Bahan Pembawa TINJAUAN PUSTAKA

Naufalin 1999 mekanisme ketahanan spora terhadap panas adalah senyawa peptidoglikan yang merupakan penyusun korteks dengan struktur ikatan silang dan bersifat elektronegatif, berperan dalam meningkatkan ketahanan spora terhadap panas dengan cara mengontrol kandungan air di dalam protoplas yaitu mempertahankan kadar air yang rendah. Beberapa faktor yang ikut mempengaruhi sifat polimer peptidoglikan juga ikut berperan menurunkan ketahanan spora terhadap panas, misalnya adanya asam dan beberapa kation multivalent. Salamah 2002 melaporkan pembentukan spora Bacillus thuringiensis subsp. Israelensis dimulai pada jam ke-9 dimungkinkan karena kondisi lingkungan yang kurang sesuai bagi sel yaitu pH ekstrim. Lay, 1994 mikroorganisme memiliki enzim yang berfungsi sempurna pada pH tertentu. Bila terjadi perubahan pH, pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme dapat berhenti. Waluyo 2007 bakteri dalam bentuk spora lebih tahan terhadap kekeringan, panas, asam dan dingin karena dinding spora lebih bersifat impermeabel dan spora mengandung sedikit air. Berdasarkan informasi ketahanan spora terhadap lingkungan diperlukan bahan pembawa untuk mempertahankan viabilitas isolat uji. Formulasi merupakan langkah awal di dalam usaha pengendalian hayati yang dapat diusahakan secara komersial yang mampu menjaga ketahanan spora terhadap lingkungan selama penyimpanan Jones Burges, 1998.

2.4 Bahan Pembawa

Bahan pembawa merupakan bahan yang dicampurkan dengan organisme dilengkapi dengan bahan tambahan untuk memaksimalkan kemampuan bertahan hidup di penyimpanan disebut dengan formulasi. Adapun fungsi dasar dari formulasi adalah untuk stabilisasi organisme selama produksi, distribusi dan penyimpanan, mengubah aplikasi produk, melindungi agen dari faktor lingkungan yang dapat menurunkan kemampuan bertahan hidupnya serta meningkatkan aktivitas dari agen untuk mengendalikan organisme target. Formulasi terdiri dari dua tipe, yaitu produk berbentuk padatan tepung dan butiran serta berbentuk suspensi berbahan dasar minyak atau air, dan emulsi Jones Burges, 1998. Universitas Sumatera Utara Enkapsulasi pada bakteri dapat memberikan kondisi yang mampu melindungi mikroba dari pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan, seperti panas dan bahan kimia Young et al., 1995. Vladamir et al. 2002 enkapsulasi dalam ukuran kecil memiliki beberapa keuntungan, antara lain melindungi suatu senyawa dari penguraian dan mengendalikan pelepasan suatu senyawa aktif. Rizqiati et al. 2008 melaporkan jenis bahan enkapsulasi yang berbeda akan mempengharui viabilitas Lactobasillus plantarum setelah penyimpanan. Hasil analisis statistik menunjukkan nilai viabilitas Lactobasillus plantarum setelah penyimpanan untuk ketiga kombinasi jenis bahan enkapsulasi tidak berbeda nyata. Pada kultur biomasa diperoleh nilai viabilitas pada penggunaan bahan enkapsulasi susu skim 73,5, susu skim-gum arab 72,5 dan gum arab 71, 5. Menurut Master 1997 enkapsulasi dikatakan berhasil jika bahan yang dienkapsulasi memiliki viabilitas sel yang baik dan sifat-sifat fisiologis yang relatif sama dengan sebelum dan sesudah dienkapsulasi. Desmond et al. 2002 penggunaan bahan untuk enkapsulasi perlu dipertimbangkan, karena masing- masing bahan mempunyai karakter yang berbeda dan belum tentu cocok dengan bahan inti yang akan dienkapsulasi. Adapun beberapa komposisi bahan pembawa digunakan yaitu:

2.4.1 Talek

Talek adalah mineral yang lunak dengan komposisi kimia Mg 3 SiO 10 OH 2 dan umumnya sebagai mineral sekunder hasil hidrasi batuan yang mengandung magnesium, seperti peridotit, gabro, dan dolomit. Talek dapat ditemukan dalam pasir dan lumpur yang mempunyai ikatan kuat. Talek merupakan jenis tanah mineral yang dominan berasosiasi dengan kaolinit dan gibsit. Stabilitas talek relatif berbeda dengan mineral liat yang lain memiliki struktur halus, licin dan penghantar panas tinggi Dixon, 1989. Sulistiani 2009 melaporkan pengaruh interaksi jenis formulasi dan lama penyimpanan formulasi spora B. subtilis memberikan hasil yang beragam. Formulasi talek pada penyimpanan ke-6 mencapai panjang optimum pada benih padi jika dibandingkan dengan formulasi lainnya. Hal ini terjadi karena kombinasi perlakuan paling efektif jika menggunakan formulasi talek dengan waktu aplikasi Universitas Sumatera Utara pada minggu ke-6 9,76 cm. Selain jenis formulasi lama penyimpanan juga memberikan pengaruh terhadap viabilitas spora.

2.4.2 Tapioka

Pati merupakan karbohidrat yang tersimpan dalam tanaman terutama tanaman berklorofil. Banyaknya kandungan pati pada tanaman tergantung asal pati tersebut. Pati telah lama digunakan sebagai bahan makanan maupun non-food seperti perekat, dalam industri tekstil, polimer atau sebagai bahan tambahan dalam sediaan farmasi. Penggunaan pati dalam bidang farmasi sebagai formula sediaan tablet, baik sebagai bahan pengisi, penghancur maupun sebagai bahan pengikat Winarno, 1984. Tepung tapioka pada dasarnya merupakan pati dari ketela pohon, dengan komposisi sebagai berikut: kalori 362 kal, karbohidrat 86,9 g, protein 0,5 g, lemak 0,3 g, kalsium 20 mg, fosfor 7 mg, besi 1,6 mg, kalium 11 mg, natrium 1 mg, magnesium 1 mg dan air 12 g Djali Riswanto, 2001. Wijayanti 2010 melaporkan tepung tapioka berpotensi sebagai campuran bahan pembawa natrium alginat pada pupuk biologis yang dihasilkan melalui enkapsulasi. Viabilitas Azospirillum brasilense di dalam kapsul Ca-alginat dan di dalam formula bahan pembawa perbandingan konsentrasi antara natrium alginat dan tepung tapioka sangat baik. Viabilitas A. brasilense bertahan selama masa simpan.

2.4.4 Kitosan

Kitosan tidak larut dalam air, tetapi larut dalam asam lemah encer misalnya, asam asetat 1 [vv]. Kitosan memiliki struktur yang mirip dengan selulosa, tetapi gugus hidroksil pada C-2 diganti dengan gugus amino. Senyawa ini dapat diperoleh dari kulit udang dengan cara mendestilasi kitinnya Timmy et al.,2002 Gambar 2.1.Struktur kimia residu pada kitosan Universitas Sumatera Utara Wukirsari 2006 melaporkan kemampuan enkapsulasi sistem penyalutan ganda alginat-kitosan lebih baik bila dibandingkan dengan gelatin. Enkapsulasi ibuprofen dengan penyalut alginat-kitosan menghasilkan kapsul dengan diameter antara 1 dan 2 mm. Enkapsulasi tersebut memiliki nilai efisiensi 86 lebih tinggi jika dibandingkan dengan penyalut gelatin nilai efesiensi 6,67 yang telah dilakukan oleh peneliti lainnya. Konsentrasi kitosan menaikkan massa kapsul akan tetapi, jumlah ibuprofen dan konsentrasi kitosan tidak berpengaruh terhadap efesiensi enkapsulasinya melainkan faktor waktu penyimpanan larutan alginat yang digunakan untuk pembuatan kapsul.

2.4.3 Tepung Jagung

Jagung mempunyai nilai gizi yang relatif cukup baik, mengandung protein 10, lipid 4,4 dan kandungan pati sekitar 72. Kandungan asam amino lisin, triptopan, dan isoleusin. Komposisi tepung jagung terdiri dari: kalori 355 kal; karbohidrat 73,7 g; protein 9,2 g; lemak 3,9 g; kalsium 7 mg; fosfor 256 mg; besi 2,4 mg; kalium 287 mg; natrium 35 mg; magnesium 127 mg; vitamin A 510 SI; vitamin B1 0,38 mg dan air 12 g Mudjisihono Munarsono, 1993. Sulistiani 2009 melaporkan viabilitas spora Bacillus subtilis dalam berbagai formulasi dipengaruhi oleh jenis formulasi dan lama penyimpanan. Pengaruh jenis formulasi spora B. subtilis menunjukkan hasil yang berbeda untuk setiap formulasi yang digunakan. Formulasi tepung jagung memiliki nilai 6,92 cfug dalam mendukung ketahanan hidup spora B. subtilis selama penyimpanan. Hal ini disebabkan karena tepung jagung memilliki kandungan pati, gula, dan kadar air yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bakteri. Namun tidak sebaik formulasi campuran antara tepung jagung, tepung udang, zeolit dan dedak memiliki nilai tertinggi 7,77 cfug. Hal ini disebabkan adanya tepung udang yang berasal dari cangkang udang memiliki kandungan protein yang cukup tinggi untuk mendukung viabilitas spora B. subtilis selama penyimpanan. Universitas Sumatera Utara

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2013 bertempat di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah timbangan meja, cawan petri, erlenmeyer, autoklaf, inkubator bakteri, oven, kamera digital, mikroskop, spatula, propipet, bunsen, jarum ose, pipet serologi, hot plate, handspray, objek glass, cover glass, tabung reaksi, rak tabung, sentrifugasi, refegirator, gelas ukur, spektrofotometer, water bath, air laminar flow dan moisture balance. Bahan yang digunakan adalah talek, tapioka, kitosan, tepung jagung, akuades, spiritus, Media Plate Count Agar PCA, larutan Mac Farland, Phosphate Buffer Saline PBS, malachite green,safranin, aluminium foil, Media Garam Minimum Kitin MGMK, unsur mikro yaitu Fe, Mg, Mn, dan Zn pada konsentrasi 5 ppm, kitin 0,5 , ekstrak yeast 1 dan isolat bakteri kitinolitik koleksi Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara yaitu Bacillus sp. sebelumnya disebut isolat BK17 yang diisolasi dari tanah Bangka . 3.3 Prosedur Kerja 3.3.1 Perbanyakan dan Pembuatan Suspensi Bacillus sp. BK17 Isolat bakteri Bacillus sp. BK17 disubkultur dalam media MGMK Komposisi media MGMK padat dan cara pembuatannya pada Lampiran 1 halaman 29 kemudian diinkubasi pada suhu kamar dengan pH 6,5-7 selama ± 2 hari. Hasil subkultur biakan bakteri diambil dengan jarum ose dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml akuades steril. Suspensi bakteri divortex dan Universitas Sumatera Utara