VII. PEMBAHASAN UMUM
Transplantasi sel germinal saat ini telah menjadi sebuah teknologi yang sangat diminati oleh para peneliti di bidang reproduksi karena memiliki potensi
diaplikasikan pada sistem pengobatan penyakit-penyakit reproduksi, preservasi atau pelestarian sumber daya genetik yang langka dan bernilai ekonomis tinggi
serta untuk peningkatan aspek reproduksi hewan. Teknologi yang diprakarsai oleh Brinster dan kawan-kawan pada tahun 1994 merupakan teknologi dasar bagi
sistem pembenihan surrogate broodstock yaitu sistem pembenihan dengan menggunakan induk pengganti. Dengan sistem pembenihan ini, gamet hewan-
hewan tertentu dapat diproduksi dengan cepat dan tanpa batas Brinster Zimmermann 1994, Okutsu et al. 2006a .
Penelitian xenotransplantasi sel testikular menggunakan ikan gurami sebagai model donor dan ikan nila sebagai model resipien ini merupakan langkah
awal bagi upaya penerapan sistem pembenihan surrogate broodstock bagi ikan- ikan budidaya di Indonesia khususnya yang mengalami masalah pada
reproduksinya seperti ikan gurami ataupun bagi ikan-ikan yang tergolong langka atau hampir punah. Penelitian ini telah berhasil memberikan informasi awal
bahwa spermatogonia ikan gurami ternyata dapat bermigrasi, terkolonisasi dan berproliferasi pada gonad ikan nila yang berbeda ordo dengan ikan gurami. Hasil
yang diperoleh ini mempertegas kembali penemuan beberapa peneliti xenotransplantasi sel germinal sebelumnya bahwa mekanisme sel donor yang
bermigrasi ke rongga genital lalu terkolonisasi pada gonad resipien adalah tetap lestari pada ikan teleostei meskipun memiliki perbedaan hubungan genetik yang
jauh Saito et al. 2008, Takeuchi et al. 2009, Majhi et al. 2010, Yazawa et al. 2010. Fenomena ini membuka peluang bagi aplikasi xenotransplantasi antar
ikan-ikan teleostei yang memiliki hubungan filogenetik yang jauh. Sebagaimana halnya peneliti-peneliti sebelumnya, kegiatan transplantasi sel
spermatogonia diawali dengan preparasi sel donor. Beberapa informasi dasar yang dibutuhkan untuk preparasi sel donor telah dilakukan, yaitu 1 karakterisasi
sel spermatogonia ikan gurami dengan pendekatan histologis bab II, 2 penentuan sumber donor berdasarkan bobot tubuh sebagai indikator
perkembangan gonad bab II, dan 3 penentuan metode disosiasi jaringan
testikular ikan gurami untuk mendapatkan suspensi sel testikular dalam jumlah yang banyak dengan viabilitas spermatogonia yang tinggi bab III.
Identifikasi sel spermatogonia sangat penting dalam teknologi transplantasi karena tidak semua sel spermatogonia dapat terkolonisasi pada gonad resipien.
Hanya sel spermatogonia yang memiliki kemampuan seperti sel punca dan yang tidak terdiferensiasi saja yang mampu terkolonisasi pada resipien Griswold et al.
2001, Yano et al. 2007. Hasil penelitian telah berhasil mengkarakterisasi sel spermatogonia ikan gurami yang mampu terkolonisasi yaitu yang memiliki
ukuran diameter sel ≥15,96 µm tipe sel punca spermatogoniaSSC dan
Spermatogonia ASpA dan diameter sel tersebut ternyata hampir sama dengan diameter sel ikan nila yaitu sekitar 16,28 µm Schulz et al. 2005. Persamaan
morfologi sel testikular yang dari kedua spesies yang berbeda pada tingkat ordo ini diharapkan menjadi peluang bagi sel spermatogonia ikan gurami untuk
berkembang dan berdiferensiasi menjadi sel gamet yang fungsional pada gonad ikan nila. Untuk mendapatkan suspensi sel donor dengan kelimpahan SSC dan
SpA yang tinggi dapat menggunakan sumber gonad dari ikan gurami yang memiliki bobot tubuh pada kisaran berat antara 500 g hingga 1000 g.
Meskipun disosiasi jaringan testikular telah dilakukan pada beberapa jenis ikan namun penetuan metode disosiasi yang tepat untuk testis ikan gurami tetap
dilakukan karena metode disosiasi enzimatik dapat berbeda pada setiap spesies. Menurut Kim et al. 2006 serta Marret Durant 2000 metode disosiasi bersifat
spesies spesifik karena masing-masing spesies memiliki karakteristik anatomi testis yang berbeda. Penelitian ini membuktikan bahwa dengan metode disosiasi
yang sama untuk ikan rainbow trout dan ikan nibe Takeuchi et al. 2003, Takeuchi et al. 2009 menggunakan lama inkubasi 2 jam sedangkan untuk ikan gurami
lama inkubasi jaringan testikular hingga 3 jam masih menghasilkan viabilitas yang tinggi.
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa penggunaan enzim DNase tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan aktivitas disosiasi enzimatik sehingga
jaringan testikular lebih cepat dan lebih banyak terurai namun juga bermanfaat dalam menjaga sel spermatogonia tetap dalam keadaan tunggal, tidak menempel
atau bertautan kembali pada sel-sel lainnya. Dalam hal ini, enzim DNase
melakukan digesti terhadap DNA ekstraseluler selama proses disosiasi berlangsung. Makromolekul DNA ekstraseluler ini dapat menyebabkan sel-sel
bergumpal dan dapat meningkatkan viskositas larutan disosiasi sehingga menyulitkan dalam pemipetan Worthington 2003.
Pada penelitian ini dilakukan juga pelabelan sel donor dengan PKH 26. Pewarna PKH 26 adalah molekul menyerupai lemak yang memiliki gugus
berpendar pada bagian kepala dan gugus alifatik yang panjang yang sifatnya lifofilik sehingga dapat berikatan kuat dengan gugus atau rantai karbon. Oleh
karena gugus alifatik PKH 26 memiliki rantai yang panjang sehingga PKH 26 terperangkap dengan kuat pada membran lapisan ganda lipid lipid bilayer. Sifat
inilah yang menyebabkan PKH 26 dapat lebih stabil. Interaksi molekul non kovalen yang kuat antara ekor lipid dengan sekitarnya akan mempertahankan
warna PKH 26 dan intensitas pendarannya khususnya pada sel-sel yang tidak membelah Gambar 24. PKH 26 memiliki waktu paruh yang lama bisa lebih
dari seratus hari, 6 –8 generasi pembelahan dan efek toksisitas yang lebih rendah
dibandingkan pewarna PKH lainnya. Diluent C adalah pelarut PKH 26 yang bersifat iso-osmotik dan bebas garam serta bahan-bahan terlarut lainnya. Diluent
C memaksimalkan daya larut pewarna dan membantu interaksi pewarna ke dalam lapisan ganda lipid Horan et al. 1990, Wallace et al. 2008.
Gambar 24 Mekanisme pewarnaan oleh PKH 26 Wallace et al. 2008
Gugus alifatik PKH 26
Lapisan ganda lipid
Lapisan eksternal
Lapisan internal
Pewarna berpendar ini telah diaplikasikan pada beberapa jenis hewan Chang et al. 1995, Herrid et al. 2006, Choi et al. 2007 termasuk pada ikan
Lacerda et al. 2008, Takeuchi et al. 2009, Yazawa et al. 2010. Berlebihan dalam mewarnai termasuk konsentrasi pewarna dan lama inkubasi tidak
diperbolehkan, meskipun demikian konsentrasi PKH 26 tinggi pada membran sel tidak akan mempengaruhi viabilitas dan pertumbuhan sel Wallace et al. 2008.
Pada penelitian ini, PKH 26 masih dapat diamati dengan jelas hingga umur ikan mencapai 95 hari. Beberapa sel memperlihatkan intensitas warna yang berkurang
dan ini menunjukkan bahwa kemungkinan sel donor yang terwarnai PKH 26 ini telah mengalami proliferasi.
Penelitian ini juga mengungkap peran faktor imunokompetensi antara sel donor dan resipien yang selama ini diduga menjadi penyebab gagalnya sel donor
terkolonisasi pada hewan vertebrata tingkat tinggi. Pada penelitian ini upaya yang dilakukan untuk menekan penolakan sistem imun ikan nila terhadap sel
spermatogonia ikan gurami adalah dengan menggunakan larva ikan nila awal menetas. Pada tahap larva ikan kapasitas imunnya belum berkembang dengan
sempurna hingga umur ikan mencapai beberapa minggu dan umur ini bervariasi pada beberapa spesies ikan Chantanachookhin et al. 1991, Manning Nakanishi
1996. Selain menggunakan larva ikan awal menetas, teknik lain yang juga
digunakan oleh beberapa peneliti untuk menekan penolakan sistem imun resipien diantaranya dengan menggunakan ikan dewasa yang disterilkan dengan cara
melumpuhkan aktivitas mitogenik sel germinal endogennya menggunakan busulfan Lacerda et al. 2008, Majhi et al. 2009. Teknik ini lebih mudah
penanganannya karena menggunakan resipien ikan dewasa, tetapi memiliki resiko yang berbahaya pada manusia jika diaplikasikan untuk ikan konsumsi karena
busulfan merupakan senyawa yang bersifat karsinogenik. Hasil transplantasi sel testikular pada berbagai umur larva ikan nila
menunjukkan bahwa sel donor ikan gurami masih dapat terkolonisasi pada gonad resipien larva ikan nila berumur 7 hari pascamenetas hpm. Hal ini
menunjukkan bahwa respons sistem imunitas larva ikan nila belum bekerja dengan sempurna hingga larva berumur 7 hpm. Hingga saat ini belum ada
informasi yang jelas mengenai mekanisme kerja respons imunitas larva terkait dengan transplantasi sel namun umumnya faktor pertahanan tubuh pada larva ikan
berasal dari transfer antibodi maternal maternal IgM ke larva melalui kuning telur sebagai sumber makanan utama di awal pertumbuhan larva Mulero et al.
2007. Menurut Ali 1987 sel-sel limfoid mulai terbentuk pada saat ikan Tilapia
mossambica, satu genus dengan ikan nila, pada umur 14 hpm sehingga diduga pada umur ikan nila 14 hpm, sudah terjadi respons imun terhadap antigen asing
dari sel donor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel donor ditemukan pada gonad resipien ikan nila umur 1, 2 dan 3 bulan pt sehingga diduga tidak terjadi
penolakan sel donor ikan gurami oleh ikan nila. Keberhasilan migrasi sel spermatogonia ikan gurami ke ikan nila ini juga
menunjukkan bahwa lingkungan somatik sekitar bakal gonad dan bakal gonad ikan nila sendiri ternyata dapat berinteraksi dengan sel spermatogonia ikan
gurami. Hal ini menunjukkan bahwa molekul-molekul yang berfungsi sebagai kemoatraktan yang diproduksi oleh lingkungan somatik bakal gonad ikan nila
maupun reseptor yang terdapat di spermatogonia ikan gurami yang berperan dalam proses migrasi diduga bersifat lestari tidak berevolusi pada ikan-ikan
teleostei. Fenomena yang sama dibuktikan beberapa peneliti xenotransplantasi sebelumnya pada ikan yang memiliki jarak taksonomi jauh Saito et al. 2008,
Yazawa et al. 2010. Hal ini menunjukkan bahwa larva ikan nila berkompeten untuk digunakan sebagai resipien dalam kegiatan transplantasi.
Terdapat dua mekanisme interaksi molekul-molekul yang berperan dalam proses migrasi PGC pada ikan, yaitu : 1 interaksi ligan senyawa SDF-1stromal
cell-derived factor-1 atau senyawa kemokin CXCR12 yang dilepaskan oleh sel- sel somatik dengan reseptornya senyawa CXCR4b pada sel germinal, 2 reduksi
protein phosphoinositide 3-kinase P13K yang berperan terhadap morfologi adesifitas PGC dan matriks ekstraseluler, kecepatan migrasi dan pergerakan
filopodia atau lobopodia dari PGC Dumstrei et al. 2004. Weidinger et al. 2002 juga menggambarkan pola migrasi yang terjadi pada
vertebrata, yaitu 1 PGC menuju bakal saluran gonad dengan kombinasi pergerakan morfogenetik pasif dan migrasi aktif dari PGC. Pada ikan rainbow
trout, PGC dengan alat geraknya disebut lobopodia bergerak ke rongga genital tersebut melalui dinding peritoneal Takeuchi et al. 2003, 2 pola migrasi
dikontrol oleh sinyal dari lingkungan somatik di sekitar bakal gonad, bukan dari dalam PGC itu, sehingga ke arah mana PGC bergerak sangat bergantung dari
tanda-tanda yang dikeluarkan oleh lingkungan somatik, 3 interaksi antara motilitas PGC dengan matriks ekstraseluler berperan penting dalam migrasi
seperti yang terjadi pada orientasi PGC Xenopus yang bergantung pada substrat matriks ekstraseluler yang menyusun lingkungan somatiknya Heasman et al.
1981 dan akumulasi PGC tikus pada gonad yang disebabkan oleh sifat adesif PGC pada substrat dan interkoneksi antar PGC Garcia-Castro et al. 1997, 4
bakal gonad memproduksi sinyal kemoatraktan yang akan menarik PGC menuju bakal gonad.
Dari beberapa mekanisme yang diungkapkan oleh para peneliti sebelumnya maka diduga mekanisme yang terjadi pada proses migrasi sel donor ikan gurami
ke bakal gonad ikan nila adalah bahwa sel spermatogonia yang disuntikkan ke rongga peritoneal akan menempel di dinding rongga peritoneal pada areal bakal
gonad melalui mekanisme yang terjadi antara matriks ekstraseluler area bakal gonad dengan sifat adesif dari spermatogonia yang mungkin masih dimiliki
seperti yang dimiliki oleh PGC. Selanjutnya terjadi interaksi ligan senyawa SDF-
1stromal cell-derived factor-1 atau senyawa kemokin CXCR12 yang dilepaskan oleh sel-sel somatik bakal gonad dengan reseptornya senyawa CXCR4b pada
spermatogonia sehingga spermatogonia terarahkan untuk bergerak masuk ke saluran bakal gonad genital ridge. Pada saat polaritas sel spermatogonia
hilang, SDF-1 juga menurun aktivitasnya maka sel akan berhenti pada organ target.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva ikan nila khususnya yang berumur 3 hpm cocok untuk dijadikan sebagai model resipien bagi kegiatan
transplantasi karena memiliki sintasan rata-rata dan efisiensi kolonisasi rata-rata yang tertinggi. Terdapat kecenderungan penurunan efisiensi kolonisasi selama
selang waktu umur larva nila 1 hingga 7 hpm. Efisiensi kolonisasi tertinggi pada perlakuan larva umur 3 hpm 61,10±34,71 dan semakin menurun pada umur 7
hpm 19,43±17,33. Penurunan ini diduga disebabkan oleh pergantian peran
lingkungan mikro niche gonad resipien dari proses migrasi ke proses proliferasi PGC endogen yang telah lebih dahulu masuk ke dalam gonad. Pada ikan nila,
proliferasi PGC endogen mulai berlangsung saat PGC mulai mencapai rongga genital yaitu pada umur larva 3 hpm dan pada saat itu sel-sel somatik sudah mulai
membungkus PGC Kobayashi et al. 2000. Selanjutnya sel akan mengalami proses perkembangan yang mana pada
larva jantan meliputi tahap memperbanyak atau memperbaharui diri self renewal, proliferasi, diferensiasi dan maturasi sedangkan pada betina tahap
perkembangan sel germinal meliputi tahap perbanyakan dan proliferasi, tahap previtellogenik, tahap vitellogenik dan maturasi pematangan Young et al.
2004. Secara umum, proses gametogenesis pada gonad dikontrol oleh mekanisme intrinsik yaitu faktor-faktor regulator transkripsi yang berperan dalam
perbanyakan diri, proliferasi dan diferensiasi, dan mekanisme ekstrinsik yaitu peran sel-sel somatik menghasilkan hormon-hormon yang dibutuhkan untuk
proses gametogenesis Zhou Griswold 2008. Pada penelitian ini, sel donor juga ditemukan pada ovari ikan nila.
Fenomena ini dapat saja terjadi karena dua faktor yaitu 1 sel testikular yang disuntikkan mengandung spermatogonia yang masih memiliki sifat sebagai sel
punca dan berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya sel ini masih memiliki kemampuan multipotensi untuk berdiferensiasi menjadi sel gamet jantan maupun
betina atau dikenal dengan istilah development plasticity Okutsu et al. 2006a, Takueci et al. 2009, Yoshizaki et al. 2010, 2 regulasi hormonal oleh
lingkungan mikro atau lingkungan somatik gonad resipien yang mengontrol proses perkembangan gonad pada ikan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa
kontrol hormonal oleh lingkungan somatik ini lebih banyak berperan terhadap proses diferensiasi kelamin sel germinal dibandingkan kontrol genetik sel
germinal tersebut Okutsu et al. 2006a, Takueci et al. 2009, Yoshizaki et al. 2010, Saito et al. 2011. Pada ikan nila betina, sel-sel somatik penghasil hormon steroid
lebih cepat terbentuk yaitu pada umur 5 hpm dan selanjutnya akan mengalami proliferasi sedangkan pada ikan nila jantan sel-sel penghasil steroid baru terlihat
pada umur 40 hpm Kobayashi 2010.
Kemampuan proliferasi sel donor pada resipien setelah umur 1 bulan pt menguatkan dugaan bahwa sel donor ikan gurami mampu berasosiasi dengan sel-
sel somatik endogen yang berperan dalam proses proliferasi Bab V. Sel-sel somatik pada membran tubulus berperan dalam mengsekresikan faktor-faktor
pertumbuhan growth factor yang dibutuhkan oleh sel germinal yang berasosiasi dengannya untuk berproliferasi Ohta et al. 2000, de Alvarenga Franca 2009.
Dari penelitian transplantasi sel germinal yang telah dilakukan dapat dipahami bahwa mekanisme yang terjadi ketika sel donor ditransplantasikan ke
rongga peritoneal resipien diawali dari tahap migrasi ke saluran bakal gonad, tahap inkorporasi dan penggabungan dengan sel-sel somatik gonad resipien yang
dikenal dengan istilah kolonisasi dan selanjutnya tahap gametogenesis yang meliputi perbanyakan diri secara mitosis, berproliferasi dan berdiferensiasi hingga
menjadi sel gamet yang fungsional. Semua mekanisme ini dikontrol oleh faktor intrinsik yang berasal dari mekanisme genetik sel spermatogonia itu sendiri dan
faktor ekstrinsik yang berasal dari lingkungan mikro niche sel spermatogonia termasuk di dalamnya hormon, faktor-faktor pertumbuhan, molekul matriks
ekstraseluler dengan mekanisme interaksi ligan dan reseptornya seperti yang terjadi pada sistem sel-sel lainnya Weidinger et al. 2002, Zhou Grisswold
2008, Oatley et al. 2009. Interaksi antara sel spermatogonia dengan sel-sel somatik akan menentukan keberhasilan xenotransplantasi Doitsidou et al. 2002,
Oatley et al. 2009. Kemampuan lingkungan somatik ikan nila mengarahkan sel spermatogonia
ikan gurami hingga terkolonisasi pada gonadnya dan berproliferasi merupakan salah satu bukti bahwa ikan nila dapat dijadikan sebagai kandidat induk pengganti
tidak hanya bagi ikan gurami tetapi mungkin juga bagi ikan-ikan teleostei lainnya. Penggunaan induk pengganti atau surrogate broodstock tidak hanya dibutuhkan
sebagai alternatif sistem budidaya ikan tetapi juga dapat digunakan sebagai alternatif sistem preservasi plasma nutfah ikan-ikan yang hampir punah. Hasil
transplantasi sel testikular dari gonad ikan gurami yang dipreservasi pada larutan fisiologis dan suhu 4
o
C Bab VI telah membuktikan bahwa lingkungan somatik ikan nila mampu mengarahkan sel donor dari testes pascapreservasi masuk dan
terkolonisasi pada gonad ikan nila.
Pada penelitian ini, tidak diamati kemampuan diferensiasi sel spermatogonia menjadi derivatnya hingga mengalami tahap pematangan menjadi
sel spermatozoa yang fungsional atau sel telur yang fungsional. Namun, dengan regulasi diferensiasi sel yang banyak dipengaruhi lingkungan mikro niche sel
pada resipien seperti yang telah dikemukakan oleh peneliti-peneliti sebelumnya dan didukung oleh karakteristik morfologi sel testikular ikan gurami dan ikan nila
yang tidak berbeda, maka sel spermatogonia ikan gurami diduga memiliki peluang untuk berdiferensiasi dan mengalami maturasi pada gonad ikan nila.
Ikan gurami memiliki tipe telur mengapung sedangkan ikan nila memiliki tipe telur tenggelam. Perbedaan morfologis kedua tipe telur ini merupakan salah
satu kendala yang perlu diperhatikan jika sistem pembenihan surrogate broodstock ini berhasil diaplikasikan pada budidaya ikan gurami. Salah satu
solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi perbedaan tipe telur ini adalah dengan melakukan pemijahan buatan. Saat ini pemijahan buatan pada ikan nila
telah berkembang dengan pesat. Rangkaian tahapan penelitian dari bab II hingga bab VI menunjukkan
bahwa sistem surrogate broodstock dengan aplikasi teknologi xenotransplantasi sel testikular yang mengandung spermatogonia memiliki peluang untuk
diaplikasikan pada sistem budidaya ikan gurami. Selain itu hasil penelitian yang diperoleh juga menunjukkan bahwa ikan nila dapat menjadi kandidat induk
pengganti surrogate broodstock dalam aplikasi teknologi xenotransplantasi sel germinal. Namun, untuk mendapatkan sel gamet ikan gurami dan ikan nila
sebagai induk pengganti, maka sel donor yang telah terkolonisasi harus mampu bergametogenesis secara sempurna menjadi sel gamet spermatozoa maupun sel
telur. Pada penelitian ini, kemampuan gametogenesis sel donor hingga menjadi spermatozoa maupun sel telur belum diuji. Untuk mendukung aplikasi
transplantasi sebagai alternatif metode pembenihan dibutuhkan beberapa penelitian lanjutan, yaitu melakukan upaya-upaya mempercepat proses
diferensiasi dan maturasi sel donor menjadi sel gamet spermatozoa dan sel telur yang fungsional dan menghilangkan sel endogen dari resipien di antaranya
melalui penggunaan resipien triploid sehingga diperoleh lingkungan mikro
maksimum untuk sel donor berkembang, dan menghasilkan sel gamet yang
fungsional. Upaya ini telah dilakukan pada xenotransplantasi spermatogonia ikan rainbow trout ke ikan salmon triploid Okutsu et al. 2007 dan
xenotransplantasi oogonia ikan zebra ke ikan pearl danio hybrid steril Wong et al. 2011 yang menghasilkan spermatozoa dan sel telur yang fungsional.
VIII. KESIMPULAN UMUM DAN SARAN