Problem Demokrasi PROBLEM DEMOKRASI

58

BAB IV PROBLEM DEMOKRASI

DAN KEPEMIMPINAN POLITIK KAUM MUDA

A. Problem Demokrasi

1. Problem Demokrasi Orde Baru dan Pasca Reformasi Politisi muda era Reformasi, mereka sebagian adalah para mahasiswa yang ikut andil dalam gerakan Mahasiswa 98, kemunculannya adalah reaksi kesewenang-wenangan pemerintah saat itu, kelahiran mereka bukan sebuah sepontanitas, melainkan kesinambungan dan kesengajaan pemikiran matang dari gerakan-gerakan protes jauh sebelum era Reformasi. 1 Posisi mereka tidak memperbarui, melainkan meneruskan perjuangan dari mereka yang diculik dan diintimidasi karena mempermasalahkan otoritas dan kebijakan penguasa, baik kebijakan kesewenang-wenangan ataupun praktik-praktik penodaan atas asas demokrasi. 2 Orde Baru tidak hanya pelanggaran asas demokrasi, HAM, praktik korupsi, dan semangat gotong royong “hanya” sesama saudara dan orang-orang terdekat nepotisme, 3 Orde Baru adalah era Fasisme di Indonesia, Daniel 1 Budiman Sudjatmiko, “Gerakan Mahasiswa Kini: Bersama Rakyat Tuntaskan Reformasi Total”, dalam Tim Penerbit Buku Kompas Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi: Merangsang Pemikiran Ulang Keindonesiaan Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2001, 149. 2 Konsep pembaharuan politik mengandung dua hal: pertama adanya sistem politik yang ideal dan ingin dicapai, kedua penilaian bahwa sistem politik yang telah ada masih banyak memiliki kekurangan meskipun formatnya sudah pas sesuai identitas bangsa. Lihat pada Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia Jakarta: Gramedia, 1978, 234. 3 Terlihat seperti anak kecil yang takut dengan gelap, itulah gambaran terhadap aparat pemerintah menghadapi tuntutan hukum Soeharto dan kroninya. Kejahatan korupsi Soeharto sangat besar, permasalahan Super Semar tercium indikasi korupsi Rp, 3,7 treliun tidak sampai pada tahap persidangan, alasannya sama seperti Pinocet yang sakit permanen, sehingga ada ruang maaf untuk itu. Padahal korupsi Super Semar tergolong kecil, jika dibandingkan harta bermasalah 59 Dhakide mengemukakan Orde Baru adalah rezim Neo-Fasisme Militer, GOLKAR adalah ABRI dalam wajah sipil, dan ABRI adalah GOLKAR dalam wajah militer, argumentasi Daniel di-iya-kan oleh M. Fadjroel Rachman, meskipun Fadjroel juga mengatakan Orde Baru adalah periode fasis, tetapi fasis Orde Baru adalah totaliterisme dan korporatis. 4 Fasisme adalah faham yang menolak demokrasi, rasionalisme, dan parlementarisme. M. Fadjroel Rachman sependapat dengan Carl Friedrich, bahwa totaliterisme korporatisme Fasisme Orde Baru ditandai oleh enam hal: “ Pertama, sebuah ideologi dominan, menyeluruh, dan tertutup. Tidak disangsikan lagi Pancasila versi Soeharto, pada 1980-an dijadikan asas tunggal bagi seluruh organisasi politik dan kemasyarakatan. Kedua, satu partai yang menganut ideologi totaliter tersebut GOLKAR sekarang Partai Golongan Karya sebagai the ruling party dan kedua partai marginal PDI dan PPP adalah penganut ideologi Pancasila versi Soeharto yang tertutup dan totaliter tersebut. Ketiga, sistem intelijen militer maupun sipil yang mengawasi dan menteror kehidupan masyarakat. Rezim Orde Baru memiliki lembaga ekstra konstitusional dan ekstra yudisial seperti KOPKAMTIB Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, lalu berganti nama menjadi BAKORSTANAS Badan Koordinasi Stabilitas Nasional. Di perguruan tinggi, melalui resimen mahasiswa MENWA memiliki seksi intelijennya sendiri. Keempat, kontrol tunggal semua aktivitas masyarakat sipil, seperti media massa dengan lembaga SIUPP, dan semua organisasi sosial politik dibawah UU Partai Politik dan GOLKAR, Ormas, dan Referendum. Kelima, watak teknokratis dalam menjalankan pembangunan dan sistem kapitalisme monopoli yang menghantam kebebasan buruh untuk berserikat, melakukan depolitisasi massa floating mass dan bekerja sama dengan kapitalisme internasional modal, portofolio, dan TNCMNC. Keenam, bersifat korporatis, rezim memecah masyarakat menjadi golongan fungsional, sehingga tidak perlu berhubungan dengan masyarakat secara Soeharto mencapai 35-60 miliar dolar AS yang menempatkan Soeharto sebagai pemimpin negara paling korup di dunia. Selain maslah korupsi, Soeharto juga dinanti hukuman atas kejahatan HAM, tapi justru kejahatan HAM Soeharto tidak disentuh sedikitpun. Selengkapnya tentang kaburnya proses hukum Soeharto bisa dibaca pada M. Fadjroel Rachman, “Merayakan Matinya Reformasi”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan Depok: Koekoesan, 2007, 119. 4 M. Fadjroel Rachman, “Indonesia Ke Arah Demokrasi dan Emansipasi Sosial”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan Depok: Koekoesan, 2007, 15. 60 langsung, hanya berhubungan dengan perwakilan dari golongankelompok korporatis itu. Adapun perwakilannya harus direstui atau sesuai dengan keinginan rezim Orde Baru . ” 5 Ada beberapa kesamaan antara yang dikemukakan oleh Fadjroel dan dijelaskan oleh Yuddy Chrisnandi, Yuddy mengapresiasi Soeharto, ia mampu membangun ekonomi dengan Trilogi ekonomi, tetapi disaat itupula Soeharto membunuh demokrasi. 6 Menggaris bawahi pemikiran Yuddy, setidaknya selain kasus KKN, otoriter, dan pemaksaan ideologi, 7 Orde Baru juga mengajarkan semacam doktrinasi terhadap masyarakat antara pemimpin Jawa dan bukan Jawa, 8 serta meluasnya konflik komunal, 9 dan kedua problem tersebut terakhir bahkan 5 M. Fadjroel Rachman, “Fasisme dan Korporatisme Orde Baru”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan Depok: Koekoesan, 2007, 47-48. 6 Yuddy Chrisnandi, “Soeharto dalam Sejarah”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional Jakarta: Transwacana, 2007, 27. 7 Politik otoriter Soeharto memaksa Pancasila yang seharusnya menjadi ideologi negara berubah haluan menjadi ideologi politik, sehingga yang berhak menafsirkan Pancasila hanyalah pemerintah. Yuddy Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional Jakarta: Transwacana, 2007, 9. 8 Problem Jawa dan bukan Jawa dibangun atas dominasi Jawa dalam segala bidang, selain pemimpin negara diidentikkan memiliki watak raja-raja Jawa, fakta lain mengatakan elit politik di Indonesia juga didominasi oleh orang Jawa, sebab populasi masyarakat Jawa memang di atas suku-suku lain, selain faktor geografis bahwa pusat pemerintahan berada di Jawa. Hasilnya apa?, ternyata dengan identiknya Jawa membuat suku-suku lain selalu menyesuaikan diri dengan masyarakat Jawa, nilai-nilai ke-jawen dipelajari sebagai basis persepsi politik suku lain. Di antara watak masyarakat Jawa dalam aplikasi politik adalah konsep “halus”, masyarakat Jawa cenderung untuk menghindari konflik, tapi di sisi lain juga mudah tersinggung. Kedua “ketenangan bersikap”, orang Jawa memiliki kecenderungan – kewibawaan – orang yang berwibawa dan dihormati bukan orang yang aktif dan selalu berbicara, selalu ada dan menyelesaikan masalah di setiap keputusan, melainkan orang berwibawa bagi masyarakat Jawa adalah yang memiliki ketenangan bersikap. Ketiga adalah konsep “kebersamaan”, kebersamaan bagi masyarakat Jawa tidak hanya pada sektor fisik, melainkan juga pada sektor non fisik, seperti kebersamaan secara moral dan kekeluargaan. Lihat pada Yuddy Chrisnandi, “Problem Jawa-Non Jawa dalam Demokrasi di Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional Jakarta: Transwacana, 2007, 39. 9 Kegagalan penerapan demokrasi akan berakibat fatal dalam bernegara, tidak hanya praktik KKN sebagai penyakit utama, tapi akan melahirkan konflik yang berkelanjutan. Yuddy Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”, 16. 61 sampai pada Reformasi tetap menjadi isu hangat berdemokrasi di Indonesia selain isu banyaknya reformis gadungan. 10 Budiman Sudjatmiko lebih sepakat bahwa Orde Baru pemicu gerakan politik kaum muda dimulai dari otoritarian kekuasaan di segala bidang kemasyarakatan serta kapitalisme militeristik tuntutan penguasa, karena ini pemicu adanya KKN di tubuh-tubuh birokrasi baik negara atau swasta. Sistem pengekangan yang mempersempit gerakan kebebasan tidak akan bisa dirubah jika perubahan itu hanya dimulai dari sektor lebih kecil, seperti tuntutan terhadap regional kampus dan institusi daerah. Oleh karena itu perubahan harus dari inti permasalahan, yaitu me-Reformasi kepemimpinan negara yang otoriter, karena kebobrokan dimulai dari penguasa sekaligus induk dari semua otoritarianisme Orde Baru. 11 Fadli Zon menyoroti problem demokrasi Orde Baru cenderung dari sistem yang dipergunakan dan bukan kesalahan individu Soeharto, karena tidak mungkin Soeharto berjalan sendiri tanpa ditopang orang-orang yang menginginkan kursi strategis di pemerintahan. Negara Indonesia memiliki komitmen bahwa demokrasi tidak hanya dalam sektor politik, melainkan juga dalam tatanan berkehidupan bermasyarakat kesehariannya. Demokrasi era Orde Baru adalah demokrasi Pancasila, ini merupakan hal baik karena Pancasila merupakan asas yang mampu menyikapi 10 Wawancara dengan Yuddy Chrisnandi. Jakarta, 6 Mei 2013. 11 Sudjatmiko, “Gerakan Mahasiswa Kini: Bersama Rakyat Tuntaskan Reformasi Total”, 155. 62 toleransi terhadap masyarakat Indonesia, tetapi praktiknya tidak demikian, karena bagi Fadli Pancasila itu hanya nama bagi sebuah peralihan kekuasaan, sedangkan praktiknya masih terdapat nilai-nilai otoriter dan kediktatoran yang tentunya diiyakan pula oleh penjilat kekuasaan masa Orde Baru. Karena jajaran konstitusi era Soeharto tidak bisa dikatakan takut terhadap Soeharto, melainkan karena mereka yang duduk di pemerintahanlah menciptakan sistem dan pencitraan Soeharto sebagai poros utama dan harus ditakuti, karena dengan itu kapanpun sistem bernegara dirubah untuk kepentingan tertentu bisa saja terjadi dengan mengatasnamakan Soeharto. 12 Munculnya kediktatoran saat Orde Baru tidak terlepas dari Soeharto adalah panglima tentara, sehingga watak kediktatoran terbawa sampai pada praktik dan karakter berpolitik. Bukan sebuah kesalahan memiliki gaya berpolitik diktator asalkan pada sektor lain berimbang, dan itu pernah ditunjukkan pada periode Soeharto. 13 Orde Baru tidak bisa dilihat dari praktik korupsinya saja, perbandingannya bahwa korupsi Orde Baru dan Reformasi hingga sekarang, justru praktiknya lebih besar korupsi saat ini. Di sisi lain disepakati terdapat banyak pelanggaran-pelanggaran dalam masa itu, tetapi dalam sisi pembangunan ekonomi periode Orde Baru dikatakan berhasil dengan semboyan trilogi 12 Wawancara dengan Fadli Zon. Jakarta, 7 Mei 2013. 13 Wawancara dengan Fadli Zon. 63 pembangunan, sampai negara kita tergabung dalam OPEC dan pengimpor beras terbesar se-Asia. 14 Masa Reformasi adalah awal dari harapan baru tentang tegaknya demokrasi, tapi seperti peristiwa-peristiwa transisi politik di Indonesia sebelum- sebelumnya, semangat dan cita-cita kembali menguap, meskipun Reformasi sudah dari sepuluh tahun berlalu, problem demokrasi tidak berkurang, melainkan justru semakin kompleks. Pendapat empat tokoh politisi muda menyikapi problem demokrasi masa Reformasi sama seperti diungkapkan Adrianof A. Chaniago, permasalahan demokrasi pasca Reformasi digolongkan dalam tiga hal: Pertama anarkisme sosial, baik dilakukan individu, kelomok komunal, etnis, dan agama. Kedua re-sentralisasi dan elitisme dalam sistem politik. Ketiga tokoh-tokoh sipil yang terjebak dan dipenjara layaknya tahanan kota. 15 Peristiwa kekerasan dan radikalisme di Indonesia akhir-akhir ini meningkat dan dilakukan oleh multi kelompok. Seperti mengatasnamakan agama, atas nama suku, dan atas nama primordial. 16 Praktik terbesar radikalisme agama tidak sekedar berbentuk riel perusakan atas tempat peribadatan agama tertentu, bahkan pemeluk agama yang sama sering terjadi gesekan fisik, belum lagi jika kita lihat peristiwa terorisme di Indonesia, semuanya peristiwa terorisme 14 Wawancara dengan Fadli Zon. 15 Adrianof A. Chaniago, “Rintangan-rintangan Demokrasi di Indonesia”, dalam Maruto MD., dan Anwari WMK., ed., Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat: Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi Jakarta: LP3ES, 2002, 27. 16 Untuk permasalahan konflik bisa dibaca pada Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”, 12. 64 terungkap sebagai tafsir atas gerakan dakwah dalam agama. 17 Agama dan suku hanya merupakan latar belakang identitas individu, kemudian mengelompok, dan itu bersifat sangat sensitiv, melebarnya konflik dan fanatisme berlebihan banyak dimanfaatkan gerakan partai politik, akhirnya tidak heran apabila banyak partai politik berakar dan menjual simbol-simbol agama, keberadaan partai-partai agama atau berdasar suku bisa memunculkan fanatisme yang menolak aturan main demokrasi apabila partai atau suku yang dianggap wakil Tuhan kalah dalam peta pemilu. 18 Jika radikalisme dan praktik separatis terus terjadi sampai sekarang, apa sebenarnya penyebabnya dan apa konsekuensinya? 19 Penyebab terbesar adalah tidak meratanya asas demokrasi sampai ke pelosok daerah-daerah, sehingga asas demokrasi berbangsa dan berkehidupan hanya dinikmati oleh orang-orang di Senayan. Bagi Imam Prasojo kekhawatiran bangsa Indonesia akibat konflik tersebut adalah disintegrasi sosial, bila ini terjadi akan menimbulkan iklim tidak saling mempercayai di antara kelompok-kelompok masyarakat, konsekuensinya 17 Munculnya gerakan radikal dalam agama bisa dibaca pada Yuddy Chrisnandi, “Islam dan Gerakan Radikalisme di Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional Jakarta: Transwacana, 2007, 290. Contoh radikalisme dalam agama bisa dilihat seperti peristiwa bom bali A. Wisnubrata, “Air Mata Tumpah di Monumen Bom Bali” [berita online]; tersedia di http:regional.kompas.com read2012101210243665 Air.Mata.Tumpah.di.Monumen.Bom.Bali; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. 18 Budiman Sudjatmiko, “Beri Kesempatan Demokrasi Bernafas”, [website resmi]; tersedia di http:budimansudjatmiko.netnode83; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. 19 Yuddy Chrisnandi, “Menangkal Separatisme Papua”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional Jakarta: Transwacana, 2007, 75. Baca juga pada M. Fadjroel Rachman, “Luka Papua, Luka Indonesia”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan Depok: Koekoesan, 2007, 185. 65 adalah antara kelompok masyarakat satu dan lainnya saling curiga, saling bermusuhan, dan akibat paling fatal adalah saling meniadakan. 20 Konflik-konflik di daerah pertanda tumbuh suburnya re-sentralisasi politik dan perekonomian. Secara konstituen semua induk pemikiran dan gerakan politik menempatkan wakil-wakilnya hingga pelosok daerah, tujuannya secara hukum terjadinya dan tertampungnya banyak aspirasi dari masyarakat, tetapi tujuan secara pribadi dan kepentingan organisasi politik itu hanya salah satu cara menggurita-kan atas kekuasaan. Wakil di daerah selalu menyalahkan pemerintahan pusat karena tidak tanggap terhadap peristiwa di daerah, sedangkan mereka yang di pusat hanya memberikan janji –seolah-olah telah menyalurkan aspirasi rakyat–, padahal secara diam-diam baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah bermesraan, karena konflik pasti akan diselesaikan, hanya saja menunggu momentum yang tepat untuk mengangkat nama baik dan popularitas organisasi politik pencitraan. 21 Sedangkan terjadinya penjara kota bagi tokoh sipil bisa kita telusuri di Ibu Kota, banyak masyarakat berfikir nikmatnya menjalankan perekonomian di Ibu Kota, sehingga banyak mengundang masyarakat dari daerah berbondong-bondong ke Ibu Kota. Perpindahan yang tergolong terburu-buru merupakan satu masalah besar, tanpa dukungan SDM yang brilian, banyak membuat mereka yang susah payah datang ke Ibu Kota harus terlantar dengan ketat dan kerasnya persaingan, 20 Diantara peristiwa-peristiwa radikalisme yang ada, nampaknya gerakan-gerakan separatis adalah gerakan radikalisme yang paling perlu menjadi perhatian. Sebab gerakan tersebut secara jelas dan terang-terangan ingin memiskahkan diri dari negara kesatuan Indonesia. Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masadepan Demokrasi Indonesia”, 14. 21 Chaniago, “Rintangan-rintangan Demokrasi di Indonesia”, 24. 66 sehingga cita-cita awal mereka agar menjadi orang kaya tidak terealisasikan, wujudnyapun bisa kita lihat, mereka adalah tahanan kota, yaitu orang-orang miskin yang hidup di kota besar. Siapa yang diuntungkan?, tidak lain adalah mereka elite politik yang oportunis dan pragmatis, karena kecerdikannya memanfaatkan keluguan meraka –tahanan kota– sebagai alat politik, mereka dipelihara dan diperjuangkan aspirasinya, yang tidak lain hanya batu loncatan untuk bisa duduk di kursi parlemen. 22 2. Argumentasi Rekonstruksi Demokrasi Empat tokoh muda menyatakan komitmennya bahwa demokrasi harus tetap menjadi identitas bernegara dan berbangsa di Indonesia. Meskipun format ideal tentang demokrasi Indonesia terus mendapatkan ujian, tetapi eksistensinya harus tetap dipertahankan. Lantas apa cara yang ideal untuk meneruskan perjuangan demokrasi yang menjadi semangat dan cita-cita Reformasi?, Budiman Sudjatmiko memberikan dua opsi agar demokrasi yang menjadi semangat Reformasi di Indonesia akan terlaksana. Pertama dominasi kekuatan-kekuatan Orde Baru harus dilemahkan, baik mereka yang berada di konstitusi, di tubuh militer, maupun di tubuh parleman dari pusat sampai daerah. Kenapa demikian?, karena orang-orang Orde Baru semakin cerdas, mereka hari demi hari selalu melakukan penciteraan untuk membersihkan nama mereka, tujuannya agar cita- cita politiknya tidak kandas. Kesempatan kekuatan otoriter lama untuk berkuasa kembali sangat terbuka, salah satunya disebabkan proses demokratisasi terus 22 Chaniago, “Rintangan-rintangan Demokrasi di Indonesia”, 30. 67 memberi kesempatan untuk diinterupsi, dan ini bukan sekedar karena daya tahan Soehartois, namun sering karena sikap pragmatisme mereka yang mengawal Reformasi. Tepatnya, otoriterisme lama bisa berkuasa karena di satu sisi tertolong pragmatisme sebagian kalangan menengah, utamanya di perkotaan yang mengontrol modal atau opini. 23 Kesimpulannya yang diinginkan masyarakat Indonesia adalah pengusutan tuntas kejahatan KKN era Orde Baru, bagaimana bisa kejahatan Orde Baru tuntas jika yang menyelidiki adalah pelaku kejahatan. 24 Kedua agar cita-cita Reformasi terlaksana adalah dengan menyingkirkan reformis gadungan, reformis gadungan merupakan mereka yang menyuarakan dan menyatakan pejuang Reformasi. Tapi karena keberadaannya ditumpangi kekuatan politik tertentu, sehingga untuk melancarkan agenda-agenda politiknya tidak segan-segan bersekutu dengan sisa-sisa Orde Baru. 25 Poin kedua dari apa yang dikemukakan oleh Budiman pada “reformis gadungan” memiliki kesamaan dengan argumentasi Yuddy Chrisnandi tentang “pemenang pertama”, mereka adalah yang berhasil merebut kekuasaan demokratis dari rezim otoriter, setelah cita-cita politiknya tercapai dan punya posisi dalam politik, maka agenda-agenda Reformasi perlahan dibelokkan untuk kepentingan 23 Pragmatisme sebagian dari mereka menimbulkan rasa khawatir instabilitas yang disebabkan demokratisasi, misalnya menyebabkan proses integrasi mereka dengan perekonomian global terhambat. Namun di sisi lain, konsentrasi kita dalam proses transisi ini juga bisa terpecah karena pernyataan impulsif dari orang-orang idealis yang tidak sabar, meskipun sering dengan maksud baik. Sudjatmiko, “Beri Kesempatan Demokrasi Bernafas”. 24 Sudjatmiko, “Gerakan Mahasiswa Kini: Bersama Rakyat Tuntaskan Reformasi Total”, 156. 25 Contoh kongkrit reformis gadungan ketika Presiden ‘Abdurrahman Wahid tentang pencabutan Tap MPRS No XXVMPRS1996, kemudian dimanipulasi oleh reformis gadungan dengan membelokkan pada isu suku, agama, dan ras. Mereka juga yang akomodatif terhadap Dwi fungsi ABRI, serta tidak punya keberanian untuk menghancurkan sisa-sisa Orde Baru. Lihat pada Sudjatmiko, “Gerakan Mahasiswa Kini: Bersama Rakyat Tuntaskan Reformasi Total”, 157. 68 dirinya dan golongannya. Mereka ini pemenang diawal Reformasi, namun diakhir mereka mengikuti sistem yang dahulu pernah ditentang. 26 Yuddy mengatakan bahwa diperlukan orang-orang yang tepat agar tidak terdapat reformis gadungan, konsolidasi ini hanya bisa diterapkan bagi mereka yang memilki kecakapan memikul mandat rakyat, mereka yang patuh dalam konsensus politik, terbangunnya etika baik dalam berpolitik, sistem kontrol yang baik tanpa ada intervensi pemerintah, hukum tidak dimanipulasi, ini adalah jalan yang harus ditempuh untuk menjaga kesetabilan demokrasi. Sebab ada dua hal menurut Yuddy dari akibat penerapan demokrasi, pertama apabila demokrasi dikawal baik maka konsolidasi demokrasi tertata rapi, kedua apabila prosesnya cidera, maka akan tumbuh lagi otoritarianisme dalam pemerintahan. 27 Selain penyingkiran “reformis gadungan” atau “pemenang pertama”, ada tiga hal yang harus dilakukan untuk membangkitkan cita-cita demokrasi Indonesia: Pertama, Menghilangkan patron feodlistik dalam pos-pos politik, feodlistik dalam kepemimpinan pengaruhnya luar biasa terhadap kehidupan sosial, ada perasaan sebagai golongan priyayi sehingga menutup terhadap yang lain untuk maju dan lebih menonjol, sehingga terdapat asumsi urusan rakyat bukan urusan pemimpin. 26 Yuddy Chrisnandi, “Konsolidasi Demokrasi dan Peran Mahasiswa Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional Jakarta: Transwacana, 2007, 33. 27 Chrisnandi, “Konsolidasi Demokrasi dan Peran Mahasiswa Indonesia”, 33. 69 Kedua, Memiliki persiapan matang atas kembalinya neo kolonialisme yang telah dipersiapkan oleh negara adikuasa untuk tidak menginginkan negara Indonesia besar di segala bidang, baik ekonomi, pertahanan, dan berkebangsaan, ini seperti arguementasi Fadli Zon pada pembahasan berikutnya. Ketiga, Membangun kepemimpinan yang kuat, visioner, dan kaya ide, karena kepemimpinan lemah adalah cermin dari karakter yang mudah tunduk atas tekanan. 28 M. Fadjroel Rachman lebih keras menyikapi hal-hal yang akan menopang tatanan demokrasi Indonesia. Jika Budiman menginginkan ada pelemahan kekuatan Orde Baru, Fadjroel justru menginginkan kekuatan Orde Baru dihancurkan dan dilarang di Indonesia, seperti apa yang terjadi pada partai Nazi di Jerman yang dilarang sesuai perundang-undangan konstitusi sampai sekarang. 29 Fadjroel menyatakan masa depan demokrasi Indonesia hanya bisa diselesaikan apabila runtutan untuk membangunnya dilaksanakan dengan baik: Pertama tahap otoriter totaliter anti demokrasi dibinasakan dari sistem politik di Indonesia. Tahap transisi demokrasi mensyaratkan keterputusan terhadap elemen otoriter-totaliter yang anti demokrasi, di sini adalah mereka yang disebut sebagai Soehartois, baik individu ataupun lembaga pendukung dan dipergunakan untuk memperlancar cita-cita politik Soeharto pada masa berkuasa, dalam perspektif ini seperti GOLKAR dan lembaga korporatis Orde Baru lainnya 28 Yuddy Chrisnandi, “Refleksi dan Rekonsiliasi Menatap Masa Depan”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional Jakarta: Transwacana, 2007, 62. 29 Rachman, “Fasisme dan Koropratisme Orde Baru”, 49. 70 tidak mungkin menjadi prasyarat tumbuh kembangnya apalagi mempertahankan dan memimpin tahap transisi demokrasi, tujuannya tidak mungkin membangun demokrasi dengan elemen-elemen otoriter-totaliter yang justru anti demokrasi. 30 Kedua tahap transisi demokrasi. Tahap transisi demokrasi tidak bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu atau yang hanya terlibat dalam politik, melainkan ada lima unsur element masyarakat yang harus terpenuhi dalam masa transisi, yaitu; 1. Masyarakat sipil ‘civil society’, 2. Masyarakat politik ‘political society’, 3. Supremasi hukum ‘rule of law’, 4. Aparatus negara ‘state apparatus’, 5. Masyarakat ekonomi economic society. Kelima arena masyarakat tersebut tidak boleh cacat satupun, karena apabila salah satu bermasalah, maka tidak akan ada kesetabilan dalam transisi demokrasi. Seperti dikatakan oleh Fadjroel: “Bahwa kepentingan interest, gagasan ideas, dan nilai-nilai values dari masyarakat sipil adalah penggerak utama major generators masyarakat politik, juga terhadap masyarakat ekonomi, aparatus negara, dan supremasi hukum. Tetapi, masyarakat sipil tidak bisa menggantikan semua fungsi modern masyarakat politik seperti merancang dan menjalankan konstitusi dan perundangan negara yang menentukan maju mundurnya keempat arena konsolidasi demokrasi lainnya, mengelola aparatus negara, menegakkan supremasi hukum, dan lainnya. Masyarakat politik dalam melaksanakan semua fungsi memerlukan legitimasi masyarakat sipil. Masyarakat sipil juga memerlukan dukungan yang niscaya dari adanya supremasi hukum konstitusional yang memberikan jaminan hukum atas hak-haknya sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dan aparat negara yang melindungi atau menegakkan hak-hak tersebut bila dilanggar. Juga dukungan masyarakat ekonomi yang niscaya untuk menjamin kebebasan dan kehidupan masyarakat sipil. Tanpa masyarakat ekonomi yang menumbuhkan dan memeratakan kesejahteraan 30 M. Fadjroel Rachman, “Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Kritik untuk Megawati Soekarno Putri, Syamsuddin Haris, dan Sonny Keraf”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan Depok: Koekoesan, 2007, 10. 71 ekonomi, melalui pasar yang terlembaga dan dilindungi regulasi dan deregulasi optimal rancangan masyarakat politik, dihormati masyarakat sipil dan ditegakkan aparat negara, konsolidasi demokrasi tidak akan pernah terjadi.” 31 Ketiga tahap sistem demokrasi dan diperluas ke segala bidang, apabila kedua unsur awal terpenuhi, maka tahap terakhir adalah memperluas dan memperdalam demokrasi. Demokrasi tidak hanya di bidang politik, melainkan dikembangkan ke dalam berkehidupan dan berbangsa kesehariannya. Orang-orang yang tahu, mengenal, dan meyakini demokrasi dengan kepala dan hati mereka, memberi demokrasi kehidupan dengan komitmen mereka, maka mereka pantas disebut sebagai kaum demokrat. 32 Konsistensi demokrasi di Indonesia menurut Fadli Zon tidak seperti argumentasi tiga tokoh di atas, menyalahkan Orde Baru adalah kesalahan besar. Bangsa ini harus dimulai dari apa yang ada saat ini, apabila proyek pembangunan sebuah negara harus menyalahkan Orde Baru, negara Indonesia tidak akan terbentuk. Contoh sederhana siapa pemimpin dan politis saat ini yang bukan produk Orde Baru, Budiman, Fadjroel, atau Yuddy? Semua produk Orde Baru kecuali orang yang terlahir setelah tahun 98, yang paling urgen dari itu semua bagi Fadli adalah sistem dan penerapan cita-cita Reformasi. 33 Demokrasi akan terus terjaga apabila terdapat pertanggung jawaban atas pelaksanaannya, konflik dan metode kekerasan untuk menyampaikan pendapat 31 Rachman, “Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Kritik untuk Megawati Soekarno Putri, Syamsuddin Haris, dan Sonny Keraf”, 12. 32 Rachman, “Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Kritik untuk Megawati Soekarno Putri, Syamsuddin Haris, dan Sonny Keraf”, 13. 33 Wawancara dengan Fadli Zon. 72 bukan cara berdemokrasi dalam politik. Demokrasi memang memberikan kebebasan dalam bersuara, berkumpul, dan berserikat, tetapi kebebasan yang tidak mengganggu hak-hak masyarakat lain. Seperti keterangan sebelumnya, bahwa demokrasi Indonesia tidak sekedar politik, tetapi di segala bidang termasuk ekonomi. Saat ini demokrasi Indonesia cenderung ke neo liberalisme ekonomi, yang sangat tidak cocok dan merugikan demokrasi Indonesia. 34 Demokrasi Indonesia benar dikatakan Muhammad Hatta adalah demokrasi yang menggabungkan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, maka menjadi demokrasi sosial dan kebersamaan, seperti asas budaya kita dengan simbol gotong royong. Hal terpenting dalam demokrasi bagi Fadli selama ini gagal difahami pada masa Reformasi, sehingga demokrasi yang dianggap Reformasi justru mengarah pada neo liberalisme politik dan neo liberalisme ekonomi. 35 Dampaknya bukan sedikit, tapi luar biasa menyengsarakan rakyat, aset yang merupakan warisan moyang justru setelah masa Reformasi dinikmati bangsa asing, padahal itu kekayaan kita. 36 Bagi Fadli kemelut Reformasi di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh masyarakat dalam negeri, gerakan-gerakan 98 hanya eksekutor, sedangkan sponsor utama adalah IMF International Monetery Fund. IMF ikut campur dalam penggulingan Orde Baru, apa tujuan IMF di sini?. Kata Michel Camdessus, “Kami menciptakan krisis untuk Indonesia agar Soeharto turun”. Faktanya bagaimana?, fakta terbesar ikut campur IMF dalam Reformasi adalah dari ketidak 34 Wawancara dengan Fadli Zon. 35 Wawancara dengan Fadli Zon. 36 Wawancara dengan Fadli Zon. 73 efektifan idenya menyeleseikan krisis di Indonesia, kenapa IMF yang seharusnya memberikan dana talangan di Indonesia justru ide-idenya malah menghancurkan Indonesia?, pertanyaan tersebut merupakan jawaban atas bukti keterlibatan IMF masa Reformasi. Proyek terbesar IMF saat semua lini ekonomi Indonesia lemah, IMF meminta Indonesia untuk melepas aset-aset setrategis dalam ekonomi dan menjual pada pihak asing, padahal pihak pembeli merupakan kroni dan telah dipersiapkan oleh IMF, 37 dan ini awal masuknya neo liberalisme di Indonesia. 38

B. Kepemimpinan Politik Kaum Muda