Islam dapatlah dikatakan tidak semata-mata “ukhrawi” atau “duniawi”. Ajaran Islam menyerukan pada umatnya agar mampu menguasai alam serta mengelola sumber daya yang diberikan Allah untuk kemakmuran umat manusia, dan memperingatkan dengan keras kepada umat Islam untuk tidak terlalu rakus dengan penguasaan materi dan menganggapnya sebagai ukuran keberhasilan seseorang. Apalagi sampai melupakan sisi spiritual diri Manusia.

C. Sumber-Sumber Pendapatan Negara Pada Periode Umar

Umar merupakan pemimpin negara Madinah setelah Nabi Muhammad dan Abu Bakar. Negara Madinah yang dididirkan oleh Nabi Muhammad Saw. merupakan negara pertama yang didirikan dalam sejarah politik Islam. Namun, negara pertama tersebut mampu melahirkan skema-skema kesejahteraan lewat kebijakan-kebijakan politik Nabi. Sumber-sumber pendapatan negara Madinah pada Periode Nabi merupakan penopang bagi terwujudnya kesejahteraan sosial pada saat itu. Sumber-sumber pendapatan negara pada masa Abu Bakar sedikit mengalami hambatan, sehingga Abu Bakar menghadapi kesulitan dalam mengembangkan model negara sejahtera yang telah dirintis oleh nabi. Hambatan bagi sumber-sumber pendaptan negara pada kemimpinan Abu Bakar disebabkan oleh orang-orang Arab yang tidak mengakui otoritas Abu Bakar sebagai pemimpin negara Madinah setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. kemudian banyaknya wilayah-wilayah yang jauh dari kota Madinah Ibu kota negara mulai melakukan pemberontak. Para pemberobtak berasal dari dua kelompok, Pertama, terdiri dari mereka yang kembali menyembah berhala di bawah pimpinan Musailamah, Tulaihah, Sajah, dan lain-lainnya. Kedua, mereka yang tidak menyatakan permusuhan terhadap Islam, tetapi hanya memberontak kepada negara. Hal ini dikarenakan mereka menolak membayar zakat dengan dalih bahwa pembayaran itu hanya sah kepada Nabi Muhammad. Setelah Nabi wafat mereka merasa bebas dan tidak lagi berkewajiban membayar pajak apa pun atau wajib menunjukkan sesuatu kesetiaannya kepada negara Madinah. 89 89 Irfan Mahmud Ra’ana, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn Al-Khatab, dengan judul asli buku “Economic System Under Umar The Great,” Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990, h. 6-7. Kesejahteraan sosial umat Islam pada masa Abu Bakar kurang begitu mencolok, akan tetapi bukan berarti Abu Bakar tidak meneruskan model negara sejahtera yang dipraktekan oleh nabi. Kalau bukan karena jasa-jasa Abu Bakar, yang berhasil memberantas atau memerangi orang-orang yang tidak mau membayar pajak, pemerintahan pada masa Umar tidak akan sampai pada puncak keemasan. Kesejahteraan sosial Umat Islam pada masa Abu Bakar bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan politiknya dalam membagun Baitul Mal dan meneruskan sistem pendistribusian harta rakyat sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Abu Bakar juga mempelopori sistem penggajian bagi aparat negara, misalnya untuk Khalifah sendiri digaji amat sedikit, yaitu 2,5 atau 2,75 dirham setiap harinya dari Baitul mal. 90 Seperti telah dijelaskan di atas, negara Madinah pada periode Umar bin Khattab merupakan periode ekspansi, sehingga wilayah kekuasaan pemerintahan Islam semakin luas. Seiring dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Umar ibn Khattab, pendapatan negara mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Sumber-sumber pendapatan negara menjadi perhatian khusus pemerintahan Umar, agar dapat dimanfaatkan secara benar, efisien dan efektif. Setelah melakukan musyawarah dengan para sahabat, Khalifah Umar ibn Khattab mengambil keputusan untuk tidak menghabiskan pendapatan negara yang di simpan di Baitul mal sekaligus, tetapi dikeluarkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ada, bahkan diantaranya disediakan dana cadangan. 90 Pusat Pengkajian dan Pembangunan Ekonomi Islam P3EI, Ekonomi Islam Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008, h. 101-102. Sumber-sumber pendapatan negara pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab diklasifikasikan menjadi empat macam pendapatan negara, 91 yaitu:

a. Pendapatan zakat

Membayar zakat adalah wajib bagi orang-orang yang mampu kaya. Negara memiliki kewajiban untuk memaksa orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat agar kesejahteraan umat yang dalam posisi lemah dan miskin tidak terabaikan. Perintah untuk mengeluarkan zakat dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an secara jelas, sebagai berikut: R D Ÿ [ f HL S+EN q e M= Zm2] LM} CYWN qfR 2{ j GT F + ˆ N 1+• Ÿ¡[ 1 ‚ aaR ,+• ƒ 2{ A iC Artinya: “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo’alah untuk mereka sesungguhnya do’a kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Q.S. At Taubah ayat 103 Zakat dalam Islam pada dasarnya tidak hanya bertujuan untuk memelihara atau membantu orang-orang miskin untuk sekedar bertahan hidup, akan tetapi tujuan lainnya adalah untuk sebuah “transformasi”, yaitu menjadikan orang-orang miskin untuk bangkit agar mampu memperbaiki kehidupannya dan merubah mereka yang dahulunya menjadi 91 PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, h. 57. mustahik penerima zakat menjadi muzakki pembayar zakat. 92 Dalam hal ini, ketika orang dahulunya berada pada posisi miskin berubah menjadi orang-orang yang terlepas dari kemiskinan, dan hidup pada posisi rakyat yang sejahtera karena tidak lagi membutuhkan tunjangan-tunjangan yang diberikan oleh negara. Zakat merupakan sumber pendapatan negara yang telah ada pada masa Rasulullah, dan zakat menjadi sumber pertama pendapatan negara Madinah. Pada Masa Khalifah Umar, zakat dijalankan seperti yang telah dipraktekan oleh Rasulullah dan Abu Bakar. Khalifah Umar hanya mengembangkan sistem zakat sesuai dengan Al-Qur’an. Pada pemerintahannya, Umar menetapkan khumus zakat atas karet yang ditemukan di semenanjung Yaman, antara Aden dan Mukha, dan hasil laut. Karena ia menganggap barang-barang tersebut dianggap sebagai hadiah dari Allah Swt. padahal, barang-barang tersebut pada masa Khalifah Abu Bakar belum dikenakan zakat, hal itu disebabkan karena barang-barang tersebut belum menjadi salah satu sumber utama perekonomian. Pada masa Rasulullah kuda merupakan binatang yang digunakan sebagai alat transportasi untuk pribadi dan berperang. Pada perang Badar, pasukan kaum Muslimin yang berjumlah 313 orang hanya memiliki dua ekor kuda. Jumlah kuda pada masa Rasulullah ini tidak mengalami peningkatan yang signifikan sehingga tidak ditetapkan zakat bagi pemilik kuda. Namun pada masa Khalifah Umar, kegiatan berternak dan 92 Sirojudin Abbas, “Sintesa Islam dan Kesejahteraan Sosial: Eksperimentasi Pendidikan Kesejahteraan Sosial di UIN Jakarta,” dalam Kusmana, ed., Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial Jakarta: IAIN Indonesia Social Equity Project, 2006, h. 39-40. memperdagangkan kuda dilakukan secara besar-besaran di Syiria dan wilayah-wilayah kekuasaan Islam lainnya. Sehingga Umar menetapkan zakat atas kuda sebesar satu dinar, dan pendapatan zakat atas kuda didistribusikan kepada para fakir miskin. Khalifah Umar sangat memahami tujuan utama kewajiban zakat, selain sebagai sumber pendapatan negara, zakat bertujuan untuk menghindari adanya penumpukan harta di bawah kekuasaan kelampok kecil orang-orang kaya. Oleh sebab itu, agar distribusi kekayaan dikalangan umat dapat berjalan secara adil dan merata, zakat harus diambil dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin. Untuk mencapai tujuan ini Khalifah Umar, membuat berbagai kebijaksanan politik, yaitu dengan menambah jenis barang yang wajib dizakati bila dirasa perlu dan menghilangkannya jika dianggap sudah tidak relevan lagi bagi struktur perpajakan pada sewaktu-waktu, seperti telah dijelaskan diatas mengenai contoh zakat yang dikembangkan pada pemerintahan Khalifah Umar. Umar menetapkan sangsi yang sangat tegas bagi orang-orang kaya yang tidak mau mengeluarkan zakat. Permasalahan mengenai orang-orang kaya yang tidak mau membayar zakat telah ada pada periode pemerintahan Rasulullah Saw. dan Abu Bakar. Pada masa Rasulullah orang-orang yang tidak mau membayar zakat dikenakan denda sebesar 50 dari seluruh jumlah kekayaannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah: “orang-orang yang tidak mau membayar zakat, akan saya ambil zakatnya setengah dari seluruh kekayaannya.” Pemerintahan Khalifah Abu Bakar merupakan pemerintahan yang disibukkan dengan perang Riddah, yaitu perang untuk menumpas orang- orang yang tidak mengakui otoritas pemerintahan Madinah dan orang- orang yang tidak mau membayar zakat. Khalifah Abu Bakar mengingatkan orang-orang yang tidak mau membayar zakat dengan mengatakan: “Demi Allah, akan saya perangi mereka yang membedakan antara kewajiban ibadah dan kewajiban membayar zakat, karena zakat berurusan dengan harta benda. Ya Allah, jika mereka menghindari kewajiban mereka membayar zakat kepada saya, walaupun hanya seekor anak kambing, yang seharusnya itu telah mereka bayar kepada Rasulullah, saya akan perangi mereka – saya akan perangi mereka karena penolakkannya itu….” 93 Ketegasan Rasulullah Saw. dan Khalifah Abu Bakar dalam menghadapi orang-orang yang menghambat sumber kesejahteraan zakat masyarakat Madinah menjadi rujukan Khalifah Umar Bin Khattab, ketika memimpin negara Madinah. Khalifah Umar mengaplikasikan hukuman bagi para pembangkang zakat seperti yang telah dijalankan oleh Rasulullah dan Abu Bakar. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut di simpan di baitul mal pusat dan dibagikan kepada delapan ashnaf, seperti yang telah ditentukan dalam Al- Qur’an.

b. Pendapatan khums dan sedekah.

93 Irfan, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar, h. 87-88. Khumus adalah pajak yang dikumpulkan dari berbagai jenis ghanimah , terutama dipungut dari tabungan konsumen dan keuntungan produsen, 20 persen dari dana yang terkumpul setiap tahunnya berupa khumus. Pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau non-Muslim. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan menuju Damaskus, Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, Khalifah Umar segera memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada orang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah dan makanan yang diambil dari persediaan untuk para petugas. 94 Peristiwa di atas merupakan contoh adanya nilai-nilai kesejahteraan dalam kepemimpinan Khalifah Umar, dan merupakan kebijakan kesejahteraan berupa jaminan kesehatan bagi warga negaranya. Secara tidak langsung Khalifah Umar telah menerapkan nilai-nilai negara kesejahteraan welfare state.

c. Pendapatan kharaj, fai, jizyah, ‘ushr pajak perdagangan, dan sewa

tanah. Kharaj atau pajak hasil bumi, adalah sejenis pajak yang dibebankan atas tanah yang dimiliki oleh non Muslim, yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam. Kharaj akan tetap dikenakan kepada non-Muslim walapun pada selanjutnya mereka memeluk Islam. Pajak jenis ini dibebankan atas tanah tanpa membedakan apakah 94 Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 74. pemiliknya anak-anak atau dewasa, orang merdeka atau budak, dan laki- laki atau perempuan. 95 Khalifah Umar menentukan beban kharaj kepada tanah Sawad 96 di Irak. Umar amat teliti mengenai jumlah kharaj yang dibebankan kepada para petani, misalnya, Umar melarang petugas pajak untuk memungut pajak melebihi kemampuan wajib pajak, sambil memperhatikan luas tanahnya. Kharaj hanya dibayar sekali dalam satu tahun, kendati lahan yang dimiliki warga negara Madinah bisa ditanami dan dipanen lebih dari satu kali dalam setahun. Sehingga pajak dari kharaj yang ada pada pemerintahan Umar tidak menjadi beban yang memberatkan bagi masyarakat yang berada di bawah kekuasan Madinah. Pendapatan Kharaj pada masa Umar jumlah begitu besar, jumlah kharaj dari Irak berkisar 86.000.000,- dirham setiap tahunnya, dan mengalami peningkatan pada tahun berikutnya menjadi 100.020.000,- dirham. Sedangankan dari wilayah Mesir, jumlah kharaj berkisar 12.000.000,- dirham setiap tahunnya. 97 Pendapatan Baitul mal bisa mencapai 160.000.000,- dirham dari pajak tanah setiap tahunnya. 98 Sedangkan definisi jizyah seperti telah dijelaskan di atas adalah pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-Muslim yang menetap di bahwah kekuasaan pemerintahan Islam. Pajak jizyah lebih berupa pengganti kompensasi bagi perlindungan yang diberikan kepada mereka, keluarga, dan harta miliknya oleh negara Madinah. Kemudian jizyah juga 95 Irfan, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar, h. 118-119. 96 Sawad adalah nama sebuah wilayah di Irak, dan menjadi bagian dari wilayah kekuasaan negara Islam pada periode Khalifah Umar bin Khattab. 97 Irfan, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar, h. 126. 98 PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, h. 59. sebagai pajak pengganti tugas kemiliteran, karena orang-orang non- Muslim yang menjadi warga negara Madinah dibebaskan dari tugas kemiliteran perang. Aplikasi pajak jizyah pada masa Khalifah Umar tidak jauh berbeda dengan yang diterapkan oleh Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar. Dalam hal ini, Khalifah Umar tidak membebankan jizyah kepada; kaum wanita, anak-anak, orang-orang miskin, para budak dan rahib-rahib pun dibebaskan dari kewajiban pajak ini jika mereka miskin, tetapi bila kaya mereka tetap harus membayar. Pemerintahan Khalifah Umar sangat berlaku lemah lembut terhadap orang-orang miskin dan lemah, namun bersikap keras terhadp orang-orang kaya agar mereka tidak menghindar dari kewajiban membayar jizyah. 99 Pembebasan pembayaran jizyah untuk orang-orang yang lemah dan miskin pada masa Khalifah Umar, dilatarbelakangi oleh peristiwa ketika Khalifah Umar berkunjung ke suatu tempat dan menjumpai seorang pengemis pria yang buta. Khalifah Umar bertanya kepada pengemis tersebut, siapa sebenarnya dirinya pengemis, Kemudian pengemis tersebut menjawab dia adalah seorang Yahudi. Kemudian Khalifah Umar bertanya, apa yang telah memaksa dirinya untuk meminta-minta, dan ia menjawab bahwa yang memaksa dirinya meminta-minta adalah kewajiaban membayar jizyah, kebutuhan ekonomi dan usia lanjut. Oleh sebab itu, Khalifah Umar memerintahkan petugas Baitul mal untuk membebaskan orang-orang non-Muslim yang lemah dan miskin dari 99 Irfan, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar, h. 100-101. kewajiban membayar jizyah, dan menetapkan bantuan bagi mereka setiap tahunnya dari Baitul mal. 100 Perbedaan pengaplikasian jizyah pada masa Khalifah Umar dengan masa Rasulullah dan Abu Bakar, terletak pada besarnya jumlah jizyah yang harus dibayar oleh non-Muslim. Jumlah pembayaran jizyah pada masa Khalifah Umar dinaikkan satu dinar. Pembayaran jizyah bagi setiap orang dalam setahun, menjadi empat dinar bagi orang-orang kaya dan dua dinar untuk kelas menengah. Sumber lain pendapatan negara pada pemerintahan Khalifah Umar adalah fai, yaitu harta rampasan perang ghanimah yang didapat tanpa adanya perlawanan dari musuh. Harta rampasan perang merupakan sumber pendapatan negara yang fungsinya tidak kalah penting dengan sumber- sumber pendapatn negara lainnya. Apapun jenis barang harta rampasan perang harus dibagikan sesuai dengan aturan yang telah berlaku sejak masa Rasulullah. Pada Masa Khalifah Umar, tanah-tanah yang berasal dari fai sangat luas, sehingga pada selanjutnya tanah-tanah tersebut dikuasai oleh negara, namun penduduknya diberikan hak untuk mengelola dengan sistem sewa tanah. Khalifah Umar tidak membagi-bagikan tanah-tanah fai, dikarenakan kekhwatirannya mengenai timbulnya kesejahteraan yang tidak merata. Untuk harta umat dari ghanimah Umar mempergunakannya sesuai dengan ayat Al-Qur’an sebagai berikut: 100 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, dengan judul asli buku “Economic Doctrines of Islam,” Jilid 1 Yogyakarta: P.T Dana Bhakti Wakaf, 1995, h. 174-175. v j ¢ , { +,w kD, £Q… 4 K ¤Q GT s ˜  N  ¥ • ] S ˆ8 — Ff ˆ8+, 2k f CIy1 N +,f • n CWR 3 T F k£Km k£2 K n 2 Hf 2] ˆ8 2 2 E 32 2¦ 2X CT S hf 2¦ 2X . F2kf CT + D,+Žf 1 ‚ ˆ8 2 CYWt K ¤Q ƒ X E S AC Artinya: “ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami Muhammad di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Q.S. Al Anfal ayat 41 ‘ushr merupakan suatu jenis pajak perdagangan yang dikenakan kepada para pedagang yang melakukan aktivitas perdagangan di wilayah kekuasaan pemerintahan Islam. Penetapan pajak atas perdagangan pada masa Khalifah Umar dilatar belakangi oleh peristiwa ketika orang-orang Manbij orang-orang harabi yang meminta izin kepada Khalifah Umar untuk diperbolehkan berdagang di negara Muslim dengan membayar sepersepuluh dari nilai barang. Setelah berkonsultasi dengan para sahabat, Khalifah Umar menyetujui permintaan orang-orang Manbij. Tetapi, ada peristiwa khusus yang melatar belakangi diberlakukannya ‘ushr oleh Khalifah Umar, yaitu ketika Abu Musa Al-Asy’ari menulis surat kepada Khalifah Umar yang menyatakan bahwa para pedagang Muslim yang melakukan aktivitas perdagangan di tanah harabi dikenakan pajak sepersepuluh dari total dagangan mereka. Khalifah Umar memerintahkan kepada para pejabatnya agar para pedagang non-Muslim yang memasuki wilayah kekuasaan umat Islam juga harus dibebankan pajak seperti yang dibebankan kepada para pedagang Muslim di negeri-negeri asing. 101 Pajak ‘ushr ini dibebankan hanya satu kali dalam setahun, dan dengan asumsi bahwa barang yang diperdagangkan jumlahnya melebihi 200 dirham. Sedangkan jumlah pajak yang harus dibayar adalah 2,5 untuk para pedagang Muslim, 5 untuk para pedagang kafir dzimmi, dan 10 untuk para pedagang kafir harabi. Khalifah Umar juga melarang para petugas pajak untuk mengambil ‘ushr lebih dari satu kali dalam satu tahun. Pendapatan negara ini didistribusikan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan, serta untuk menutupi biaya oprasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.

d. Pendapatan lain-lain.

Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.

D. Jaminan Sosial Pada Era Pemerintahan Umar