Perumusan Masalah Analisis model jackson pada sedimen berpasir menggunakan metode hidroakustik di gugusan pulau Pari, kepulauan Seribu

1.2 Perumusan Masalah

Hingga saat ini metode untuk mempelajari kaitan antara sifat-sifat geoakustik dan sifat-sifat dari dasar laut terus dikembangkan. Sebelum metode hidroakustik digunakan secara luas, pendugaan sifat fisik dasar perairan lebih banyak dilakukan dengan menggunakan metode coring atau diambil langsung oleh penyelam disertai foto bawah air. Banyaknya sampel melalui coring yang harus diambil membuat metode ini menjadi tidak efektif dan efesien karena kajian dalam skala spasial yang luas akan membutuhkan banyak waktu dan biaya yang dikeluarkan Siwabessy et al. 1999; Kim et al. 2004; Bentrem et al. 2006. Memahami sifat sinyal akustik dari dasar perairan adalah sesuatu hal yang rumit untuk dilakukan. Variasi yang begitu besar dari parameter fisik sedimen membutuhkan beragam pemodelan yang rumit pula untuk menerjemahkan proses yang terjadi Tolsma et al. 2001. Parameter seperti ukuran butiran sedimen, relief dasar perairan, serta sejumlah variasi lainnya pada dasar perairan mempengaruhi proses hamburan sinyal akustik Thorne et al. 1988; Moustier Matsumoto 1993; Chakraborty et al. 2007. Sebagian besar kesulitan untuk melakukan pemodelan pada daerah perairan dangkal adalah adanya variabilitas yang sangat ekstrim dibandingkan dengan perairan dalam. Perairan dangkal memiliki lapisan tebal yang terdiri dari pasir dengan campuran lumpur mud yang menjadi penyangga dan tempat hidup dari kehidupan biologis, sedangkan pada perairan dalam hanya terdiri dari lumpur ooze yang melapisi dasar yang keras bedrock. Perairan dangkal memiliki kisaran tingkat kekasaran roughness dasar perairan yang sangat luas karena keberadaan cangkang kerang shell, ombakan pasir sand waves, bahkan sampah yang berada di dasar. Terlebih lagi, keberadaan mahluk hidup di laut yang terkadang membuat nilai volume backscattering strength dalam reverberasi yang didapat lebih besar dibandingkan kontribusi yang diberikan oleh dasar perairan itu sendiri McCammon 2004. Penjelasan di atas dapat menggambarkan kondisi sebagian perairan Indonesia, yang memiliki perairan dengan kedalaman relatif dangkal. Terlebih lagi sebagian perairan Indonesia memiliki habitat terumbu karang, sehingga variabilitas dasar perairan yang dihasilkan tentu menjadi lebih kompleks. Namun penelitian mengenai dasar perairan dan habitat bentik menggunakan metode hidroakustik masih sangat jarang dilakukan.

1.3 Kerangka Pemikiran