sampai  1.85.  Berdasarkan  APL-UW  1994,  kisaran  Mz  hasil  pengukuran  dapat dibagi  menjadi  dua  bagian  yaitu  coarse  sand  Mz
≥ 0 dan Mz  1 dan medium sand Mz
≥ 1 dan Mz  2. Terdapat enam lokasi yang memiliki tipe coarse sand dan  empat  lainnya  bertipe  medium  sand.  Hubungan  antara  nilai  logaritma  Mz
dan ukuran butiran rata-rata d dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar  14  Persamaan  hubungan  antara  ukuran  butiran  rata-rata  d  dalam  mm dan  ukuran  butiran  dalam  bentuk  logaritmik  Mz  garis  biru  dan
data hasil pengukuran lingkaran merah. Model  Jackson  menggunakan  parameter  Mz  sebagai  parameter  input
sehingga  transformasi  ukuran  butiran  rata-rata  d  menjadi  ukuran  butiran logaritmik  Mz  perlu  dilakukan.  Ukuran  butiran  dalam  bentuk  logaritmik  Mz
merupakan  parameter  standar  yang  digunakan  dalam  bidang  geofisik.  Hubungan antara  Mz  dan  d  menunjukkan  trend  negatif  dimana  butiran  dengan  ukuran  fisik
besar memiliki nilai Mz yang kecil Gambar 14.
4.2 Nilai Backscattering Strength pada Sedimen Berpasir
Penjabaran  pada  setiap  ping  dapat  dilakukan  melalui  ekstraksi  raw  data menggunakan  Matlab.  Setiap  pulsa  akustik  yang  kembali  echo  mengandung
berbagai  informasi  mengenai  proses-proses  fisik  yang  terjadi  saat  pulsa  tersebut dirambatkan  pada  suatu  medium.  Pola  yang  didapatkan  dari  tiap  ping  dapat
memberikan  ruang  analisa  yang  lebih  baik.  Gambar  15  menjelaskan  proses
0.3 0.4
0.5 0.6
0.7 0.8
0.9 1
0.2 0.4
0.6 0.8
1 1.2
1.4 1.6
1.8 2
Ukuran butir, d dalam mm U
k uran
loga rit
m ik
M z
medium sand coarse sand
perjalanan  pulsa  akustik,  dimana  sumbu  y    merupakan  waktu  perjalanan  pulsa yang dikonversi menjadi kedalaman.
Gambar  15  Pola  surface  backscattering  strength,  SS  [dB]  dan  volume backscattering strength, SV [dB] yang dihasilkan oleh satu ping.
Gambar 15 menunjukkan pola perambatan pulsa akustik yang diukur dalam SS  dan  SV.  Terdapat  dua  lapisan  dengan  intensitas  backscattering  yang  tinggi.
Lapisan  pertama  berada  di  sekitar  permukaan  transduser,  disebut  near-field  dan mengandung  noise  yang  cukup  tinggi.  Sementara  lapisan  lainnya  adalah  dasar
laut.  Berdasarkan  algoritma  yang  telah  disusun,  lapisan  dasar  laut  dimulai  dari time bottom detect t
bd
hingga ketebalan lapisan sekitar 20 cm dengan intensitas minimum -60 dB. Kekuatan hamburan dari dasar laut direpresentasikan oleh nilai
SV dan SS maksimum dari Sv raw data pada lapisan tersebut. Variabel  akustik,  seperti  SV  dan  SS  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini
dapat direpresentasikan melalui echogram Gambar 16. Echogram ini digunakan sebagai  fungsi  quality  control  dan  analisis  data.  Intensitas  dari  tiap  variabel
dinotasikan  sebagai  warna  pada  tiap  pixel.  Tampilan  echogram  pada  tiap  lokasi
pengambilan data dapat dilihat pada Lampiran 3.
-120 -100
-80 -60
-40 -20
20 40
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3.5 4
4.5 5
Intensitas [dB]
K e
d a
la m
a n
m
SS SV
noise threshold Peak bottom
echo
second bottom echo
40 45
50 55
60 65
70 75
80 85
90 -28
-26 -24
-22 -20
-18 -16
-14
grazing angle derajat b
o tt
o m
b a
c k
s c
a tt
e ri
n g
s tr
e n
g th
[ d
B ]
Gambar 16 Echogram yang dihasilkan menggunakan Matlab: a kolom perairan, b dasar laut, dan c second bottom echo.
Perbandingan antara model dan data
Mulhearn  2000  menjelaskan  bahwa  pendekatan  Kirchhoff  mampu mensimulasikan  pola  backscattering  yang  dihasilkan  pada  grazing  angle  40°
hingga 90° Gambar 17. Nilai backscattering tertinggi dihasilkan pada sudut 90°. Sehingga nilai backscattering pada model hanya menggunakan sudut  90°. Hal ini
didasari  oleh  orientasi  transduser  pada  saat  pengambilan  data  lapangan  juga menggunakan sudut tersebut.
Gambar 17 Pola backscattering strength yang dihasilkan pendekatan Kirchhoff.
Ping
ke da
la m
an m
Sv  pasir\site1.raw
500 550
600 650
700 750
800 850
900 950
1000 0.5
1 1.5
2 2.5
3 3.5
4 4.5
-60 -50
-40 -30
-20 -10
0.5 1
1.5 2
-30 -25
-20 -15
-10 -5
ukuran butir Mz b
o tt
o m
b a
c k
s c
a tt
e ri
n g
s tr
e n
g th
[ d
B ]
model Kirchhoff SSb
SVb
Perbandingan  model  Kirchhoff  dilakukan  pada  dua  variabel  akustik  yang didapatkan  dari  hasil  pengukuran  yaitu  bottom  volume  backscattering  strength
SV
b
dan  bottom  surface  backscattering  strength  SS
b
.  Kedua  variabel  tersebut memiliki fungsi yang ekuivalen SV
b
≈ SS
b
, karena keduanya diperoleh dari nilai maksimum  Sv  raw  data.  Hal  ini  tidak  berlaku  jika  menggunakan  nilai  Sv  hasil
integrasi.
Gambar 18  Perbandingan nilai bottom backscattering strength [dB] antara model dan data pengukuran pada tiap lokasi.
Gambar  18  menunjukkan  sebaran  nilai  SV
b
dan  SS
b
terhadap  model  yang digunakan. Variabel SV
b
memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan SS
b
. Lebih lanjut,  variabel  yang  digunakan  sebagai  pembanding  adalah  SV
b
karena  lebih mendekati  dan  sesuai  terhadap  model.  Sehingga  perbandingan  antara  model  dan
data dilakukan pada asumsi S
b
θ ≈ SV
b
θ. Data hasil pengukuran memiliki kisaran nilai bottom backscattering strength
-16.35  dB  hingga  -9.74  dB.  Menggunakan  metode  least  square  fitting,  diketahui R-square  yang  diperoleh  untuk  hubungan  model  dan  data  menunjukkan  nilai
sebesar  0.32.  Hal  ini  menunjukan  kesesuaian  fitting  antara  model  dan  data memiliki  koefisien  korelasi  sebesar  0.57  r  =  0.57.    Nilai  standar  error  rms
error  yang  dihasilkan  sebesar  2.09  sehingga  perbedaan  antara  model  dan  nilai SV
b
tidak terlalu besar.
0.2 0.4
0.6 0.8
1 -20
-15 -10
-5 data Mz1
model
1 1.2
1.4 1.6
1.8 2
-20 -15
-10 -5
ukuran butir Mz b
o tt
o m
b a
c k
s c
a tt
e ri
n g
s tr
e n
g th
[ d
B ]
data Mz=1 model
Nilai  bottom  backscattering  strength  pada  model  dan  data  menunjukkan pola  yang  meningkat  seiring  bertambahnya  nilai  Mz.  Hal  ini  menunjukan  nilai
bottom  backscattering  strength  akan  lebih  tinggi  pada  dasar  perairan  dengan ukuran  butiran  rata-rata  d  yang  lebih  kecil.  Dasar  perairan  tersebut  biasanya
cenderung memiliki permukaan yang lebih halus menyebabkan energi yang hilang akibat  hamburan  ke  segala  arah  akan  semakin  berkurang.  Sebaliknya,  ukuran
butiran  yang  besar  menjadikan  permukaan  dasar  laut  lebih  kasar  sehingga kehilangan  energi  suara  akan  bertambah  karena  dihamburkan  ke  segala  arah
Urick 1983; Moustier 1986; Hamilton 2001
Gambar 19 Hubungan nilai bottom backscattering strength antara model dan data pada coarse sand atas dan medium sand bawah.
Pembagian  jenis  sedimen  berdasarkan  nilai  Mz  dapat  memisahkan  data menjadi  dua  bagian  Gambar  19.  Hubungan  antara  model  dan  data  pengukuran
akustik pada 0 ≤ Mz  1 memberikan nilai koefisien korelasi sebesar 0.40 dengan
nilai  rms  error  sebesar  1.86.  Sementara  pada  1 ≤  Mz    2  memberikan  nilai
koefisien  korelasi  yang  lebih  tinggi  yaitu  sebesar  0.53  dengan  rms  error  sebesar 2.38.  Berdasarkan  nilai  yang  didapat,  model  memiliki  tingkat  kesesuaian  yang
lebih tinggi  terhadap data pada tipe dasar perairan medium sand. Sifat  data  yang terdapat  pada  coarse  sand  terlihat  lebih  menyebar  scattered  dibandingkan  data
pada medium sand. Hal ini sejalan dengan pernyataan sebelumnya bahwa sedimen yang lebih halus dapat memberikan proses scattering yang lebih baik.
Secara  umum  perbedaan  antara  model  dan  data  yang  ditunjukkan  oleh  rms error  dapat  disebabkan  oleh  karakteristik  dasar  perairan  pada  lokasi  penelitian.
Keberadaan  pecahan  cangkang  kerang  shell  dan  karang  menyebabkan  tingkat kekasaran roughness pada permukaan semakin bertambah. Hal ini menyebabkan
hamburan  sinyal  akustik  menjadi  tidak  teratur  pada  segala  arah,  sehingga  dapat menurunkan  echo  level  yang  kembali.  Pada  penelitian  lainnya  juga  disebutkan
bahwa terdapat kesulitan pengukuran dan nilai yang didapat dari pengukuran pada daerah dengan karakteristik memiliki pecahan karang dan cangkang Stanic et al.
1989.  Bentuk  dari  butiran  yang  lebih  beragam  tentu  dapat  memberikan  proses backscattering yang lebih kompleks pula dibandingkan ukuran butiran yang lebih
kecil dan seragam Richardson  Briggs 1993. Hubungan  antara  model  dan  data  tidak  memiliki  tingkat  keakuratan  yang
cukup  baik.  Bentuk  butir  secara  individual,  porositas,  sifat  material,  tekanan intergranular,  dan  sejumlah  parameter  lain  diduga  turut  mempengaruhi  proses
backscattering yang terjadi di lokasi penelitian Stoll 1984, disamping parameter ukuran  butiran  rata-rata  d  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini.  Perlakuan
terhadap  sampel  juga  dapat  memberikan  pengaruh  pada  hasil  yang  diperoleh. Pengukuran dengan mencampurkan sampel yang memiliki ketebalan 15 cm dapat
memberikan generalisasi terhadap hasil yang diperoleh. Nilai  bottom  backscattering  strength  yang  diperoleh  dalam  penelitian  ini
tidak  berbeda  jauh  dengan  beberapa  penelitian  lainnya  yaitu  berkisar  antara  -10 dB  hingga  -20  dB  Stanic  et  al.  1989;  Clarke  et  al.  1997;  Greenlaw  et  al.  2004;
Manik  et  al.  2006.  Disamping  itu,  nilai  rms  error  sebesar  2.09  tidak menunjukkan  selisih  yang  cukup  besar  antara  model  dan  data.  Sehingga  dapat
disimpulkan  bahwa  model  dapat  digunakan  secara  efektif  untuk  menduga  nilai backscattering pada lokasi penelitian.
0.5 1
1.5 2
2 2.2
2.4 2.6
2.8
Ukuran butir Mz d
e n
si ta
s p a
si r
g cm
-3
model data
4.3 Densitas