Penyaluran Melalui Lembaga Tempat Pembayaran Zakat

yang dinyatakan pailit dalam usahanya sehingga ia dalam kesulitan memenuhi keperluan hidupnya di samping kewajiban hutang yang harus dibayar. g. Sabilillah ialah orang yang dalam segala usaha untuk kejayaan agama Islam. Oleh karena itu sabilillah dapat diartikan pula sebagai usaha perorangan atau badan yang bertujuan untuk kepentingan kejayaan agama atau kepentingan umum. h. Ibnu Sabil ialah orang yang kehabisan ongkos dalam perjalanan bukan maksiat, baik karena tidak mencukupi, atau karena kehilangan atau dirampas.

2. Penyaluran Melalui Lembaga

a. Lembaga Zakat Milik Negara BAZ Di era reformasi, pemerintah berupaya menyempurnakan sistem pengelolaan zakat di tanah air agar potensi zakat dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi bangsa yang terpuruk akibat resesi ekonomi dunia dan krisis multi dimensi yang melanda Indonesia. Untuk itulah pada tahun 1999, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat DPR telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, kemudian diikuti Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, serta keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Berdasarkan undang-undang Nomor 38 tahun 1999 ini, pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat BAZ yang dibentuk oleh pemerintah yang terdiri dari masyarakat dan unsur pemerintah untuk tingkat kewilayahan dan Lembaga Amil Zakat LAZ yang dikelola oleh masyarakat yang terhimpun dalam berbagai ormas Organisasi Masyarakat Islam, yayasan, dan institusi lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 dijelaskan prinsip pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggung jawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah. Pemerintah dalam hal ini berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq, dan pengelola zakat. Sebagai konsekuensi Undang-Undang, pemerintah tingkat pusat sampai tingkat daerah wajib menfasilitasi tebentuknya lembaga pengelolaan zakat, yaitu Badan Amil Zakat Nasional BAZNAS untuk tingkat pusat dan Badan Amil Zakat Daerah BAZDA untuk tingkat daerah. BAZNAS dibentuk berdasarkan Kepres no. 82001, tanggal 17 Januari 2001. Ruang lingkup BAZNAS berskala nasional yaitu Unit Pengumpulan Zakat UPS di Departemen, BUMN, Konsulat Jendral dan Badan Usaha Milik Swasta berskala nasional, sedangkan BAZDA ruang lingkup kerjanya diwilayah propinsi tersebut. Badan Amil Zakat Daerah Provinsi dibentuk dengan Keputusan Gubernur yang susunan kepengurusannya diusulkan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan berkedudukan di Ibukota Provinsi. Sedangkan Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten Kota dibentuk dengan Keputusan Bupati Walikota yang susunan kepengurusannya diusulkan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Kabupaten Kota dan berkedudukan di Ibukota Kabupaten Kota. Dan Badan Amil Zakat Daerah Kecamatan dibentuk dengan Keputusan Camat yang susunan kepengurusannya diusulkan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kecamatan dan berkedudukan di Ibukota Kecamatan. Sesuai Undang-Undang pengelolaan zakat, hubungan BAZNAS dengan Badan Amil Zakat lain bersifat kordinatif, konsultatif, dan informatif. BAZNAS dan dan bazda-bazda bekerja sama dengan Lembaga Amil Zakat LAZ, baik yang bersifat nasional maupun daerah. Dengan demikian, maka Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat telah melahirkan paradigma baru pengelolaan zakat yang antara lain mengatur bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh satu wadah, yaitu Badan Amil Zakat BAZ yang dibentuk oleh pemerintah bersama masyarakat dan Lembaga Amil Zakat LAZ yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang terhimpun dalam ormas maupun yayasan-yayasan. Dengan lahirnya paradigma baru ini, maka semua Badan Amil Zakat harus segera menyesuaikan diri dengan amanat Undang-Undang yakni pembentukannya berdasarkan kewilayahan pemerintah Negara mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupatankota dan kecamatam. Sedangkan untuk desa kelurahan, masjid, lembaga pendidikan dan lain-lain dibentuk dibentuk unit pengumpulan zakat. 13 13 Direktorat Pemberdayaan Zakat, Manajemen Pengelolaan Zakat, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009, h. 90. Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat, apalagi yang memiliki kekuatan hukum formal, akan memiliki beberapa keuntungan 14 , antara lain: 1 Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat; 2 Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki. 3 Untuk mencapai efisien dan efektivitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat; 4 Untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami. Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan Keputusan Menteri Agama KMA No. 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktut Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Dalam Bab II Pasal 5 undang-undang tersebut dikemukakan bahwa pengelolaan zakat bertujuan: 1 Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama. 2 Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. 14 Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, h. 126. 3 Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat. b. Lembaga Zakat Swasta LAZ 1 Organisasi Sosial Lembaga Zakat Swasta LAZ merupakan lembaga pengelola zakat yang dibentuk oleh oleh masyarakat sehingga tidak memilki afiliansi dengan BAZ. BAZ dan LAZ masing-masing berdiri sendiri dalam pengelolaan zakat. 15 2 Organisasi Masyarakat Selain organisasi sosial yang membentuk lembaga zakat, organisasi agama pun juga membentuk kepanitiaan kelembagaan dalam pengelolaan zakat, salah satunya adalah lembaga takmir masjid. Takmir Masjid yang sering dijumpai di masyarakat Indonesia adalah merupakan organisasi keislaman yang bertempat di Masjid yang berfungsi untuk menjaga, melindungi, melestarikan, dakwah, serta menampung segala keluhan- keluhan masalah keagamaan masyarakat tak terkecuali dalam menampung I’tikad baik dari penduduk dalam mengeluarkan zakat, seperti mengatur sirkulasi atau penyaluran zakat terhadap mustahiq secara merata dan adil. 15 Sudirman, Zakat Dalam Pusaran Arus Modernitas Cet. I, Malang; UIN Press, 2007, h. 101. Terdapat beberapa alasan mengapa kita membayar zakat melalui amil zakat: 16 a Amil berfungsi sebagai lembaga intermediasi antara para pembayar zakat muzakki dan masyarakat yang menerima zakat mustahik. Hal ini penting mengingat Islam sangat menganjurkan menjaga martabat dan harga diri para mustahik selain tentunya mendorong para muzakki untuk lebih ikhlas beramal. b Amil membantu secara proaktif mengingatkan muzakki untuk menunaikan kewajiban zakat-nya sekaligus membantu menghitung berapa jumlah kewajiban zakat para muzakki. c Amil akan bisa lebih dalam, cermat, lengkap dan teliti dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasi mustahik agar penyaluran dan pendayagunaan zakat direalisasikan secara baik dan efektif. d Dibutuhkan amil agar muzakki tak merasa masih memiliki zakatnya. e Muzakki memang bukan amil. Muzakki yang menempatkan dirinya sebagai amil cenderung menempatkan mustahik sebagai obyek sehingga mustahik- lah yang kemudian ‘dipaksa’ mengantri pembagian zakat, bukan sang muzakki yang menyambangi para mustahik. 16 Yusuf Wibisono dkk, Menggagas Arsitektur Zakat Indonesia Ciputat: Indonesia Magnificence of Zakat, 2010, h. 14

BAB III METODE PENELITIAN