Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara agraris yang memeiliki potensi alam melimpah ruah yang mendukung statusnya sebagai Negara agraris. Dengan sebagaian besar masyarakat bermukim di pedesaan dan bermata pencaharian di sektor pertanian. maka sumberdaya fisik utama yang paling penting dalam kehidupan masyarakat pedesaan tersebut adalah tanah atau lahan pertanian salah satu fungsi utama sosial ekonomi masyarakat pedesaan di Indonesia adalah melakukan berbagai macam kegiatan produksi terutama di sektor pertanian dengan orientasi hasil produksinya untuk memenuhi kebutuhan pasar, baik di tingkat desa itu sendiri maupun di tingkat lain yang lebih luas. Dengan demikian mudahlah di mengerti apabila sebagian besar warga masyarakat pedesaan melakukan kegiatan utamanya dalam kegiatan pengolahan dan pemanfaatan lahan pertanian Tulus;2003. Pembangunan pertanian merupakan bagian dari pembangunan ekonomi. pembangunan pertanian akan memperkuat dan menyumbang ekonomi secara menyeluruh. Oleh karena itu sektor pertanian perlu mendapat perhatian karena sebagian besar penduduk Indonesia hidup pada sektor ini dan kontribusinya sangat tingi dalam pembentukan Pendapat Belanja Daerah PBD, penyerapan tenaga kerja, penyediaan pangan, penurunan kemiskinan, dan penyediaan bahan baku dalam sektor-sektor industri. Universitas Sumatera Utara Untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila atau untuk mencapai masyarakat yang memiliki industri yang kuat harus di dasari dan didukung oleh sektor pertanian yang tangguh sehingga perekonomian nasional akan menjadi tangguh, dengan memperkuat sektor pertanian ini menunjukkan bahwa perekoniomian nasional berupaya untuk meningkatkan kesejahtraan rakyat banyak dan ini watak ekonomi kerakyatan yang harus tercermin dalam keseluruhan kegiatan dan pelaksanaan ekonomi Soekartawi,1999. Kebijaksanaan pembangunan pertanian, berorientasi pada peningkatan produksi melalui penggunaan teknologi padat modal. Tujuan akhir yang diharapkan pemerintah adalah meningkatnya pangan dalam negeri melalui pencapaian swasembada pangan dan mengurangi ketergantungan pangan terhadap negara luar. Untuk mencapai tujuan di atas, pelaksanaan pembangunan melalui progam- progamnya dilaksanakan dengan penerapan kebijaksanaan menyeluruh yang direncanakan dan disusun secara top down. Dalam hal ini pemerintah harus menyelesaikan kebijaksanaan pusat dengan kondisi wilayah setempat. Selain itu, untuk mempercepat pertumbuhan pertanian dilakukan pembangunan sub sektor dengan pendekatan yang berbeda tetapi sasaran sama. Tidak jarang unsur politis dan birokrasi turut bermain mewarnai pelaksanaan kebijakan pembangunan pertanian guna menyukseskan progam-progam nasional yang dilaksanakan di daerah. Konsepsi mengenai keberhasilan pencapaian kesejahteraan masyarakat diukur dari pertumbuhan ekonomi nasional. Kesejahteraan masyarakat yang diukur dari pertumbuhan ekonomi nasional merupakan anggapan yang keliru. karena dalam perekonomiaan nasional, Universitas Sumatera Utara kesejahteran sosial belum tentu tercapai. Selain itu, kesejahteraan sosial tidak dapat disamakan dengan kesejahteran ekonomi. komponen kesejahteraan sosial hanya dapat dicapai dengan perubahan struktur, keorganisasian, pertanian, dan budaya masyarakat pertanian setempat yang melatarbelakanginya. http:repository.usu.ac.idbitstream modernisasi dan perubahan sosial diakses 27 september 2010. Di samping itu, penyehatan aspek sosio-budaya harus dipandang sebagai faktor penggerak utamanya. Kebijakan pembangunan pertanian dengan pola top down dengan orientasi produksi melalui penggunaan teknologi modern yang sangat teknis mekanistis, telah menimbulkan masalah-masalah dan perubahan-perubahan, baik pemerintah daerah yang mengimplementasikan kebijaksanaan pusat maupun masyarakat petani sebagai obyek dari pembangunan. Masalah masalah umum yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan pembangunan pertanian antara lain: 1. Menumbuhkan ketergantungan pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan, sehingga sering tidak sesuai dengan kondisi wilayah dan sosial budaya masyarakat. 2. Menimbulkan ego sub sektoral dalam pelaksanaan progam-program pembangunan pertanian, karena lemahnya kordinasi dan integrasi antara sub sektor. 3. Merosotnya nilai-nilai tradisional dan norma-norma kekeluargaan yang saling membutuhkan dan ketergantungan yang hidup di pedesaan. 4. Melahirkan ketergantungan petani terhadap pemerintah dalam pembangunan, sebagai akibat pendekatan pelaksanaan program melalui bantuan subsidi. Universitas Sumatera Utara Selain faktor-faktor eksternal, modernisasi pembangunan pertanian yang telah diuraikan di atas mengakibatkan perubahan sosial dalam masyarakat dalam arti negatif. Tidak sedikit pula faktor-faktor internal yang ikut mempengaruhi proses pembangunan dan modernisasi pertanian. menguraikan beberapa karakteristik mental manusia Indonesia yang merupakan penghambat pembangunan dan proses modernisasi, antara lain: 1. Pandangan terhadap sesama lebih didasarkan pada prinsip gotong royong lebih baik, tetapi apabila keberhasilan seseorang dianggap sombong atau meremehkan mutu, selain itu munculnya sikap konformisme. 2. Pandangan hidup yang berorentasi pada waktu masa lalu. 3. Mentalitas yang suka menerbas, atau mentalitas mencari jalan pintas. Mentalitas muncul menerbas akibat dari mentalitas meremehkan mutu. 4. Tidak percaya pada diri sendiri, dan 5. Orientasi nilai budaya yang terlampau mementingkan konsep ketergantungan pada atasan atau kepada sesama manusia dalam melakukan segala sesuatu Koentjaraningrat 1985:37-49. Modernisasi di bidang pertanian di Indonesia ditandai dengan perubahan yang mendasar pada pola-pola pertanian, dari cara-cara tradisional menjadi cara-cara yang lebih maju. Perubahan-perubahan tersebut meliputi beberapa hal, antara lain dalam pengelolahan tanah, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk, penggunaan sarana-sarana produksi pertanian, dan pengaturan waktu panen. Pengenalan terhadap pola yang baru dilakukan dengan pembenahan terhadap kelembagaan-kelembagaan yang berkaitan dengan pertanian, seperti, kelompok Tani, KUD, PPL dan sebagainya. Universitas Sumatera Utara Kabupaten Pakpak Bharat merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatra Utara. Kabupaten Pakpak Bharat memiliki luas 1.218.30 km terdiri dari 8 kecamatan, yakni Kecamatan Salak, Kecamatan Sitelu Tali Urang Jehe, Kecamatan Sitelu Tali Urang Julu, Kecamatan Pagindar, Kecamatan Pergeteng- geteng Sengkut, Kecamatan Siempat Rube, dan Kecamatan Tinada. Berdasarkan keadaan alam dan tepografi Kabupaten Pakpak Bharat, sektor pertanian merupakan potensi yang terbesar mendukung perekonomian masyarakat. Hasil pendapatan rumah tangga Sensus pertama 2008, terdapat 8.292 rumah tangga pertanian di Kabupaten Pakpak Bharat. Mencakup kegiatan bertani dan berkebun. Dari sejumlah rumah tangga pertanian di Kabupaten Pakpak Bharat 80 adalah merupakan petani pengguna lahan dengan produksi jenis tanaman padi dan palawija, tanaman perkebunan rakyat dan horikultura BPS. Kab. Pakpak Bharat Dalam Angka, 2008. Survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Agustus 2010 di Desa Boangmanalu Kecamatan Salak Kabupaten Pakpak Bharat terdiri dari 5 dusun yaitu dusun Lae Tarondi, Sosor, Kuta Payung, Kuta Tengah dan Amborgang. Selanjunya data penduduk 2889 jiwa dengan jumlah 467 kepala keluarga. Mata pencarian masyarakat terbanyak sebagai petani 382 KK, pegawaiABRI 33 jiwa, wiraswasta 41 orang dan peternak 11 orang. Untuk memenuhi kebutuhan para petani, Desa Moangmanalu memiliki 4 kelompok tani yaitu Sabahta, Mbrasmo Page, Tani Maju dan Sada Kata. Berbicara tentang teknologi pertanian yang diterapkan oleh penduduk Desa Boangmanalu Kecamatan Salak Kabupaten Pakpak Bharat, tidak dapat melepaskan diri dari kebiasaan dan cara-cara lama yang sudah menjadi pegangan mereka ketika mengerjakan sawahnya. Kebiasaan cara-cara lama tersebut seperti dalam hal Universitas Sumatera Utara mencangkul, membersihkan rumput ataupun menuai padi. Secara umum tingkat pendapatan penduduk desa ini memang hanya cukup sekedar untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari saja. Mereka belum mampu untuk hidup seperti layaknya orang-orang di perkotaan. Dengan kehidupan yang sekarang dijalani saja sudah merasa bersyukur, sekalipun hati mereka sebenarnya ada keinginan untuk hidup layak sebagaimana kehidupan orang di kota. Kehidupan yang demikian ini sangat erat kaitannya dengan teknologi pertanian yang diterapkan dalam pengolahan pertanian. mereka mempunyai keinginan untuk menggunakan teknologi pertanian yang modern yang diberikan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahtraan ekonomi masyarakat petani. Kebiasaan dan cara-cara lama seperti disebutkan diatas menyebapkan ada hambatan didalam penerapan teknologi pertanian. Penggunaan jetor dalam mengolah tanah, maupun penanaman bibit unggul serta penggunaan pupuk sekarang ini sudah bukan merupakan hal yang baru bagi penduduk Desa Boangmanalu perubahan ini berjalan mulai tahun 2007. Sebelumnya penduduk Desa Boangmanalu dalam mengerjakan sawahnya masih menggunakan cara-cara lama yang tradisional baik dalam hal peralatan maupun penggunaan tenaga kerjanya. Sebelum masyarakat Desa Boangmanalu mengenal jetor sebagai alat untuk smengolah tanah pertanian sawah, pekerjaan awal tersebut kerjakan oleh tenaga manusia. Mereka mengerjakan atau mengolah tanah persawahan dengan gotong- royong atau dengan istilah abin-abinrimpah-rimpah. Agar tidak terjadi tumpang tindih dalam melakukan pekerjaan pengolahan tanah antara pemilik sawah yang satu dengan yang lain diadakan musyawarah agar dalam pekerjaan mengolah sawah tersebut dapat dilakukan secara bergiliran. Hal ini menyangkut masalah tenaga kerja. Universitas Sumatera Utara Pekerjaan mengolah tanah dapat dilaksanakan apabila disepakati oleh masyarakat. Mengenai banyaknya jumlah tenaga kerja yang akan dipergunakan, tergantung kepada sempit luasnya tanah yang akan digarap. Kalau seorang penduduk memiliki tanah yang luas, maka penggunaan tenaga kerja juga akan besar. Sebaliknya bagi mereka yang tanahnya sempit tentunya jumlah tenaga kerjanya juga sedikit. Untuk mengolah sawah mereka masih menggunakan peralatan tradisional, yaitu cangkul dan sabit. Peralatan tersebut pada umumnya dimiliki setiap kepala keluarga petani. Dengan peralatan itu mereka bekerja di sawah atau di kebun. Masa panen merupakan suatu kebahagian bagi setiap petani karena pada kesempatan ini para petani tangah menantikan hasil panen yang melimpah. Jika hasil panen yang berlimpah, rasa leleh pada waktu mengolah, menanam sampai panen sirna. Kebahagiaan yang demikian dirasakan oleh petani di Desa Boangmanalu. Masa panen biasanya dilakukan apabila umur padi telah mencapai enam bulan. Musim panen di Desa Boangmanalu ini Setahun dua kali. Pemotongan padi di sawah secara umum masyarakat Desa Boangmanalu menggunakan sabit. Sebelum Desa Boangmanalu menggunakan mesin penggiling padi dalam memproses padi menjadi beras, para petani menggunakan cara tradisional yang pada dasarnya dikenal oleh seluruh masyrakat. Untuk memperoleh hasil beras mulai dari padi menjadi beras, mula-mula padi dilepas dari tangkainya dengan cara diinjak-injak dengan kaki dan dengan cara memukul ke sebuah bambu yang telah dirancang yang biasanya disebut maspas. Selanjutnya apabila mereka membutuhkan beras untuk makan mereka harus mengolahnya lagi yaitu dengan menumbuknya. Alat untuk menumbuk padi tersebut Universitas Sumatera Utara lesung dengan alat penumbuknya disebut alu. Lesung adalah sebatang kayu bulat panjang yang di lubangi ditengahnya sebagai tempat menumbuk padi sedangkan alu adalah kayu berbentuk bulat panjang dengan ukuran kurang lebih dua setengah meter. Pada saat sekarang cara-cara tradisional tersebut tidak seluruhnya dikerjakan oleh masyarakat, karena ketersediaan teknologi baru yaitu mesin penggiling padi. Sebagaimana hasil penelitian Santoso, dkk 2005 menjelaskan analisis usaha tani sawah dengan benih sertifikasi dan non sertifikasi di Desa Karang Sari Kecamatan Weru Kabupaten Cirebon bahwa rata-rata pendapatan per ha usaha tani padi yang menggunakan benih sertifikasi dan non sertifikasi berbeda nyata. Usaha tani padi yang menggunakan benih sertifikasi Rp. 1.186.558 dan tidak menggunakan benih sertifikasi Rp. 940.545 dengan selisih Rp. 246.013. Mengacu hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa untuk meningkatkan produksi padi dengan menggunakan alat pertanian yang modern benih sertifikasi yang merupakan salah satu upaya meningkatkan pendapatan atau kesejaheraan petani.

1.2. Perumusan Masalah