Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk

5.2. Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk

Pupuk merupakan kebutuhan yang cukup penting dalam menunjang produksi padi. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian karakteristik pertanian responden bahwa pupuk mempunyai proporsi pengeluaran terbesar setelah tenaga kerja. Oleh karena itu, diperlukan program kebijakan fiskal yang dapat membantu terpenuhinya kebutuhan pupuk petani dengan mudah dan dengan harga terjangkau agar kesejahteraan petani meningkat. Kebijakan mengatur pupuk yang saat ini diterapkan adalah kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk yang saat ini diterapkan adalah dengan menentukan harga eceran tertinggi yang diterima petani pada setiap jenis pupuk. Kebijakan ini diharapkan dapat membantu kebutuhan pupuk di tingkat petani. Penyaluran subsidi pupuk yang saat ini diterapkan adalah sistem terbuka dimana petani langsung membeli ke pengecer resmi. Pengawasan pupuk bersubsidi untuk mengetahui efektivitas dari kebijakan ini adalah melalui prinsip enam tepat, yaitu harga, jumlah, waktu, tempat, jenis, dan mutu. Penelitian ini menggunakan empat dari enam indikator yang mengukur efektivitas kebijakan subsidi pupuk dengan studi kasus di Kabupaten Bogor. Indikator pertama adalah indikator tepat harga yang diperoleh berdasarkan selisih antara harga yang diterima responden dengan harga yang seharusnya diterima responden. Rata-rata harga pada setiap jenis pupuk bersubsidi yang diterima responden akan dijelaskan pada tabel berikut ini. Tabel 5.3. Rata-rata Harga Pupuk Bersubsidi yang Diterima Responden Uraian Urea TSPSP-36 NPK Harga Rata-rata Pembelian Rpkg 1900 2400 2500 Harga Eceran Tertinggi Rpkg 1600 2000 2300 Deviasi Absolut Rpkg 300 400 200 Deviasi Relatif 18,75 20 8,70 Berdasarkan Tabel 5.3 dapat dilihat harga pupuk aktual dan harga pupuk seharusnya yang diterima responden. Jenis pupuk bersubsidi yang digunakan responden adalah urea, TSPSP-36, dan NPK. Pupuk urea mempunyai harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 1600kg. Namun, pada kenyataanya harga pupuk urea yang diperoleh responden rata-rata sebesar 1900 sehingga terdapat selisih sebesar Rp 300 dari harga sesungguhnya. Responden telah membeli pupuk urea dengan harga 18,75 persen lebih mahal untuk setiap satu kilogram pupuk daripada harga sesungguhnya. Pupuk jenis lain yang digunakan oleh responden adalah TSP atau SP-36. Harga eceran tertinggi dari pupuk jenis ini adalah sebesar Rp 2000kg. Reponden rata-rata memperoleh pupuk bersubsidi jenis ini dengan harga sebesar Rp 2400kg atau terdapat selisih sebesar Rp 400kg. Dari harga yang diperoleh responden ini maka responden telah membeli pupuk TSP atau SP-36 dengan harga 20 persen lebih mahal untuk setiap satu kilogram pupuk dibandingkan dengan harga sesungguhnya. Pupuk bersubsidi selain urea dan TSPSP-36 yang digunakan responden adalah jenis pupuk NPK. Pupuk NPK mempunyai harga eceran tertinggi sebesar Rp 2300kg. Namun, rata-rata harga yang diterima responden sebesar Rp 2500kg atau terdapat selisih sebesar Rp 200kg dari harga sesungguhnya. Dari harga yang diperoleh responden maka responden membeli pupuk NPK dengan harga 8,70 persen lebih tinggi daripada harga sesungguhnya. Dari ketiga jenis pupuk tersebut dapat dikategorikan bahwa ketiga jenis pupuk tersebut mempunyai harga pembelian yang lebih tinggi dari harga eceran tertinggi. Hal ini akan mempengaruhi tingkat efektivitas dari kebijakan subsidi pupuk. Jumlah responden yang memperoleh harga yang tepat dan tidak tepat dalam memperoleh subsidi pupuk akan dijelaskan pada tabel berikut ini. Tabel 5.4. Persentase Tingkat Ketepatan Harga Pupuk Bersubsidi Jenis Pupuk Kesesuaian Harga dengan HET Jumlah Persentase Urea Tepat 40 35,00 Tidak Tepat 74 64,91 NPK Tepat 4 9,52 Tidak Tepat 38 90,48 TSPSP-36 Tepat 14 15,22 Tidak Tepat 78 84,78 TOTAL Tepat 58 23,39 Tidak Tepat 190 76,61 Dari Tabel 5.4 ditunjukkan bahwa terdapat berbagai pilihan penggunaan pupuk oleh responden dimana jenis pupuk yang digunakan oleh responden adalah urea, NPK, TSPSP-36, dan KCL. Namun, KCL mulai tahun 2003 sudah tidak disubsidi sehingga ruang lingkup penelitian hanya terfokus pada tiga jenis pupuk tersebut selain KCL. Analisis data ini dilakukan dengan melihat perbedaan harga pupuk aktual yang diterima responden dengan harga yang seharusnya diterima responden yaitu harga yang sudah ditetapkan pemerintah dalam bentuk harga eceran tertinggi HET. Dalam hal ini dilihat jumlah responden yang memperoleh harga yang sama dengan HET dan jumlah responden yang tidak memperoleh harga yang sama dengan HET. Harga eceran tertinggi untuk urea adalah Rp 1600kg yang berlaku dari tahun 2010 dan sampai sekarang masih diberlakukan HET yang sama. Urea mempunyai HET yang lebih rendah dibandingkan dengan pupuk jenis lain. Jumlah responden yang menerima HET tepat sama dengan harga yang dibayarkan adalah 40 responden, sedangkan jumlah responden yang tidak memperoleh harga sama dengan HET adalah 74 responden. Responden menggunakan pupuk urea untuk mendukung pertumbuhan daun. Persentase dari responden yang memperoleh harga sama dengan HET dan tidak sama dengan HET masing-masing sebesar 35,09 persen dan 64,91 persen. Urea merupakan pupuk yang jumlahnya paling banyak diminta oleh responden sebesar 114 dibandingkan dengan jenis pupuk lain seperti NPK dan TSPSP-36 yang masing- masing hanya sebesar 42 dan 92. Oleh karena itu, banyak responden yang berharap bahwa urea tidak akan dicabut atau tetap disubsidi oleh pemerintah. Hal ini juga didukung dengan adanya wacana penurunan alokasi subsidi pupuk untuk beberapa tahun ke depan, dan adanya beberapa jenis pupuk yang sudah tidak lagi disubsidi seperti KCL. Pupuk selain urea yang disubsidi yaitu NPK yang mempunyai tiga jenis yaitu NPK Phonska, NPK Pelangi, dan NPK Kujang. Kebanyakan responden menggunakan NPK dengan jenis NPK Phonska. NPK digunakan responden untuk membantu pertumbuhan buah. Ketiga jenis NPK tersebut mempunyai harga eceran tertinggi yang sama yaitu Rp 2300kg. Responden yang mendapatkan harga sesuai dengan HET adalah 4 responden, sedangkan responden yang mendapatkan harga lebih tinggi dari HET adalah 38 responden. Persentase sebesar 9,52 persen dimiliki oleh responden yang memperoleh harga sama dengan HET sedangkan responden yang memperoleh harga leih tinggi dari HET sebesar 90,48 persen. NPK mempunyai kecenderungan yang sama dengan urea dimana keduanya memiliki persentase yang lebih besar dalam hal ketidaktepatan dengan HET yang berlaku bahkan NPK memiliki selisih persentase yang lebih besar dibandingkan dengan urea. Jenis pupuk ketiga yang digunakan oleh responden adalah pupuk berjenis TSPSP-36. Pupuk ini digunakan untuk memperkuat batang tanaman dan mempercepat pertumbuhan akar semai. TSPSP-36 mempunyai harga eceran tertinggi sebesar Rp 2000kg. Responden yang memperoleh harga sesuai dengan HET adalah 14 responden, sedangkan responden yang tidak memperoleh harga sesuai dengan HET adalah 78 responden. Persentase responden yang mempunyai harga sama dengan HET dan yang tidak sama dengan HET masing-masing sebesar 15,22 persen dan 84,78 persen. Dari ketiga jenis pupuk bersubsidi yang digunakan oleh responden semuanya mempunyai kecenderungan yang sama dimana kebanyakan responden memperoleh harga yang lebih tinggi dari HET dengan persentase sebesar 76,61 persen dibandingkan dengan responden yang memperoleh harga sama dengan HET yang hanya sebesar 23,39 persen. Kecenderungan harga yang lebih tinggi dari HET ini terjadi karena kebanyakan responden membeli pupuk di kios yang dekat dengan desa. Kebanyakan kios resmi berada di luar desa yang membutuhkan tambahan biaya transportasi. Selain itu, kebanyakan responden juga tidak mengetahui kios resmi yang menjual pupuk bersubsidi. Hal-hal tersebut yang membuat pupuk bersubsidi pada penelitian ini belum bisa dikategorikan memenuhi prinsip tepat harga. Indikator kedua yang menentukan keefektifan program kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat tempat. Tepat tempat yang dimaksud adalah petani sebagai penerima subsidi pupuk dapat memperoleh pupuk di kios yang dekat dengan rumah atau lahan petani atau kios berada di dalam desa. Hasil penelitian tentang indikator tepat tempat akan dijelaskan pada tabel berikut ini. Tabel 5.5. Persentase Tingkat Ketepatan Tempat Pupuk Bersubsidi Tempat Pembelian Pupuk Jumlah Responden Persentase di dalam desa 52 43,33 di luar desa 68 56,67 TOTAL 120 100 Dari Tabel 5.5 di atas dijelaskan tentang besarnya ketepatan tempat pembelian pupuk bersubsidi. Ketepatan tempat ini diukur berdasarkan seberapa banyak responden yang menyatakan tempat atau kios pembelian pupuk bersubsidi berada di dalam atau di luar desa. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebanyak 52 responden menyatakan bahwa mereka melakukan pembelian pupuk bersubsidi di dalam desa. Responden tersebut menyatakan bahwa terdapat kios di dalam desa walaupun dengan harga yang lebih mahal dan bukan merupakan kios resmi daripada melakukan pembelian di kios luar desa atau di pusatnya yaitu di pasar pusat pada setiap kecamatan. Namun, responden tersebut tetap memilih untuk membeli pupuk bersubsidi di kios dalam desa daripada di luar desa meskipun dengan harga yang lebih mahal dengan alasan bahwa kios luar desa terlalu jauh dan masih membutuhkan biaya transportasi. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa terdapat 68 responden yang melakukan pembelian pupuk di luar desa. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa tidak ada kios yang ada di dalam desa. Selain itu, harga pupuk bersubsidi di luar desa atau di kios yang terletak pada pusat kecamatan lebih murah karena merupakan kios resmi meskipun responden masih dibebani dengan biaya transportasi. Responden biasanya melakukan pembelian dalam jumlah besar agar tidak merasa dirugikan dengan adanya biaya transportasi. Namun, hal ini hanya bisa dilakukan oleh beberapa petani dengan modal yang cukup besar untuk membeli dalam jumlah yang banyak. Petani dengan modal yang terbatas dimana tidak ada kios yang berada dalam desa dan tetap melakukan pembelian pupuk di luar desa akan merasa terbebani dengan biaya transportasi karena mereka hanya membeli pupuk dengan jumlah yang tidak besar dan tidak sebanding dengan biaya transportasi yang mereka keluarkan. Persentase responden yang melakukan pembelian pupuk di dalam desa dengan responden yang melakukan pembelian pupuk di luar desa masing- masing sebesar 43,33 persen dan 56,67 persen. Dari persentase tersebut terlihat bahwa masih banyak responden yang melakukan pembelian pupuk bersubsidi di luar desa dengan berbagai alasan yang telah dijelaskan sehingga kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif dalam indikator tepat tempat. Indikator lain dalam menentukan tingkat kefektifan dari suatu kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat waktu. Indikator tepat waktu yang dimaksud adalah pupuk bersubsidi yang akan selalu tersedia ketika dibutuhkan oleh petani dengan kata lain bahwa tidak terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi ketika petani akan membutuhkan pupuk tersebut. Hasil dari penelitian tepat waktu yang berdasarkan pendapat dari responden akan ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 5.6. Persentase Tingkat Ketepatan Waktu Pupuk Bersubsidi Ketepatan Waktu Jumlah Reponden Persentase Pupuk selalu ada 120 100 Pupuk tidak ada TOTAL 120 100 Tabel 5.6 di atas menunjukkan tentang ketepatan waktu dari perolehan pupuk bersubsidi. Indikator ketapatan waktu diukur dengan hasil pendapat responden yang menyatakan pupuk bersubsidi akan selalu ada atau tidak ada ketika dibutuhkan mereka. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebanyak 120 responden atau dapat dikatakan bahwa semua responden berpendapat bahwa pupuk bersubsidi selalu ada ketika akan dibutuhkan mereka untuk mendukung produksi. Responden berpendapat bahwa beberapa tahun terakhir termasuk tahun 2010 pupuk bersubsidi selalu ada. Kelangkaan pernah terjadi tetapi pada saat tahun-tahun yang lalu dan sekarang sudah cenderung normal. Dari persentase 100 persen responden yang menyatakan bahwa pupuk bersubsidi selalu ada ketika dibutuhkan mereka maka dikategorikan bahwa kebijakan subsidi pupuk dikatakan efektif dalam indikator tepat waktu dengan tingkat ketepatan sempurna, yaitu 100 persen. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam melakukan kebijakan subsidi pupuk terutama untuk petani. Indikator terakhir yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah indikator tepat jumlah. Indikator tepat jumlah yang dimaksud adalah pemupukan dilakukan sesuai dengan dosis atau jumlah berdasarkan analisa status hara tanah dan kebutuhan tanaman Rahman, 2009. Jumlah pupuk yang tepat berdasarkan status hara dan kebutuhan tanaman yang dianjurkan adalah kombinasi antara urea 200kgha, TSPSP-36 sebanyak 75-100kgha, dan KCL sebanyak 75-100kgha Purwono dan Heni, 2009. Hasil penelitian tentang ketepatan jumlah akan ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 5.7. Persentase Ketepatan Jumlah Pupuk Bersubsidi Ketepatan Jumlah Jumlah Responden Persentase Sesuai anjuran 27 22,5 Tidak sesuai anjuran 77,5 a. dibawah anjuran 46 b. diatas anjuran 47 TOTAL 120 100 Dari Tabel 5.7 dapat ditunjukkan hasil dari ketepatan jumlah berdasarkan penggunaan pupuk oleh responden pada setiap luas lahannya. Responden dengan penggunaan pupuk sesuai dengan jumlah yang dianjurkan sebanyak 27 responden. Pemupukan dengan dosis yang tepat diperlukan untuk mendukung hasil produksi padi. Apabila terdapat kekurangan dan kelebihan jumlah pupuk pada setiap lahan akan mempengaruhi tanah dan tanaman sehingga diperlukan penggunaan yang tepat. Responden yang memberikan pupuk dengan jumlah yang tidak sesuai dengan anjuran adalah sebanyak 93 responden yang terdiri dari penggunaan dengan jumlah di bawah anjuran dan di atas anjuran yang masing-masing sebesar 46 dan 47 responden. Persentase yang didapat dari ketepatan jumlah antara responden yang menggunakan pupuk sesuai anjuran dengan yang tidak sesuai anjuran masing-masing sebesar 22,5 persen dan 77,5 persen. Dari persentase tersebut dapat terlihat bahwa persentase ketepatan jumlah hanya sebesar 22,5 persen yang berarti kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif dalam indikator tepat jumlah. Oleh karena itu, perlu adanya penyuluhan dari pemerintah kepada petani tentang penggunaan pupuk yang sesuai dengan anjuran agar hasil produksi padi mereka lebih maksimal karena apabila penggunaan tidak sesuai dengan anjuran baik di atas maupun di bawah anjuran akan mempengaruhi produksi padi. Indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian ini akan dapat menentukan tingkat kefektivitasan subsidi pupuk di Kabupaten Bogor. Keefektifan kebijakan ini diukur berdasarkan presentase masing-masing indikator. Apabila presentase keselurahan indikator sama ataupun lebih dari 80 maka kebijakan subsidi pupuk dapat dikategorikan efektif. Apabila tingkat keefektifan di bawah 80 maka kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif. Hasil dari keseluruhan indikator tingkat keefektifan kebijakan subsidi pupuk akan ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 5.8. Persentase Tingkat Keefektifan Kebijakan Subsidi Pupuk No. Indikator Tingkat Keefektifan Tepat Tidak Tepat Total 1 Harga 23,39 76,61 100 2 Tempat 43,33 56,67 100 3 Waktu 100 100 4 Jumlah 22,50 77,50 100 Rata-rata 47,31 52,70 100 Berdasarkan Tabel 5.8 di atas dapat diketahui hasil keseluruhan dari empat indikator yang menentukan tingkat keefektifan kebijakan subsidi pupuk yang diperoleh dari 120 responden yang menjadi sampel dari penelitian ini. Rata-rata dari keempat indikator yang tepat dan tidak tepat masing-masing sebesar 47,31 persen dan 52,70 persen. Dari hasil persentase keseluruhan indikator dapat terlihat bahwa persentase yang menyatakan tepat lebih kecil daripada yang tidak tepat. Selain itu, persentase ketepatan juga tidak lebih besar dari 80 persen sehingga kebijakan subsidi pupuk dikatakan tidak efektif. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan baik dari segi penyaluran, pengawasan, maupun hal-hal lain yang mendukung terwujudnya kebijakan subsidi pupuk yang efektif. Perbaikan terutama dalam hal harga yang diterima petani seharusnya sama dengan HET yang di dapat dari kios resmi yang berada di dalam desa. Hal ini yang banyak diharapkan oleh responden. Alasan lain dari responden untuk tetap mengharapkan adanya program kebijakan subsidi pupuk akan ditunjukkan pada gambar berikut ini. Gambar 5.5. Alasan Responden tentang Perlunya Subsidi Pupuk Berdasarkan Gambar 5.5 dapat diketahui bahwa terdapat beberapa alasan responden tetap mengharapkan adanya kebijakan subsidi pupuk. Alasan terbesar responden tetap menginginkan adanya subsidi pupuk adalah karena harga pupuk 32,17 10,49 20,98 32,17 4,20 Alasan Responden tentang Perlunya Keberlanjutan Program Subsidi Pupuk Harga Pupuk Non Subsidi Mahal Kebutuhan Pupuk Banyak Modal Petani Terbatas Laba Produksi Sedikit Lain-lain non subsidi mahal dan laba produksi sedikit dengan presentase yang sama sebesar 32,17 persen. Harga pupuk non subsidi mahal seperti pada harga pupuk KCL padahal jenis pupuk ini masih banyak dibutuhkan oleh responden. Alasan laba produksi sedikit yang membuat responden tetap menginginkan adanya subsidi pupuk karena semakin tingginya harga pupuk. Harga pupuk yang tinggi karena kebijakan subsidi pupuk yang masih tidak efektif sehingga harga pupuk bersubsidi yang seharusnya sama dengan HET tetapi pada kenyataannya harga yang diperoleh responden adalah lebih tinggi dari HET. Tingginya harga pupuk juga mempengaruhi biaya produksi responden yang juga akan semakin meningkat. Hal ini juga tidak diimbangi dengan peningkatan harga pembelian gabah sehingga pendapatan yang diperoleh responden tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan mereka. Modal petani terbatas menjadi alasan selanjutnya yang membuat responden menginginkan adanya kebijakan subsidi pupuk yaitu sebesar 20,98 persen. Modal petani yang terbatas sehingga tidak bisa membeli pupuk pada kios resmi yang biasanya jauh dari desa dan membutuhkan biaya transportasi. Alasan selanjutnya adalah kebutuhan pupuk responden yang banyak. Kebutuhan pupuk responden yang banyak sehingga membutuhkan banyak pengeluaran untuk kebutuhan pupuk sehingga dibutuhkan subsidi pupuk untuk dapat mengurangi pengeluaran responden. Alasan terakhir responden sebesar 4,20 persen adalah alasan lain-lain seperti kualitas pupuk bersubsidi yang bagus, responden yang kebanyakan petani kecil membeli pupuk secara eceran sehingga harga lebih mahal, serta subsidi pupuk dapat menunjang taraf hidup petani. Berdasarkan berbagai alasan yang dijelaskan responden tentang masih pentingnya subsidi pupuk maka pemerintah harus memberikan perhatiannya pada kebijakan subsidi pupuk ini. Selain itu, telah diketahui bahwa hasil dari penelitian ini yang masih mengkategorikan bahwa kebijakan subsidi pupuk yang belum efektif sehingga perlu adanya perbaikan dari pemerintah untuk mengefektifkan kebijakan ini. Hal ini perlu dilakukan oleh pemerintah agar produksi padi meningkat karena pupuk merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat produksi padi.

5.3. Pengaruh Subsidi Pupuk terhadap Produksi Padi