1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Zakat merupakan salah satu nilai instrumental dalam ekonomi Islam. Karena, selain memiliki nilai hubungan yang bersifat vertikal juga horisontal.
Bersifat vertikal adalah zakat dimaksudkan hubungan ibadah antara manusia dengan Allah. Sedangkan horisontal maksudnya adalah hubungan antara manusia
dengan manusia yang lain atau dengan lingkungan masyarakatnya. Dengan adanya wajib zakat bagi yang mampu, maka diharapkan akan ada kepedulian dari
kaum yang dianggap “mampu” untuk membantu para saudaranya yang masih di bawah kemiskinan sehingga akan membantu mengurangi jumlah masyarakat
yang di bawah garis kemiskinan di Indonesia. Dilihat dari aspek sejarah pemberlakuan syariat zakat diterapkan secara
efektif pada tahun ke-2 H
1
. Eksistensi zakat pada masa itu adalah sebagai ibadah bagi muzakki dan sumber pendapatan Negara dalam pengelolaannya, Nabi
terlibat secara langsung memberikan contoh dan petunjuk pelaksanaan. Pengumpulan zakat di zaman Rasulullah Saw dan yang kemudian diteruskan
oleh para sahabatnya, dilakukan dengan cara para petugas mengambil zakat dari para muzakki, atau muzakki sendiri secara langsung menyerahkan zakatnya pada
1
Lili Bariadi, dkk, Zakat dan Wirausaha Jakarta: Centre for Enterpreneurship Development, 2005, h.
28.
1
2
Bait al-Mal, lalu oleh para petugasnya amil zakat didistribusikan kepada para mustahiq yang tergabung dalam ashnaf tsamaniyah delapan golongan yang
berhak menerima zakat
2
. Organisasi Pengelola Zakat OPZ di Indonesia mengalami pertumbuhan
pesat dalam dekade terakhir. Pertumbuhan pesat OPZ secara umum ditopang oleh kinerja yang mengesankan sehingga kepercayaan publik terus meningkat.
Legitimasi sosial yang tinggi ini pada gilirannya kemudian mendorong pertumbuhan OPZ secara signifikan. Manajemen organisasi yang modern-
profesional, inovasi pendayagunaan zakat secara efektif-produktif, dan dengan didukung transparansi yang memadai melalui disclosure informasi keuangan dan
operasional, nampak menjadi faktor utama yang membentuk kepercayaan publik ini.
Berdasarkan Laporan Tahunan BAZNAS 2008, hingga akhir tahun 2007 dana ZISWAF nasional yang berhasil dikumpulkan mencapai 361 milyar rupiah.
Jumlah ini sedikit menurun dibandingkan penerimaan tahun sebelumnya. Akan tetapi, sesungguhnya pertumbuhan tahunan penghimpunan dana ZISWAF
sepanjang periode 2002 – 2007 cukup besar dengan pertumbuhan rata-rata
tahunan sebesar 44. Pertumbuhan tertinggi terjadi dari tahun 2004 ke tahun 2005, yang bertepatan dengan periode terjadinya berbagai bencana nasional di
tanah air antara lain gempa bumi dan tsunami di Aceh. Solidaritas yang tinggi
2
Fakhruddin, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia Malang: UIN Malang Press, 2008, h. 221
3
dalam masyarakat Indonesia telah mendorong meningkatnya penerimaan zakat sebesar 97. Bahkan untuk BAZNAS, dana perolehan di tahun 2005 naik
sepuluh kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
3
Tabel 1.1 Pengumpulan Dana ZISWAF Nasional, 2004-2007
Sumber : Diolah dari Laporan Tahunan BAZNAS 2008 Namun demikian, potensi dana zakat yang sangat besar, masih belum
tergali secara optimal dan belum mampu mengangkat kesejahteraan kelompok miskin di negeri ini dan keluar dari jurang kemiskinan. Selain masalah dalam
perilaku penderma yang masih amat karikatif, yaitu berorientasi jangka pendek dan interpersonal, masalah utama lainnya adalah masih rendahnya kapasitas dan
skala usaha OPZ. Meski OPZ besar mampu menunjukkan kinerja yang mengesankan, namun sebagian besar OPZ masih memiliki kapasitas yang rendah
dan skala usaha yang minim. Hal ini berimplikasi pada rendahnya kinerja
3
Yusuf Wibisono dkk, Menggagas Arsitektur Zakat Indonesia Ciputat: Indonesia Magnificence of Zakat, 2010, h. 31.
NAMA LEMBAGA
Penerimaan ZISWAF Ribuan Rupiah 2002
2003 2004
2005 2006
2007 BAZNAS
921.048 2.700.073
3.322.092 31.406.810
28.316.016 26.900.629
BAZDA 11.589.000
14.177.132 18.412.132
30.301.714 114.406.553
102.629.312 LAZ
55.680.209 68.405.946
128.354.888 233.986.019
230.613.161 219.412.453
TOTAL 68.190.257
85.283.523 150.089.112
295.694.543 373.335.730
348.942.394
4
pengelolaan zakat dan pada gilirannya kemudian, persepsi dan kepercayaan publik pada OPZ.
4
Kehadiran UU No. 381999 telah mendorong jumlah OPZ meningkat pesat. Sejak keluarnya UU ini, lembaga-lembaga amil zakat tumbuh bak
cendawan di musim hujan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hingga kini setidaknya terdapat BAZNAS dan 18 LAZ tingkat nasional, 33 BAZ tingkat
provinsi, dan 429 BAZ tingkat kecamatan, Unit Pengumpul Zakat UPZ berbasis instansi dan perusahaan, hingga amil-amil tradisional-individual
berbasis masjid dan pesantren. Euforia reformasi pasca jatuhnya rezim orde baru dan kelonggaran yang diberikan UU ini, memberi kontribusi besar bagi
kemunculan OPZ-OPZ ini.
5
Disatu sisi, jumlah OPZ yang besar ini positif karena dunia filantropi Islam kemudian menggeliat menjadi sangat dinamis karena adanya iklim
persaingan. Namun di sisi lain, kecenderungan ini menjadi berpotensi menimbulkan masalah, terutama terkait tata kelola dan kepercayaan masyarakat,
karena tumbuhnya ribuan lembaga amil ini tidak diikuti dengan keberadaan koordinasi dan sinergi antar OPZ dalam pengelolaan zakat karena ketiadaan
rencana strategis yang mengintegrasikan OPZ dalam satu kesatuan gerak yang terpadu. Hal ini membuat aktivitas penghimpunan dan pendayagunaan zakat
berjalan secara tidak efisien dengan efektivitas yang tidak optimal. Sebagai
4
Yusuf Wibisono dkk, Menggagas Arsitektur Zakat Indonesia, h. 175.
5
Yusuf Wibisono dkk, Menggagas Arsitektur Zakat Indonesia, h. 176
5
misal, program pendayagunaan OPZ hampir serupa, namun berjalan sendiri- sendiri tanpa sinergi dan dengan skala yang terbatas. Tak jarang pula, karena
lemahnya koordinasi, di satu wilayah penerima manfaat terdapat beberapa program sejenis dengan sasaran mustahik yang relatif sama.
Jumlah OPZ yang sangat banyak ini secara jelas juga mengindikasikan inefisiensi dunia zakat nasional terkait penghimpunan dana zakat yang relatif
masih kecil, yang hingga kini masih di bawah Rp 1 trilyun per tahun. OPZ besar menunjukkan efisiensi yang tinggi, yang terlihat dari rasio biaya operasional
yang rendah terhadap penghimpunan dana. Namun secara keseluruhan, pengelolaan zakat tidak efisien karena mayoritas OPZ beroperasi pada skala
usaha yang terlalu kecil. Jika kita tidak memperhitungkan BAZ tingkat kecamatan, dan dengan asumsi jumlah LAZ daerah sekitar 25 OPZ, maka jumlah
OPZ nasional saat ini diperkirakan lebih dari 500 OPZ. Dengan asumsi sana zakat terhimpun sekitar Rp 1 trilyun per tahun, maka setiap OPZ rata-rata hanya
mengelola dana sekitar Rp 2 milyar.
6
Terlepas dari potensi masyarakat membayar zakat yang cukup besar, hingga kini sebagian besar masyarakat belum membayar zakat melalui lembaga.
Studi PIRAC 2007 menunjukkan bahwa dari 55 populasi muslim Indonesia yang menjadi muzakki, hanya 7,2 dari muzakki yang membayar zakat melalui
lembaga. Hal ini secara jelas menunjukkan masih rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat pada OPZ dan belum terbangunnya pemahaman di masyarakat
6
Yusuf Wibisono dkk, Menggagas Arsitektur Zakat Indonesia, h. 176
6
bahwa pengelolaan zakat melalui lembaga akan lebih berdayaguna dan berhasilguna.
7
Secara empiris, permasalahan dalam pengelolaan zakat oleh pemerintah dapat dianggap masalah kepercayaan publik. Di sebagian besar negara Muslim
kontemporer, birokrasi secara umum dipersepsikan korup dan lemah, sehingga kepercayaan publik terhadap pemerintah cenderung rendah. Hal ini melemahkan
upaya penghimpunan zakat oleh institusi pemerintah. Sehingga dapat dikatakan bahwa kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak
ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah.
Dalam pengelolaan zakat, rencana strategis merupakan suatu unsur yang tidak dipisahkan. Ada beberapa alasan tentang hal itu. Pertama adalah
kepercayaan. Didalam masyarakat kita, kepercayaan menjadi barang asing dan mahal. Kepercayaan tidak bisa diukur dengan kata-kata, apalagi dari orang yang
dikatakan dapat dipercaya. Kepercayaan akan muncul jika orang lain yang menyampaikan. Oleh sebab itu, kepercayaan butuh lama untuk diraih. Orang-
orang yang mengelola zakat adalah salah satu kuncinya. Lembaga zakat akan dipercaya jika pengelolaannya benar-benar sesuai dengan kemauan masyarakat,
yakni lembaga yang jujur, amanah dan profesional. Sampai saat ini, tidak sedikit muncul Badan Amil zakat, yang berada
ditingkat pusat, wilayah, daerah dan bahkan ditingkat desa, baik yang dibentuk
7
Yusuf Wibisono dkk, Menggagas Arsitektur Zakat Indonesia, h. 175
7
oleh pemerintah maupun organisasi sosial keagamaan. Namun dalam praktiknya seringkali zakat kurang mencapai sasaran dan hasilnya pun tidak maksimal
dikarenakan dalam pengelolaannya tidak terorganisir dengan baik. Masyarakat seringkali menyalurkan zakatnya secara langsung tanpa melalui lembaga amil,
dengan alasan dapat tersalurkan secara langsung. Problem penting yang sedang dihadapi lembaga penerima zakat adalah bahwa para muzakki lebih suka
menyerahkan zakatnya kepada mustahiq secara langsung. Mereka merasa nyaman melakukan itu karena mereka langsung memberikan kepada yang
berhak. Jika diserahkan kepada lembaga, mereka ragu akan ketersalurannya. Namun dengan cara seperti itu justru tidak akan membantu kaum miskin, karena
lebih bersifat konsumtif sehingga berapapun uang yang dizakatkan akan tidak bermanfaat banyak karena tidak produktif.
8
Melihat pemaparan di atas mengenai pembayaran zakat, masyarakat masih belum percaya dengan pengelolaan zakat oleh pemerintah, dan mereka
lebih senang langsung membayar ke mustahiq, hal ini bisa dipengaruhi oleh beberapa hal. Maka dari itu, peneliti berusaha meneliti kecenderungan
masyarakat dalam membayar zakat dan faktor-faktor apa saja yang menetukan keputusan mereka dalam membayar zakat, dengan judul PREFERENSI DAN
KEPUTUSAN MASYARAKAT KECAMATAN KARAWACI DALAM MENYALURKAN ZAKAT.
8
Sudirman, Zakat Dalam Pusaran Arus Modernitas Cet. I, Malang; UIN Press, 2007, h. 150.
8
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah