XENOTRANSPLANTASI SEL TESTIKULAR IKAN GURAMI PADA BERBAGAI UMUR LARVA IKAN NILA XENOTRANSPLANTATION OF GIANT GOURAMI TESTICULAR GERM CELLS INTO DIFFERENT AGE OF

IV. XENOTRANSPLANTASI SEL TESTIKULAR IKAN GURAMI PADA BERBAGAI UMUR LARVA IKAN NILA

ABSTRAK Xenotransplantasi sel testikular merupakan suatu metode untuk melestarikan dan mengembangkan plasma sel germinal dari ikan-ikan yang terancam punah dan untuk produksi induk pengganti bagi ikan-ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Pada penelitian ini, ikan gurami digunakan sebagai model donor dan ikan nila sebagai model resipien. Pengembangan xenotransplantasi sel testikular ini diawali dengan penentuan umur resipien yang optimum untuk kegiatan transplantasi sel germinal. Testis segar diisolasi dari ikan gurami ukuran 600 – 800 g, lalu dicacah dalam larutan disosiasi dan selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama 3 jam untuk mendapatkan suspensi sel testikular sebagai sumber donor. Sel donor dilabel dengan PKH 26 fluorescent dye sebelum ditransplantasikan ke dalam rongga peritoneal larva ikan nila umur 1, 3, 5 dan 7 hari pascamenetas hpm. Parameter yang diamati adalah sintasan larva ikan nila 24 jam pascatransplantasi pt dan efisiensi kolonisasi sel donor pada resipien umur 2 dan 3 bulan pt. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan larva rata- rata terendah adalah pada perlakuan umur larva 1 hpm 82,74±6,76 dan tertinggi pada larva 3 dan 5 hpm masing-masing 95,00±5,00 and 95,00±2,50. Efisiensi kolonisasi rata-rata tertinggi terdapat pada perlakuan umur transplantasi larva 3 hpm 61,1±34,71 dan terendah pada larva umur 7 hpm 19,43±17,33. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa larva ikan nila umur 3 hpm adalah resipien terbaik untuk xenotransplantasi sel testikular ikan gurami. Kata kunci: xenotransplantasi, sel germinal jantan, ikan gurami, ikan nila, efisiensi kolonisasi

IV. XENOTRANSPLANTATION OF GIANT GOURAMI TESTICULAR GERM CELLS INTO DIFFERENT AGE OF

NILE TILAPIA’S LARVAE ABSTRACT The recent study has been conducted to develop testicular germ cell transplantation as a tool for preservation and propagation of male germ-plasm from endangered fish species, as well as to produce surrogate broodstock of commercially valuable fish. Giant gourami testis had been used as a model for donor and Nile tilapia larvae as recipient. We developed testicular cell xenotransplantation by optimizing the timing of intraperitoneal cell transplantation to recipient larvae aged 1, 3, 5 and 7 days post hatching dph. Freshly isolated testis of giant gourami weighed 600 –800 g were minced in dissociation medium and then incubated for 3 hours in room temperature to collect monodisperce cell suspension. Donor cells labeled with PKH 26 were transplanted into the peritoneal cavity of Nile tilapia larvae using glass micropipettes. Parameters observed were survival rate of Nile tilapia larvae at 24 hours post transplantation pt and colonization efficiency of donor cells at 2 and 3 months pt. The incorporated donor cells were observed under fluorescent microscope. The result showed that the lowest survival rate at 24 hours pt was 1 dph larvae 82.74±6.76 and the highest survival rate were 3 and 5 dph larvae 95.00±5.00 and 95.00±2.50, respectively. The highest colonization efficiency was on 3 dph larvae 61.1±34.71 and the lowest colonization efficiency was on 7 dph larvae 19.43±17.33. In conclusion, 3 dph Nile tilapia larvae was the best recipient for giant gourami testicular germ cells xenotransplantation. Key words: xenotransplantation, testicular germ cell, giant gourami, Nile tilapia, colonization efficiency PENDAHULUAN Teknologi xenotransplantasi sel testikular yang mengandung spermatogonia pertama kali diaplikasikan pada ikan gurami Osphronemus goramy menggunakan resipien larva ikan nila Oreochromis niloticus. Pada penelitian xenotransplantasi ini digunakan ikan gurami sebagai model donor dan ikan nila sebagai model resipien, yang mana kedua jenis ikan ini berbeda pada tingkat ordo. Saat ini xenotransplantasi antar dua spesies ikan yang berbeda famili telah berhasil dilakukan. Spermatogonia ikan nibe famili Scianidae yang ditransplantasikan ke larva ikan chub mackerel famili Scombridae telah berhasil hingga tahap proliferasi sel spermatogonia ikan nibe pada gonad ikan chub mackerel Yazawa et al. 2010. Xenotransplantasi PGC ikan loach ke embrio ikan zebra fase blastoderm chimera bahkan mampu menghasilkan spermatozoa ikan loach yang fungsional tetapi belum mampu menghasilkan sel telur yang fungsional Saito et al. 2008. Sementara itu xenotransplantasi PGC ikan pearl danio ke ikan zebra, yang memiliki hubungan filogeni yang lebih dekat satu genus menghasilkan ikan kimera pearl danio-ikan zebra. Hibrid dari kimera dan ikan zebra normal menghasilkan individu yang normal namun sel gametnya tidak berkembang. Fenomena ini menunjukkan bahwa terdapat mekanisme dan faktor-faktor yang membatasi keberhasilan transplantasi antar dua spesies yang berbeda termasuk peran imunokompetensi dari resipien terhadap sel donor, hubungan filogenetik antar donor dan resipien, faktor intrinsik sel itu, dan peran sinyal ekstrinsik dalam proses pertumbuhan dan perkembangan sel donor pada resipien Saito et al. 2008. Faktor-faktor tersebut dilaporkan berbeda-beda antar spesies Dobrinski et al. 1999, Johnston et al. 2000. Ketersediaan resipien yang kompeten merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan kegiatan transplantasi sel germinal Honaramooz Yang 2011. Ikan nila telah sering dijadikan ikan model untuk penelitian biologi reproduksi, namun penggunaannya sebagai resipien dalam kegiatan transplantasi belum banyak dilaporkan. Selama ini hanya Lacerda et al. 2008 yang telah berhasil melakukan uji kompetensi ikan nila sebagai resipien untuk kegiatan transplantasi sel germinal ikan nila dan katak. Resipien yang digunakan adalah ikan nila dewasa yang saluran reproduksinya telah disterilkan dengan busulfan, suatu senyawa yang berfungsi untuk merusak sel endogenus Meskipun menghasilkan sel spermatozoa yang fungsional dan sel donor katak terkolonisasi pada gonad ikan nila namun metode ini tidak aman digunakan dalam kegiatan pembenihan karena busulfan bersifat karsinogenik bagi manusia. Beberapa penelitian transplantasi sel germinal telah menggunakan larva sebagai resipien dan hasilnya menunjukkan bahwa umur resipien juga berpengaruh terhadap keberhasilan kolonisasi Takeuchi et al. 2003, Takeuchi et al. 2009, Yazawa et al. 2010. Kemampuan lingkungan mikro somatik resipien mengarahkan sel donor ke rongga genital semakin berkurang dengan semakin berkembangnya gonad resipien atau dengan semakin bertambahnya umur resipien Okutsu et al. 2006a. Manning Nakanishi 1996 menyatakan interval umur resipien sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi efisiensi kolonisasi, karena umur larva berkaitan dengan perkembangan sistem imunodefisiensi. Sistem imun larva yang baru menetas belum berkembang sehingga antigen atau benda asing belum dapat terdeteksi. Pada tahap awal larva, organ limfomieloid limpa, timus dan darah sebagai organ pembentuk respons imun belum berkembang dengan sempurna. Umumnya respon imun pada tahap larva berasal dari transfer antibodi induk dalam bentuk maternal immunoglobulin yang terdapat pada kuning telur dan dalam limfosit beberapa jenis ikan Mulero et al. 2007. Pada ikan Tilapia mossambica, jaringan limfoid mulai terbentuk pada umur 5 hari pascamenetas Ali 1987 sehingga diduga pada umur tersebut respons imun mulai berkembang. Ijiri et al. 2008 menyatakan bahwa larva ikan nila umur 5 hingga 6 hari pascamenetas hpm adalah titik kritis bagi gonad untuk berdiferensiasi menjadi ovari atau testis. Hal ini menunjukkan bahwa gonad larva umur lebih dari 6 hari yang telah terdiferensiasi dapat menciptakan penghalang barrier bagi sel donor untuk terkolonisasi pada gonad yang telah terdiferensiasi. Menurut Takeuchi et al. 2009 epitel gonad yang telah terdiferensiasi dapat menghalangi inkorporasi sel spermatogonia A. Fenomena respons imun dan diferensiasi kelamin tersebut menunjukkan bahwa terdapat keterbatasan waktu yang pendek bagi sel donor untuk bermigrasi. Keterbatasan waktu tersebut dipengaruhi oleh tahap perkembangan larva. Oleh karena itu umur larva merupakan salah satu faktor yang perlu dikaji. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kemampuan kolonisasi sel donor ikan gurami pada berbagai umur larva ikan nila sebagai resipien. Untuk mendapatkan umur resipien yang optimum digunakan empat umur larva, yaitu 1, 3, 5 dan 7 hpm. Xenotransplantasi sel spermatogonia ikan gurami ke berbagai umur larva ikan nila diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kompetensi larva ikan nila sebagai resipien untuk xenotransplantasi dengan parameter yang diamati adalah sintasan larva pascatransplantasi dan kemampuan kolonisasi sel spermatogonia ke saluran gonad resipien. BAHAN DAN METODE Disosiasi Jaringan Testis Testis ikan gurami berbobot tubuh sekitar 600 –800 g didisosiasi untuk mendapatkan suspensi sel donor mengacu pada metode disosiasi yang optimum pada bab III. Setelah dicuci dengan PBS sebanyak 2x, suspensi sel dihitung jumlah spermatogonianya. Sel spermatogonia yang dihitung adalah yang berdiameter ≥15 µm yang ditentukan berdasarkan kriteria yang diperoleh pada penelitian pada bab III, dan jumlahnya dihitung menggunakan hemositometer di bawah mikroskop CX10 Olympus. Pewarnaan Sel Donor Visualisasi sel donor dilakukan dengan pewarnaan atau pelabelan menggunakan PKH 26 fluorescent membrane dye Sigma-Aldrich Inc., St. Louis, MO yang terpancar pada panjang gelombang 551 –567 nm. Dalam pelabelan ini digunakan 2 mikrotube 1,5 µ L mikrotube A dan mikrotube B. Mikrotube A berisi diluent C larutan iso-osmotik yang telah tersedia pada paket pewarna PKH 26 dan sel testikular, sedangkan mikrotube B berisi diluent C dan PKH 26, dengan perbandingan volume dari mikrotube A:B = 1:1. Formulasi yang digunakan adalah 1,5 µ L PKH 260,1 mL diluent C untuk jumlah sel sekitar 2x10 6 sel testikular. Untuk melarutkan sekitar 4x10 6 sel, maka volume diluents C yang digunakan adalah 0,2 mL mikrotube A dan PKH yang digunakan sebesar 3 µ L dilarutkan dalam 0,2 mL diluent C mikrotube B. Suspensi sel dalam mikrotube A selanjutnya dicampurkan ke dalam larutan PKH 26 di mikrotube B dan diinkubasi selama 5 menit dalam ruang tanpa cahaya. Aktivitas pelabelan selanjutnya dihentikan dengan penambahan medium L15 dan diinkubasi kembali selama 2 menit. Suspensi sel disentrifugasi pada 2000 rpm selama 10 menit, dicuci dengan medium L15 sebanyak 2 kali dan dibuat konsentrasi suspensi sel mencapai 20.000 sel per 0,5 µL medium L15. Penyiapan Resipien Ikan Nila Resipien yang digunakan adalah larva ikan nila putih berumur 1, 3, 5, dan 7 hpm. Morfologi larva pada berbagai umur dapat dilihat pada Lampiran 4. Telur ikan nila yang telah dibuahi diperoleh dari pemijahan massal induk nila putih di BBPBAT Sukabumi. Telur ikan nila ditetaskan di atas saringan halus yang ditempatkan di dalam akuarium pada suhu air 28 o C. Transplantasi Sel Testikular ke Larva Ikan Nila Tahap transplantasi sel donor diawali dengan persiapan mikroinjeksi yang meliputi persiapan jarum dan mikroinjektor serta menyedot sel ke jarum. Jarum transplantasi disiapkan dengan cara membagi dua glass capillary GD-1, Narishige menggunakan alat electric puller PC-10, Narishige. Ujung jarum diasah dengan menggunakan mesin gurindam EG-400, Narishige hingga mencapai bukaan lubang jarum 60 µm. Jarum selanjutnya dipasang pada alat mikroinjektor. Alat mikroinjektor terdiri atas mikroinjektor yang tersambung ke mikroskop Olympus SZX 16. Volume sel yang disuntikkan sebanyak 0,5 µ L dengan jumlah sel testikular sekitar 20.000 sel. Larva dibius dengan fenoksietanol 0,03-0,05 sebelum diinjeksi. Cawan agar yang berisi agarosa 2 dikeluarkan dari refrigerator dan didiamkan selama beberapa menit hingga gel tidak terlalu dingin. Setelah larva pingsan, larva diletakkan di atas cawan agar. Sel diinjeksikan secara intraperitoneal i.p berdasarkan metode Takeuchi et al. 2003. Larva ikan nila hasil injeksi dan yang tidak disuntik kontrol dipelihara dalam akuarium 60x60x60 cm 3 hingga siap dianalisis. Penelitian transplantasi ini diulang sebanyak 3 kali pada setiap umur resipien dengan jumlah larva yang disuntik sebanyak 20 hingga 40 ekor per perlakuan per ulangan. Analisis Kolonisasi Sel Donor Analisis kolonisasi sel donor pada gonad ikan nila menggunakan dua metode, yaitu 1 identifikasi sel germinal ikan gurami yang membawa PKH 26 fluoroscent membrane dye pada gonad ikan nila pascatransplantasi pt, dan 2 menggunakan marka molekular spesifik gen hormon pertumbuhan growth hormone, disingkat GH ikan gurami dengan desain primer dan program PCR merujuk pada Achmad 2009. Analisis kolonisasi melalui pengamatan sel donor pada gonad resipien di bawah mikroskop fluoresens Nikon Ellips E600 menggunakan 4 ekor resipien ikan nila umur sekitar 2 bulan pt dari setiap perlakuan umur transplantasi sekitar 10 dari jumlah resipien yang ditransplantasi. Sebagai kontrol digunakan ikan nila yang tidak ditransplantasi. Sedangkan untuk analisis kolonisasi menggunakan marka molekular GH ikan gurami hanya dilakukan pada kelompok resipien dengan sintasan dan efisiensi kolonisasi tertinggi. Sebanyak 15 ekor resipien ikan nila 2 bulan pt diisolasi gonadnya dan diekstraksi DNA menggunakan kit dari Puregene Gentra, Minneapolis, USA. Sampel dimasukkan ke dalam 200 L cell lysis solution yang berisi 1, 5 L Proteinase K 20 mgmL. Sampel diinkubasi pada suhu 55 °C selama semalam. Setelah sel terlisis sempurna, ditambahkan 1, 5 L RNase 4 mgmL dan diinkubasi pada 37 o C selama 60 menit. Kemudian ke dalam tabung sampel ditambahkan 10 0 L protein precipitation solution Gentra, Minneapolis, USA, disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam mikrotub yang berisikan 300 L isopropanol. Selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang, kemudian ditambahkan 300 L etanol 70 dingin ke dalam mikrotub berisi pelet DNA. Sampel disentrifugasi kembali dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang, pelet DNA dikeringudarakan dan ditambahkan 2 0 L sterille destillated water SDW. Pereaksi PCR dibuat berdasarkan jumlah sampel yang akan diamplifikasi. Volume total pereaksi PCR adalah 10 µ L untuk setiap sampel yang terdiri atas 4 µ L SDW, 1 µ L masing-masing primer forward dan reverse, 1 µ L dNTPs mix, 1 µ L LA Taq buffer, 1 µ L MgCl 2 , 0,05 µ L LA Taq polimerase Takara Bio, Shiga, Japan, 1 µ L DNA cetakan. Primer yang digunakan adalah GH ikan gurami dan β-aktin ikan nila. Suhu annealing dan lama waktu ekstensi untuk primer GH dan β-aktin masing-masing adalah 58 o C dan 45 detik untuk primer GH serta 61 o C dan 30 detik untuk primer β-aktin. Sedangkan, suhu predenaturasi, denaturasi. dan ekstensi akhir sama untuk kedua primer yaitu masing-masing 94 o C selama 3 menit, 94 o C selama 30 detik, dan 72 o C selama 3 menit dengan siklus amplifikasi sebanyak 35 siklus. Hasil amplifikasi selanjutnya divisualisasikan dengan elektroforesis menggunakan gel agarosa 1 dengan volume DNA sebesar 7 µ L dan loading dye 10x loading buffer, Takara bio, Japan sebesar 3 µL. Hasil PCR diseparasi dengan elektroforesis menggunakan gel agarosa 1 . Tingkat keberhasilan kolonisasi diamati dari efisiensi kolonisasi yaitu persentase rasio antara jumlah resipien yang pada gonadnya terdapat spermatogonia gurami+PKH26 dan total jumlah resipien yang diperiksa. Analisis Data Data resipien yang membawa sel donor disajikan secara deskriptif, sedangkan data kuantitatif berupa sintasan larva ikan nila pascatransplantasi dan efisiensi kolonisasi sel donor pada gonad resipien disajikan dalam bentuk nilai tengah dan diuji secara statistik menggunakan ANOVA analysis of variance. Uji Duncan multiple range test dilakukan bilamana terdapat beda nyata antar perlakuan. Analisis menggunakan program SPSS 17.0 for windows dan MS Office Excell 2007. HASIL DAN PEMBAHASAN Pewarnaan Sel Spermatogonia Ikan Gurami dengan PKH26 Pada dekade terakhir, teknik pewarnaan atau pelabelan sel untuk mendeteksi keberadaan sel semakin berkembang dengan semakin bertambahnya penelitian transplantasi sel pada hewan vertebrata khususnya kelas Pisces. Penggunaan PKH 26 fluorescent membrane dye telah banyak digunakan untuk mewarnai sel germinal beberapa ikan dari subklas teleostei Lacerda et al. 2008, Takeuchi et al. 2009, Yazawa et al. 2010. Testis yang digunakan sebagai sumber donor dalam penelitian ini diisolasi dari ikan gurami dengan kisaran bobot tubuh 600-800 g per ekor dengan kisaran indeks gonad somatik adalah 10,8x10-5 –16,3x10-5. Jumlah sel yang disuntikkan sekitar 20.000 sel dengan komposisi rata- rata spermatogonia ø ≥15 µm berkisar 7 –15. Dengan volume 3 µL PKH 26 dalam 0,2 mL diluent C, PKH 26 mampu mewarnai atau melabel sel testikular ikan gurami sebanyak 91,93±2,90, dan khusus sel spermatogonia sebanyak 69,44±24,53 Gambar 6 dan Lampiran 5. Dibandingkan dengan kemampuan PKH 26 mewarnai sel testikular ikan nibe yang mencapai 96,4±1,2 dan mewarnai spermatogonia sebesar 92,3 ±1,4, maka pewarnaan sel testikular ikan gurami menggunakan PKH 26 dapat dikatakan efektif karena 90 sel terwarnai oleh PKH 26. Lensa tanpa fluoresens Lensa fluoresens Gambar 6 Pewarnaan suspensi sel testikular ikan gurami dengan PKH 26 fluorescent membrane dye. A –D. Suspensi sel setelah pewarnaan. E –F. Suspensi sel sebelum pewarnaan dengan. Tanda panah hitam dan putih adalah spermatogonia yang terwarnai PKH 26, panah merah adalah spermatogonia yang tidak terwarnai PKH 26. Sel dalam lingkaran adalah spermatogonia A. Skala 50 µm. Sintasan Larva Ikan Nila Pascatransplantasi Sintasan larva ikan nila setelah transplantasi secara intraperitoneal i.p dapat dilihat pada Gambar 7 dan Lampiran 6. Sintasan rata-rata terendah pada 24 jam pt dapat terlihat pada perlakuan larva ikan nila umur 1 hpm yaitu 82,73±6,74 dan berbeda nyata dengan larva umur 3,5,7 hari hpm dan larva transplantasi P0,05. Sintasan rata-rata larva ikan nila yang berumur 3, 5, dan 7 hpm pada 24 jam pt tidak berbeda nyata dengan kontrol P0.05 yaitu 95,00±5,00, 95,00±2,50 dan 94,17±5,20 P0.05. Sedangkan pada pengamatan 2 bulan pt tidak terlihat perbedaan nyata antar perlakuan umur suntik larva. Larva yang masih muda memiliki daya tahan tubuh lemah dan rentan terhadap gangguan fisik dari luar yang dalam hal ini adalah proses injeksi. Namun, dengan teknik penyuntikan yang tepat maka efek penyuntikan terhadap kematian larva dapat dikurangi. Gambar 7 Sintasan resipien ikan nila perlakuan umur 1, 3, 5, 7 hari pascamenetas dan tanpa transplantasi kontrol pada 24 jam dan 2 bulan pascatransplantasi. Keterangan gambar : larva 1 hari pasca menetas hpm , 3 hpm , 5 hpm , 7 hpm , kontrol . Dalam melakukan transplantasi sel germinal ke resipien berupa larva, terdapat beberapa faktor teknis yang perlu diperhatikan diantaranya adalah teknik dalam mempersiapkan jarum mikroinjeksi. Sudut bukaan lubang jarum atau keruncingan dan kelenturan bahan jarum berperan dalam proses penetrasi jarum ke jaringan target Costa 2010. Pada penelitian ini jarum yang digunakan adalah glass capillary needle Narishige dengan sudut bukaan jarum 30 –35 o . Faktor teknis kedua yang dapat mengurangi tingkat kematian pada larva adalah mengurangi motilitas larva pada saat penyuntikan berlangsung. Untuk mengurangi motilitas larva, beberapa macam teknik dilakukan oleh para peneliti di antaranya adalah menyuntik larva di atas cawan yang berisi gel agarosa yang telah didinginkan pada suhu 4 o C selama 10 menit Costa 2010. Takeuchi et al. 2009 melarutkan 0,1 bovine serum albumin BSA dalam larutan anastesi atau dalam medium penyimpanan larva pascapenyuntikan dan hasilnya ternyata cenderung meningkatkan sintasan larva meskipun tidak berbeda nyata dengan yang tanpa pemberian BSA. Pada penelitian ini, upaya untuk mengurangi motilitas larva ikan nila adalah dengan cara merendam larva dalam larutan anastesi fenoksietanol dengan konsentrasi 0,03 –0,05 untuk larva umur 3, 5 dan 7 hpm sehingga proses penyuntikan tidak terganggu oleh gerakan larva. Sedangkan larva yang baru menetas, pergerakan larva rendah sehingga tidak perlu direndam dalam larutan fenoksietanol, melainkan hanya diletakkan di atas cawan petri berisi gel agarosa yang agak dingin dan diupayakan tidak terendam air. Dengan teknik ini tingkat mortalitas larva ikan nila yang diakibatkan oleh mikroinjeksi tergolong relatif kecil. Faktor teknis lain yang perlu diperhatikan adalah penyuntikan yang tepat pada sasarannya. Penyuntikan yang tidak tepat sasaran akan menyebabkan organ atau jaringan tertentu mengalami kerusakan. Di dalam rongga peritoneal larva terdapat banyak organ-organ abdomen vital seperti saluran pencernaan dan pembuluh darah sehingga penyuntikan yang tidak tepat akan berpeluang merusak organ-organ vital lainnya Costa 2010. Ukuran larva juga berpengaruh pada proses penyuntikan. Pertumbuhan larva akan menyebabkan organ-organ yang terdapat dalam rongga tubuh juga semakin besar hingga memenuhi rongga peritoneal. Fujimura Okada 2007 menggambarkan bahwa pada larva ikan nila Oreochromis niloticus 7 hari pascafertilisasi hpf, massa kuning telur akan mulai menutupi saluran pencernaan. Pada 8 –9 hpf atau 4–6 hpm, berbagai pigmen iriodhopore ditemukan pada permukaan tubuh yang menutupi saluran pencernaan, sehingga rongga peritoneal tidak dapat terlihat dengan jelas. Kondisi ini juga dapat menyebabkan penyuntikan menjadi salah sasaran. Sebaliknya ukuran resipien larva yang terlalu kecil juga berpengaruh terhadap mortalitas larva setelah penyuntikan seperti pada ikan nibe yang mortalitasnya dapat mencapai 40 Takeuchi et al. 2009. Rongga peritoneal yang terlalu kecil akan menyulitkan proses injeksi sel ke dalam rongga tersebut. Teknik yang digunakan pada penelitian ini adalah intraperitoneal yang berarti sel disuntikkan tepat ke dalam rongga peritoneal atau rongga tubuh seperti digambarkan oleh Takeuchi et al. 2003 pada ikan rainbow trout. Seperti umumnya ikan teleostei, gonad ikan rainbow trout maupun gonad ikan nila berkembang dari satu bakal gonad yang terdapat pada dinding peritoneal. PGC endogen akan bergerak ke rongga genital tersebut melalui dinding peritoneal. Oleh karena itu dengan penyuntikan sel germinal ikan gurami secara i.p diharapkan dapat meningkatkan peluang migrasi sel donor bersama-sama dengan PGC endogen ke rongga genital. Kolonisasi Sel Donor Ikan Gurami pada Gonad Resipien Ikan Nila Hasil identifikasi sel donor dari ikan gurami pada gonad resipien ikan nila berumur sekitar 2 bulan pt menunjukkan bahwa efisiensi kolonisasi rata-rata pada umur resipien 1, 3, 5,dan 7 hpm tidak berbeda nyata P0,05 namun cenderung mengalami penurunan. Efisiensi kolonisasi rata-rata pada resipien tertinggi terdapat pada perlakuan larva umur 3 hpm 61,10±34,71, sedangkan terendah pada perlakuan larva umur 7 hpm 19,43±17,33 Gambar 8. Kemampuan sel donor terkolonisasi pada resipien diduga mulai mengalami penurunan pada resipien umur 7 hpm. Dugaan ini didasari oleh adanya satu perlakuan transplantasi sel dari kelompok umur suntik 7 hpm yang efisiensi kolonisasinya 0,00 atau dengan kata lain tidak terjadi kolonisasi sel donor pada gonad resipien Lampiran 7. Rendahnya efisiensi kolonisasi rata-rata pada perlakuan 7 hpm tersebut diduga disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah faktor yang terkait dengan teknik transplantasi. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa kondisi larva dapat menyebabkan penyuntikan menjadi salah sasaran. Fujimura Okada 2007 menyatakan bahwa larva ikan nila umur 4 –6 hpm telah mengalami proses pigmentasi permukaan tubuh. Larva ikan nila umur 7 hpm juga telah mengalami proses pigmentasi khususnya pada permukaan tubuh yang menutupi saluran pencernaan sehingga suspensi sel yang disuntikkan berpeluang untuk tidak tepat sasaran. Profil larva 7 hpm dapat dilihat pada Lampiran 4. Gambar 8 Efisiensi kolonisasi sel spermatogonia ikan gurami pada resipien ikan nila perlakuan umur transplantasi 1, 3, 5 ,7 hari pascamenetas hpm. Faktor kedua yang dapat menyebabkan penurunan efisiensi kolonisasi adalah terkait dengan peran sinyal kemotaktik kemoaktraktan yang diproduksi oleh lingkungan mikro rongga genital resipien yang berperan dalam proses migrasi sel donor ke bakal gonad resipien. Peran kemoatraktan ini dapat terlihat pada beberapa penelitian transplantasi sel testikular pada ikan secara i.p. Kemoatraktan tersebut cenderung menghilang dengan semakin bertambahnya umur ataupun ukuran tubuh resipien. Pada transplantasi allogenik PGC ikan rainbow trout, kemoatraktan resipien menghilang pada umur 45 hpm sehingga pada umur tersebut tidak terjadi lagi kolonisasi sel donor pada rongga genital resipien Takeuchi et al. 2003. Transplantasi allogenik ikan nibe menghasilkan kolonisasi sel donor tidak terjadi lagi pada saat resipien mencapai ukuran 6 mm Takeuchi et al. 2009. Demikian halnya transplantasi xenogenik ikan nibe donor dan ikan mackerel resipien menunjukkan terjadinya penurunan efisiensi kolonisasi pada saat ukuran ikan mackerel telah mencapai 6,9 mm Yazawa et al. 2010. Untuk resipien ikan nila, hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa senyawa kemoatraktan yang berperan dalam proses migrasi sel PGC ke rongga genital masih berfungsi hingga larva berumur 7 hpm walapun terlihat adanya kecenderungan menurun. Selain peran kemoatraktan pada rongga genital resipien, faktor ketiga yang dapat menyebabkan rendahnya efisiensi kolonisasi adalah rongga genital resipien yang tidak dapat lagi menampung sel donor akibat adanya proses proliferasi dari PGC endogen. Menurut Kobayashi et al. 2000 PGC ikan nila mulai mencapai rongga genital pada umur larva 3 hpm dan pada saat itu sel-sel somatik sudah mulai membungkus PGC dan proses proliferasi pun mulai berlangsung. Proses proliferasi PGC ini ditunjang oleh lingkungan mikro somatik dari rongga genital. Semakin cepat PGC berproliferasi maka kebutuhan terhadap sel-sel somatik yang berperan dalam proses proliferasi juga semakin besar. Schulz et al. 2005 menyatakan bahwa proliferasi sel germinal berkorelasi positif dengan proliferasi sel-sel sertoli. Oleh karena itu seperti yang dikemukakan oleh Takeuchi et al. 2009, niche atau lingkungan mikro sel germinal yang terdapat di rongga genital resipien yang berperan dalam proses proliferasi PGC endogen juga akan memperkecil peluang sel eksogen atau sel donor terkolonisasi pada rongga genital resipien. Menurut Ijiri et al. 2008 larva ikan nila berumur 5 –6 hpm merupakan titik kritis atau titik awal bagi terjadinya diferensiasi gonad menjadi betina maupun jantan. Sedangkan Takeuchi et al. 2009 menyatakan bahwa salah satu penyebab sel donor tidak terkolonisasi karena adanya proses penolakan epitel gonad resipien yang sedang berkembang. Jika gonad resipien telah terdiferensiasi menjadi betina maka sel spermatogonia yang disuntikkan pada larva ikan nila berumur 5 hpm atau lebih akan berpeluang untuk ditolak oleh epitel gonad terdiferensiasi yang sedang berkembang. Oleh karena itu, meskipun tidak terdapat perbedaan nyata antara efisiensi kolonisasi resipien ikan nila perlakuan umur transplantasi 1, 3, 5 dan 7 hpm namun penggunaan larva ikan nila berumur 5 hpm atau lebih dapat memperkecil peluang sel donor terkolonisasi pada resipien. Pada penelitian ini, tidak teramati adanya kecenderungan perbedaan distribusi sel spermatogonia pada gonad terhadap umur transplantasi resipien yang berbeda Gambar 9. Gambar 9 Kolonisasi sel donor ikan gurami pada gonad resipien ikan nila pascatransplantasi pt dengan posisi kepala di sebelah kiri posterior dan ekor di sebelah kanan anterior. A. Sel donor kepala panah di bagian tengah gonad resipien 45 hari pt perlakuan larva 1 hari pascamenetashpm; B. Sel donor di bagian posterior dekat kepala dari gonad resipien 72 hari pt perlakuan larva 3 hpm; C. Sel donor di bagian tengah di tepi pembuluh darah gonad, panah kuning dari gonad resipien 72 hari pt perlakuan larva 5 hpm; D. Sel donor di bagian tengah dari gonad resipien 45 hari pt perlakuan larva 7 hpm, sebagian spermatogonia berada di bagian luar gonad panah putih; E-F. Gonad ikan nila yang tidak ditransplantasi : tidak ada pendaran PKH 26. Sel testikular dengan pendaran fluoresens merah umumnya terdapat di bagian posterior hingga bagian tengah gonad 45 hari pt pada semua umur resipien. Hasil pengamatan pada 2 ekor resipien perlakuan umur larva 7 hpm, di sekitar gonadnya menempel beberapa sel yang berpendar yang memiliki bentuk bulat dan berukuran sama besar dengan spermatogonia Gambar 9D. Sel-sel tersebut diduga merupakan spermatogonia yang tidak dapat bermigrasi ke rongga genital. Keberhasilan kolonisasi sel donor ikan gurami pada gonad ikan nila juga dibuktikan melalui metode PCR menggunakan marker GH ikan gurami. Pada analisis kolonisasi melalui pengamatan sel donor yang dilabel pewarna fluoresens PKH 26 tidak terdapat perbedaan efisiensi kolonisasi secara nyata antar perlakuan umur larva. Pada penelitian ini digunakan sampel ekstraksi DNA gonad resipien dari dua perlakuan umur resipien yaitu 3 dan 5 hpm yang diduga merupakan resipien yang optimum untuk transplantasi berdasarkan tingkat kelangsungan hidup atau sintasan pascatransplantasi dan efisiensi kolonisasi tertinggi. Dari masing-masing 15 sampel gonad yang dianalisis sebanyak 26,7 sumur c, d, f, g sampel gonad resipien ikan nila perlakuan 3 hpm, dan 16,7 sumur h, j sampel gonad resipien ikan nila perlakuan 5 hpm yang teridentifikasi membawa DNA ikan gurami Gambar 10. Gambar 10 Elektroforegram DNA produk PCR dari gonad resipien ikan nila 2 bulan pascatransplantasi menggunakan marka molekuler spesifik GH ikan gurami dan primer β-aktin ikan nila sebagai kontrol internal. Ket : a-g:sampel DNA nila transplantasi perlakuan 3 hari pascamenetas hpm, h-k:sampel DNA nila transplantasi 5 hpm, M: marker DNA; G: DNA ikan gurami, N: DNA ikan nila,-: kontrol negatif bahan PCR. Efisiensi kolonisasi menggunakan metode marka molekuler lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan metode pengamatan marker fluoresens PKH 26. Hal ini diduga karena jumlah sel donor yang terkolonisasi pada beberapa gonad resipien relatif sedikit. Hasil uji sensitivitas marka molekuler GH GH gurami 340 bp β -aktin nila 150 bp 500 bp 200 bp menunjukkan bahwa GH dapat mendeteksi 1 sel ikan gurami dalam 10 4 sel ikan nila Ahmad 2009. Sensitivitas marka molekuler GH diduga menjadi penyebab sulitnya sel donor terdeteksi selama proses PCR. Menurut Kuske et al. 1998, jumlah DNA template yang sedikit adalah salah satu faktor yang mempengaruhi sensitivitas PCR dalam mendeteksi DNA target. Kolonisasi Sel Donor Spermatogonia Ikan Gurami pada Ovari Ikan Nila Hasil pengamatan dari 48 ekor jumlah sampel yang diperiksa, diperoleh 29 ekor yang berkelamin jantan dan 19 ekor berkelamin betina rasio kelamin = 3 : 2. Sebanyak 44,90 dari 49 ekor resipien membawa sel yang terwarnai PKH 26 dengan komposisi jantan dan betina masing-masing 50 dan 50 atau dengan kata lain rasio kelamin jantan dan betina yang membawa sel donor adalah 1:1. Hal ini menunjukkan bahwa sel spermatogonia ikan gurami yang diisolasi dari gonad dewasa juga mampu terkolonisasi ke dalam jaringan gonad resipien betina Gambar 11. Banyaknya jumlah ikan nila betina yang ditemukan membawa sel donor menunjukkan bahwa sel testikular dalam penelitian ini tidak menyebabkan proses maskulinisasi pada resipien. Yoshizaki et al. 2010 menyatakan bahwa diferensiasi kelamin lebih banyak dipengaruhi oleh sel-sel somatik pada jaringan gonad dibandingkan kontrol dari sel eksogen itu sendiri. Menurut Yamamoto 1983 mekanisme yang sangat berperan dalam proses diferensiasi kelamin pada ikan adalah kontrol dari regulasi hormon steroid yang terdiri atas hormon androgen untuk maskulinisasi, estrogen untuk feminisasi dan progesteron yang berhubungan dengan proses maturasi. Hormon-hormon tersebut disekresikan oleh jaringan steroidogenik yang terdiri atas sel-sel granulosa dan sel-sel theca pada ovari serta sel-sel Leydig dan sel-sel sertoli pada testis di bawah pengaruh hormon gonadotropin di pituitari. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa sel spermatogonia pada ikan rainbow trout dan ikan nibe memiliki kemampuan development plasticity yaitu kemampuan untuk berkembang menjadi sel spermatosit dan derivatnya maupun menjadi sel oosit dan derivatnya Okutsu et al. 2006a, Takeuchi et al. 2009. Kemampuan multipotensi ini umumnya dimiliki oleh sel punca dan penelitian ini membuktikan bahwa pada sel testikular ikan gurami yang ditransplantasikan masih terdapat sifat-sifat yang menyerupai sel punca yang selanjutnya diidentifikasi sebagai spermatogonia belum terdiferensiasi atau SpA. Lensa fluoresens Tanpa lensa fluoresens Gambar 11 Ovari resipien ikan nila. A. Tanpa transplantasi, B. Perlakuan umur transplantasi 1 hari pascamenetas hpm, C. Perlakuan umur transplantasi 3 hpm, D. Perlakuan umur transplantasi 5 hpm, E. Perlakuan umur transplantasi 7 hpm. Kepala panah adalah sel donor yang terkolonisasi. Skala = 100 µm. Proliferasi Sel Donor pada Gonad Resipien Dari hasil kolonisasi sel donor dengan pengamatan fluoresens, terdapat beberapa gonad yang menunjukkan adanya indikasi proliferasi sel donor pada gonad. Indikasi pertama adalah beberapa gonad ditemukan membawa sel donor dalam bentuk kumpulan sel. Takeuchi et al. 2003 menggambarkan salah satu indikasi terjadinya proliferasi adalah sel donor yang terkolonisasi membentuk kumpulan sel cluster pada jaringan gonad resipien Gambar 12. Gambar 12B menunjukkan gonad resipien betina dengan kumpulan sel-sel yang terkolonisasi dengan diameter yang hampir sama besar. Pada resipien jantan, kumpulan sel donor yang terkolonisasi lebih sulit diamati morfologinya di bawah mikroskop fluoresens yang digunakan Gambar 12A. Lensa fluoresens Lensa tanpa fluoresens Gambar 12 Kumpulan sel donor ikan gurami yang terkolonisasi kepala panah pada testis A dan ovari B resipien ikan nila pascatransplantasi. Skala : 50µm. Indikasi adanya proliferasi sel donor yang terkolonisasi pada gonad resipien juga terlihat pada Gambar 13. Kedua gonad ini berasal dari perlakuan umur transplantasi yang sama dan jumlah sel yang disuntikkan sama. Kedua gonad dari resipien yang berbeda yang diisolasi dalam selang waktu 23 hari tersebut C D terlihat memiliki perbedaan jumlah sel yang terwarnai PKH 26 sangat nyata. Selain itu intensitas cahaya fluoresens yang dipancarkan oleh sel yang terwarnai PKH 26 pun terlihat berbeda pada kedua gonad tersebut yang mana pada gonad yang berumur 72 hari dengan jumlah sel yang lebih sedikit, intensitas warna sel- selnya lebih terang dibandingkan dengan intensitas warna yang dipancarkan oleh sel-sel pada gonad yang diisolasi pada umur 95 hari pada perlakuan yang sama. Menurut Wallace et al. 2008 intensitas warna label pada sel dapat menggambarkan banyaknya generasi pembelahan menggunakan metode flow cytometry. Perbedaan intensitas warna PKH 26 pada kedua gonad tersebut menunjukkan kemungkinan telah terjadi proses pembelahan sel proliferasi sel. Menurut Kobayashi et al. 2000, oogenesis pada ikan nila mulai berlangsung pada umur 20-25 hpm dan pada umur 35 hpm tahap pembelahan meiosis sudah terlihat Kobayashi et al. 2010. Kumpulan sel donor pada Gambar 13 menunjukkan bahwa sel donor spermatogonia telah berproliferasi dengan cepat dalam selang waktu 23 hari karena hampir semua bagian gonad terisi oleh sel donor dan diduga telah terjadi proses perkembangan diferensiasi ditandai oleh sebagian besar ukuran sel yang berpendar melebihi ukuran spermatogonia. Berbeda halnya dengan ikan nila jantan, proses spermatogenesis terjadi setelah ikan nila berumur 50 hpm Kobayashi 2010. Pada penelitian ini, beberapa gonad resipien yang diamati juga menunjukkan adanya kemungkinan proliferasi sel spermatogonia ikan gurami yang ditandai dengan terdapatnya sel- sel donor yang membentuk kumpulan sel baik pada resipien jantan berumur sekitar 2 bulan maupun yang berumur sekitar 3 bulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sel spermatogonia ikan gurami kemungkinan telah mengalami proses spermatogenesis pada umur sekitar 2 bulan. Meskipun belum ada informasi bagaimana spermatogenesis berlangsung pada ikan gurami, namun indikasi proliferasi sel spermatogonia pada ikan nila menunjukkan bahwa proses proliferasi sel spermatogonia kemungkinan tidak banyak dipengaruhi oleh mekanisme intrinsik yang berasal dari sel germinal itu sendiri melainkan didominasi oleh peran lingkungan mikro sel germinal yaitu peran sel-sel somatik pada gonad resipien. Gambar 13 Gonad resipien ikan nila umur transplantasi 3 hari pascamenetas. A. Resipien betina 72 hari pascatransplantasi pt. B. Resipien betina 95 hari pt. C,D insersi. Pembesaran dari kotak. Kepala panah menunjukkan kumpulan sel dengan ukuran yang sama, indikasi terjadinya proliferasi. Skala= 100 µm. Nagahama 1994 menggambarkan proses gametogenesis pada ikan dikontrol oleh regulasi hormon gonadotropin yang disekresikan oleh kelenjar pituitari. Pada ovari, hormon gonadotropin akan merangsang sel theca memproduksi substrat androgen testosteron. Testosteron berdifusi ke sel-sel granulosa dan melalui aktivitas aromatase, testosterone dikonversi menjadi estradiol 17- β estrogen. Hormon estradiol ini kemudian merangsang sintesis vitellogenin di hati untuk pembentukan kuning telur. Untuk proses pematangan oosit dikatakan bahwa selain kontrol gonadotropin, terdapat pula peran kontrol maturation-inducing hormone MIH dan maturation-promoting hormone MPF. Sedangkan pada testis, hormon gonadotropin berfungsi merangsang sel Leydig memproduksi 11-ketotestosterone yang selanjutnya mengaktivasi sel sertoli untuk memproduksi aktivin B. Aktivin B inilah yang selanjutnya menginduksi proses mitosis sel spermatogonia. Untuk proses pematangan menjadi spermatozoa diperankan oleh hormon 17α-hydroxyprogesterone pada sel- D sel somatik di bawah kontrol hormon gonadotropin Nagahama 1994. Beberapa hormon lain yang berperan dalam proses proliferasi dan diferensiasi oogonia dan spermatogonia yaitu E 2 d an 17,20 β-P Young et al. 2004. Sel spermatogonia ikan gurami diharapkan dapat berdiferensiasi menjadi sel sperma pada jantan dan sel telur pada betina, namun sejauh mana keberhasilan diferensiasi tersebut berlangsung juga sangat didukung oleh peran sel-sel somatik ikan nila selama proses perkembangan sel germinal. Diferensiasi sel germinal donor pada resipien yang jauh hubungan filogeninya membutuhkan hubungan kerjasama yang tepat antara sel germinal donor dan sel somatik resipien seperti misalnya sinyal-sinyal yang berperan dalam proses transfer material pembentuk telur Saito et al. 2008. Penelitian ini tidak akan melihat kemampuan sel donor spermatogonia ikan gurami berdiferensiasi pada gonad resipien hingga menghasilkan sel spermatozoa atau sel telur. Namun demikian hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sel spermatogonia ikan gurami mampu bermigrasi, terkolonisasi dan kemungkinan berproliferasi merupakan awal dari berlangsungnya spermatogenesis dan merupakan peluang bagi keberhasilan aplikasi teknologi xenotransplantasi sel testikular ikan gurami kepada ikan nila. KESIMPULAN 1. Umur resipien larva ikan nila yang optimum untuk transplantasi adalah 3 hari pascamenetas. 2. Sel spermatogonia ikan gurami dapat terkolonisasi dan terdiferensiasi menjadi sel oogonia pada gonad ikan nila betina. 3. Kumpulan sel donor ikan gurami pada gonad resipien ikan nila mengindikasikan terjadinya proliferasi sel donor.

V. ANALISIS PROLIFERASI SEL SPERMATOGONIA IKAN GURAMI PADA GONAD IKAN NILA