Demokrasi dan problem kepemimpinan politik di Indonesia (pemikiran politik politisi muda: Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)

(1)

DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN

POLITIK DI INDONESIA

(Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel

Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)

Skripsi

Diajukan pada Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)

Oleh

Eko Prasetyo

NIM:

107033203181

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

LEMBAR PERNYATAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memeroleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 10 Juni 2013


(3)

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama : Eko Prasetyo

NIM : 1070 3320 3181

Program Studi : Ilmu Politik

Telah menyelesaikan Skripsi dengan judul:

DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN POLITIK DI

INDONESIA (Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)

dan telah memenuhi syarat untuk diuji.

Jakarta, 16 September 2013

Mengetahui

Ketua Program Studi

Ali Munhanif Ph.D.

NIP 196512121992031004

Menyetujui Pembimbing

M. Zaki Mubarak M.Si. NIP 197309272005011008


(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI SKRIPSI

DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN POLITIK DI INDONESIA (Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, Fadjroel

Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) Oleh

Eko Prasetyo 107033203181

Telah dipertahankan dalam ujian Skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Oktober 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada program Ilmu Politik.

Ketua,

Ali Munhanif Ph.D.

NIP. 196512121992031004

Sekretaris,

M. Zaki Mubarak M.Si. NIP 197309272005011008

Penguji I,

Drs. Armein Daulay M.Si. NIP. 130892961

Penguji II

Agus Nugraha M.A.

NIP. 196808012000031001

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 29 Oktober 2013.

Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta

Ali Munhanif Ph.D.


(5)

i

ABSTRAK

EKO PRASETYO

Demokrasi dan Problem Kepemimpinan Politik di Indonesia (Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)

Skripsi ini menganalisa pemikiran politik empat politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) tentang problem demokrasi dan kepemimpinan politik kaum muda di Indonesia. Penelitian skripsi dilakukan secara kualitatif, dengan metode pengumpulan data perpustakaan dan wawancara, sedangkan untuk kerangka teori penulis menggunakan teori demokrasi dan teori kepemimpinan politik.

Penulis menemukan, bahwa demokrasi kita semenjak merdeka sampai sekarang masih mengalami transisi dan dievaluasi serelevan mungkin agar sesuai dengan karakter bangsa yang Bhineka Tunggal Ika, sebagaimana tujuan pokok ke depannya, demokrasi tidak sekedar dalam basis politik, melainkan berkehidupan sehari-hari. Meskipun diakui proses pendewasaan demokrasi di Indonesia diwarnai kecurangan, dari yang berwatak otoriter, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sedangkan dalam kepemimpinan politik kaum muda, Indonesia terhenti sampai era Soeharto, ia dengan kekuasaannya membuat regenerasi suram, konsekuensinya pasca

pelengserannya sampai sekarang pemimpin politik kalangan muda tidak terealisasikan, pos-pos strategis politik masih diisi pemimpin tua, sedangkan pemuda Reformasi setia menunggu giliran. Padahal tujuan terbesar munculnya pemuda dalam kepemimpinan politik tidak didasari regenerasi semata, tetapi dengan bergantinya pemimpin tua pada yang muda, dipastikan akan melahirkan ide segar dan baru, serta normalisasi kepemimpinan politik di Indonesia, karena pemimpin politik ideal adalah kurun usia 35 tahun sampai 55 tahun, selebihnya cukup jadi negarawan dan tidak perlu di parlement.

Empat politis muda menghendaki itu, pemuda memiliki semangat dan stamina lebih panjang dari yang tua, pemuda tidak kenal kompromi dan sanggup melawan resiko, meskipun dibalik watak mulia tersebut pemuda memiliki watak negatif, seperti pragmatisme politik dan menjadi politisi kutu loncat.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Alḥamdulillāh dengan raḥmat Allāh yang Esa pada akhirnya skripsi tentang

problem demokrasi dan masalah kepemimpinan di Indonesia selesai dibuat. Karya

akademik selain sebagai syarat untuk menyelesaikan program S-1, juga merupakan

ujian bagi penulis tentang sejauh mana pemahaman penulis tentang ruang lingkup

politik selama menempuh kuliah pada Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu

Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari, dari sekian lama menempuh perkuliahan hingga dapat

menyelesaikan program S1 ini tidak mungkin berhasil tanpa adanya

kontribusi-kontribusi dari pihak lain baik materi maupun dukungan moral. Untuk itu dengan

tidak mengurangi rasa hormat, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ketua Jurusan Ilmu Politik bapak Ali Munhanif, Ph.D. dan sekretaris jurusan

Ilmu Politik sekaligus pembimbing bapak M. Zaki Mubarak M.Si. yang

banyak memberikan kritik dan saran juga dukungan moral pada penulis untuk

segera menyelesaikan skripsi.

3. Bapak, ibu, dan saudara di kampung, mereka dengan sabar memberikan


(7)

iii

dan tidak sedikit penulis dengan mereka melakukan perdebatan-perdebatan

tentang berakhirnya perjalanan kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Seluruh staf akademik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

5. Jajaran staf perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kawan-kawan Ilmu Politik angkatan 2005, 2006, 2007, 2008. Kalian semua

adalah bukti sejarah keberadaan penulis di kampus UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Kepada semua yang tidak penulis sebutkan, penulis banyak mengucapkan

terimakasih.

Ciputat, 10 Juni 2013


(8)

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Pernyataan Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 9

C. Tujuan dan Manfaat ... 10

D. Tinjauan Pustaka ... 11

E. Metode Penelitian ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II TEORI DEMOKRASI DAN TEORI KEPEMIMPINAN ... 17

A. Teori Demokrasi ... 17

1. Demokrasi ... 17

2. Model-model dan Jenis Demokrasi ... 19

3. Demokrasi Negatif ... 22

B. Teori Kepemimpinan Politik ... 24

1. Definisi Kepemimpinan ... 24

2. Konsep Dasar Teori Kepemimpinan ... 25

3. Model Kepemimpinan Demokrasi ... 27

BAB III DINAMIKA DEMOKRASI DI INDONESIA ... 29

A. Adopsi dan Periodisasi Demokrasi di Indonesia ... 29

1. Demokrasi Parlementer (Liberal) 1945-1959 ... 30

2. Demokrasi Terpimpin 1959-1965 ... 33


(9)

v

4. Demokrasi Pasca Reformasi ... 40

B. Biografi Empat Tokoh Politisi Muda ... 43

1. Yuddy Chrisnandi ... 43

2. M. Fadjroel Rachman ... 46

3. Budiman Sudjatmiko ... 49

4. Fadli Zon ... 53

BAB IV PROBLEM DEMOKRASI DAN KEPEMIMPIAN POLITIK KAUM MUDA ... 58

A. Problem Demokrasi ... 58

1. Problem Demokrasi Orde Baru dan Pasca Reformasi ... 58

2. Argumentasi Rekonstruksi Demokrasi... 66

B. Kepemimpinan Politik Kaum Muda ... 73

1. Gerakan Kepemudaan dan Investasi Kepemimpinan Politik . 73 2. Program Kepemimpinan Politik Kaum Muda ... 83

3. Problem Kepemimpinan Politik Kaum Muda ... 88

BAB V PENUTUP ... 92

A. Kesimpulan ... 92

B. Saran-Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 104

1. Lampiran Pernyataan Wawancara ... 107

2. Lampiran Teks Wawancara ... 112


(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Kata “demokrasi” sangat familiar dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya menjadi bahan perbincangan bagi para sarjana-sarjana dan elite politik bangsa, frasa kata “demokrasi” juga asyik diperbincangkan bagi mereka yang duduk sambil minum kopi di pasar-pasar tradisional dan di pos kampling sambil main kartu. Demokrasi sebagai sebuah kata yang memiliki arti melalui pemikiran panjang dan kuno, seringkali penerapan katanya sangat tidak seimbang dengan arti seharusnya. Mereka memahami demokrasi secara sederhana, demokrasi diartikan segala sesuatu di tangan rakyat, rakyat dan keputusannya adalah hal mutlak sebagai sebuah pemenang dan pemegang kekuasaan, sehingga demokrasi selalu diartikan dalam ranah politik.1

Indonesia sebagai sebuah bangsa besar sejak merdeka telah mengenal demokrasi, merdeka dan besar dengan demokrasi seharusnya menjadikan bangsa Indonesia syarat pengalaman terhadap demokrasi, tapi praktiknya bisa kita lihat, bahwa perjalanan bangsa dan negara Indonesia pasti masalah pokok yang dihadapi adalah bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi kehidupan berbangsa dan bernegara?, memang belum sepenuhnya hak-hak kewarga negaraan terpenuhi, tapi setidaknya sedikit demi sedikit bangsa ini telah melakukan transisi dari berbagai model demokrasi, yang terhitung ada empat fase

1

Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education)Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Abdul Rozak, dkk., ed. (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kerjasama The Asia Foundation & PERNADA MEDIA, 2003), 109.


(11)

2

model demokrasi pada negara Indonesia dengan berbagai macam problem di dalamnya; pasca awal kemerdekaan periode demokrasi Parlementer 1945-1959, demokrasi Terpimpin periode 1959-1965, demokrasi Pancasila periode 1965-1998, dan demokrasi periode 1998 (Reformasi) hingga sekarang.2 Sederhananya demokrasi Parlementer dan Terpimpin ada pada era Soekarno, demokrasi Pancasila pada era Soeharto – baik keduanya dengan problem otoritarianisme dan kediktatoran – dan terakhir model demokrasi Reformasi,3 adalah periode pasca

runtuhnya Soeharto yang di dalamnya diisi secara bergantian pemimpin negara dari B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarno Putri, dan sekarang Susilo Bambang Yudhoyono.

Demokrasi sampai sekarang – pasca Reformasi – masih menjadi topik dan sangat digemari, dipastikan orang yang mendukung demokrasi jumlahnya lebih besar daripada yang menolak demokrasi. Karena dalam prinsip demokrasi merupakan sistem yang konstruktif dan mampu menjadikan keberbedaan bersuku, beragama, dan berfikir ke arah yang sama, tanpa membedakan faktor-faktor dan identitas sebagai pemisah, ini yang dicita-citakan masyarakat.4

Namun faktanya, lain istilah lain cara mempraktikkannya, praktik demokrasi belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia, banyak dijanjikan dipimpin secara demokratis tapi merasa dirinya korban dari demokrasi,

2

M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Politika: Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi III, no 3 (Desember 2007), 61.

3

Lihat perbedaan problem masa Soekarno dan Soeharto pada M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, 76.

4

Deliar Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, dalam M. Amin Rais, Demokrasi dan Proses Politik (Jakarta: LP3ES, 1986), 71.


(12)

3

sebab demokrasi hanya milik kalangan elite politik di Senayan dan golongan yang dekat dengan itu. Problem Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tetap menjadi tradisi sebagai kelanjutan masa Soeharto. Fadli Zon sampai memberikan kredit lebih atas permasalahan demokrasi, jumlah mereka yang KKN pasca Reformasi lebih banyak dibandingkan era Soeharto, KKN tidak lagi dilakukan kalangan elite politik, bahkan sampai pada tahap masyarakat biasa. Soeharto sebagai presiden telah mati, sedangkan politik demokrasi “Soehartois” bersemayam di Senayan.5 Dampaknya masyarakat di daerah seperti diabaikan, melihat begitu banyaknya permasalahan konflik horisontal di daerah seperti seakan-akan dibiarkan dan tidak ada tanggung jawab dari pemerintah pusat.

Hal semacam di atas membuat kecewa dan melahirkan kelompok-kelompok baru mengatasnamakan dirinya perubahan dan pembaharuan. Eksistensinya justru membuat posisi demokrasi di Indonesia dipertanyakan, karena gerakan-gerakan itu cenderung separatis bertujuan untuk membentuk negara baru, ini bisa dilihat atas berdirinya GAM (Gerakan Aceh Merdeka), Separatis Bintang Kejora atau OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan masih banyak lagi bentuk makar atas kekecewaannya terhadap iming-iming demokrasi. Selain organisasi makar, belakangan banyak ormas keagamaan dan organisasi politik bersekala nasional ataupun internasional tumbuh subur di Indonesia, baik organisasi politik fundamental dan kolot ataupun organisasi-organisasi radikal atas nama gerakan stabilisator nilai beragama. Mereka menginginkan negara

5

A. Sonny Keraf “Tanggapan untuk Fadjroel Rachman: Demokrasi Butuh Kaum Demokrat,” [artikel online]; tersedia di http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=2657 &coid=3&caid=22&gid=2: Internet: diunduh pada 19 Februari 2013.


(13)

4

Indonesia tidak lagi menjadi negara bangsa dan meniadakan demokrasi sebagai asas berbangsa.6

Problem seperti di atas telah menarik perhatian politisi Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan terlebih Fadli Zon untuk menggagas tentang eksistensi demokrasi di Indonesia. Empat tokoh tersebut memfokuskan argumentasinya tentang eksistensi demokrasi di Indonesia. Bangsa ini sangat besar dan dihuni beribu-ribu suku dan corak orang di dalamnya, demokrasi adalah jalan penting terselenggaranya kenegaraan yang kondusif dan damai, melihat Bhineka Tunggal Ika sebagai kunci bernegara. Masa transisi dari presiden lama ke presiden baru dianggap sebagai revisi demokrasi, dan hasilnya penempatan dan relevansi dari substansi demokrasi di Indonesia semakin menjadi baik.7

Namun di lain pihak, kendornya pemerintah menjamin dan membangun ketegasan hukum yang kuat terhadap keberlangsungan korupsi, kolusi, nepotisme, dan radikalisme telah menciderai demokrasi. Masyarakat banyak mengagungkan kemerdekaan moral, ekonomi, dan sosial yang tanpa disadari mereka terjebak dalam tindakan main hakim sendiri, sehingga hal itu seperti bentuk teror baru yang mengganggu hak-hak demokrasi bagi individu dan golongan lain, belum lagi

6

MMI (Majelis Mujahiddin Indonesia) dan Hizbut Tahrir Indonesia adalah contoh, sebuah ormas dan partai politik Internasional pemuja negara agama yang berhasil dan besar di negara berasas demokrasi, tapi justru mengingkari demokrasi karena dianggap sebagai sistem kafir. Hizbut Tahrir didirikan di al-Quds Jerusalem pada akhir 1952 dan awal 1953. Taqī al-Dīn al-Nabhānī sebagai pendiri sekaligus ketua partai [artikel online] tersedia di http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/; Internet; diunduh pada 10 Desember 2012.

7

Yuddy Chrisnandi, “Kemelut Demokrasi”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 51.


(14)

5

akibat konflik tersebut memicu ketidak setabilan di daerah. Konsekuensinya mereka di daerah semakin miskin dan berlarut-larut dalam perang saudara.8

Runtuhnya otoritarianisme presiden Soeharto melalui gelombang demonstrasi membawa perubahan. Meskipun disadari bahwa saat itu belum difikirkan siapa yang berhak menggantikan Soeharto sebagai pemimpin, yang jelas Soeharto harus turun dari jabatannya.9 Faktanya model demokrasi justru digemari dan menjadi simbol besar terhadap perubahan bangsa. Transisi negara justru lahir dari gerakan demokrasi yang ingin menempatkan dirinya serelevan mungkin, selain yang perlu digaris bawahi mulai munculnya tokoh-tokoh baru dalam politik bangsa Indonesia. Pembatasan sarana informasi oleh periode Orde Baru mulai muncul dengan berbagai visi dan misinya, mulanya sekedar sebagai sarana pencitraan nama baik pemerintah, sekarang menjadi alat kontrol bagi kebijakan pemerintah dengan berbagai tayangan kritis dan kritiknya.10

Reformasi dengan bendera demokrasi telah melahirkan Individu-individu kritis menjadi tokoh nasional, di antaranya nama-nama seperti Amien Rais dan Abdurrahman Wahid sangat akrab saat Indonesia menjalani transisi dari negara tidur menjadi negara yang mudah untuk berteriak. Meskipun diakui menjadi garda depan perubahan masa Reformasi penuh resiko, termasuk menghadapi

8

“Fadli Zon: ‘Demokrasi Kriminal’ Akibat Lemahnya Desain Politik,” [berita online]; tersedia di http://www.antaranews.com/berita/356807/fadli-zon-demokrasi-kriminal-akibat-lemahnya-desain-politik; Internet; diunduh pada 20 Februari 2013.

9

David Jenkins, “Runtuhnya Sebuah Rezim,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 102.

10

Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986), 43


(15)

6

pembunuhan sangat terorganisir dan rapi.11 Keberadaan mereka tidak dapat dilupakan, dari masa-masa kritis kepemimpinan Presiden B.J. Habiebie, Gus Dur, dan Megawati.12

Masa telah berubah, timbul wacana kepemimpinan ideal untuk Indonesia, melihat fakta kepemimpinan dari Reformasi sampai saat ini permasalahan bangsa masih tetap sama, tidak jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme, meskipun dibilang tidak setransparan masa Orde Baru, tapi sudah menjadi rahasia umum praktik tersebut tetap ada hingga sekarang. Perdebatan menarik pemimpin ideal mengkerucut pada dua hal, antara pemimpin golongan tua dan pemimpin golongan muda.

Sebagaimana ketetapan WHO manusia di atas usia enam puluh tahun sudah dikatakan tua, sebab hormon dan daya tahan tubuh akan semakin berkurang secara signifikan pada usia itu, namun permulaan mulai adanya penurunan pada hormon sejak manusia menginjak umur lima puluh lima tahun.13 Sedangkan

11

Louwise Wiliams, “Amin Rais: Garis Depan Adalah Tempat Beresiko,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 329.

12

Masa kepemimpinan yang kritis di antaranya bisa dibaca pada Hal Hill, “Habiebie Tidak Akan Mampu Bertahan Lama,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LKiS, 2000), 312.

13

Manusia yang mulai menjadi tua secara alamiah akan mengalami berbagai perubahan, baik yang menyangkut kondisi fisik maupun mentalnya. Terdapat tiga aspek yang perlu dipertimbangkan untuk membuat suatu batasan penduduk lanjut usia, menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial. Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yakni ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Jika ditinjau secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumberdaya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai


(16)

7

disebut muda menurut salah satu teori dalam konteks biologis dibatasi oleh umur, dari 13 sampai 40 tahun, ada pula yang menyatakan konteks kepemudaan adalah antara umur 20 sampai 40 tahun.14 Sedangkan pada UU No. 40 Tahun 2009 konteks pemuda dimulai umur enam belas tahun sampai tiga puluh tahun, dan itu yang menjadi pedoman KNPI, meskipun praktiknya ternyata pengurus KNPI banyak berumur di atas tiga puluh tahun.15 Namun riset oleh Office of National Statistics Inggris yang melibatkan 2.200 responden menyimpulkan, bahwa banyak responden berpendapat usia muda dimulai sejak umur empat puluh satu tahun dan berakhir pada usia lima puluh sembilan tahun.16

Dari penjelasan itu sederhananya bisa disimpulkan, mereka seperti Megawati Soekarno Putri (65 tahun), Susilo Bambang Yudhoyono (63 tahun), Jusuf Kalla (70 tahun), Wiranto (65 tahun), Sutiyoso (67 tahun), Sultan Hamengku Buwono X (66 tahun) sudah bisa disebut tua dan dianggap cukup dalam urusan birokrasi, selain dilatar belakangi masalah kesehatan dan daya tahan tubuh yang berpengaruh pada cara berfikir untuk memutuskan masalah dan beban keluarga dan masyarakat. Penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumberdaya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputusan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda. Wijayanti, “Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman: Hubungan Kondisi Fisik RTT Lansia Terhadap Kondisi Sosial Lansia di RW 03 RT 05 Kelurahan Tegalsari Kecamatan Candisari” [artikel online]; tersedi di http://eprints.undip.ac.id/20145/; internet; diunduh pada 12 November 2013.

14

Aziz Syamsuddin, Kaum Muda Menatap Masadepan Indonesia (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2008), 8.

15

Ralian Jawalsen Manurung “Syarat Usia 16-30 Tahun Berat, KNPI Gugat UU Kepemudaan ke MK,” [berita online]; tersedi http://jaringnews.com/politik-peristiwa/ umum/30369/syarat-usia---tahun-berat-knpi-gugat-uu-kepemudaan-ke-mk; internet; diunduh pada 12 November 2013.

16

“Batasan Usia Disebut Muda dan Tua,” [berita online]; tersedi http://www.berita satu.com/fashion/25895-batasan-usia-disebut-muda-dan-tua.html; internet; diunduh pada 12 November 2013.


(17)

8

memimpin sebuah bangsa, namun juga harus dipertimbangkan sudah saatnya dilakukan regenerasi kepemimpinan politik, untuk itu kelanjutannya biarkan para pemuda (kurang dari lima puluh tahun) menjadi garda depan bangsa Indonesia. Bukan berarti mengesampingkan kaum tua, tapi yang muda diharapakan dengan kesegaran ide bisa menjadi trobosan untuk merubah negara menjadi lebih baik.17

Alasan mengangkat tokoh Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, dan Budiman Sudjatmiko dalam isu kepemimpinan kaum muda bukan tanpa alasan, seperti Budiman dan Yuddy misalnya, selain mereka telah menjadi dari bagian konstitusi Indonesia sejak muda, mereka juga sering menulis tentang kepemimpinan politik kaum muda. Pada tahun 2009 Yuddy ikut aktif dalam Dewan Integritas Bangsa, ia sendiri maju dalam bursa capres independen dari kongres DIB (Dewan Integritas Bangsa).18 Sedangkan M. Fadjroel Rachman justru lebih gencar mempromosikan kepemimpinan politik kaum muda, ia menyuarakan capres independen, tujuannya agar kalangan muda bisa menjadi capres dari jalur independen tanpa terbentur aturan-aturan internal partai politik. Namun karena terhalang peraturan konstitusi ia mengambil jalan berdasarkan konstitusi pula, dari pergerakannya melalui konstitusi M. Fadjroel Rachman dan

17

M. Fadjroel Rachman, “Republik Muda: Republik Harapan,” [berita online]; tersedi di http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/msg34376.html; internet; diunduh pada 19 Februari 2013.

18

Bersama Marwah Daud Ibrahim, Bambang Sulistomo, dan Rizal Ramli. Mereka bersepakat dalam Dewan Integritas Bangsa untuk mencalonkan salah satu dari tokoh tersebut menjadi alternatif presiden Indonesia. Dewan Integritas Bangsa didirikan oleh delapan organisasi masyarakat, diantaranya Himpunan Pemuda Nahdatul Ulama, Pemuda Muhammadiyah, Gabungan Masyarakat Kristen Katolik, Generasi Muda Budha Indonesia, Komunitas Tiong Hoa Anti Korupsi. Konvensi DIB (Dewan Integritas Bangsa) dilaksanakan di delapan kota besar; yakni Yogyakarta, Surabaya, Bali, Medan, Makasar, Pontianak, Bandung dan Jakarta. Selengkapnya bisa dilihat pada “Tim 8 Dewan Integritas Bangsa Akan Turuti Keputusan Tim 45”, [berita online] tersedia di http://nasional.kompas.com/read/2009/03/07/22505697/Tim.8. Dewan.Integritas. Bangsa.Akan.Turuti. Keputusan.Tim.45: internet; diunduh pada 12 November 2013.


(18)

9

kawan-kawan lain berhasil mendapat restu calon independen dari MK (Mahkamah Konstitusi) yang saat itu dipimpin Mahfud M.D., namun keberhasilan itu bukan pada tingkat nasional, hanya pada sekala pemimpin daerah semata.19

Kepemudaan bukan menjadi hal asing bagi bangsa Indonesia, sejarah bangsa Indonesia adalah milik kaum muda kata pengamat politik nasional Ben Andreson. Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai Proklamator kemerdekaan adalah bukti, dengan umur sangat muda kurang dari tiga puluh tahun mampu membawa Indonesia menjadi bangsa berdaulat dan diakui oleh negara lain.20 Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 dengan ditandai berdirinya organisasi Budi Utomo, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah fakta lain, bahwa negara ini cukup kuat dengan pengalaman kaum muda, ini tidak menutup kemungkinan pemuda akan kembali memimpin bangsa Indonesia.21

B. Pertanyaan Penelitian

Dalam pembahasan selanjutnya, tulisan ini hanya membahas dua hal dari pemikiran empat tokoh politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon), pertama problem demokrasi di Indonesia,

kedua kepemimpinan politik yang ideal untuk Indonesia.

19

Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman, Jakarta 10 Mei 2013. 20

“Budiman Desak Generasi Muda Diberi Kesempatan Maju,” [berita online]; tersedia di http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/06/03/120211/Budiman-Desak-Generasi-Muda-Diberi-Kesempatan-Maju; internet; diunduh pada 29 Februari 2013.

21

Yuddy Chrisnandi, “Menggagas Kepemimpinan Kaum Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 99.


(19)

10

Untuk itu pertanyaan penelitiannya adalah;

1. Bagaimana problem demokrasi di Indonesia dari Orde Baru sampai sekarang menurut empat politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)?

2. Bagaimana kepemimpinan politik yang ideal dalam keberlangsungan demokrasi di Indonesia menurut empat politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon?.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

Menganalisa gagasan dan mendeskripsikan ide empat politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) terhadap eksistensi dan relevansi demokrasi di Indonesia, serta kepemimpinan politik yang ideal dalam keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

Manfaat penelitian skripsi ini adalah:

Merupakan karya ilmiah dalam ilmu pengetahuan yang memberikan wawasan terhadap pembaca, serta mempermudah memetakan masalah demokrasi, dan kepemimpinan pemuda dalam dunia politik di Indonesia.


(20)

11

D. Tinjauan Pustaka

Kajian mengenai demokrasi dan kepemimpinan politik bukan hal baru di Indonesia, di bawah ini akan penulis sebutkan beberapa literatur karya ilmiyah yang pernah membahas tentang demokrasi dan kepemimpinan politik, di antaranya:

Buku Pemikiran Politik Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999

dengan editor David Bourchier dan Vedi R. Hadiz (2006), penerbit Grafiti Pers dan Freedom Institute, Jakarta. Buku tersebut membahas tentang problem demokrasi yang ditulis oleh beberapa tokoh nasional seperti ‘Abdurrahman Wahid dan Amin Rais, tepatnya adalah kumpulan tulisan beberapa tokoh politik Indonesia tentang demokrasi dan kenegaraan periode 1965-1999. Dari semua penulis yang berkontribusi pada buku tersebut tidak menampilkan sosok pemuda sebagai penyumbang ide tentang problem demokrasi dan kepemimpinan politik kaum muda di Indonesia, sehingga pembahasan secara komprehensif tentang problem demokrasi dari kaca mata kaum muda dan gagasan kepemimpinan kaum muda tidak tersentuh.

Buku yang membahas tentang demokrasi lainnya adalah karya doctoral

Syaiful Mujani (2007), penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dengan judul Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Pada buku Syaiful Mujani hanya fokus dalam masalah Islam dan budaya demokrasi di kalangan kelompok agamawan Muslim, terutama di NU dan Muhammadiyah. Pada karya ini menyimpulkan adanya


(21)

12

keselarasan antara kebudayaan Muslim di Indonesia dengan asas demokrasi, sedangkan pembahasan tentang problem demokrasi dan ide-ide demokrasi kaum muda tidak tersentuh.

Karya ilmiyah lain yang membahas demokrasi adalah skripsi Agus Dwiyono (2007) berjudul, “Pemikiran Bung Hatta Tentang Demokrasi.” Dalam tulisan skripsi tersebut sangat banyak merujuk pada buku biografi Bung Hatta. Meskipun secara nasional tulisan biografi Bung Hatta diterbitkan tahun 1979, namun isinya ditulis sendiri oleh Hatta kira-kira semenjak ia umur dua puluh dua tahun. Fokus dari penulisan tersebut dengan membahas nilai-nilai dan asas demokrasi di Indonesia dari pra kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan. Jadi pembahasan dalam tulisan tersebut lebih pada demokrasi tidak sekedar asas berkehidupan, melainkan telah sengaja dipersiapkan sebagai landasan berbangsa semenjak pra kemerdekaan dan untuk dipergunakan sebagai identitas bangsa sampai kapanpun.

Buku kepemimpinan politik adalah tulisan M. Alfan Alfian (2012), penerbit Kubah Ilmu, Jakarta. Dengan judul Bagaimana Menjadi Pemimpin Politik?: Kekuatan Kepemimpinan. Pada buku tersebut ia mendeskripsikan tentang keberhasilan kepemimpinan politik dari tokoh-tokoh nasional sampai internasional, baik tokoh politik yang berbicara kepemimpinan politik ataupun tokoh sastra seperti Rumi dan Ibn Taymiya dalam kalangan agamawan yang berbicara kepemimpinan politik. Buku tersebut lebih berbicara pada proses untuk menjadi pemimpin politik yang tidak didasarkan atas kriteria tua ataupun muda,


(22)

13

melainkan pemikiran-pemikiran tokoh dalam memperoleh dan cara mempertahankan posisi tertinggi dalam kepemimpinan politik.

Dari riwayat kepustakaan di atas memberikan gambaran, bahwa sudah banyak yang mengupas masalah demokrasi dan kepemimpinan politik di Indonesia, namun untuk dinamika masadepan demokrasi pasca Reformasi dan problem kepemimpian politik nasional yang ideal khususnya pemimpin muda belum tersentuh. Oleh karena itu penulis meyakini bahwa kajian yang penulis tawarkan untuk diteliti dalam skripsi ini merupakan masalah aktual dan belum secara komprehensif diteliti dan dijadikan karya ilmiyah di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Metode Penelitian

Untuk menelaah sekripsi ini penulis menggunakan metode kualitatif: adalah metode yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam, peneliti terjun langsung dan berinteraksi dengan obyek di lapangan serta menggambarkan kondisi atau hasil temuan masalah daripada melihat permasalahan untuk penelitian generalisasi.22 Jadi tujuan dari metodologi kualitatif bukan suatu generalisasi, tetapi pemahaman secara teliti terhadap suatu masalah yang kemudian data temuannya dideskripsikan.23

22

Septiawan Santana, Menulis Ilmiyah Moetode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007). 27.

23

Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997), 5.


(23)

14

Sedangkan teknik pengumpulan data penulis menggunakan dua cara, yaitu pengumpulan data perpustakaan (library research) dan pengumpulan data lapangan/ field research (wawancara). Untuk pengumpulan data perpustakaan, yaitu menelaah buku ataupun tulisan (sumber primer) berkaitan dengan tema tersebut, seperti Yuddy Chrisnandi buku Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. M. Fadjroel Rachman seperti buku

Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Budiman Sudjatmiko seperti tulisannya tentang “Kepemimpinan Baru Indonesia Melintasi 'New Frontier'” dan “Mengusir Macan Tua” yang ada dalam website resminya www.budimansudjatmiko.com. Fadli Zon dengan bukunya “Politik Huru-Hara Mei 1988“ yang menerangkan sebab turunnya Soeharto. Untuk itu buku dan tulisan tersebut di atas adalah refrensi primer dalam penelitian ini.

Sedangkan teknik pengumpulan data lapangan/ field research, dilaksanakan dengan wawancara empat tokoh (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) berkenaan dengan pemikirannya sesuai rumusan masalah yang telah disebutkan di atas. Wawancara ini dilakukan karena keempat tokoh tersebut masih hidup.

Mengenai teknik penulisan skripsi, penulis berpedoman pada buku

Panduan Penyusunan Proposal & Penulisan Skripsi: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis


(24)

15

oleh Tim Penyusun Panduan Akademik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, penjabarannya adalah sebagai berikut :

Pada bab satu atau pendahuluan, dikemukakan latar pernyataan masalah, pertanyaan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian serta sistematika penulisan.

Pada bab dua membahas tentang teori demokrasi dan teori kepemimpinan politik.

Pada bab tiga membahas demokrasi di Indonesia, meliputi corak dan adopsi demokrasi di Indonesia sebagai periodisasi sejak Orde Lama sampai pasca

Reformasi. Serta membahas biografi empat tokoh politisi muda Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon.

Pada bab empat membahas probelmatik demokrasi di Indonesia masa Orde Baru dan pasca Reformasi, serta argumentasi rekonstruksi demokrasi. Selain itu membahas pemimpin politik kaum muda, meliputi gerakan kepemudan dan investasi kepemimpinan politik, program kepemimpinan politik kaum muda, dan problem mewujudkan kepemimpinan politik kaum muda.


(25)

16

Pada bab lima atau terakhir adalah penutup sekaligus kesimpulan dan saran.


(26)

17 BAB II

TEORI DEMOKRASI DAN TEORI KEPEMIMPINAN

A. Teori Demokrasi

1. Demokrasi

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani Demos (rakyat) dan Cratos

(kekuasaan),1 telah menjadi praktik politik bangsa Yunani sekitar (300-400 SM.) Demokrasi dalam istilah adalah; keadaan negara di mana sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, keputusan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat.2 Demokrasi secara modern dirumuskan sebagai sebuah sistem pemerintahan dengan didasarkan atas prinsip kedaulatan dari, oleh, dan untuk rakyat, seperti dikatakan Presiden Amerika ke-16 Abraman Lincoln (1808-1865)

1

Demokrasi dikenal sejak abad ke-5 SM., dilandasi atas dasar pengalaman buruk negara Kota di Yunani akibat sering peralihan sistem negara dari monarki ke aristokrasi, dari aristokrasi ke tirani, sehingga membuat para pemikir besar Yunani bekerja keras menentukan sistem ideal kenegaraan untuk bangsa Yunani, sehingga muncullah dari tirani ke demokrasi. Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1930 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 71. Lihat pula pada Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Abdul Rozak, dkk., ed. (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kerjasama The Asia Foundation & Pernada Media, 2003), 110. Lihat pula pada Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka: 2007), 28.

2

Ada tiga peradaban besar dalam membentuk demokrasi; Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam. Ketiga kebudayaan tersebut dengan segala pengalaman berpolitik di dalamnya membantu revisi demokrasi dari masa ke masa. Hal yang dewasa ini menjadikan demokrasi dengan banyak model, seperti demokrasi terpimpin, demokrasi parlementer, demokrasi liberal, dan masih banyak lagi model-model demokrasi hasil asimilasi antar peradaban besar dunia. Banyak bersinggungan dengan berbagai macam peradaban tidak berarti perjalanan demokrasi damai, damai dalam artian tidak ada benturan-benturan pemikiran yang kontra terhadap demokrasi, contoh sederhana bisa dilihat dari kebencian Sokrates atas demokrasi. Demokrasi adalah sistem bertele-tele, dan mengesampingkan nilai moralitas karena ia hanya berlandaskan pada sistem vooting. Mayoritas bukan ukuran kebenaran, karena seringkali kebenaran bisa dimanipulasi melalui opini publik untuk mempengaruhi moralitas masyarakat. Masyarakat bisa ‘dibeli’ sebanyak-banyaknya untuk mendukung kepentingan yang dikehendaki oleh penguasa. Di titik ini sedikit memberikan celah bahwa terdapat sisi lemah pada sistem demokrasi. Suhelmi, PEMIKIRAN POLITIK BARAT; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, 3.


(27)

18

democracy is government of the people, by the people and for people”.3 Melalui sistem pemilihan tertentu, transformasi kedaulatan rakyat tersebut diwujudkan dalam proses pemberian suara untuk meraih jabatan politik tertentu. Dalam kekuasaannya, aspirasi masyarakat akan diperjuangkan melalui mekanisme yang telah disepakati.4

Banyak pakar yang menjelaskan tentang praktik demokrasi, Thomas Meyer dalam buku Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan

menyebutkan ada empat praktik teori demokrasi, yaitu; teori demokrasi ekonomis, teori demokrasi langsung, teori demokrasi media populistik, dan teori demokrasi partisipasi partai.5 Sedangkan pemerintahan dikatakan mampu mewujudkan prinsip demokrasi bila memenuhui tujuh syarat: kontrol atas keputusan pemerintah, pemilihan yang teliti dan jujur, hak memilih dan dipilih, kebebasan berpendapat tanpa ada ancaman, kebebasan mengakses informasi, dan kebebasan berserikat.6

Poin pentingnya, asas utama dalam demokrasi adalah posisi rakyat sebagai penguasa, kontrol, sekaligus kebebasannya menyuarakan pendapat dan mengkritik kebijakan yang mewakilinya di parlemen. Sehingga hakikat demokrasi adalah:

3

Dedy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatra, Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 119.

4

Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education)Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 111.

5

Selengkapnya bisa dibaca pada Thomas Meyer, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan, (Jakarta: Friedrich-Erbert-Stiftung, 2003), 6-11.

6

Selengkapnya bisa dibaca pada Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 122.


(28)

19

pemerintahan dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, dan pemerintahan untuk rakyat.7

2. Model-model dan Jenis Demokrasi

Model dan jenis demokrasi sangat banyak, di antaranya:8

a. Demokrasi Liberal: yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh undang-undang dan pemilihan umum bebas diselenggarakan dalam waktu rutin. Banyak negara-negara di Afrika mencoba menerapkan model ini, tetapi hanya sedikit yang bisa bertahan. Sedangkan dalam pandangan hidup, demokrasi Liberal ditujukan memberikan kebebasan bagi individu untuk melakukan kegiatan sosial, agama, dan bernegara tanpa dituntun dan dicampuri oleh urusan negara, selama ekspresi hidupnya tidak bertentangan dengan pandangan hidup masyarakat lain dan pokok-pokok ideologi bangsa yang didiami. Dampak terebesarnya dalam sistem ini adalah sektor ekonomi, yaitu negara menghormati segala bentuk aktifitas ekonomi dan kepemilikan barang/jasa atas nama pribadi/individu.9

b. Demokrasi Terpimpin: para pemimpin percaya bahwa tindakan mereka dipercayai rakyat, tetapi menolak persaingan dalam pemilihan

7

Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah. Penerjemah I. Made Krisna, Tadjuddin Noer Effendi, ed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 38.

8

Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education)Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 121.

9

Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, 5.


(29)

20

umum untuk menduduki kekuasaan. Sederhananya demokrasi Terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi di mana setiap keputusan berpusat pada pemimpin negara, tidak melalui kesepakatan referendum anggota konstitusi. Sedangkan menurut Soekarno demokrasi Terpimpin dikutip dari pembukaan UUD 1945 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”.10

c. Demokrasi Sosial: yaitu menaruh kepedulian pada keadaan sosial dan egalitarianisme bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan politik. Demokrasi Sosial menjunjung tinggi derajat kemanusiaan tanpa membedakan kelas, karenanya sosialisme dalam demokrasi mencita-citakan persamaan derajat setiap manusia dari orang per-orang.11

d. Demokrasi Partisipasi: yaitu menekankan hubungan timbal balik antara penguasa dan yang dikuasai. Komitmennya adalah bahwa manusia dapat hidup bersama dalam semangat kemanusiaannya, selain isu tentang keadilan, kesejahteraan, kebebasan, kerakyatan,

10

M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Politika: Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi III, no 3 (Desember 2007), 71.

11

M. Fadjroel Rachman, “Merintis Jalan Demokrasi Ke Sosialisme Partisipatif”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 258.


(30)

21

kesetaraan, dan solidaritas, sehingga memerlukan hubungan timbal balik yang sangat erat antara sumber dan muara.12

e. Demokrasi Consociational: yaitu menekankan pada proteksi khusus bagi kelompok-kelompok budaya dan menekankan kerja sama yang erat di antara elite yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.13

f. Demokrasi Deliberatif: menurut istilah “deliberasi” berasal dari kata Latin deliberatio, kemudain diserap dalam bahasa Inggris menjadi

deliberation. Istilah ini berarti “konstitusi” atau “menimbang-nimbang”. Sedangkan penyatuan kata “demokrasi dan deliberatif” memiliki arti formasi opini dan aspirasi politis yang diolah dengan proseduralisme atau kedaulatan rakyat menjadi inti dari berdemokrasi. Jadi demokrasi deliberatif di mana legitimitas hukum tercapai karena hukum lahir dari diskursus-diskursus dalam masyarakat sipil, sehingga dengan ditetapkannya peraturan-peraturan dalam demokrasi akan mudah diterapkan dan dilaksanakan oleh masyarakat.14

Demokrasi dalam penerapannya dibagi dalam dua hal, yaitu demokrasi secara langsung dan demokrasi tidak langsung:15

12

M. Fadjroel Rachman, “Demokrasi Partisipatif dan Kepemimpinan Politik Baru”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 302.

13

Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 121.

14

F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 128-130. 15

Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 122.


(31)

22

a. Demokrasi Langsung: adalah rakyat melakukan kedaulatannya secara langsung. Pada demokrasi langsung lembaga legislatif hanya mengawasi jalannya pemerintahan. Sedangkan pemilihan pejabat eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota) dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, bigitu pula pemilihan pejabat legislatif (DPR, DPD, DPRD).

b. Demokrasi Tidak Langsung: adalah paham demokrasi yang dilaksanakan melalui sistem perwakilan. Corak pemerintahan demokrasi yang dilakukan melalui badan perwakilan rakyat, dan dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab terhadap rakyat.

3. Demokrasi Negatif

Demokrasi hanyalah salah satu sistem bernegara, hal yang ditawarkan bukan merupakan bentuk final sebuah sistem bernegara. Oleh karena itu sangat memungkinkan terdapat sisi-sisi negatif dari yang ditawarkan, di antaranya:

a. Demokrasi Oligarkis atau Demokrasi Terbatas; adalah demokrasi yang didominasi oleh kelompok dan kalangan tertentu. Mereka menggunakan demokrasi sebagai tujuan mempergemuk kepentingan politik, yang konsensusnya tidak saja berhubungan dengan materi, melainkan juga bersifat non materi. Seperti membangun pengaruh dalam masyarakat untuk mencari jabatan tertentu. Legalitas kepemimpinan mereka dibentuk melalui badan-badan peradilan,


(32)

23

legislatif, dan eksekutif yang sebelumnya telah dipersiapkan dan diisi oleh aktor-aktor oligarkis, sederhananya kelompok elite tersebut memiliki hak untuk mengintervensi proses lajunya demokrasi.16 Kesimpulannya dominasi elite tertentu sangat merusak keberlangsungan demokrasi.17

b. Demokrasi yang Didominasi Massa; adalah sistem dengan aktor massa yang memiliki kekuatan kolektifitas dan berkuasa di atas penguasa tradisional. Mereka menggerakkan reformasi dari bawah untuk menyerang kekuatan-kekuatan para elite ploitik. Proses penyampaian aspirasi terkadang terlalu berlebihan dan cenderung anarkis karena merasa menang secara jumlah kolektifitas, hasilnya konfrontrasi-konfrontrasi antara dominasi massa dan elite politik malah menghancurkan demokrasi.18

c. Demokrasi Totalitersime; adalah bentuk berdemokrasi yang di dalamnya rakyat tidak bisa bebas berkehendak, karena urusan individu dan pribadi rakyat tidak terlalu penting. Sebaliknya setiap rakyat harus menjunjung tinggi cita-cita yang digariskan dalam sistem politik

16

Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek Dunia yang Sedang Berubah, 83.

17

Tim Penulis Demos, Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan Indonesia (Jakarta: Demos, 2005), 93.

18

Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek Dunia yang Sedang Berubah,153-155.


(33)

24

negara. Contoh sederhananya adalah porblem Jerman dengan ideologi Nazi pada masanya.19

d. Otoritarianisme Demokrasi; adalah faham demokrasi yang di dalamnya dipimpin oleh penguasa otoriter, fungsi parlemen hanya syarat berdemokrasi, kerjanya hanya berbasa-basi bermusayawarah untuk mufakat, padahal bentuk final suatu keputusan tetap berada pada tangan penguasa yang otoriter. Rakyat berada pada jalur terlemah, rakyat tidak diberikan ruang untuk menuntaskan keinginannya apabila bertentangan dengan pengusa. Ciri-ciri sistem politik model demikian biasanya didukung oleh kekuatan bersenjata dari pihak militer. Praktik demokrasi yang otoriter banyak diterapkan di negara-negara Afrika, pada masyarakat internasional mengatakan negaranya menjunjung demokratisasi, namun dipraktikkan dengan cara otoritarianisme.20

B. Teori Kepemimpinan Politik 1. Defenisi Kepemimpinan

Pemimpin, kepemimpinan, dan kekuasaan adalah tiga hal yang memiliki defenisi masing-masing, tapi ketiganya berhubungan erat. Pemimpin adalah seseorang dengan wewenang kepemimpinannya bertujuan mengarahkan orang

19

Miriam Budiarjo, ed. Masalah Kenegaraan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1982), 92. 20

Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek Dunia yang Sedang Berubah, 91.


(34)

25

lain yang memiliki posisi di bawahnya, baik tingkatan posisi yang disepakati dalam struktural ataupun proses pengakuan pemimpin tanpa kesepakatan (proses alami).21

Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang (kelompok) untuk mempengaruhi orang (kelompok) lain sesuai kehendak dan tujuan yang disepakati bersama, wujudnya bisa motivasi dan menginspirasi.22 Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi (memerintah lebih memaksa) orang lain dalam menjalankan hal yang dikehendaki pihak lain (pemilik kekuasaan).23 Karenanya kekuasaan memiliki beberapa karakteristik, pertama kekuasaan meruapakan sesuatu yang abstrak, kedua kekuasaan milik interaksi sosial, ketiga pemegang kekuasaan yang egois cenderung menyalahgunkan kekuasaan.24 Sedangkan arti sebutan ketua atau raja yang dapat ditemukan dalam beberapa bahasa hanyalah untuk menunjukan adanya pembedaan anatara pemimpin dan yang dipimpin.

2. Konsep Dasar Teori Kepemimpinan

Manusia sebagai makhluk sosial tidak ada bedanya dengan makhluk yang lain, semua saling terikat dan membutuhkan, dari faktor saling ketergantungan tersebut menjadikan manusia hidup secara kelompok, baik dalam suku, ras, agama, ataupun dalam kelompok-kelompok lebih kecil. Dalam komunitas

21

Selengkapnya bisa dibaca pada M. Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik; Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia, 2007), 18. Sebagai tambahan tentang perbedaan antara pemimpin, kepemimpinan dan kekuasaan bisa dibaca pada Veithzal Rivai dan Dedy Mulyadi, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 341.

22

Eko Maulana Ali, Kepemimpinan Transformasional; Dalam Birokrasi Pemerintahan. Nugraha, ed. (Jakarta: Multi Cerdas Publishing, 2012), 67.

23

Mulyadi, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, 342. 24


(35)

26

tersebut, pasti memunculkan individu-individu unggulan yang melebihi mayoritas lainnya dan cenderung berpengaruh terhadap lingkungannya, sehingga berpotensi sebagai pemimpin sebuah kelompok.

Peradaban manusia yang sering berubah merupakan salah satu faktor alamiah munculnya pemimpin-pemimpin dalam kelompok manusia, baik politik maupun keagamaan, tidak hanya berlandaskan kekuatan seperti hukum rimba, melainkan seleksi seorang pemimpin dalam kehidupan manusia terjadi karena banyak faktor, hasilnya teori terjadinya kepemimpinan sangat beragam. Para ahli sejarah dan filsafat sejak masa lalu telah menawarkan kurang lebih tiga ratus lima puluh definisi tentang kepemimpinan, di antaranya:25

Teori Greath Man dari 1869-1930: Kepemimpinan terbentuk karena pengakuan masyarakat sekelilingnya.

Teori Trait sekitar tahun 1940: Pembedaan antara pemimpin dengan pengikutnya, sebab pemimpin memiliki kualitas tinggi daripada pengikutnya. Kualitas ini bisa berupa kecerdasan, kekuatan, dan ketangkasan di atas mayoritas.

Teori Charismatic sekitar tahun 1950: Penekanan perilaku pemimpin dalam melaksanakan fungsi kepemimpinannya, dalam teori ini didukung oleh dua pendekatan:

1. Koneiderasi; kecenderungan seorang pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahannya, seperti kedekatan emosional dan

25


(36)

27

sering memberikan masukan terhadap bawahan, serta selalu terbuka berkonsultasi dengan bawahan.

2. Struktur Inisiasi; pemimpin yang memberikan batasan terhadap bawahannya, dan cenderung memberikan instruksi terhadap bawahan dengan target, waktu, dan cara pelaksanaanya. Sehingga dalam teori ini pemimpin baik adalah yang memiliki loyalitas terhadap bawahan dan memiliki target terhadap suatu pekerjaan.26

3. Model Kepemimpinan Demokrasi

Banyak tokoh yang mencetuskan tentang model-model kepemimpinan, baik kepemimpinan yang bersifat politik ataupun administratif, di antaranya model kepemimpinan demokrasi: kepemimpinan model ini mau mendengarkan dan menerima masukan dari pengikut, karena penekanan model demokrasi ada pada mutu yang dihasilkan sesuai kesepakatan bersama. Berikut ciri dari gaya kepemimpinan demokrasi:27

a. Memiliki pandangan, betapapun besarnya sumber daya dan dana yang tersedia bagi organisasi, kesemuanya itu pada dirinya tidak berarti apa-apa kecuali digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia dalam organisasi demi kepentingan pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi.

26

Ali, Kepemimpinan Transformasional; Dalam Birokrasi Pemerintahan, 60. 27


(37)

28

b. Dalam kehidupan organisasi tidak mungkin, tidak perlu, bahkan tidak boleh semua kegiatan dilakukan sendiri oleh pemimpin, oleh karena itu selalu mengusahakan adanya pendelegasian wewenang yang praktis dan realistis tanpa kehilangan kendali organisasi nasional. c. Para bawahan dilibatkan secara aktif dalam menentukan nasib sendiri

melalui peran sertanya dalam proses pengambilan keputusan.

d. Kesungguhan yang nyata dalam memperlakukan bawahan sebagai makhluk politik, makhluk ekonomi dan makhluk sosial sebagai individu dengan karakteristik dan jati diri yang khas mempunyai kebutuhan kompleks. Seperti kebutuhan sandang, pangan, dan papan, namun yang lebih penting adalah pengakuan setatus sebagai anggota sebuah organisasi.


(38)

29 BAB III

DINAMIKA DEMOKRASI DI INDONESIA

A. Adopsi dan Periodisasi Demokrasi di Indonesia

Demokrasi memang lahir pada masa peradaban Yunani,1 tapi penerimaan besar-besaran terhadap demokrasi terhitung sejak berakhirnya perang dunia ke-II. Karena periodisasi ini adalah tidak hanya sebagai pertarungan perebutan kedikdayaan dan pengakuan internasional siapa yang superior di dunia, melainkan juga perang ideologi antara Fasisme, Komunisme, dan Demokrasi, hasilnya demokrasi dan komunisme adalah ideologi paling diminati atas bencana perang terbesar sepanjang sejarah.2 Perlahan pasca perang dunia ke-II negara-negara mulai berbenah dan memperkenalkan demokrasi untuk negerinya, Jerman, Itali, dan Jepang yang dulunya dikuasai oleh Barat mulai terbiasa dan berusaha menerapkan demokrasi Liberal.3

Indonesia adalah satu-satunya negara sejak merdeka sampai sekarang mampu mengadopsi demokrasi di kawasan Asia Tenggara, meskipun seiring pergantian dan periodisasi kepemimpinan politik bangsa turut andil dalam merubah model-model demokrasi di dalamnya, terhitung setelah terjadinya

1

Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1930 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 71.

2

Ideologi Fasisme merupakan sebuah paham politik penjunjung kekuasaan absolut dan kontra dengan demokrasi. Ideologi Fasisme juga diartikan memandang rendah bangsa lain dan menjujung tinggi negeri sendiri, sedrehananya Fasisme merupakan nasionalisme yang sangat fanatik dan otoriter. Lihat pada Evriza, Ilmu Politik (Depok: ALFABETA Bandung, 2008), 106.

3

Hal demikian juga terjadi pada negara-negara di kawasan Asia Selatan (India-Pakistan), dan Asia Tenggara (Filipia, India, Indonesia, dan Malaysia). Usaha penerapan demokrasi tidak selamanya sesuai, ada di antara negara-negara tersebut berhasil, bahkan ada juga sampai sekarang tidak menemukan pangkal dan ujung dari demokrasi. Deliar Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, dalam M. Amin Rais, Demokorasi dan Proses Politik (Jakarta: LP3ES, 1986), 70.


(39)

30

perdebatan antara demokrasi Liberal atau demokrasi sesuai identitas bangsa pra

kemerdekaan, Indonesia mengalami empat fase model demokrasi;4

1. Demokrasi Parlementer (Liberal) 1945-1959.

Masa awal kemerdekaan belum sepenuhnya ditentukan Indonesia akan menggunakan demokrasi model apa sebagai sistem bernegara, apakah demokrasi Liberal seperti banyak dilakukan di negara Barat, sebagaimana banyaknya sarjana-sarjana Indonesia belajar di Belanda dengan doktrinnya tentang demokrasi Liberal?, atau akan menggunakan demokrasi-nya sendiri sesuai dengan kepribadian bangsa?. Mulailah tersusun agenda-agenda politik dan birokrasi pemerintahan pada masa awal kemerdekaan untuk menyusun identitas demokrasi Indonesia.5

Gagasan tentang demokrasi telah banyak disampaikan para tokoh nasional jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, Soekarno mengemukakan “Demokrasi Sosial”, itu pula diterapkan sebagai landasan PNI (Partai Nasional Indonesia), yaitu demokrasi kontra Liberal, tetapi juga demokrasi yang memberikan hak-hak ekonomi. Soekarno mempertegas dengan panitia perancangan UUD dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 mengatakan, “Apabila kita ingin mengadopsi demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawarahan yang memberi hidup, yakni politik ekonomi demokrasi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial”. Muhammad Hatta telah menulis tentang demokrasi sejak

4

Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education)Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Abdul Rozak, dkk., ed. (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kerjasama The Asia Foundation & PERNADA MEDIA, 2003), 111.

5


(40)

31

tahun 1933 dengan judul, ”Ke arah Indonesia Merdeka”.6 Hatta memiliki peran besar setelah kemerdekaan dalam mendidik masyarakat Indonesia mengenal tentang demokrasi Moderen. Hatta dalam gagasannya tentang fungsi parlemen dalam berdemokrasi didasari atas dua hal, kemudian dua hal ini menjadi perdebatan pemimpin-pemimpin bangsa sebelum kemerdekan pada dua dekade pertama abad ini, pertama adalah hak berserikat dan berkumpul secara politik,

kedua adalah tentang perwakilan rakyat dalam parlemen.7

Hatta menyatakan tidak mudah mengembangkan gagasan demokrasi atas dasar dua poin tersebut, tapi hal itu juga bukan semacam angan-angan dan keniscayaan, karena semua bisa dilaksanakan meskipun syaratnya sangat berat. Kewajiban rakyat pertamakalinya harus insyaf sekaligus faham antara posisi hak dan kewajibannya. Seorang pemimpin tidaklah seperti dewa dengan apapun kehendaknya seolah-olah itu sebagai sebuah kebenaran, posisi pemimpin sama dengan rakyat, berdampingan. Kemudian pertanyaan muncul, apakah ada dasar sistem pemerintahan sesuai dengan kebudayaan kita? Hatta dengan jelas menyatakan ada, kemudian Hatta menganalogikan dengan kehidupan di desa, itu setidaknya memenuhi syarat demokrasi dengan menekankan tiga hal, yaitu; cita-cita rapat untuk mufakat, cita-cita-cita-cita protes masa dan berwatak kritis untuk memonitor setiap keputusan konstitusi, dan terakhir adalah dasar kolektifitas,

6

M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Politika: Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi III, no. 3 (Desember 2007), 66.

7

Dua poin politik tersebut mendapat perhatian khusus dari pemerintahan Hindia-Belanda di Indonesia, keduanya sama sekali tidak mendapatkan toleransi ke permukaan, karena kekawatiran pemerintah Belanda atas posisinya di Indonesia, meskipun belakangan pemerintah Hindia-Belanda melunakkan diri dan membiarkan dua poin politik di atas berkembang, namun dengan pengawasan sangat ketat. lihat pada Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 72.


(41)

32

wujudnya bisa bentuk tolong-menolong dalam berbagai sektor, termasuk sosial dan ekonomi koperasi (cikal bakal bahwa Hatta adalah pencetus sekaligus bapak koperasi di Indonesia). Cita-cita demokrasi dalam bentuk miniatur masyarakat desa menurut Hatta bisa diperjuangkan ke level dan sekala lebih besar, seperti konstitusi ditingkat nasional. Oleh karena itu kenapa Soekarno dan Hatta sepakat mengatakan bahwa demokrasi Indonesia tidak sama dengan demokrasi di Barat, mereka menyatakan bahwa demokrasi Barat hanya pada sektor politik, tidak dijumpai demokrasi pada sektor ekonomi dan sosial, karenanya mengakibatkan perebutan hak milik secara individu dan pengakuan umum atas dasar kekuasaan politik meningkat di Barat.8

Selanjutnya Hatta menandatangani maklumat No/ X pada 3 November 1945, dalam maklumat tersebut Hatta menyatakan pemerintah mengharuskan pentingnya membentuk partai politik sebagai ornament demokrasi, pemerintah berharap partai-partai peserta pemilu telah tersusun sebelum pemilu badan perwakilan rakyat pada Januari 1946.9 Maklumat tersebut direspon sangat positif dan ditandai banyak lahirnya partai politik sebagai peserta pemilu, akan tetapi rencana awal pemilu pada tahun 1948 harus tertunda akibat banyak kendala, di antaranya agresi militer Belanda II dan pembrontakan PKI di Madiun 1948.10

Perkembangan terpenting dan peralihan sistem politik pada periode ini adalah tahun 1950. RIS (Republik Indonesia Serikat) dirubah dalam bentuk

8

Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 72 dan 75. 9

Hatta, Untuk Negeriku (Jakarta: Kompas, 2011). 115-116. 10

Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, 67.


(42)

33

kesatuan baru, yaitu sistem Parlementer yang kemudian dipimpin Perdana Menteri Natsir, penunjukkan Natsir sebagai Perdana Menteri hasil kesepakatan koalisi kabinet saat itu – tercatat empat pergantian Perdana Menteri dari Natsir, Sukiman, Wilopo, dan Ali Sastroamidjoyo – dari keempat Perdana Menteri tersebut pada era Wilopo pemilu Indonesia untuk pertama kalinya berhasil dilaksanakan dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953, yaitu tepat pada 29 September 1955 (pemilihan parlemen) dan 15 Desember 1955 (anggota konstituante) untuk pertama kalinya pemilu berhasil dilaksanakan,11 dengan diikuti seratus tanda gambar peserta pemilu ditambah dua puluh satu partai serta wakil tidak berkoalisi, sehingga terdapat dua puluh delapan partai termasuk partai perseorangan.12 Gagasan tersebut menandakan demokrasi pada periode awal kemerdekaan 1945-1959 kemudian dikenal dengan istilah demokrasi Parlementer.13

2. Demokrasi Terpimpin 1959-1965.

Seperti disinggung di awal, Soekarno menyatakan bahwa generasi kepemimpinan berikutnya disebut sebagai demokrasi Terpimpin, apa maksud dari pernyataan ini? Dalam catatan sejarah peralihan antara demokrasi Parlementer ke demokrasi Terpimpin dituliskan sejak tahun 1959, namun istilah demokrasi

11

Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, 66.

12

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004). 432.

13

Demokrasi Parlementer 1945-1959 hancur disebabkan banyak faktor, namun catatan khususnya adalah ketidak mampuan anggota-anggota partai politik di parlemen dan konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara dan undang-undang dasar baru, kemudian mendorong Ir. Soekarno sebagai Presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli dengan pernyataan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai dasar negara, ini menandai berakhirnya demokrasi Parlementer. Lihat pada Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 131.


(43)

34

Terpimpin sudah dinyatakan oleh Presiden Soekarno sejak tahun 1957 ketika banyak tokoh mulai gelisah tentang warna demokrasi Indonesia.14 Dalam pidatonya dengan judul “Respublika Sekali Lagi Respublika” pada sidang pleno konstituante di Bandung 22 April 1959, Soekarno menyerang konstituante karena mempraktikkan cara-cara demokrasi Liberal, sambil menawarkan solusi mengembalikan demokrai Indonesia pada bentuk demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin menurut Soekarno adalah bentuk relevan untuk Indonesia, dan bukan sebagai kamuflase kediktatoran dan sentralisme seperti faham Komunis, dan berbeda pula dengan demokrasi Liberal. Pondasinya sesuai pembukaan UUD 1945 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”, seperti rapat suku yang dipimpin ketua adat, jadi tidak sekedar dalam bidang politik, melainkan dalam sosial, dan ekonomi.15

Demokrasi Terpimpin mendapat tentangan banyak kalangan, seperti Deliar Noer mengatakan bahwa demokrasi Terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno sebagai ayah dalam keluarga besar bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya.16 Karena menganggap dirinya sebagai ayah dalam konteks bernegara, sehingga Soekarno memiliki kebijakan sendiri sebagai orang yang tidak akan berpihak pada siapapun. Sikap demikian

14

Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 82. 15

Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, 71.

16

Dengan demikian kekeliruan sangat besar dalam demokrasi Terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai penting dalam demokrasi, yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin, sehingga tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif. Lihat Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education)Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 131.


(44)

35

diterapkannya dalam berpolitik tanpa partai, dengan tujuan independensi tanpa adanya unsur-unsur mendiktenya. Perinsip ini kemudian membuat Soekarno banyak ditentang oleh banyak lawan-lawan politiknya, entah lupa atau tidak sadar, jelasnya dengan menerapkan politik tanpa partai mengakibatkan dirinya masuk dalam lingkaran pencidera demokrasi. Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa kesepakatan dari konstituante ditegaskan oleh Hatta bahwa anjuran untuk bergabung dengan partai politik bagi penghuni konstitusi negara (3 November 1946). Kritikan Hatta mendapat dukungan dari M. Natsir dan Ki Hadjar Dewantara – pemimpin Taman Siswa – secara pedas menyatakan demokrasi Terpimpin tidak ada bedanya dengan “liederschap” (kepemimpinan). Hatta pada tahun 1961 menulis dalam bentuk brosur dengan judul, “Demokrasi Kita” isinya menentang ketetapan Presiden Soekarno tentang demokrasi Terpimpin, di dalamnya sangat banyak bertentangan dengan asas-asas kesepakatan berdemokrasi.17

Di antara hal-hal yang dianggap janggal dalam periode demokrasi Terpimpin adalah:18

1. Penyimpangan terhadap UUD 1945, di antaranya tentang ketetapan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, padahal undang-undang sebelumnya sangat jelas, jika periode Presiden menjabat adalah lima tahun.

17

Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 82. 18

Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 131.


(45)

36

2. Tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai Presiden telah membubarkan DPR hasil pemilu 1955, padahal dalam UUD 1945 ditentukan bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.19

3. Presiden boleh ikut campur dalam pengambilan produk ketetapan legislatif, sesuai peraturan Presiden No. 14/1960. Presiden juga diperbolehkan ikut campur dalam pengambilan produk ketetapan yudikatif, sesuai UU No. 19/1964. Selain itu terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh Komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial.

4. Pers dan lembaga publik banyak dibredel, saluran-saluran aspirasi rakyat diawasi sangat luar biasa ketat, sehingga teks dan naskah pidato harus disortir sebelum dibacakan di depan umum.

3. Demokrasi Pancasila 1965-1998.

Orde Baru berhasil memperoleh simpati sangat besar dari masyarakat Indonesia, keberhasilan figur perwira tentara Soeharto menumpas habis ideologi Komunis di Indonesia sampai anak cucunya hingga ke akar-akarnya dianggap prestasi luar biasa,20 termasuk di dalamnya Soeharto mampu menjinakkan usaha kudeta oleh Partai Komunis Indonesia tahun 1965.21 Berbondong-bondong masyarakat menumpukan harapan besar atas koreksi total tidak hanya dalam segi politik, tapi juga sosial terlebih kembalinya kondusif hidup beragama, berbangsa,

19

Alasan pembubarannya karena DPR menolak anggran belanja rancangan pemerintah eksekutif saat itu. Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 83.

20

Penumpasan ideologi Komunis di Indonesia memakan korban kurang lebih lima ratus ribu jiwa. Selengkapnya lihat David Jenkins, “Runtuhnya Sebuah Rezim,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 103.

21

Edward Aspinal, ed., dkk., “Pendahuluan,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 2.


(46)

37

dan bernegara.22 Semua lapisan masyarakat menyambut era baru demokrasi, terkecuali segelintir orang Komunis yang terancam kehidupannya karena agenda politik Soeharto menghabisi ideologi Komunis di Indonesia.23

Gebrakan mulainya Orde Baru terjadi dalam banyak sektor, paling menjadi sorotan adalah mengembalikan fungsi UUD akibat penyelewengan masa Soekarno, di antaranya ketetapan MPRS No. III/1963 yang menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah dibatalkan, dan jabatan pemimpin negara kembali menjadi jabatan elektif setiap lima tahun. Selain itu kebijakan-kebijakan hasil ketentuan masa Orde Lama kembali mengalami koreksi dengan ditetapkannya MPRS No. XIX/1966 untuk peninjauan kembali produk legislatif demokrasi Terpimpin.24

Semangat mengembalikan fungsi UUD pada tempatnya dan kembali menempatkan Pancasila sebagai asas tertinggi dan tunggal bagi semua golongan dalam bernegara menjadikan sistem pemerintahan pada periode ini adalah demokrasi Pancasila, sesuai UUD 1945, dan Ketetapan-ketetapan MPRS.25

Berikut beberapa rumusan tentang Demokrasi Pancasila:26

22

Inu Kencana dkk., Sistem Politik Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), 115. 23

Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 85. 24

Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 133.

25

S. Pamudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional: Satu Analisa di Bidang Politik dan Pemerintahan (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 8.

26

Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 134.


(47)

38

a. Demokrasi dalam bidang politik pada hakekatnya adalah menegakkan kembali asas-asas negara hukum dan kepastian hukum.

b. Demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga negara.

c. Demokrasi dalam bidang hukum pada hakekatnya bahwa pengakuan dan perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia), peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Suatu semangat dan pembenahan sangat signifikan jika kita membaca rumusan di atas, tapi jika ada pertanyaan apakah demokrasi kita sama dengan rumusan di atas? Jawabannya bermacam-macam, tapi dari sekian jawaban, sebagain besar akan mengatakan tidak.27 Demokrasi Pancasila adalah nama dan hanya awal dari periodisasinya, Pancasila hanyalah retorika dan sekedar gagasan tidak sampai pada tataran parktik bermasyarakat dan bernegara. Pancasila diagungkan bahkan sangat sakral masa itu, tapi nilai-nilai di dalamnya tidak menjadi landasan dan jaminan hidup. Kepemimpinan Orde Baru lebih menyedihkan berkali lipat dibandingkan Orde Lama, bahkan kekuasaan Presiden

27

Demokrasi Pancasila seharusnya menanamkan nilai-nilai Pancasila, tetapi Orde Baru menggunakan nama itu tidak untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila, melainkan Pancasila hanya sebagai simbol dan tidak menyentuh pada tataran praktik bernegara. Untuk itu bagaimanakah seharusnya demokrasi Pancasila diterapkan di Indonesia bisa dibaca secara jelas pada Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila (Jakarta: Aksara Baru, 1978), 48.


(48)

39

Soeharto sampai diberikan gelar “rezim,” satu kata tapi maknanya luar biasa kejinya.28

Peran dalam struktural yang tadinya dikoreksi total dari kecerobohan birokrasi masa Soekarno kembali diterapkan pada masa kepemimpinan Soeharto, M. Rusli Karim menandai setidaknya ada tujuh sektor yang dianggap menyakiti hati rakyat Indonesia. 1. Dominannya peranan ABRI, tidak hanya dalam masalah keamanan, tapi juga dalam birokrasi kenegaraan, bahkan menjadi alat politik,29 2. Birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, 3. Pembatasan fungsi dan jumlah partai politik jadi tiga, 4. Campur tangan pemerintah dalam urusan internal partai politik, 5. Massa mengambang, artinya partai politik hanya diperbolehkan membuka cabangnya sebatas sampai tingkat kecamatan, kecuali Golkar yang memiliki perwakilan di desa melalui lurah, 6. Monolitisasi ideologi negara, 7. Inkorporisasi lembaga pemerintah.30 Dengan demikian bisa disimpulkan, nilai-nilai demokrasi tidak sepenuhnya diterapkan pada masa pemerintahan Soeharto.31

28

Tentang apa saja prestasi dan kegagalan tentang periode Orde baru bisa dibaca pada S. Pamudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional: Satu Analisa di Bidang politik dan Pemerintahan,85-89.

29

Selengkapnya tentang fungsi ABRI masa Orde Baru bisa dibaca pada Yuddy Chrisnandi, “TNI dalam Arus Demokrasi”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 269.

30

Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 135.

31

“Secara ekonomi Soeharto memiliki sisi keunggulan dengan menerapkan Trilogi pembangunan, Soeharto memperkenalkan ekonomi pasar, merancang pemerataan pembangunan, dan mengharuskan stabilitas politik sebagai dasar pertumbuhan ekonomi. Namun di balik itu semua demokrasi hancur,” praktik koruspi, kolusi, dan nepotisme tumbuh subur, tidak hanya dalam kawasan elit nasional, tapi sudah masuk ke segala bidang, termasuk plosok-plosok pedesaan. Lihat sepenuhnya dalam Yuddy Chrisnandi, “Soeharto dalam Sejarah”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 28.


(49)

40

Anarkisme penggulingan rezim Soeharto sudah dimulai tahun 1997, ketegangan sosial luar biasa hingga mengakhiri karir politiknya sebagai pemimpin bangsa. Pemicu terbesar adalah mulai terjadinya krisis ekonomi di Asia, negara Asia Tenggara sebelum Indonesia adalah Thailand terlebih dahulu merasakan dampak krisis moneter, hingga merembet ke Indonesia dan kesetabilan ekonomi benar-benar terguncang, akibatnya kerusuhan di berbagai daerah tidak dapat dihentikan.32 Puncaknya terjadi unjuk rasa besar-besaran oleh para pemuda pembaharu, para mahasiswa yang berhasil menduduki DPR RI di Senayan pada akhir Mei 1998M.33

4. Demokrasi Pasca Reformasi.

Tahun 1998 adalah babak baru, demokrasi Indonesia tidak lagi dipaksa dengan satu asas tunggal Pancasila, melainkan reformasi total, semangat timbul bukan lagi koreksi total, tetapi penggantian total terhadap apapun berbau dan beraliran rezim Orde Baru. Tumpuan besar setelah krisis moneter mencekik masyarakat diharapkan ada solusi untuk itu. Masa ini adalah masa terberat dalam

32

Himpitan ekonomi memaksa Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan hutang dengan IMF – International Monetery Fund – (15 Januari 1998 disaksikan oleh direktur IMF Michel Camdessus dengan melipat tangan), akibat terus merosotnya nilai tukar rupiah dan mulai melambungnya harga di pasaran. Pemerintah juga mengambil langkah menutup beberapa aktifitas perbankkan, dan mulai berfikir ulang untuk membatalkan mega proyek besar yang direncanakan sebelumnya. Lihat Aspinal, ed., dkk., “Pendahuluan,” 9.

33

Setelah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti (Elang Mulyana, Hery Hartanto, Hendriawan, Hafidhin Royan, Sofyan Rahman, Tammu Abraham Alexander Bulo, Fero Prasetya) pada tanggal 12 Mei 1998 seluruh elemen masyarakat Indonesia murka. Akibatnya, tragedi ini diikuti dengan peristiwa anarkis di Ibukota dan di beberapa kota lainnya pada tanggal 13-14 Mei 1998, selengkapnya lihat Keith B. Richburg, “Syuhada Tak Disengaja: Penembakan Empat Mahasiswa Yang Menggubah Sebuah Bangsa”, dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 138.


(50)

41

sejarah, transisi tidak hanya dalam bidang politik, namun pemimpin baru diharapkan mampu menyelesaikan problem ekonomi dan berbuat menghidupkan lembaga hukum untuk mengadili Soeharto, keluarga, dan kaki tangannya.34

Tapi lagi-lagi rakyat dibuat kecewa, penggantian total atas rezim berbau Soeharto hanya sekedar wacan dan omong kosong. Banyak elite politik berkepribadian ganda, tadinya sangat tunduk dengan Soeharto tiba-tiba menentang Soeharto. Sistem demokrasi Reformasi memang berbeda dengan rezim demokrasi Soeharto, tapi pelaku di dalamnya tetap orang-orang Soehartois.

Pidato Soeharto tentang pengunduran dirinya 21 Mei 1998 adalah hari kebangkitan nasional kedua bagi masyarakat Indonesia, kepemimpinan tertinggi kemudian digantikan oleh Prof. Dr. Ing B.J. Habibie sesuai aturan tertulis pada Pasal 7 UUD 1945 yang menjelaskan apabila Presiden berhenti atau tidak dapat menjalankan kewajiban dalam masa jabatannya, maka digantikan oleh wakilnya.35

Reformasi berhasil merombak beberapa keputusan konstitusi Orde Baru menjadi lebih demokratis, di antaranya mengembalikan sistem pemilu pada multi partai, yang tadinya Orde Baru menggebiri partai peserta pemilu dengan tiga partai politik, masa Reformasi diikuti lebih dari tiga puluh partai, yang dimulai

34

Sampai sekarang tidak ada penjelasan tentang setatus hukum Soeharto dan harta korupsinya, lembaga hukum seolah-olah digiring untuk tidak mempopulerkan dan memperkarakan kejahatan Soeharto, dan rakyat secara perlahan dibuat amnesia. M. Fadjroel Rachman, “Merayakan Matinya Reformasi”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 120.

35

Detik-detik prosesi pelantikan Habibie sebagai Presiden menggantikan Soeharto bisa dibaca pada Peter Waldman, dkk., “Perubahan Yang Menempatkan Soeharto di Luar Arena”, dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 227.


(1)

Penulis : Kalau demokrasi itu bertahan, bagaimana kaum muda ini cara mempertahankan demokrasi tersebut?

Fadli Zon : Di dalam demokrasi itu orang harus ada kedewasaan. Artinya siap beda pendapat, siap berbeda pandangan, siap berbeda ideology, yang kedua demokrasi itu bisa jalan kalau perut kita kenyang. Kalau kita lapar, itu tidak ada demokrasi. Jadi kita harus ada ksejahteraan, baru ada demokrasi. Ketika tidak ada kesejahteraan, orang lapar, itu tidak ada yang demokrasi.”

KEPEMIMPINAN

Penulis : Antara pemimpin muda dan tua, anda cenderung bagaimana?”

Fadli Zon : Jadi gini, kepemimpinan itu tidak mengenal tua atau muda. Ada pepatah yang mengatakan, bukan berapa banyak umur kita, tetapi dalam umur kita itu apa yang sudah kita lakukan? Ada umurnya 100 tahun tapi tidak berbuat apa-apa, ada umurnya yang 17 tahun tapi sudah berbuat banyak. Jadi bukan kuantitas umur, tapi kualitas umur yang menentukan. Coba lihat Jenderal Sudirman umur 29 tahun sudah jadi jenderal, Sutan Syahrir 36 tahun sudah menjadi perdana menteri, Soeharto 45 ahun sudah menjadi presiden. Bung Karno 44 tahun presiden, jadi itu kualitas umur bukan kuantitas umur. Sekarang ini kalau kita bicara umur selalu dalam kontes kuantitas bukan kualitas, dan itu tidak ada artinya.

Petanyaan : Untuk Tokoh muda di Indonesia, siapa yang paling anda kagumi?

Fadli Zon : Saya menokohkan Bung Hatta. Alasannya Bung Hatta itu pemikir hebat, dan Bung Hatta itu satu kata dengan perbuatan, dan seorang visioner ,seorang yang tangguh. Walaupun saya suka dengan Bung Karno, tapi kalau di suruh memilih saya lebih suka dengan Bung Hatta.

Petanyaan : Kalau tokoh Pasca Reformasi?

Fadli Zon : Menurut saya yang saya kagumi itu Imam Prasojo, dia itu konsisten, dia seorang intelektual tapi intelektual yang terlibat, dan dia juga lebih banyak bersosial, ia melakukan itu semua dengan penuh penjiwaan.”


(2)

Petanyaan : kontrol yang bagaimmana untuk pemuda yang memimpin Indonesia?”

Fadli Zon : Sebenarnya seperti yang saya katakan tadi, orang itu bukan kita ukur dengan kuantitas umur tapi kualitas umurnya dan kualitas kepemimpinannya. Jadi tua muda itu menjadi relative, walaupun orang muda itu akan lebih dinamis, karena dia lebih berani mengambil resiko, lebih cepat mengambil keputusan. Jadi kalau saya lihat, bagaimana cara mengontrolnya? Kontrol jaman sekarang itu dapat dilakukan dari berbbagai macam media. Media-media resmi, seperti melalui tv, radio, surat kabar, sosial media. Apalagi masyarakat sekarng kan semakin cerdas, tidak lagi orang selalu bisa karna patron dia akan di pilih. Jadi menurut saya sekarang itu yang mengontrol masyarakat, tapi melalui berbagai macam media.

Penulis : Program kepemimpinan kaum muda yang ideal dan potensial saat ini apa?

Fadli Zon : Ya salah satunya bagaimana membuat Indonesia ini menjadi bangsa yang bermartabat,N egara yang besar, sesuai dengan pembukaan UUD dasar yang memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan .Jadi kita harus menghilangkan berbagai macam kendala yang ada di dalam masyarakat. Seperti sekarag ini, negara kita kaya tapi rakyat kita miskin. Kemudian kesejahteraan itu saja tidak cukup, tapi kebahagiaan juga penting. Bahkan kebahagiaan itu sekarang sudah tidak pernah diotak atik, padahal itu juga penting. Apa sih yang dimaksud kebahagiaan di sini? Kebahagiaan itu ketika orang cukup pangan, cukup sandang, cukup papan, ketika sakit bisa berobat, ketika kita tua ada jaminan di hari tua, hidup kita tidak di sia-siakan. Itulah yang dimaksud dengan kebahagiaan.”

Penulis : Berarti masalah demokrasi tadi yang dikatakan ada gerakan-gerakaan radikal, dan semacamnya itu memang tidak bisa di katakan sebagai ya inilah demokrasi itu seperti ini?.

Fadli Zon : Terlalu picik orang melihat demokrasi seperti itu, itu hanya sebagai satu kelengkapan demokrasi politik. Orang bebas berorganisasi,tapi kalau ornganisasi itu mau membrangus kemerdekaan orang lain, itu kan melawan demokrasi, contohnya ada organisasi Nazi yang ingin mendirikan ormas, secara demokrasi itu dipersilakan,


(3)

padahal Nazi ini mau membrangus demokrasi itu. Apakah kita mau membiarkan orgganisasi itu hidup dan tumbuh? Karena dia sendiri sudah anti demokrasi."

Penulis : Hambatan untuk mewujudkan cita-cita kepemimpinan kaum muda apa?

Fadli Zon : Kalau menurut saya, perubahan itu bisa lebih baik dengan cepat. Kalau kita punya kepemimpinan yang benar dan pemerintahan yang baik. Haluan juga akan lebih jelas, kalau haluannya neoliberalisme kita akan mengarah pada krisis, kalau haluannya ekonomi kerakyatan, pasti rakyat akan lebih makmur. Di mana letak perbedaannya? Kalau haluan neoliberalisme itu tergantung kepada harga artinya siapa yang kuat dia yang menang. Kalau ekonomi kerakyatan, sejak awal sudah berpihak, mana yang menjadi mayoritas rakyat kita. Petani, buruh, nelayan, pedagang pasar, itu yang harus di bela diberikan semacam informative action, anggarannya diperbesar.


(4)

(5)

WAWANCARA DENGAN YUDDY CHRISNANDI


(6)

WAWANCARA DENGAN FADJROEL RACHMAN