Karakteristik Usaha Tani Responden

V. PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik Usaha Tani Responden

Penelitian ini dilakukan terhadap petani yang mendapatkan pupuk bersubsidi dari pemerintah. Penelitian ini memilih sampel di kabupaten Bogor. Pemilihan sample dilakukan berdasarkan produksi padi di setiap daerah di kabupaten Bogor. Kecamatan Pamijahan dipilih dengan kriteria mewakili daerah sentra produksi padi dengan luas tanam terbesar yaitu 8042 hektar, sedangkan kecamatan Darmaga dipilih dengan kriteria mewakili daerah yang rata-rata produksi padi dengan luas tanam sebesar 1400 hektar Kementerian Pertanian, 2010. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan wilayah sebaran sampel. Tabel 5.1. Wilayah Studi Penelitian Kecamatan DesaKelurahan Pamijahan Ciasihan Ciasmara Darmaga Cikarawang Ciherang Dari Tabel 5.1. di atas dapat terlihat bahwa wilayah studi penelitian ini difokuskan pada empat kecamatan. Setiap kecamatan diambil 30 petani sebagai responden. Penelitian ini mengkaji tentang efektivitas kebijakan subsidi pupuk dan pengaruhnya terhadap produksi padi di Kabupaten Bogor. Karakteristik tingkat pendidikan responden akan ditunjukkan pada gambar di bawah ini. Gambar 5.1. Karakteristik Pendidikan Responden Pada Gambar 5.1 terlihat bahwa tingkat pendidikan mayoritas responden adalah SD-MI dengan presentase sebesar 46,36 persen. Jenjang pendidikan tertinggi responden yaitu S1 hanya mencapai presentase sebesar 2,73 persen. Hal ini menunjukkan bahwa responden yaitu petani berpendidikan tidak tinggi sehingga pengetahuan mereka terbatas. Oleh karena itu, dibutuhkan penyuluhan dari berbagai instansi khususnya dinas pertanian untuk memberikan pengetahuan- pengetahuan tentang pertanian untuk dapat meningkatkan produksi pertanian mereka. Selain itu, juga diperlukan adanya kelompok tani untuk dapat melakukan berbagai pertemuan yang membahas tentang masalah-masalah pertanian mereka untuk dapat diselesaikan secara bersama. Karakteristik responden selain tingkat pendidikan adalah luas lahan yang dimiliki responden. Responden memiliki luas lahan yang berbeda-beda dimana berdasarkan Gambar 5.2 terlihat bahwa mayoritas responden memiliki luas antara 1000-4999 m 2 sebesar 55 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan responden adalah petani kecil dengan luas lahan yang sedikit. Hal ini juga 46,36 15,45 20 2,73 1,82 13,64 10 20 30 40 50 SD-MI SMP-MTS SMA S1 PESANTREN TIDAK LULUS J um la h Pendidikan Tingkat Pendidikan Responden didukung dengan data tersebut dimana petani dengan total luas lahan dibawah satu hektar adalah sebesar 80 persen, sedangkan petani dengan luas lahan lebih besar dari satu hektar adalah sebesar 20 persen. Dari data tersebut terlihat bahwa terdapat kecenderungan responden dengan luas lahan kurang dari satu hektar. Keadaan luas lahan tersebut yang sebagian besar dimiliki oleh petani kecil juga akan berpengaruh pada penerimaan pendapatan petani dan tingkat kesejahteraan petani. Olah karena itu, dibutuhkan berbagai kebijakan yang memihak kepada petani untuk dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Hal ini penting karena petani sebagai pemenuh kebutuhan pangan pokok Indonesia. Gambar 5.2. Luas Lahan Responden Luas lahan yang dimiliki petani juga berpengaruh terhadap produksi padi. Dari data luas lahan di atas dimana luas lahan mayoritas sebesar 1000-4999 m 2 mempengaruhi produksi padi yang pada penelitian ini dilihat rata-rata produksi padi setiap musim tanam yang disajikan pada Gambar 5.3 Pada gambar tersebut 5 55 20 11,67 1,67 5,83 0,83 10 20 30 40 50 60 Jum lah Luas Lahan m 2 Persentase Luas Lahan Responden terlihat bahwa rata-rata produksi padi setiap musim tanam periode 2010 terbanyak yaitu antara 100-900 kg sebesar 42,5 persen. Produksi terbesar kedua yaitu antara 1000-1999 kg per musim tanam sebesar 37,5 persen sedangkan sisanya yaitu sebesar 20 persen terdapat pada rentang produksi lebih dari 2000 kg per musim tanam. Hal ini menunjukkan bahwa produksi padi setiap musim tanam masih rendah yang didukung dengan luas lahan yang juga masih rendah. Oleh karena itu diperlukan teknik produksi, bibit, pupuk, tenaga kerja yang lebih bagus dan terampil tentunya dengan bantuan berbagai kebijakan dari pemerintah. Adanya kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi padi setiap tahunnya mengingat adanya keterbatasan lahan dan bahkan semakin menyempit serta dengan semakin banyaknya peningkatan jumlah penduduk yang ada yang menggeser fungsi lahan dan meningkatkan pemintaan kebutuhan pangan. Gambar 5.3. Rata-rata Produksi Padi Setiap Musim Tanam Periode 2010 Pada Gambar 5.2 dan 5.3 telah dijelaskan bahwa karakteristik luas lahan responden yang kecil dapat berpengaruh pada produksi padi responden yang rendah pada setiap musim tanamnya yang juga berdampak pada tingkat 42,5 37,5 7,5 12,5 10 20 30 40 50 100-999 1000-1999 2000-2999 3000 Ju m lah Produksi Padi kg Rata-rata Produksi Padi Setiap Musim Tanam Periode 2010 pendapatan petani yang juga rendah. Padahal diketahui bahwa pengeluaran petani untuk biaya-biaya produksi semakin meningkat dengan adanya peningkatan harga serta peningkatan kebutuhan pada input-input produksinya seperti pupuk, bibit, obat-obatan, serta tenaga kerja. Berikut ini adalah gambar tentang pengeluran petani pada masing-masing input produksi. Gambar 5.4. Rincian Pengeluaran Input Produksi per Musim Tanam Responden Dari Gambar 5.4 terlihat bahwa pengeluaran input produksi terdiri dari bibit, pupuk, tenaga kerja, sewa alat pertanian, pengairan, pemeliharaan alatsarana, biaya pengangkutan, obat-obatan, dan lainnya seperti pajak. Dari sembilan input produksi tersebut pengeluaran terbesar adalah biaya untuk upah tenaga kerja sebesar 42,89 persen. Biaya tenaga kerja menjadi pengeluaran petani yang terbesar karena sistem bagi hasil upah tenaga kerja dengan pemilik lahan adalah 1:5. Tenaga kerja mendapatkan bagian satu dari seluruh produksi, 4,83 25,72 42,89 19,14 1,54 0,36 1,45 3,94 0,13 Rincian Pengeluaran Input Produksi Per Musim Tanam BENIH PUPUK TENAGA KERJA SEWA ALAT PERTANIAN BIAYA PENGAIRAN PEMELIHARAAN ALATSARANA BIAYA PENGANGKUTAN OBAT-OBATAN LAIN-LAIN sedangkan pemilik lahan mendapatkan bagian lima dari seluruh produksi padi. Pengeluaran bagi hasil ini belum termasuk biaya tenaga kerja setiap harinya yang mencapai 20000-30000 untuk setiap hari pada tahap-tahap produksi tertentu seperti pada saat tahap tanam, pemupukan, dan panen yang membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. Biaya terbesar kedua yaitu pupuk sebesar 25,72 persen kemudian diikuti oleh biaya sewa alat pertanian dan bibit yang masing-masing sebesar 19,14 persen dan 4,83 persen. Pupuk menjadi biaya terbesar kedua karena kondisi responden yang masih terbiasa menggunakan pupuk kimia seperti urea, TSPSP-36, NPK, serta KCL membuat mereka susah beralih untuk menggunakan pupuk organik sebagai pengganti pupuk kimia yang semakin meningkat harganya. Bahkan KCL yang juga dibutuhkan mereka sudah tidak disubsidi lagi oleh pemerintah. Responden tetap menggunakan pupuk kimia juga disebabkan oleh adanya anjuran dari PPL tentang pemupukan yang tepat dengan komposisi 200 kg urea, 100 kg SP-36, dan 100 kg KCL untuk setiap hektar lahan. Selain itu, organik yang menjadi alternatif pengganti pupuk kimia yang semakin mahal tidak bisa menarik petani untuk meninggalkan pupuk kimia karena adanya ketergantungan tanah yang sudah terbiasa menggunakan pupuk kimia. Alasan lain petani tidak ingin menggunakan pupuk organik adalah keterbatasan pengetahuan tentang pembuatan pupuk organik karena belum adanya pengetahuan tentang pembuatan pupuk organik. Selain itu, petani juga beranggapan bahwa menggunakan pupuk organik akan membutuhkan lebih banyak tenaga kerja dan akan mengeluarkan lebih banyak biaya. Biaya terbesar ketiga adalah sewa alat pertanian sebesar 19,14 persen. Sewa alat pertanian menjadi biaya terbesar ketiga setelah pupuk karena kebanyakan petani tidak mempunyai peralatan sendiri seperti untuk keperluan membajak sawah. Responden yang sebagian besar merupakan petani kecil masih membutuhkan alat pertanian seperti kerbau dan traktor dengan cara sewa yang membutuhkan biaya cukup mahal. Biaya kerbau sekitar Rp 100.000 setiap harinya sekaligus dengan tenaga kerjanya. Pembajakan lahan dilakukan sekitar satu minggu ataupun lebih tergantung dari luas lahan masing-masing responden. Traktor membutuhkan biaya sebesar 400.000 sampai 600.000 rupiah pada setiap musim tanamnya. Pengeluaran lain setelah sewa alat pertanian adalah pengeluran untuk benih sebesar 4,83 persen yang merupakan pengeluaran terbesar keempat. Benih merupakan input penting juga selain pupuk, dan tenaga kerja karena kualitas benih menentukan kualitas dan kuantitas produksi padi petani. Benih yang sering digunakan responden adalah benih Ciherang yang harganya berkisar Rp 5000kg. Kebijakan subsidi benih juga telah dilakukan pemerintah seperti pada tahun 2010 dilakukan subsidi benih dimana responden mendapatkan benih jenis Inpari dengan harga berkisar Rp 1000kg. Namun, responden menyatakan gagal panen dengan menggunakan benih ini karena hampir semua padi adalah hampa atau kosong sehingga mengurangi berat padi. Kejadian ini membuat responden merasa tidak percaya lagi dengan benih subsidi dari pemerintah dan beralih menggunakan benih yang biasa mereka pergunakan seperti benih Ciherang meskipun dengan harga yang mahal sehingga membuat biaya produksi juga meningkat. Oleh karena itu, diharapkan bahwa kebijakan subsidi benih dilakukan dengan memperhatikan kualitas serta dilakukan uji coba dari kualitas benih yang diberikan kepada petani sehingga petani percaya menggunakan benih subsidi dari pemeritah dan hasil produksi padi juga akan semakin meningkat. Pengeluaran lain setelah benih adalah pengeluaran untuk obat-obatan, pengairan, biaya pengangkutan, pemeliharaan alatsarana, serta pengeluaran lainnya seperti pajak yang masing-masing sebesar 3,94 persen, 1,54 persen, 1,45 persen, 0,36 persen, serta 0,13 persen. Pengeluaran-pengeluaran tersebut juga penting untuk mendukung produksi padi terutama pengairan. Daerah di kecamtan Pamijahan cenderung memiliki kondisi irigasi pengairan yang lebih bagus dibandingkan pada daerah Darmaga. Pengairan di Pamijahan langsung dari irigasi sungai sehingga membutuhkan biaya yang lebih sedikit dibandingkan pada daerah Darmaga. Pengairan yang lancar pada daerah Pamijahan juga mendukung produksi dimana di daerah ini bisa dilakukan dua sampai tiga kali tanam pada setiap tahunnya sedangkan di kecamatan Darmaga hanya bisa satu kali musim tanam padi. Hal ini yang menyebabkan perbedaan produksi pada daerah Pamijahan dan Darmaga pada setiap tahunnya. Kebijakan subsidi pupuk berupa HET pada beberapa jenis pupuk juga memberikan sumbangan terhadap biaya pengeluaran produksi untuk setiap musim tanamnya. Pengeluaran pupuk sebesar 25,72 persen seperti telah dijelaskan pada Gambar 5.4 yang merupakan pengeluaran terbesar kedua. Adanya subsidi pupuk dapat memengaruhi pengeluaran pupuk yang akan dijelaskan pada tabel berikut ini. Tabel 5.2. Perbedaan Pengeluaran Pupuk Subsidi dan Non Subsidi pada Setiap Musim Tanam Jenis Jumlah kg Harga Subsidi RPKg Harga Non Subsidi RpKg Urea 200 1.600 4.000 TSPSP-36 100 2.000 5.450 KCL 100 5000 Tidak bersubsidi 5.000 Total harga Rp 1.020.000 1.845.000 Selisih harga subsidi dan non subsidi 825.000 Dari Tabel 5.2 di atas terlihat bahwa terdapat perbedaan harga pupuk subsidi dan non subsidi. Perbedaan harga ini akan berpengaruh terhadap pengeluaran pupuk pada setiap musim tanamnya. Pupuk yang digunakan dalam hal ini adalah pupuk anjuran pemerintah dengan kombinasi penggunaan urea 200 kg, TSP 100 kg, dan KCL 100 kg untuk setiap satu hektar luas lahan. Dari tabel tersebut terlihat bahwa untuk pupuk subsidi pemerintah petani dapat mengeluarkan biaya pupuk sebesar Rp 1.020.000 untuk setiap musim tanamnya, sedangkan apabila petani membeli pupuk dengan jenis yang sama tetapi tidak disubsidi pemerintah maka pengeluaran terhadap pupuk sebesar Rp 1.845.000 untuk setiap musim tanamnya. Dari kedua pengeluaran tersebut terlihat bahwa terdapat perbedaan pengeluaran untuk pupuk subsidi dan non subsidi dengan selisih sebesar Rp 825.000 untuk setiap musim tanamnya. Jadi, apabila petani memperoleh pupuk bersubsidi dari pemerintah maka petani dapat menghemat biaya pengeluaran pupuk sebesar 44,72 persen dari pengeluaran pupuk yang seharusnya dikeluarkan apabila pupuk tidak disubsidi.

5.2. Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk