Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Pengaruhnya terhadap Produksi Padi (Studi Kasus : Kabupaten Bogor)

(1)

OLEH

SUHAILA MARISA H14070047

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

oleh ALLA ASMARA)

Pertanian merupakan aspek penting dalam mendukung keberlangsungan hidup suatu negara. Indonesia sebagai negara agraris, menempatkan pertanian sebagai sektor utama dalam perekonomian nasional. Selain itu, pertanian sebagai aspek pendukung ketersedian pangan di suatu negara. Oleh karena itu, terdapat berbagai kebijakan pemerintah yang mendukung produksi sektor pertanian. Salah satu kebijakan ini adalah kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk merupakan salah satu kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mendukung sektor pertanian dengan memberikan subsidi input berupa penetapan HET pupuk. Kebijakan ini dilaksanakan berdasarkan enam indikator keberhasilan yaitu tepat jenis, jumlah, harga, mutu, tempat, dan waktu.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas kebijakan subsidi pupuk untuk mendukung produksi padi dengan mengambil studi kasus pada Kabupaten Bogor. Metode pengambilan contoh menggunakan purposive sampling dimana pemilihan responden berdasarkan pertimbangan peneliti. Sampel penelitian ini yaitu dua kecamatan dan masing-masing kecamatan dipilih dua desa. Dari desa ini dipilih lagi masing-masing 30 responden yang diharapkan dapat mewakili populasi yang ada. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif, serta metode regresi linier berganda. Metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif digunakan untuk mengukur efektivitas kebijakan subsidi pupuk dengan menggunakan empat indikator utama yaitu tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat jumlah. Metode regresi linier berganda digunakan untuk mengukur respon permintaan pupuk urea terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu harga urea, harga TSP, harga padi, dan luas lahan, serta respon produksi padi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu luas lahan, tenaga kerja, benih, pupuk, dummy benih, dan dummy efektivitas harga.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk masih dikategorikan belum efektif berdasarkan empat indikator utama, yaitu tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat jumlah. Ketidakefektifan subsidi pupuk juga berpengaruh terhadap produksi padi seperti yang ditunjukkan pada hasil regresi produksi padi. Variabel harga pupuk urea mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap permintaan pupuk urea. Hal ini berarti bahwa jika terjadi peningkatan pada harga pupuk urea maka akan terjadi penurunan permintaan pupuk urea. Selain itu, variabel harga TSP, harga padi, dan luas lahan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap permintaan pupuk urea. Variabel luas lahan, tenaga kerja, benih, pupuk, dummy benih, dan dummy efektivitas harga mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap produksi padi. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi perubahan terhadap faktor-faktor tersebut maka akan berpengaruh terhadap produksi padi. Pengaruh efektivitas kebijakan subsidi pupuk terhadap produksi padi dapat dilihat dari nilai dummy efektivitas harga


(3)

bermanfaat secara optimal bagi petani. Mekanisme penyaluran pupuk masih bermasalah pada Lini IV (kios resmi) yang masih berada di luar desa. Kios resmi sebaiknya berada di dalam desa sehingga petani dapat lebih mudah memperoleh pupuk bersubsidi tanpa tambahan biaya transportasi. Selain itu, sebaiknya ada perbedaan yang jelas antara kios resmi dan tidak resmi pupuk bersubsidi sehingga petani tidak kesulitan untuk memperoleh pupuk bersubsidi dengan HET yang telah ditetapkan. Pemerintah juga harus selalu mendukung ketersediaan faktor-faktor tersebut agar produksi padi optimal. Pemerintah harus meningkatkan peran PPL dalam memberikan imbauan dan anjuran tentang produksi padi terutama berkaitan dengan adanya pemupukan yang berimbang agar penggunaan pupuk bersubsidi dapat terserap dan bermanfaat optimal dalam peningkat produksi padi. Peran serta dari berbagai pihak-pihak yang terkait dan penegakan aturan-aturan juga dapat membantu peningkatan efektivitas kebijakan subsidi pupuk.


(4)

Oleh:

SUHAILA MARISA H14070047

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(5)

Nomor Registrasi Pokok : H14070047

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Alla Asmara, S. Pt, M.Si NIP. 19730113 199702 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M. Ec NIP. 19641022 198903 1 003


(6)

DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, September 2011

Suhaila Marisa H14070047


(7)

Yusuf dan Ibu Khayati. Penulis memulai pendidikan di TK Negeri Rembang dan lulus pada tahun 1995. Pendidikan dasar di SD Negeri Ngotet Rembang pada tahun 1995 dan lulus pada tahun 2001. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Rembang dan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Rembang dan lulus pada tahun 2007.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB dengan mayor Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis juga mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) pada tahun 2008-2011.

Penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kepanitiaan selama menjadi mahasiswa. Penulis aktif dalam organisasi anggota Himpunan Keluarga Rembang di Bogor (HKRB) dari tahun 2007 sampai 2011. Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi kampus yaitu Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) pada periode tahun 2008-2009 sebagai staf divisi LABLE (divisi pendidikan dan kehidupan akademik) dan periode tahun 2009-2010 sebagai kepala divisi LABLE. Penulis juga aktif sebagai asisten dosen Ekonomi Umum untuk mahasiswa TPB pada tahun 2009-2010. Kepanitiaan yang pernah diikuti penulis, antara lain seksi Konsumsi HIPOTEX-R 2009, seksi Sponsorship dalam acara Politik Ceria (POCER) pada tahun 2009, seksi LO dalam acara Economic Contest (EC) pada tahun 2009, dan berbagai acara kepanitiaan lainnya.


(8)

sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi. Skripsi ini berjudul

Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Pengaruhnya terhadap Produksi Padi (Studi Kasus : Kabupaten Bogor)”. Kebijakan subisidi pupuk merupakan topik yang menarik karena diharapkan dapat memberikan pengaruh positif terhadap produksi padi dan kesejahteraan petani. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini, khususnya di daerah Kabupaten Bogor.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas kebijakan subsidi pupuk berdasarkan empat indikator, dan menganalisis pengaruh efektivitas kebijakan subsidi pupuk terhadap produksi padi di Kabupaten Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak, ibu, dan saudara tercinta (Kadar Yusuf, Khayati, dan Muhammad Arif Dahlan) yang telah memberikan dukungan, doa, dan kasih sayang. Semoga skripsi ini menjadi persembahan yang membanggakan.

2. Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. Wiwiek Rindayati selaku dosen penguji utama yang telah banyak memberikan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini.

4. Deni Lubis, MA selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan saran terkait dengan tata cara penulisan dan bahasa dalam penulisan skripsi ini.


(9)

Farida yang telah memberikan saran, kritik, dan motivasi dalam meyelesaikan penelitian ini.

8. Seluruh keluarga IE 44 khususnya Ida, Rani, Feri, Siska, Martha, Rini, Nindya, Riri, Yoga, Dian atas kebersamaan dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Arif dan teman-teman Pondok Ratna (Resty, Fina, Naila, Sarah, Age, Maya, Idah, Yunika, dan Lilis) yang telah memberikan bantuan, dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

10. Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas segala dukungan, bantuan, dan kerjasama baik secara langsung maupun tidak langsung.

Bogor, September 2011

Suhaila Marisa H14070047


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ...10

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ...11

2.1. Tinjauan Teori-teori ...11

2.1.1. Pengertian Efektivitas ...11

2.1.2. Pengertian Pupuk dan Pupuk Bersubsidi ...11

2.1.3. Penyaluran, Pengadaan, dan Pengawasan Pupuk Bersubsidi ...12

2.1.4. Indikator Tingkat Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk ...14

2.1.5. Teori Produksi ...15

2.1.6. Teori Permintaan ...19

2.2. Penelitian-Penelitian Terdahulu ...20

2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual ...27

III. METODE PENELITIAN ...30

3.1. Jenis dan Sumber Data ...30

3.2. Metode Pengumpulan Contoh ...30

3.3. Metode Analisis Data ...31

3.3.1. Metode Deskriptif Kuantitatif dan Kualitatif ...31

3.3.2. Metode Regresi Linier ...33

IV. GAMBARAN UMUM ...38

4.1.Gambaran Umum Kabupaten Bogor ...38


(11)

V. PEMBAHASAN ...46

5.1.Karakteristik Usaha Tani Responden ...46

5.2.Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk...55

5.3.Pengaruh Subsidi Pupuk terhadap Produksi Padi ...67

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...80

6.1.Kesimpulan ...80

6.2.Saran ...81

DAFTAR PUSTAKA ...83


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. Rata-rata Pengeluaran per Musim Tanam per Hektar Usaha Tani Padi

Sawah Menurut Jenis Pengeluaran ... 4

1.2. Banyaknya Desa di Kabupaten Bogor Menurut Sumber Penghasilan Utama Sebagian Penduduk ... 5

1.3. Harga Eceran Tertinggi Pupuk di Indonesia Tahun 2001-2010 ... 8

4.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2006-2009 ...38

4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2002-2005 ...39

4.3. Data Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha Utama Kabupaten Bogor Tahun 2006 ...40

4.4. Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi Sawah Kabupaten Bogor Tahun 2009 ...41

5.1. Wilayah Studi Penelitian ...46

5.2. Perbedaan Pengeluaran Pupuk Subsidi dan Non Subsidi pada Setiap Musim Tanam ...54

5.3. Rata-rata Harga Pupuk Bersubsidi yang Diterima Responden ...56

5.4. Persentase Tingkat Ketepatan Harga Pupuk Bersubsidi ...57

5.5. Persentase Tingkat Ketepatan Tempat Pupuk Bersubsidi ...60

5.6. Persentase Tingkat Ketepatan Waktu Pupuk Bersubsidi ...62

5.7. Persentase Tingkat Ketepatan Jumlah Pupuk Bersubsidi ...63

5.8. Persentase Tingkat Keefektifan Kebijakan Subsidi Pupuk ...64

5.9. Hasil Regresi Jumlah Permintaan Pupuk Urea ...68

5.10. Uji Asumsi Klasik ...70

5.11. Hasil Estimasi Produksi Padi ...73


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1. Distribusi PDB Tahun 2010 Setiap Sektor Atas Harga Konstan 2000 ... 1

1.2. Alokasi Subsidi Pupuk Tahun 2005-2010 ... 2

1.3. Produksi Padi Tahun 1996-2010 ... 3

2.1. Kurva Hubungan antara Input (Pupuk) dan Output Total ...17

2.2. Pengaruh Subsidi terhadap Kurva Penawaran dan Produksi ...18

2.3. Kerangka Pemikiran ...28

4.1. Mekanisme Distribusi Pupuk dengan Produsen ...44

4.2. Mekanisme Distribusi Subsidi Pupuk dengan Semua Produsen ...45

5.1. Karakteristik Pendidikan Responden ...47

5.2. Luas Lahan Responden ...48

5.3. Rata-rata Produksi Padi Setiap Musim Tanam Periode 2010 ...49

5.4. Rincian Pengeluaran Input Produksi per Musim Tanam Responden ...50


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Kuisioner Responden ... 87

2. Hasil Regresi Jumlah Permintaan Pupuk ... 98

3. Uji Asumsi Normalitas ... 98

4. Uji Asumsi Heteroskedastisitas ... 99

5. Uji Asumsi Autokorelasi ... 99

6. Uji Korelasi Parsial antar Peubah Bebas ... 99

7. Hasil Estimasi Produksi Padi ...100

8. Uji Asumsi Normalitas ...100

9. Uji Asumsi Heteroskedastisitas ...101

10. Uji Asumsi Autokorelasi ...101

11. Uji Korelasi antar Peubah Bebas ...101


(15)

Pertanian merupakan aspek penting dalam mendukung keberlangsungan hidup suatu negara. Indonesia sebagai negara agraris, menempatkan pertanian sebagai sektor utama dalam perekonomian nasional. Selain itu, pertanian sebagai aspek pendukung ketersedian pangan di suatu negara. Oleh karena itu, terdapat berbagai kebijakan pemerintah yang mendukung produksi sektor pertanian. Selain itu, pendapatan negara juga sebagian besar berasal dari sektor pertanian. Hal ini terlihat pada Gambar 1.1.

Sumber : BPS, 2010

Gambar 1.1. Distribusi PDB Tahun 2010 Setiap Sektor Atas Harga Konstan 2000 13%

8%

26%

1% 7% 17%

9% 10%

9%

Distribusi PDB

Tahun

2010 Setiap Sektor

Atas Harga Konstan 2000

Pertanian

Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Konstruksi

Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi

Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa


(16)

Pada Gambar 1.1 terlihat bahwa pertanian mempunyai kontribusi yang besar terhadap PDB. Pertanian mempunyai kontribusi sebesar 13% terhadap PDB yang merupakan sektor terbesar ketiga setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel, dan restoran. Oleh karena itu, sektor pertanian harus mendapatkan prioritas karena pertanian juga memberikan kontribusi untuk ketahanan pangan. Berbagai langkah yang ditempuh oleh pemerintah dalam melaksanakan kebijakan pangan seperti subsidi input produksi, kebijakan harga, dan pembenahan kelembagaan pangan (Amang dan Sawit, 1999). Salah satu kebijakan-kebijakan subsidi input produksi tersebut adalah kebijakan subsidi pupuk.

Kebijakan subsidi pupuk sebagai salah satu dari kebijakan fiskal pemerintah yang ditujukan pada petani dengan tujuan meningkatkan produksi pertanian. Kebijakan ini sudah dilakukan sejak tahun 1960 dan juga pernah dihapuskan pada saat krisis moneter 1998 dan mulai diberlakukan kembali pada pertengahan tahun 2001. Perkembangan alokasi subsidi pupuk untuk sektor pertanian akan disajikan secara lengkap pada Gamber 1.2 di bawah ini.

Sumber : Kementrian Keuangan, 2010

Gambar 1.2. Alokasi Subsidi Pupuk Tahun 2005-2010

2527,3 3167,7

6260,5

15181,5 17537

11291,5 0 5000 10000 15000 20000

2005 2006 2007 2008 2009 2010

S u b si d i Pu p u k (M il iar R u p iah ) Tahun


(17)

Pada Gambar 1.2 terlihat bahwa alokasi subsidi pupuk setiap tahun mengalami peningkatan dari tahun 2005 sampai 2009. Namun, pada tahun 2010 alokasi subsidi pupuk mengalami penurunan dari sebesar 17.537 (miliar rupiah) pada tahun 2009, menjadi 11.291,5 (miliar rupiah) pada tahun 2010. Hal ini dikarenakan adanya anggaran negara yang digunakan untuk subsidi pupuk yang terlalu besar dan juga adanya indikasi ketidakefektivitasan penggunaan subsidi pupuk ini untuk mendukung sektor pertanian. Pengaruh adanya subsidi pupuk terhadap produksi padi akan ditunjukkan pada Gambar 1.3. berikut ini.

Sumber : Kementrian Pertanian, 2010

Keterangan : *Mulai tahun1999 tidak termasuk Timor Timur

Gambar 1.3. Produksi Padi Tahun 1996-2010

Subsidi pupuk mulai diberlakukan sejak tahun 1960 sampai tahun 1998 yang diatur oleh pemerintah dimana pengadaan dan penyalurannya diserahkan pada PT. Pupuk Sriwijaya. Pengaruh subsidi pupuk terhadap produksi sektor pertanian khususnya padi dapat terlihat pada Gambar 1.3. pada gambar tersebut terlihat bahwa sejak 1 Desember 1998 subsidi pupuk mulai dicabut dan diberlakukan kembali mulai tanggal 13 Maret 2001. Pada saat pencabutan subsidi pupuk terjadi penurunan produksi padi dari sebesar 49.377.054 ton pada tahun

0 20.000.000 40.000.000 60.000.000 80.000.000 Pr o d u ksi Pad i ( to n ) Tahun


(18)

1997 menjadi sebesar 49.236.692 ton pada tahun 1998. Pada periode 1998 sampai 2001 produksi padi cenderung tidak stabil.

Pada tahun 2002 dimana subsidi pupuk sudah mulai diberlakukan kembali dengan semua produsen pupuk diberikan kesempatan untuk pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi. Dengan adanya pemberlakuan subsidi pupuk kembali, produksi padi juga meningkat sejak tahun 2002 sampai 2009. Namun, pada tahun 2010 terjadi pengurangan anggaran subsidi pupuk dari sebesar 17.537 (miliar rupiah) pada tahun 2009 menjadi sebesar 11.291,5 (miliar rupiah) pada tahun 2010 yang dijelaskan pada Gambar 1.2. Pengurangan subsidi pupuk dengan selisih sebesar 6245,5 (miliar rupiah) tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan produksi padi bahkan produksi padi tetap mengalami peningkatan dari sebesar 64.398.890 pada tahun 2009 menjadi sebesar 65.980.670 pada tahun 2010. Hal ini mengindikasikan adanya pertanyaan terhadap tingkat efektivitas penyerapan subsidi pupuk terhadap sektor pertanian.

Tabel 1.1. Rata-rata Pengeluaran per Musim Tanam per Hektar Usaha Tani Padi Sawah Menurut Jenis Pengeluaran

Rincian Nilai (000 Rp) Biaya (%)

Bibit/benih 205,54 3,46

Pupuk 786,42 13,26

Pestisida 180,75 3,05

Tenaga Kerja 1586,01 26,73

Sewa Lahan 734 12,37

Alat/sarana Usaha 463 7,80

Jasa 1553 26,18

Lainnya (bunga kredit, iuran irigasi, PBB Lahan

Sawah, dll) 424 7,15

Jumlah 5932,72 100


(19)

Efektivitas kebijakan subsidi pupuk diukur berdasarkan enam indikator, antara lain tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu, dan harga sehingga petani dapat menggunakan pupuk sesuai kebutuhan. Efektivitas subsidi pupuk menjadi hal yang penting dalam mendukung produksi sektor pertanian. Pada Tabel 1.1 terlihat bahwa pupuk mempunyai proporsi sebesar 13,26 persen terhadap keseluruhan biaya produksi padi per hektar pada setiap musim tanamnya. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk mempunyai proporsi yang besar dalam biaya produksi padi sehingga pupuk menjadi hal yang harus diprioritaskan oleh pemerintah terkait dengan kebutuhan petani. Pupuk menjadi input yang perlu disubsidi pemerintah terkait dengan peranannya yang penting dalam menentukan produksi pertanian. Oleh karena itu, penelitian ini membahas tentang efektivitas kebijakan subsidi pupuk terhadap kaitannya dengan produksi padi dengan mengambil studi kasus pada kabupaten Bogor. Bogor dipilih menjadi studi kasus dalam penelitian ini berdasarkan berbagai pertimbangan seperti yang dijelaskan pada Tabel 1.2 berikut ini.

Tabel 1.2. Banyaknya Desa di Kabupaten Bogor Menurut Sumber Penghasilan Utama Sebagian Penduduk

Sektor Perekonomian Banyaknya Desa

Pertanian 248

Pertambangan dan Penggalian 1

Industri Pengolahan 32

Perdagangan 64

Jasa 73

Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2006 (diolah)

Pada Tabel 1.2 terlihat bahwa Bogor mempunyai proporsi yang besar pada sektor pertanian dimana terdapat sebanyak 248 desa yang penduduknya


(20)

begantung pada sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian. Sektor ini mempunyai nilai yang lebih besar dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Oleh karena itu, Bogor dipilih menjadi sampel untuk penelitian ini yang mengangkat topik tentang “Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk terhadap Produksi Padi (Studi

Kasus: Kabupaten Bogor)”.

1.2. Perumusan Masalah

Pupuk mempunyai peranan penting dalam peningkatan produksi pertanian. Petani mendapatkan input yang lebih murah untuk produksi mereka sehingga hasil produksinya juga akan meningkat. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan kebijakan subsidi pupuk. Distribusi pupuk subsidi yang berlaku saat ini mengikuti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 07/M-Dag/Per/2/2009 tentang pasokan subsidi pupuk yang diharapkan dapat memperbaiki penyaluran subsidi pupuk yang berkaitan dengan tepat waktu. Peraturan ini menggantikan peraturan sebelumnya yaitu Permendag No.21/M-Dag/Per/6/2008 tentang sistem distribusi pupuk bersubsidi tertutup yang terbatas hanya pada petani atau kelompok tani yang sudah tercatat. Penyempurnaan peraturan-peraturan dari pemerintah terkait dengan distribusi pupuk bersubsidi yang seharusnya dapat mempermudah petani untuk mendapatkan pupuk bersubsidi. Namun, pada kenyataan karena peraturan tentang pengawasan distribusi pupuk besubsidi masih lemah dan tidak ada koordinasi pada masing-masing bagian baik pada perencanaan, pengadaan, maupun pendistribusian sehingga masih tetap banyak petani yang tidak bisa


(21)

mendapatkan pupuk bersubsidi dengan mudah karena pengecer resmi juga dapat dengan mudah menjual ke siapa saja.

Peningkatan input produksi berupa penambahan penggunaan pupuk secara teori dapat meningkatkan produksi padi apabila penggunaannya sesuai dengan dosis yang dibutuhkan (400 kg/ha) pada setiap produksinya (Purwono dan Heni, 2009). Namun, apabila penambahan pupuk untuk produksi sudah pada batas optimum penggunaan maka apabila dilakukan penambahan lagi akan berakibat negatif pada peningkatan produksi. Seringkali petani tidak memperhatikan dosis anjuran yang tepat untuk setiap penggunaannya berkaitan dengan luas lahan yang mereka miliki sehingga berakibat pada penurunan produktivitas pada hasil produksinya (Kementerian Pertanian, 2009).

Efektivitas subsidi pupuk juga berkaitan dengan harga pupuk besubsidi di lapangan. Penetapan harga pupuk bersubsidi sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No. 32/Permentan/SR.130/4/2010 tentang kebutuhan dan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian tahun anggaran 2010. HET pupuk bersubsidi mengalami perubahan setiap tahunnya yang akan ditunjukkan pada Tabel 1.3 berikut ini. Dari Tabel 1.3 dapat dilihat bahwa penetapan harga pupuk telah diatur menggunakan HET yang dapat berubah sesuai peraturan perundangan yang ditetapkan pada tahun bersangkutan. Penetapan HET ini bertujuan untuk tetap mengendalikan harga pupuk bersubsidi di pasar sehingga tetap dapat dijangkau oleh petani (Kementerian Pertanian, 2009).


(22)

Tabel 1.3. Harga Eceran Tertinggi Pupuk di Indonesia Tahun 2001-2010

(Rp/Kg)

Tahun Urea ZA TSP/

SP36 KCl

NPK phonska

NPK pelangi

NPK

kujang Organik

(15:15:15) (20:10:10) (30:6:8)

2001 1.150 1.000 1.600 1.650

2002 1.150 1.000 1.600 1.650

2003** 1.150 1.000 1.500

2003*** 1.150 950 1.400

2004 1.150 950 1.400 -

2005 1.150 950 1.400 - 1.600

2006 1.200 1.050 1.550 - 1.750

2007 1.200 1.050 1.550 - 1.750 1.830 1.586 1.000 2008 1.200 1.050 1.550 - 1.750 1.830 1.586 500 2009 1.200 1.050 1.550 - 1.750 1.830 1.586 500 2010 1.600 1.400 2.000 - 2.300 2.300 2.300 700

Sumber : APPI, 2011 Keterangan :

**) Berlaku 1 Januari-31 Juli 2003

*** ) Berlaku 1 Agustus-31 Desember 2003

Harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi telah ditetapkan oleh pemerintah melalui peraturan perundangan tetapi tetap ada harga yang berbeda di pasar dan merugikan petani. Sebagai contoh kasusnya yaitu pada Kabupaten Gresik dimana harga pupuk yang berlaku tidak sesuai dengan HET. Pupuk urea yang seharusnya dijual dengan harga Rp 80.000/sak, tetapi pada kenyataannya harganya sebesar Rp 87.000/sak sehingga terdapat kenaikan sebesar 8,7 persen dari harga sesungguhnya. Selain itu, kondisi ini juga terjadi pada harga pupuk jenis lain yaitu pupuk SP36 dengan HET Rp 100.000/sak dijual dengan harga Rp 108.000/sak (kenaikan harga sebesar 8 persen), sedangkan pupuk NPK Phonska dengan HET Rp 115.000/sak dijual dengan harga Rp 122.000/sak dengan kenaikan harga


(23)

sebesar 6,09 persen (Jurnal Berita, 2011). Salah satu hal yang menjadi alasan bagi para pelaku distribusi menaikkan harga secara tidak resmi adalah untuk mendapatkan marjin pemasaran dari upah pelaku distribusi dan biaya pemasaran karena harga pupuk bersubsidi yang kurang realistik. Kenaikan harga ini akan merugikan petani karena harga pupuk bersubsidi di pasar lebih tinggi dari HET yang ditetapkan oleh pemerintah.

Dari berbagai uraian-uraian permasalahan yang telah dijelaskan maka dalam penelitian ini akan dirumuskan permasalahan menjadi lebih rinci, antara lain :

1. Bagaimana efektivitas kebijakan subsidi pupuk berdasarkan empat indikator keberhasilan subsidi pupuk?

2. Bagaimana pengaruh efektivitas subsidi pupuk terhadap produksi padi di Kabupaten Bogor?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis efektivitas kebijakan subsidi pupuk berdasarkan empat indikator keberhasilan subsidi pupuk.

2. Menganalisis pengaruh efektivitas subsidi pupuk terhadap produksi padi di Kabupaten Bogor.


(24)

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah :

1. Memberikan gambaran efektivitas kebijakan subsidi pupuk terhadap sektor pertanian khususnya padi di Kabupaten Bogor.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah untuk merumuskan mekanisme kebijakan subsidi pupuk yang paling efektif dalam mendukung sektor pertanian.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1.Tinjauan Teori-teori 2.1.1. Pengertian Efektivitas

Efektivitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara membandingkan output anggaran atau seharusnya dengan output realisasi atau sesungguhnya, dikatakan efektif jika output seharusnya lebih besar daripada output sesungguhnya (Schemerhon John R. Jr, 1986). Menurut Hidayat (1986) efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas, dan waktu) telah tercapai. Semakin besar persentase yang dicapai, maka semakin tinggi efektivitasnya. Menurut Gibson (2002), efektivitas adalah sasaran yang telah disepakati atas usaha bersama. Pengertian efektivitas yang digunakan dalam penelitian mengacu pada ketiga pengertian di atas, yaitu suatu ukuran pencapaian target yang menunjukkan output realisasi yang telah tercapai dari output yang seharusnya tercapai.

2.1.2. Pengertian Pupuk dan Pupuk Bersubsidi

Peraturan pupuk bersubsidi untuk kabupaten Bogor diatur dalam Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010. Peraturan ini membahas tentang penyaluran pupuk bersubsidi untuk pertanian dan perikanan di kabupaten Bogor. Selain itu, peraturan ini juga membahas tentang pengertian istilah-istilah yang terkait dengan subsidi pupuk, yaitu pengertian pupuk, pupuk anorganik, dan pupuk organik. Menurut peraturan ini, pupuk adalah bahan kimia atau organisme yang berperan dalam penyediaan unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung atau tidak


(26)

langsung. Pupuk anorganik adalah pupuk hasil proses rekayasa secara kimia, fisika dan atau biologi dan merupakan hasil industri atau pabrik pembuat pupuk. Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa dan dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk mensuplai bahan organik, memperbaiki sifat fisik, kimia dan atau biologi tanah.

Pupuk bersubsidi menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2005 adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program pemerintah di sektor pertanian. Menurut peraturan ini juga ditentukan jenis pupuk bersubsidi yaitu pupuk anorganik (urea, superphos, ZA, NPK) dan pupuk organik. Menurut Peraturan Bupati Nomor 13 Tahun 2010, pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya ditataniagakan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan di penyalur resmi di Lini IV. Pupuk bersubsidi diperuntukkan bagi petani, pekebun, peternak dan pembudidaya ikan atau udang yang mengusahakan lahan seluas-luasnya dua hektar setiap musim tanam per keluarga petani, kecuali pembudidaya ikan atau udang seluas-luasnya satu hektar.

2.1.3. Penyaluran, Pengadaan, dan Pengawasan Pupuk Bersubsidi

Alokasi pupuk bersubsidi menurut Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010 dihitung berdasarkan rekomendasi pemupukan berimbang spesifik lokasi dan standar teknis dengan mempertimbangkan usulan kebutuhan yang


(27)

diajukan Pemerintah Daerah, serta alokasi anggaran subsidi pupuk tahunan. Pemupukan berimbang adalah pemberian pupuk bagi tanaman sesuai dengan status hara tanah dan kebutuhan tanaman untuk mencapai produktivitas yang optimal dan berkelanjutan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 40/Permentan/OT.140/4/2007.

Pengadaan pupuk adalah proses penyediaan pupuk bersubsidi yang dilakukan oleh produsen yang berasal dari produksi dalam negeri dan atau impor (Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010). Penyaluran pupuk adalah proses pendistribusian pupuk bersubsidi dari produsen sampai dengan petani dan atau kelompok tani sebagai konsumen akhir (Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010). Pelaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk berubsidi sampai ke penyalur Lini IV (pengecer resmi) dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan. Produsen, penyalur Lini III dan penyaluran pupuk bersubsidi sesuai prinsip enam tepat (tepat jenis, jumlah, mutu, tempat, waktu, dan harga sesuai HET). Produsen wajib melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini I sampai dengan Lini IV di wilayah tanggungjawabnya. Distributor wajib melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini III sampai dengan Lini IV di wilayah tanggungjawabnya. Pengecer resmi melaksanakan penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani atau kelompok tani sesuai dengan peruntukannya di Lini IV wilayah tanggungjawabnya.

Pengawasan terhadap pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dilakukan oleh produsen, penyalur Lini III (distributor), penyalur IV (pengecer


(28)

resmi) dan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) daerah berdasarkan prinsip enam tepat. Produsen pupuk bersubsidi wajib melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini I sampai Lini IV di wilayah tanggungjawabnya. Penyalur Lini III (distributor) wajib melaksanakan pemantauan dan pengawasan terhadap penyediaan, penyimpangan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini III sampai dengan Lini IV (pengecer resmi) setempat. Penyalur Lini IV (pengecer resmi) wajib melaksankan pemantauan dan pengawasan terhadap perkembangan dan keadaan pertanaman serta penyediaan, penyimpanan dan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani atau kelompok tani setempat. KP3 daerah wajib melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan, penyaluran, dan penggunaan pupuk bersubsidi di daerah serta melaporkan kepada Bupati, dengan tembusan disampaikan kepada produsen selaku penganggungjawab wilayah. Pengawasan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini IV ke petani atau kelompok tani dilakukan oleh KP3 di daerah bersama Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan Tenaga Harian Lepas-Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP) serta Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT), Tenaga Bantu Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (TB-POPT), dan Ketua Gabungan Kelompok Tani.

2.1.4. Indikator Tingkat Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk

Tingkat efektivitas kebijakan subsidi pupuk diukur berdasarkan enam indikator. Menurut Peraturan Bupati Bogor Nomor 13 Tahun 2010


(29)

indikator-indikator subsidi pupuk adalah tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, tepat jumlah, tepat jenis, dan tepat mutu. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini terfokus pada empat indikator tepat yaitu harga, tempat, waktu, dan jumlah. Pemilihan keempat indikator ini disebabkan oleh empat indikator tersebut dapat dikuantifikasikan sehingga dapat diinterpretasikan.

Pengertian tepat harga adalah suatu kondisi dimana harga pembelian pupuk oleh petani secara kontan di tingkat pengecer atau kios resmi per saknya

sama dengan harga eceran tertinggi (Syafa’at, et al., 2007). Pengertian tepat

tempat berdasarkan sumber yang sama adalah suatu kondisi dimana pupuk tersedia di dekat atau di sekitar rumah atau lahan petani yang diindikasikan dengan pembelian pupuk oleh petani dilakukan di kios di dalam desa. Pengertian tepat waktu berdasarkan sumber yang sama adalah suatu kondisi dimana pupuk secara fisik tersedia pada saat dibutuhkan oleh petani. Pengertian tepat jumlah menurut Rahman (2009) adalah jumlah pemupukan yang dilakukan sesuai dengan dosis atau jumlah berdasarkan analisa status hara tanah dan kebutuhan tanaman. Menurut Purwono dan Heni (2009), jumlah pupuk yang tepat berdasarkan status hara dan kebutuhan tanaman yang dianjurkan adalah kombinasi antara urea 200kg/ha, TSP/SP-36 sebanyak 75-100kg/ha, dan KCL sebanyak 75-100kg/ha.

2.1.5. Teori Produksi

Fungsi produksi menurut Walter Nicholson (1991) adalah suatu fungsi yang memperlihatkan sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan tenaga kerja (L) atau Q= f (K,L).


(30)

Dalam suatu proses produksi juga terdapat adanya perubahan keluaran yang dihasilkan oleh perubahan dalam satu masukan produksi. Teori ini sering disebut dengan Marginal Physical Product (Produk Fisik Marginal) yang pengertiannya adalah keluaran tambahan yang dapat diproduksi dengan menggunakan satu unit tambahan dari masukan tersebut dengan mempertahankan semua masukan lain tetap konstan. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut :

Produk fisik marginal dari modal :

...(2.1)

Produk fisik marginal dari tenaga kerja :

... (2.2)

Produk fisik marginal dari sebuah masukan bergantung pada jumlah masukan tersebut yang dipergunakan. Sebagai contoh pupuk tidak dapat ditambahkan secara tidak terbatas untuk sebidang tanah tertentu (dengan mempertahakan jumlah peralatan, tenaga kerja, dan sebagainya) yang pada akhirnya akan menunjukkan penurunan produktivitas. Hal ini akan dijelaskan pada Gambar 2.1.

Kurva pada Gambar 2.1 memperlihatkan produktivitas rata-rata dan produktivitas marginal untuk pupuk dapat diturunkan dari kurva produk total. Kurva TPP dalam (a) mewakili hubungan antara masukan pupuk dan keluaran, dengan asumsi bahwa semua masukan lain dipertahankan konstan. Pada (b) diperlihatkan bahwa kurva TPP merupakan produk marginal pupuk (MPP), dan kemiringan kurva yang menggabungkan titik asal dengan satu titik di kurva TPP


(31)

menghasilkan produk rata-rata pupuk (APP). Kurva ini menjelaskan hubungan antara jumlah masukan tertentu (pupuk) dan keluaran atau output total (TPP). Untuk jumlah pupuk yang kecil, keluaran meningkat dengan cepat kemudian pupuk ditambahkan tetapi karena semua masukan lain tetap konstan, pada akhirnya kemampuan pupuk tambahan untuk menghasilkan keluaran tambahan mulai menurun. Pada akhirnya, pada P***, keluaran mencapai tingkat maksimum dimana pada setiap pupuk yang ditambahkan akan mengurangi keluaran.

P* P** P*** Masukan pupuk per periode (a) Produk Total Kurva Pupuk

MPP APP

MPP

APP

P* P** P*** Masukan pupuk per periode (b) Kurva Produk Rata-rata dan Marginal untuk Pupuk Sumber : Nicholson (1991)

Gambar 2.1. Kurva Hubungan antara Input (Pupuk) dan Output Total jumlah per


(32)

Kurva total produk tersebut akan menggambarkan produksi atau keluaran dari penggunaan suatu input tertentu. Pada Gambar 2.2 akan dijelaskan pengaruh dari adanya subsidi. Pada kurva ini akan dilihat adanya pengaruh dari pemberian subsidi terhadap kurva penawaran pupuk dan produksi padi.

P S

S’

P

P’

D

Q Q’ Q

(a) Pengaruh Subsidi terhadap Kurva Penawaran Pupuk Output (Q)

Q’

Input (pupuk)

(b) Pengaruh Subsidi terhadap Produksi Sumber : Widjajanta dan Widyaningsih (2007)

Gambar 2.2. Pengaruh Subsidi terhadap Kurva Penawaran dan Produksi

Dari Gambar 2.2 dapat terlihat pengaruh adanya subsidi terhadap kurva penawaran dan produksi. Subsidi merupakan bantuan yang diberikan pemerintah kepada produsen terhadap produk yang dihasilkan atau dipasarkan, sehingga harga lebih rendah sesuai dengan keinginan pemerintah dan daya beli masyarakat


(33)

meningkat. Subsidi pupuk merupakan bantuan yang diberikan pemerintah kepada petani agar dapat memproduksi dengan biaya lebih rendah. Adanya subsidi

menyebabkan penawaran pupuk bertambah dari S ke S’. Pupuk yang ditawarkan

di pasar menjadi bertambah dari Q ke Q’, sedangkan harga keseimbangan pasar

dengan adanya subsidi akan turun dari P ke P’ seperti terlihat pada kurva (a).

Dampak dari adanya subsidi adalah biaya produksi menjadi lebih rendah yang menyebabkan kemampuan produsen untuk membeli input produksi lebih tinggi sehingga jumlah input produksi meningkat. Adanya peningkatan input produksi

akan menyebabkan jumlah barang yang diproduksi menjadi naik (dari Q ke Q’)

seperti terlihat pada kurva (b). Jadi, adanya subsidi dapat meningkat kemampuan produksi suatu barang.

2.1.6. Teori Permintaan

Fungsi permintaan menurut Nicholson (1991) adalah hubungan antara harga dan kuantitas yang diminta konsumen per unit waktu, ceteris paribus. Harga dan kuantitas permintaan berbanding terbalik sehingga kurva permintaan berslope negatif. Pada prinsipnya, untuk mencapai utilitas maksimum pada tingkat optimal X1, X2, …, Xn (dan λ, pengali Lagrangian) sebagai fungsi dari semua harga dan pendapatan. Secara matematis fungsi permintaan dinyatakan sebagai berikut :

X1* = D1 (P1, P2, …, Pn, I) ... (2.3) X2* = D2 (P1, P2, …, Pn, I) ... (2.4)


(34)

Notasi D menyatakan permintaan, P menyatakan harga, X menyatakan jumlah yang ingin dibeli dan I menyatakan pendapatan sehingga dapat diketahui jumlah yang akan dibeli seseorang individu untuk masing-masing barang. Proses produksi terjadi karena adanya permintaan output yang dihasilkan. Permintaan input akan muncul karena adanya suatu proses produksi. Jadi, permintaan input timbul karena adanya permintaan akan output. Hal inilah yang disebut dengan permintaan turunan (derived demand) dimana permintaan input yang muncul karena adanya permintaan output. Permintaan terhadap input merupakan permintaan turunan karena input digunakan dalam memproduksi output tertentu sehingga besarnya permintaan input tergantung dari besarnya output yang digunakan. Begitu pula dengan permintaan terhadap pupuk yang merupakan input produksi timbul karena adanya permintaan output (produk pertanian) sehingga besarnya pupuk yang diminta berdasarkan permintaan output (produk pertanian) yang dibutuhkan oleh masyarakat.

2.2.Penelitian-Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu baik berupa penelitian tentang subsidi pupuk maupun penelitian tentang efektivitas suatu kebijakan publik dijadikan rujukan dalam penelitian ini. Penelitian terdahulu tentang subsidi pupuk yang menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah penelitian Ardi (2005) tentang Analisis Pencabutan Subsidi Pupuk terhadap Sektor Pertanian di Indonesia (Analisis Input-Output Sisi Penawaran). Dalam penelitian mengambil tujuan, antara lain menganalisis keterkaitan sektor industri pupuk terhadap sektor dalam perekonomian melalui


(35)

struktur input antara dan permintaan antara sektor industri pupuk, menganalisis daya penyebaran ke depan dan indeks daya penyebaran ke belakang sektor industri pupuk dan sektor pertanian, menganalisis multiplier output, pendapatan, dan tenaga kerja sektor pertanian dan industri pupuk, membandingkan hasil analisis dampak penyebaran dan multiplier sektor pertanian dengan sektor industri pupuk. Selain itu, tujuan lain yang berkaitan dengan penelitian ini adalah menganalisis dampak pencabutan subsidi pupuk di sektor industri pupuk terhadap pembentukan jumlah output, pendapatan, dan tenaga kerja sektor-sektor pertanian Indonesia.

Hasil dalam penelitian Ardi (2005) adalah sektor industri pupuk sangat tergantung terhadap sektor gas, minyak, dan panas bumi. Sektor industri pupuk juga mempunyai peranan yang besar terhadap kegiatan produksi sektor pertanian. Daya penyebaran ke depan sektor industri pupuk dan sektor pertanian secara umum lebih besar daripada daya penyebaran ke belakangnya yang mengindikasikan kedua sektor tersebut lebih mampu mempengaruhi pembentukan output sektor hilirnya. Dampak pencabutan subsidi pupuk akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap perekonomian yang ditunjukkan oleh tingginya nilai multiplier output, pendapatan, dan tenaga kerja. Pencabutan subsidi pupuk dapat mempengaruhi output, kesempatan kerja, dan pendapatan di sektor pertanian, terutama sektor padi. Sektor industri pupuk merupakan sektor yang lebih strategis dibandingkan sektor pertanian. Dalam penelitian ini masih terdapat kekurangan karena tidak memperhitungkan elastisitas dari permintaan dan penawaran pupuk. Selain itu, penelitian ini juga belum melihat dampak pencabutan subsidi pupuk


(36)

secara khusus terhadap penerima sesungguhnya dari pemberian subsidi pupuk (petani, pekebun, dan peternak kecil).

Penelitian lain tentang subsidi pupuk adalah penelitian Rahman (2009) tentang Kebijakan Subsidi Pupuk : Tinjauan terhadap Aspek Teknis, Manajemen, dan Regulasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah sistem distribusi pupuk belum menjamin ketersediaan di tingkat petani. Hal ini disebabkan oleh masih adanya kelemahan-kelemahan serta pemahaman yang beragam dalam implementasinya. Dalam peningkatan efektivitas pelaksanaan kebijakan distribusi pupuk bersubsidi perlu dilakukan perbaikan kebijakan baik pada aspek teknis, manajemen, maupun regulasi.

Perbaikan aspek teknis meliputi meningkatkan sosialisasi pemupukan berimbang, dan mempercepat penggunaan pupuk organik melalui pelatihan pembuatan pupuk organik. Perbaikan kebijakan pada aspek manajemen meliputi sosialisasi sistem penyaluran pupuk bersubsidi kepada semua stakeholder, pilot project penyaluran pupuk bersubsidi menggunakan kartu kendali perlu dikaji efektivitasnya, koordinasi lintas sektor, reposisi kios (Lini IV) dengan lebih menerapkan peran pemerintah daerah dalam penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi. Perbaikan aspek regulasi yang disarankan meliputi RDKK seharusnya digunakan untuk menghubungkan peraturan Permendag No. 21/M-DAG/PER/6/2008 dengan Permentan No. 42/Permentan/OT.140/09/2008, Permendag No. 21/M-DAG/PER/6/2008 perlu direvisi dengan dipertegas pada


(37)

sanksi terhadap pelanggaran dalam penyaluran pupuk bersubsidi sesuai Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2005.

Penelitian lain terkait dengan subsidi pupuk adalah penelitian yang dilakukan oleh Yessi (2009) dengan judul Mekanisme Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi dan Pengaruhnya terhadap Pemenuhan Pupuk Petani Padi di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi pada Kabupaten Agam terkait dengan permasalahan bahwa semakin tingginya permintaan pupuk yang menyebabkan peluang dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang ikut andil dalam perdagangan pupuk tanpa menaati peraturan yang berlaku. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pengadaan pupuk dari Lini III (distributor) dan Lini IV (pengecer) kurang efektif karena tidak berdasarkan kebutuhan petani atau kelompok tani. Penyaluran pupuk yang bersifat terbuka dan pasif menyebabkan petani sulit untuk memperoleh pupuk bersubsidi. Penyimpangan dilakukan penyalur terhadap tugas dan tanggungjawabnya menyebabkan kebutuhan petani terabaikan.

Penelitian lain dilakukan oleh Darwis dan Muslim (2007) yang juga terkait dengan kebijakan subsidi pupuk. Penelitian ini berjudul Revitalisasi Kebijakan Sistem Distribusi Pupuk dalam Mendukung Ketersediaan Pupuk Bersubsidi di Tingkat Petani. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui distribusi pupuk bersubsidi dari berbagai periode program kebijakan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Pada era Program Bimas (1996-1979) sampai era pasar bebas (1998-2001) masih terdapat permasalahan seperti tidak adanya keterbatasan stok,


(38)

ketidakmampuan pemerintah dalam memperbaiki mekanisme penyaluran pupuk dalam negeri yang menyebabkan adanya kelangkaan pupuk dan penyimpangan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Pada periode 2003 sampai sekarang masih belum adanya jaminan ketersediaan pupuk di tingkat petani karena adanya penyelundupan pupuk lewat ekspor ilegal sehingga harga pupuk naik drastis di pasar dunia. Saran dari penelitian ini adalah adanya sistem tata niaga pupuk yang berkeadilan, dan adanya ketegasan pemerintah dalam menjalankan kebijakan ini seperti penetapan sanksi yang tegas terhadap yang melakukan pelanggaran dan kecurangan.

Penelitian terkait dengan subsidi pupuk lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Darwis dan Nurmanaf (2004). Penelitian ini berjudul Kebijakan Distribusi, Tingkat Harga, dan Penggunaan Pupuk di Tingkat Petani. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kebijakan distribusi pupuk dari berbagai periode, dan mengetahui penggunaan pupuk di tingkat petani serta harga pupuk di tingkat petani. Kesimpulan dari penelitian ini adalah berbagai pola kebijakan subsidi pupuk yang telah dilakukan pemerintah dalam rangka peningkatan produktivitas pertanian pada kenyataannya masih terjadi adanya kelanggkaan pupuk dan tingginya harga pupuk di tingkat petani. Sistem distribusi dinilai bukan merupakan penentuan kelangkaan dan fluktuasi harga pupuk, tetapi faktor eksternal seperti efektivitas pelaksanaan ekspor pupuk. Oleh karena itu, kebijakan ekspor pupuk perlu disesuaikan dengan masa kebutuhan pupuk dan harga pupuk di tingkat petani.


(39)

Penelitian tentang efektivitas kebijakan publik yang digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini adalah penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sari (2007). Penelitian ini berjudul Analisis Efektivitas dan Efisiensi Distribusi Raskin. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan harga patokan dengan harga aktual di tingkat rumah tangga penerima Raskin, mengetahui surplus yang diterima rumah tangga miskin dari subsidi beras miskin, mengetahui tingkat efektivitas, serta untuk mengetahui tingkat efisiensi dari penyaluran beras miskin sampai ke rumah tangga di daerah penelitian. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Metode penentuan tingkat efektivitas dari program Raskin dilakukan dengan analisis deskriptif kuantitatif dengan membandingkan antara persentase indikator yang tepat dengan yang tidak tepat. Apabila persentase tingkat ketepatan indikator sama atau lebih besar dari 80 persen maka program raskin dapat dikategorikan efektif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan harga Raskin di tingkat rumah tangga dengan harga patokan pemerintah sebesar Rp 400, surplus yang didapatkan oleh penerima Raskin sebesar Rp 10.692 untuk setiap kepala keluarga, tingkat keefektifan program pendistribusian Raskin sebesar 33,4 persen sehingga masih dikategorikan tidak efektif, tingkat efisiensi pendistribusian Raskin dalam kategori efisien.

Penelitian lain tentang efektivitas kebijakan publik adalah penelitian yang dilakukan oleh Hutagaol dan Asmara (2008). Penelitian ini berjudul Analisis Efektivitas Kebijakan Publik Memihak Masyarakat Miskin: Studi Kasus Pelaksanaan Program Raskin di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007. Tujuan dari


(40)

penelitian ini adalah menganalisis keefektifan pelaksanaan program Raskin pada tahun 2007, menelaah tanggapan masyarakat miskin terhadap kenaikan harga tebus raskin, serta merumuskan saran-saran perbaikan yang diperlukan untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan program Raskin di masa datang. Metode pengambilan contoh dalam penelitian ini dilakukan dengan sengaja. Metode analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah program Raskin dikategorikan tidak efektif karena harga tebusan yang lebih mahal dan jatah beras yang diterima lebih sedikit dari seharusnya, rumah tangga miskin tidak keberatan dengan kenaikan harga tebusan Raskin, saran untuk perbaikan program Raskin yaitu peningkatan jumlah Raskin yang diterima rumah tangga miskin dan harga tebusnya, serta merevitalisasi kelembagaan MUDES.

Penelitian tentang Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi yang digunakan rujukan dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Sugiarto (2008). Penelitian ini berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Produksi Padi Sawah di Kabupaten Dharmasraya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi di kabupaten Dharmasraya. Hasil dari penelitian ini adalah luas lahan, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk, penggunaan tenaga kerja mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap jumlah produksi padi sawah di kabupaten Dharmasraya.

Penelitian lain tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi adalah penelitian yang dilakukan oleh Mahananto, Sutrisno, dan Ananda (2009).


(41)

Penelitian ini berjudul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi dengan Studi Kasus di Kecamatan Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan produksi padi sawah, dan menganalisis tingkat optimasi penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatani padi sawah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah faktor luas lahan garapan, jumlah tenaga kerja efektif, jumlah pupuk, jumlah pestisida, pengalaman petani dalam berusahatani, jarak rumah petani dengan lahan garapan, dan sistem irigasi berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan produksi padi sawah. Selain itu, luas lahan garapan, jumlah tenaga kerja efektif, jumlah pupuk, jumlah pestisida, jarak lahan garapan dengan rumah petani, dan sistem irigasi berpengaruh terhadap peningkatan produksi padi sawah, sedangkan pengalaman petani tidak berpengaruh (non significant) terhadap peningkatan produksi padi sawah.

2.3.Kerangka Pemikiran Konseptual

Kebijakan subsidi pupuk ditetapkan adalah untuk membantu sektor pertanian terutama berkaitan dengan penghematan input produksi bagi petani. Pengadaan pupuk bersubsidi adalah dari produsen dengan sistem rayonisasi yang terdiri dari PT. Pupuk Sriwijaya, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Kaltim, PT. Pupuk Kujang Cikampek, dan PT. Pupuk Iskandar Muda yang bertanggungjawab pada ketersediaan setiap pupuk pada masing-masing daerahnya. Penyaluran pupuk bersubsidi diatur berdasarkan mekanisme penyaluran yang telah ditetapkan pemerintah dari Lini I sampai kepada petani. Pengadaan dan penyaluran pupuk


(42)

bersubsidi ini juga diadakan pengawasan terutama berkaitan dengan prinsip enam tepat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Pasal 6 ayat (3). Dari pengawasan ini akan ada suatu evaluasi tentang pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi oleh KP3 daerah. Pada penelitian ini akan membahas efektivitas kebijakan pupuk bersubsidi terutama berkaitan dengan produksi padi di Kabupaten Bogor. Kerangka pemikiran akan dijelaskan pada gambar berikut ini.

Keterangan : = Ruang lingkup penelitian

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran

Input Produksi Pertanian (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,

dan hijauan makanan ternak) Kebijakan Subsidi Pupuk

untuk Sektor Pertanian

Input ProduksiPadi

Penetapan HET Pupuk Bersubsidi

Respon Produksi Padi terhadap Penggunaan Pupuk Respon Penggunaan Pupuk

terhadap Harga

- Peningkatan Efektivitas - Rekomendasi Kebijakan

Efektivitas Kebijakan Waktu Jumlah

Efektif/ tidak efektif? Harga Tempat


(43)

Pada Gambar 2.3 dapat ditunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk untuk sektor pertanian berupa penetapan HET pada pupuk. Penetapan HET ini bertujuan untuk membantu biaya produksi pertanian. Penelitian ini fokus pada produksi padi. Faktor-faktor yang memengaruhi produksi padi adalah luas lahan, jumlah pupuk, jumlah tenaga kerja, jumlah benih atau bibit, dummy benih, dan dummy efektivitas harga. Namun, yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah pengaruh pupuk bersubsidi terhadap produksi padi dengan asumsi bahwa fakor lain dianggap tetap. Dalam mengetahui efektivitas kebijakan subsidi pupuk terhadap produksi padi diukur berdasarkan enam indikator, yaitu tepat tempat, tepat waktu, tepat jenis, tepat jumlah, tepat mutu, tepat harga. Namun, dalam penelitian ini pengujian efektivitas terhadap kebijakan subsidi pupuk hanya difokuskan dalam empat indikator, yaitu harga, tempat, waktu, dan jumlah. Masing-masing indikator mempunyai kriteria tersendiri. Pengujian empat indikator tersebut akan dilakukan dengan teknik wawancara kepada petani untuk melihat fakta di lapangan tentang subsidi pupuk dan pengaruhnya terhadap produksi padi yang akan menunjukkan efektif atau tidaknya kebijakan subsidi pupuk. Pengaruh produksi padi dilihat dari respon penggunaan pupuk terhadap harga dan respon produksi padi terhadap penggunaan pupuk. Dari kesimpulan efektif atau tidaknya subsidi pupuk akan didapatkan rekomendasi kebijakan agar kebijakan ini lebih efektif dan bermanfaat terhadap peningkatan produksi padi.


(44)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan dan Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor, dan Dinas Pertanian Kabupaten Bogor. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari wawancara kepada 120 responden di Kabupaten Bogor.

3.2.Metode Pengumpulan Contoh

Data primer pada penelitian ini diperoleh dengan cara wawancara semi terbuka kepada petani di Kabupaten Bogor menggunakan instrumen kuisioner (Lampiran 1). Penentuan sampling dalam penelitian ini menggunakan teknik Purposive Sampling dimana memilih contoh berdasarkan pertimbangan tentang karakteristik yang cocok dalam penelitian ini. Hal yang menjadi pertimbangan pada penentuan sampling ini adalah berdasarkan data sasaran luas tanam padi di daerah Bogor. Dengan menggunakan teknik ini didapatkan dua kecamatan yang mewakili daerah sentra produksi padi di daerah Kabupaten Bogor, yaitu Pamijahan, dan Darmaga. Dari dua kecamatan tersebut diambil masing-masing dua desa. Setiap desa tersebut masing-masing diambil 30 responden (petani) sehingga semuanya berjumlah 120 responden.


(45)

3.3.Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitaif dan kualitatif, serta regresi linear berganda. Metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif digunakan untuk mengukur efektivitas kebijakan subsidi pupuk berdasarkan empat indikator utama yaitu tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat jumlah. Regresi linear digunakan untuk mengukur respon dari kebijakan subsidi pupuk terhadap produksi padi.

3.3.1. Metode Deskriptif Kuantitatif dan Kualitatif

Metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif digunakan untuk mengukur efektifitas kebijakan subsidi pupuk dilihat dari empat indikator utama. Untuk menghitung ketepatan indikator-indikator ini akan dihitung menggunakan rumus berikut ini.

Ketepatan harga

ΔP = Pr - Pp ... (3.1)

Keterangan :

ΔP = perbedaan harga (Rp)

Pr = harga yang diterima responden (Rp)

Pp = harga eceran tertinggi (HET) dari pemerintah (Rp) Ketepatan Jumlah

ΔQ = Qr - Qp ... (3.2)

Keterangan :


(46)

Qr = jumlah pupuk yang dipergunakan oleh responden (kg/ha) Qp = jumlah pupuk yang disarankan oleh pemerintah (kg/ha)

Ketepatan harga dalam indikator efektivitas subsidi pupuk diukur berdasarkan rumus (3.1). Berdasarkan rumus tersebut dilihat selisih antara harga aktual dengan HET. Setelah itu dilakukan perbandingan antara responden yang memperoleh harga aktual sama dengan HET dengan responden yang memperoleh harga aktual tidak sama dengan HET. Hasil dari perbandingan responden tersebut ditransformasi dalam bentuk persen. Apabila presentasi tepat harga sama dengan atau lebih besar dari 80 persen maka indikator tepat harga dikategorikan efektif.

Ketepatan tempat dalam indikator efektivitas kebijakan subsidi pupuk diukur berdasarkan kios tempat responden membeli pupuk yaitu di dalam atau di luar desa. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara responden yang membeli pupuk di dalam desa dengan di luar desa dalam bentuk persen. Apabila persentase yang membeli pupuk di dalam desa sama dengan atau lebih besar dari 80 persen maka dapat dikategorikan efektif pada indikator tepat tempat.

Indikator selanjutnya pada kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat waktu. Indikator ini diukur berdasarkan pendapat responden tentang tersedia atau tidaknya pupuk ketika dibutuhkan oleh responden atau dapat dikatakan bahwa ada atau tidaknya kelangkaan pupuk. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara responden yang berpendapat bahwa pupuk selalu ada setiap dibutuhkan dengan responden yang berpendapat bahwa masih ada kelangkaan pupuk dalam bentuk persen. Apabila presentase tingkat ketepatan atau persentase responden yang


(47)

menyatakan bahwa pupuk selalu ada ketika dibutuhkan sama dengan atau lebih besar dari 80 persen maka dapat dikategorikan bahwa tepat waktu sudah efektif.

Indikator terakhir dalam penentuan efektivitas kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat jumlah. Pengukuran tepat jumlah ini berdasarkan selisih antara jumlah aktual dengan jumlah seharusnya yang dijelaskan pada rumus (3.2). Selanjutnya dilakukan perbandingan antara responden yang menggunakan pupuk sesuai dengan anjuran dengan responden yang menggunakan pupuk tidak sesuai anjuran dalam bentuk persen. Apabila persentase responden yang menggunakan pupuk sesuai anjuran sama dengan atau lebih besar dari 80 persen maka dapat dikategorikan efektif pada indikator tepat jumlah. Dari keseluruhan persentase indikator dibuat rata-ratanya dalam bentuk persen. Apabila rata-rata tingkat ketepatan sama dengan atau lebih dari 80 persen maka dapat dikategorikan bahwa kebijakan subsidi pupuk sudah efektif.

3.3.2. Metode Regresi Linear

Model regresi linear berganda menurut Juanda (2008) adalah fungsi linear dari beberapa peubah bebas X1, X2,..., Xk dan komponen sisaan error. Analisis data menurut Kurniawan (2008) mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk tujuan deskripsi dari fenomena data atau kasus yang sedang diteliti, untuk tujuan kontrol, dan untuk tujuan prediksi. Data untuk variabel X (independen) pada regresi linier dapat berupa data pengamatan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti (experimental of fixed data) maupun data yang belum ditetapkan sebelumnya oleh peneliti (observational data). Perbedaan pada kedua data ini adalah jika


(48)

menggunaakan fixed data (data yang telah ditetapkan) maka informasi yang diperoleh lebih kuat dalam menjelaskan hubungan sebab akibat antara variabel X dan variabel Y. Namun, jika menggunakan observational data, informasi yang diperoleh belum tentu merupakan hubungan sebab akibat. Fixed data biasanya diperoleh melalui percobaan laboratorium dimana peneliti telah memilki beberapa nilai variabel X yang ingin diteliti. Pada observational data variabel X yang diamati tergantung keadaan di lapangan dimana biasanya data ini diperoleh dengan menggunakan kuisioner. Pada penelitian ini menggunakan data berupa observational data. Variabel-variabel ini akan dibentuk persamaan regresi untuk dapat merepresentasikan hubungan dari data-data yang diperoleh. Persamaan model regresi berganda secara umum adalah sebagai berikut.

Yi= β1+ β2X2i+ β3X3i+ .... + βkXki+ εi ... (3.3)

Pada penelitian ini menggunakan regresi linear berganda yang menggambarkan respon penggunaan pupuk terhadap perubahan harga. Persamaan ini akan dijelaskan sebagai berikut.

Persamaan regresi linear berganda respon penggunaan pupuk:

LnPPKi = β0+ β1LnPUi+ β2LnPTi+ β3LnPHDi+ β4LnLLHi + ei, ... (3.4) Persamaan regresi linear berganda respon produksi padi terhadap perubahan variabel-variabel:

LnPPi = β0 + β1LnPPKi + β2LnTTKi + β3LnLLHi + β4LnBBT + β5LnD1i +

β6LnD2i + ei ... (3.5) Keterangan:

PPK : Total permintaan pupuk urea pada harga ke-i PUi : Harga urea-i


(49)

PTi : Harga TSP-i PHDi : Harga padi-i

PPi : Total produksi padi pada penggunaan pupuk dengan jumlah-i PPKi : Penggunaan pupuk dengan jumlah-i

TTKi : Penggunaan tenaga kerja dengan jumlah-i LLHi : Penggunaan lahan dengan jumlah-i

BBTi : Penggunaan bibit atau benih dengan jumlah-i

D1i : Penggunaan dummy bibit dengan jumlah-i (1=ciherang, 0=non ciherang) D2i : Penggunaan dummy efektivitas harga-i (1=tepat, 0=tidak tepat)

Βi : dugaan parameter koefisien regresi (intersep)

ei : sisaan atau simpangan atau perbedaan antara total produksi padi sesungguhnya dengan nilai dugaan untuk penggunaan pupuk dengan jumlah-i

Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan Eviews 6 untuk melakukan pengujian statistika dan ekonometrika. Pengujian statistika dilakukan untuk melihat pengaruh dari variabel-variabel independen terhadap variabel dependen dalam suatu regresi. Dalam penelitian ini terdapat dua regresi yaitu regresi yang melihat respon penggunaan pupuk terhadap perubahan harga, dan respon produksi padi terhadap perubahan faktor-faktornya meliputi luas lahan, pupuk, tenaga kerja, benih atau bibit, dummy benih, dan dummy efektivitas harga. Pada uji statistika ini dilihat nilai koefisien determinasi (R-squared), nilai probabilitas F-statisik, serta uji t yang berdasarkan nilai probabilitas


(50)

masing-masing variabel indenpendenya yang dibandingkan dengan taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen.

Hipotesis awal dari persamaan regresi (3.4) adalah harga urea mempunyai tingkat elastisitas yang lebih kecil dari satu (inelastis) . Sifat yang inelastis ini berarti bahwa ketika terjadi perubahan harga ura tidak akan berpengaruh besar pada perubahan jumlah pupuk urea yang digunakan oleh petani. Faktor-faktor lain selain harga urea mempunyai pengaruh yang positif terhadap permintaan urea. Sementara itu, hipotesis awal dari persamaan regresi (3.5) adalah masing-masing variabel independen mempunyai pengaruh positif terhadap variabel dependen. Hal ini berarti apabila terjadi peningkatan pada luas lahan sebanyak satu satuan juga akan mempengaruhi peningkatan produksi padi satuan. Hal ini terjadi juga pada peningkatan variabel-variabel lainnya sebanyak satu satuan yang juga akan meningkatkan produksi padi satuan.

Selain dilakukan uji statistika juga dilakukan uji ekonometrika pada model regresi. Menurut Gujarati (1978) asumsi dari model regresi linear adalah tidak ada pelanggaran asumsi klasik yang meliputi multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Multikolinearitas adalah suatu hubungan linear yang sempurna diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi. Indikasi dari adanya multikolinearitas adalah jika koefisien mempunyai simpangan baku yang tinggi tetapi setelah mengeluarkan satu atau lebih peubah bebas dari model menyebabkan simpangan bakunya rendah. Selain itu, multikolinearitas juga dapat terjadi jika dalam uji-F menyimpulkan bahwa minimal ada peubah bebas yang berpengaruh nyata dalam model atau R-squared


(51)

tinggi, tetapi dalam uji-t tidak ada koefisien yang signifikan karena simpangan baku koefisien besar (Juanda, 2008).

Pelanggaran asumsi klasik yang kedua adalah adanya autokorelasi. Autokorelasi menurut Gujarati (1978) adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data deret waktu) dan ruang (seperti dalam data cross-sectional). Pengujian ada atau tidaknya autokorelasi dilakukan dengan menggunakan Breusch-Goldfrey Serial Correlation LM Test. Apabila nilai probabilitas yang didapatkan lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen maka tidak terdapat pelanggaran autokorelasi atau tidak ada autokorelasi dalam model.

Pelanggaran asumsi klasik yang terakhir adalah adanya heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas adalah varians setiap unsur disturbance ui, tergantung pada nilai yang dipilih dari variabel yang menjelaskan, adalah suatu angka yang tidak konstan atau berbeda (Gujarati, 1978). Pengujian ada atau tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan menggunakan uji White maupun uji Harvey. Apabila nilai probabilitas yang diperoleh lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen maka tidak ada heteroskedastisitas dalam model. Dari ketiga pengujian asumsi klasik, model akan baik jika tidak terdapat pelanggaran-pelanggaran pada asumsi klasik tersebut.


(52)

IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Gambaran Umum Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor merupakan suatu daerah tingkat II di Jawa Barat yang mempunyai luas wilayah sebesar 2.301,95 Km2. Batas Kabupaten Bogor sebelah utara adalah Kota Depok, batas barat dengan Kabupaten Lebak, batas barat daya dengan Kabupaten Tangerang, batas timur dengan Kabupaten Purwakarta, batas timur laut dengan Kabupaten Bekasi, batas selatan dengan Kabupaten Sukabumi, dan batas tenggara dengan Kabupaten Cianjur. Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan, 427 desa/kelurahan, 3.516 RW, dan 13.603 RT berdasarkan data pada tahun 2006. Sementara itu, jumlah penduduk Kabupaten Bogor akan ditunjukkan pada tabel berikut ini.

Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2006-2009

Tahun Jumlah Penduduk (jiwa)

2006 4.216.186

2007 4.316.236

2008 4.402.026

2009 4.453.927

Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2010

Berdasarkan Tabel 4.1.dapat dilihat pertumbuhan jumlah penduduk Kabupaten Bogor dari tahun 2006 sampai 2009. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor cenderung mengalami peningkatan pada setiap tahunnya. Jumlah penduduk pada data terakhir yaitu pada tahun 2009 sebesar 4.453.927. Pertumbuhan penduduk yang selalu mengalami peningkatan menyebabkan semakin bertambahnya kebutuhan penduduk termasuk peningkatan kebutuhan pangan.


(53)

Bahkan jumlah penduduk Kabupaten Bogor tercatat sebagai jumlah penduduk terbesar diantara Kabupaten lain di Jawa Barat. Sementara itu, perekonomian wilayah Kabupaten Bogor dilihat berdasarkan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor akan ditunjukkan pada tabel berikut ini.

Tabel 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2002-2005

Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)

2002 4,48

2003 4,81

2004 5,56

2005 5,85

Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2005

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat PDRB Kabupaten Bogor dari tahun 2002 sampai 2005. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa Kabupaten Bogor memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang selalu meningkat pada periode 2002 sampai 2005. Pada Tahun 2005 laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5,85 persen yang meningkat 0,29 persen dari tahun sebelumnya. Sektor-sektor perekonomian Kabupaten Bogor juga menentukan besarnya laju pertumbuhan ekonomi. Sektor yang menjadi penyumbang terbesar dalam penyerapan tenaga kerja akan ditunjukkan pada Tabel 4.3.

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat jumlah tenaga kerja pada masing-masing sektor di Kabupaten Bogor. Sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar adalah sektor perdagangan sebesar 356.304. kemudian dilanjutkan oleh sektor industri yang menyerap tenaga kerja sebesar 283.831.


(54)

Tabel 4.3. Data Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha Utama Kabupaten Bogor Tahun 2006

Lapangan Usaha Utama Jumlah

Pertanian 258.631

Pertambangan dan Galian 18.751

Industri 283.831

Listrik, Gas, dan Air Minum 2.451

Konstruksi 66.022

Perdagangan 356.304

Komunikasi 123.057

Keuangan 26.946

Jasa-jasa 248.745

Lainnya 4.892

Jumlah 1.389.630

Sumber : Departemen Perindustrian, 2007

Berdasarkan tabel di atas juga dapat dilihat bahwa pertanian yang merupakan salah satu sektor unggulan Kabupaten Bogor yang menyerap tenaga kerja sebesar 258.631. Sektor pertanian ini merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar ketiga setelah sektor perdagangan, dan industri. Ketiga sektor unggulan tersebut harus mendapatkan perhatian dari pemerintah agar penyerapan hasil dari ketiga sektor tersebut dalam PDRB Kabupaten Bogor dapat terserap secara optimal.

Pertanian sebagai salah satu sektor unggulan Kabupaten Bogor harus mendapatkan prioritas dari pemerintah. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan produksi pertanian juga harus diperhatikan terutama adalah luas lahan. Luas lahan dan produksi padi di Kabupaten Bogor akan ditunjukkan pada tabel berikut ini.


(55)

Tabel 4.4. Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi Sawah Kabupaten Bogor Tahun 2009

Tahun

Luas Tanam

(Ha)

Luas Panen (Ha)

Produktivitas

(Ku/Ha) Produksi (Ton)

2005 79.970 76.476 52,81 403.860

2006 79.140 73.932 54,04 399.501

2007 87.304 82.103 56,84 466.656

2008 85.208 81.415 58,63 477.344

Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2010

Berdasarkan pada Tabel 4.4 dapat dilihat luas tanam, luas panen, produktivitas dan produksi padi sawah Kabupaten Bogor. Dari tabel tersebut terlihat bahwa luas tanam dan luas panen cenderung fluktuatif bahkan terjadi penurunan pada tahun 2006 dari tahun sebelumnya dengan selisih luas tanam sebesar 830 hektar dan selisih luas panen sebesar 2544 hektar. Hal demikian juga terjadi lagi pada tahun 2010 yang mengalami penurunan luas tanam sebesar 2096 dari tahun sebelumnya serta penurunan luas panen sebesar 688 hektar. Hal ini juga berpengaruh pada produksi padi yang fluktuatif bahkan menurun pada tahun 2006 sebesar 4359 ton dari tahun sebelumnya karena adanya penurunan luas tanam dan luas panen dalam jumlah yang besar. Dari Tabel 4.4 juga dapat dilihat bahwa luas panen selalu lebih kecil dari luas tanam pada setiap tahunnya. Hal ini mengindikasikan bahwa belum optimalnya produksi padi terkait dengan faktok-faktor yang mempengaruhinya seperti kebutuhan pupuk, jumlah tenaga kerja, jenis benih atau bibit yang juga berpengaruh terhadap produksi padi. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih memperhatikan terpenuhinya kebutuhan faktor produksi di tingkat petani sehingga dapat mendukung peningkatan produksi padi


(56)

yang juga akan mendukung ketahanan pangan terkait dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk.

4.2. Perkembangan Kebijakan Subsidi Pupuk

Kebijakan subsidi pupuk merupakan salah satu kebijakan fiskal yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian terutama tanaman pangan sehingga kebutuhan pangan penduduk terpenuhi. Kebijakan ini sudah diadakan sejak tahun 1960 dan telah mengalami berbagai perubahan pola kebijakan untuk memperbaiki efektivitas dari penyerapan subsidi pupuk ini. Kebijakan subsidi pupuk pertama dimulai sejak tahun 1960 dimana penyaluran subsidi pupuk dilakukan secara konsinyasi. Pertanggungjawaban penyediaan pupuk diserahkan pada PT. Pupuk Sriwijaya. Namun, pada periode ini tidak ada jaminan ketersediaan pupuk karena tidak ada ketentuan stok pupuk. Selain itu, hal ini dikarenakan adanya pengembalian kredit yang bermasalah dari petani dan tidak adanya dana yang cukup dari pemerintah untuk mengimpor pupuk. Kondisi ini berlangsung sampai tahun 1979 kemudian kebijakan selanjutnya juga masih menjadi tanggung jawab PT. Pupuk Sriwijaya dalam pengadaan dan penyaluran semua jenis pupuk untuk sektor pertanian. Pada periode ini ketersediaan stok pupuk sampai lini IV lebih terjamin karena adanya ketentuan stok pupuk berdasarkan enam indikator (tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu, dan harga).

Ketersediaan semua pupuk bersubsidi oleh pemerintah berlangsung sampai tahun 1993/1994. Kemudian pada tahun ini pupuk yang disubsidi hanya jenis pupuk urea. Pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi masih berada pada


(57)

tanggung jawab PT. Pupuk Sriwijaya. Pupuk lainnya seperti SP 36, ZA, dan KCL mulai disubsidi pada awal 1998 tetapi hanya sementara karena pada akhir Desember subsidi pupuk dicabut. Hal ini berkaitan dengan adanya krisis moneter yang melanda Indonesia yang mendorong Indonesia untuk mencabut kebijakan ini terkait dengan adanya pinjaman hutang dari IMF. Adanya pinjaman dari IMF membuat Indonesia harus mengikuti peraturan yang dibuat oleh IMF sehingga Indonesia harus mencabut kebijakan subsidi pupuk dan pupuk menjadi komoditas bebas melalui mekanisme supply dan demand. Pada periode ini terjadi kelangkaan pupuk dan mahalnya tingkat harga pupuk. Pencabutan subsidi pupuk ini berlangsung sampai tahun 2001.

Pada tahun 2001 diberlakukan kembali adanya subsidi pupuk urea sesuai dengan SK Menperindag No. 93 Tahun 2001. Pada periode ini penyaluran dan pengadaan pupuk urea pada sektor pertanian dibawah tanggung jawab semua produsen pupuk, tidak hanya pada PT. Pupuk Sriwijaya. Pada tahun 2003 dikeluarkan kembali peraturan yang mengatur pengadaan dan penyaluran subsidi pupuk yaitu SK Menperindag No. 70/MPP/Kep/2003 dimana pendistribusian pupuk bersubsidi berdasarkan sistem rayonisasi. Semua produsen pupuk bertanggungjawab terhadap pengadaan pupuk pada wilayah sekitarnya apabila ada kesulitan dalam pengadaanya dapat melakukan kerjasama dengan produsen lain.

Penyaluran dan pengadaan pupuk diatur dalam suatu mekanisme yang pernah mengalami dua kali perubahan. Mekanisme pertama yang diterapkan adalah pada saat penyaluran dan pengadaan subsidi pupuk di bawah tanggung


(58)

jawab satu produsen yaitu PT. Pupuk Sriwijaya. Mekanisme distribusi peyaluran subsidi pupuk ditunjukkan pada Gambar 4.1.

Sumber : Ilham (1999)

Gambar 4.1. Mekanisme Distribusi Pupuk dengan Produsen PT. Pusri

Pada Gambar 4.1 ditunjukkan mekanisme distribusi pupuk pada saat pertanggungjawaban penyaluran dan pengadaan pupuk berada pada satu produsen yaitu PT. Pupuk Sriwijaya. PT. Pupuk Sriwijaya mempunyai tanggung jawab penyaluran subsidi pupuk dari Lini I sampai Lini III. Kemudian Lini IV berada pada tanggung jawab KUD penyalur yang ditunjuk oleh PT. Pusri. Apabila ada permasalahan pada penyaluran pupuk bersubsidi ini maka PT. Pusri bertanggungjawab untuk melakukan penyaluran sampai pada Lini IV. Mekanisme dengan satu produsen pupuk ini berlangsung sampai awal tahun 1998. Pada tahun 1998 subsidi pupuk dicabut dan mulai diberlakukan kembali pada tahun 2001. Pada tahun 2001 mekanisme distribusi subsidi pupuk tidak hanya dimonopoli oleh satu produsen saja, tetapi diserahkan pada semua produsen pupuk (PT. Pupuk

PT. PUSRI

LINI I LINI II

IMPORTIR PRODUSEN

LAIN (HOLDING COMPANY)

PETANI KUD PENYALUR

LINI IV LINI III


(59)

Sriwijaya, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Kaltim, PT. Pupuk Kujang Cikampek, dan PT. Pupuk Iskandar Muda).

Sumber : Ilham (1999)

Keterangan : : Jalur utama

: Jalur insidentil

Gambar 4.2. Mekanisme Distribusi Subsidi Pupuk dengan Semua Produsen

Pada Gambar 4.2 terlihat bahwa semula penyaluran pupuk harus melalui Lini IV terlebih dahulu, tetapi setelah adanya semua produsen yang ikut dalam penyaluran ini maka dari produsen pupuk dapat langsung kepada pengecer sehingga semakin memperpendek mata rantai penyaluran pupuk. Hal ini membuat lebih terjaminnya ketersediaan pupuk karena setiap produsen mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi ketersediaan pupuk di daerah sekitarnya. Apabila terjadi kekurangan persediaan maka produsen berkewajiban untuk bekerjasama dengan produsen maupun produsen lain (holding company). Dengan adanya mekanisme ini diharapkan dapat terjaminnya ketersediaan pupuk di tingkat petani.

PT. PUSRI

LINI I LINI II LINI III LINI IV

PETANI PENGECER

RESMI DISTRIBUTOR

NON PUSRI

IMPORTIR PRODUSEN

LAIN (HOLDING COMPANY)


(60)

V. PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik Usaha Tani Responden

Penelitian ini dilakukan terhadap petani yang mendapatkan pupuk bersubsidi dari pemerintah. Penelitian ini memilih sampel di kabupaten Bogor. Pemilihan sample dilakukan berdasarkan produksi padi di setiap daerah di kabupaten Bogor. Kecamatan Pamijahan dipilih dengan kriteria mewakili daerah sentra produksi padi dengan luas tanam terbesar yaitu 8042 hektar, sedangkan kecamatan Darmaga dipilih dengan kriteria mewakili daerah yang rata-rata produksi padi dengan luas tanam sebesar 1400 hektar (Kementerian Pertanian, 2010). Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan wilayah sebaran sampel.

Tabel 5.1. Wilayah Studi Penelitian

Kecamatan Desa/Kelurahan

Pamijahan Ciasihan

Ciasmara

Darmaga Cikarawang

Ciherang

Dari Tabel 5.1. di atas dapat terlihat bahwa wilayah studi penelitian ini difokuskan pada empat kecamatan. Setiap kecamatan diambil 30 petani sebagai responden. Penelitian ini mengkaji tentang efektivitas kebijakan subsidi pupuk dan pengaruhnya terhadap produksi padi di Kabupaten Bogor. Karakteristik tingkat pendidikan responden akan ditunjukkan pada gambar di bawah ini.


(61)

Gambar 5.1. Karakteristik Pendidikan Responden

Pada Gambar 5.1 terlihat bahwa tingkat pendidikan mayoritas responden adalah SD-MI dengan presentase sebesar 46,36 persen. Jenjang pendidikan tertinggi responden yaitu S1 hanya mencapai presentase sebesar 2,73 persen. Hal ini menunjukkan bahwa responden yaitu petani berpendidikan tidak tinggi sehingga pengetahuan mereka terbatas. Oleh karena itu, dibutuhkan penyuluhan dari berbagai instansi khususnya dinas pertanian untuk memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang pertanian untuk dapat meningkatkan produksi pertanian mereka. Selain itu, juga diperlukan adanya kelompok tani untuk dapat melakukan berbagai pertemuan yang membahas tentang masalah-masalah pertanian mereka untuk dapat diselesaikan secara bersama.

Karakteristik responden selain tingkat pendidikan adalah luas lahan yang dimiliki responden. Responden memiliki luas lahan yang berbeda-beda dimana berdasarkan Gambar 5.2 terlihat bahwa mayoritas responden memiliki luas antara 1000-4999 m2 sebesar 55 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan responden adalah petani kecil dengan luas lahan yang sedikit. Hal ini juga

46,36

15,45 20

2,73 1,82

13,64 0 10 20 30 40 50

SD-MI SMP-MTS SMA S1 PESANTREN TIDAK

LULUS J um la h (%) Pendidikan


(1)

103

No. Luas Lahan (m2) Benih Pupuk (kg) Produksi (kg)

Jenis Jumlah (kg) MT.1 MT.2 MT.3 Rata-rata

19 3000 Ciherang 10 80 1900 650 1300 1300

20 3500 Ciherang 10 120 1750 650 1500 1300

21 4000 Ciherang 10 160 2800 1000 2200 2000

22 3000 Ciherang 10 120 1700 600 1300 1200

23 20000 Ciherang 50 800 11500 4000 8500 8000

24 5000 Ciherang 15 200 3400 1200 2600 2400

25 5000 Ciherang 15 200 2600 900 1900 1800

26 20000 Ciherang 50 800 11750 4250 9500 8500

27 4500 Ciherang 18 200 2775 975 2100 1950

28 20000 Ciherang 60 800 11500 4000 8500 8000

29 10000 Ciherang 40 300 7500 3000 7500 6000

30 5000 Ciherang 15 250 1600 600 1400 1200

31 4000 Inpari 10 100 950 350 800 700

32 10000 Ciherang 35 150 6950 2450 5300 4900

33 4500 Ciherang 10 150 1700 600 1300 1200

34 20000 Ciherang 12 200 4250 1750 4500 3500

35 4500 Ciherang 15 100 2150 700 1350 1400


(2)

104

No. Luas Lahan (m2) Benih Pupuk (kg) Produksi (kg)

Jenis Jumlah (kg) MT.1 MT.2 MT.3 Rata-rata

37 10000 Ciherang 20 150 2850 1050 2400 2100

38 1500 Inpari 10 50 400 140 300 280

39 3000 Ciherang 15 75 1500 600 1500 1200

40 3000 Ciherang 10 150 2300 850 2100 1750

41 40000 Ciherang 60 1000 10800 3700 8000 7500

42 22000 Ciherang 70 700 8200 3200 7500 6300

43 1500 Inpari 5 75 765 260 550 525

44 12000 Ciherang 20 350 2700 1100 2500 2100

45 3000 Ciherang 10 125 1400 550 1200 1050

46 1500 Inpari 7 25 940 300 650 630

47 6000 Ciherang 15 305 2500 900 2000 1800

48 12000 Ciherang 40 500 6140 2300 5000 4480

49 3000 Ciherang 5 30 1200 420 900 840

50 20000 Ciherang 50 250 10500 3500 10000 8000

51 4500 Ciherang 15 150 1600 600 1400 1200

52 3000 Ciherang 10 150 1900 700 1600 1400

53 3000 Ciherang 5 320 1400 550 1200 1050


(3)

105

No. Luas Lahan (m2) Benih Pupuk (kg) Produksi (kg)

Jenis Jumlah (kg) MT.1 MT.2 MT.3 Rata-rata

55 10000 Ciherang 20 115 2850 1050 2400 2100

56 6000 Ciherang 10 150 1900 700 1600 1400

57 750 Intani 2 5 30 550 260 450 420

58 14000 Ciherang 15 150 1900 700 1600 1400

59 10000 Intani 2 15 410 2900 1100 2300 2100

60 1000 Intani 2 10 50 650 300 550 500

61 3000 Intani 2 10 270 - - 500 500

62 5000 Intani 2 8 30 - - 500 500

63 2000 Intani 2 15 75 - - 800 800

64 2000 Intani 2 10 100 - - 800 800

65 1200 Intani 2 15 60 - - 800 800

66 2000 Intani 2 14 55 - - 700 700

67 2500 Intani 2 15 100 - - 800 800

68 2000 Intani 2 5 100 - - 500 500

69 1500 Intani 2 5 70 - - 600 600

70 1000 Intani 2 5 55 - - 500 500

71 1000 Intani 2 5 30 - - 600 600


(4)

106

No. Luas Lahan (m2) Benih Pupuk (kg) Produksi (kg)

Jenis Jumlah (kg) MT.1 MT.2 MT.3 Rata-rata

73 5000 Ciherang 15 150 - - 1300 1300

74 1000 Intani 2 10 50 - - 800 800

75 5000 Intani 2 15 200 - - 1200 1200

76 4000 Intani 2 8 125 - - 1000 1000

77 1800 Intani 2 5 180 - - 400 400

78 500 Intani 2 10 34 - - 400 400

79 2000 Intani 2 8 590 - - 800 800

80 5000 Ciherang 10 400 - - 1300 1300

81 2000 Intani 2 8 20 - - 700 700

82 2000 Intani 2 10 200 - - 1000 1000

83 1000 Intani 2 5 125 - - 750 750

84 2000 Intani 2 10 60 - - 800 800

85 1500 Intani 2 5 20 - - 500 500

86 1800 Intani 2 10 670 - - 600 600

87 3000 Ciherang 10 35 - - 1000 1000

88 5000 Intani 2 15 250 - - 1600 1600

89 1000 GH (Inpari 8) 5 40 - - 500 500


(5)

107

No. Luas Lahan (m2) Benih Pupuk (kg) Produksi (kg)

Jenis Jumlah (kg) MT.1 MT.2 MT.3 Rata-rata

91 5000 GH (Inpari 8) 8 40 - - 2000 2000

92 3000 GH (Inpari 8) 6 50 - - 750 750

93 2500 GH (Inpari 8) 10 50 - - 600 600

94 5000 Ciherang 10 100 - - 1000 1000

95 7000 Ciherang 12 200 - - 1500 1500

96 50 Ciherang 5 100 - - 100 100

97 3000 GH (Inpari 8) 10 150 - - 1000 1000

98 2000 GH (Inpari 8) 5 20 - - 300 300

99 500 GH (Inpari 8) 4 23 - - 300 300

100 2000 GH (Inpari 8) 10 80 - - 500 500

101 3000 GH (Inpari 8) 15 150 - - 800 800

102 5000 GH (Inpari 8) 10 175 - - 1100 1100

103 3700 GH (Inpari 8) 16 150 - - 1000 1000

104 15000 GH (Inpari 8) 20 700 - - 5000 5000

105 15000 GH (Inpari 8) 18 1000 - - 4480 4480

106 4000 GH (Inpari 8) 10 100 - - 1000 1000

107 500 GH (Inpari 8) 2 30 - - 350 350


(6)

108

No. Luas Lahan (m2) Benih Pupuk (kg) Produksi (kg)

Jenis Jumlah (kg) MT.1 MT.2 MT.3 Rata-rata

109 3000 GH (Inpari 8) 8 50 - - 750 750

110 5000 GH (Inpari 8) 30 300 - - 1100 1100

111 500 GH (Inpari 8) 2 30 - - 300 300

112 3000 GH (Inpari 8) 30 50 - - 800 800

113 5000 GH (Inpari 8) 40 200 - - 1500 1500

114 3000 GH (Inpari 8) 20 105 - - 1000 1000

115 700 Ciherang 5 50 - - 500 500

116 1000 GH (Inpari 8) 11 70 - - 500 500

117 2000 GH (Inpari 8) 11 200 - - 700 700

118 1000 GH (Inpari 8) 5 100 - - 500 500

119 700 Ciherang 5 50 - - 500 500