Wacana Fiqh al-Hadîts

2 kritikus-kritikus hadis dahulu tidak dirasakan. Bila dibandingkan dengan al- Qur’an, tampaknya pengembangan pemikiran terhadap al-Qur’an sangat terbuka sekali, bahkan tanpa kekhawatiran penafsir akan berkurangnya otoritas al- Qur’an. Tulisan ini, mencoba melihat studi kritis atas hadis Nabi, sebuah pandangan umum meliputi segi kesejarahan dan relevaninya. Kritik di sini haruslah dipahami dalam makna positif seperti yang akan dijelaskan selanjutnya. Tetapi di sini dicoba dalam skala yang lebih luas; tidak hanya studi kritis pada aspek material: sanad dan matan, tetapi juga dimensi pemahaman atas hadis Nabi fiqh al-hadîts.

II. Wacana Fiqh al-Hadîts

Sebagian gagasan Islam klasik tentang autoritas keagamaan dalam berbagai bidang telah mulai mendapat tantangan sejak pertengahan abad ke-19. Tantangan ini langsung dan terutama dihadapkan pada lembaga- lembaga dan etika-etika sosial Islam. Jelas sekali bahwa tantangan ini — seperti yang diungkapkan Fazlur Rahman 1 —bukan berangkat dari anggapan bahwa lembaga-lembaga dan etika sosial Islam tersebut salah atau tidak rasional, tetapi adalah kenyataan bahwa sistem sosial yang ada perlu 1 Fazlur Rahman, Islam Bandung: Pustaka, 1984, hal. 313. 3 dimodifikasi dan disesuaikan. Pada masa lalu sistem sosial ini betul-betul rasional dan bekerja sempurna. Persoalannya adalah bahwa kaum muslim harus menghadapi perkembangan situasi. Tantangan terhadap sebagian gagasan Islam klasik tentu saja menimbulkan pergolakan pemikiran yang bermuara pada pengujian kembali sumber-sumber klasik. Sunnah Nabi -- praktik normatif yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. -- merupakan bagian yang paling penting dari pengujian ini, sebab ia merupakan simbol kewenangan Nabi s.a.w. sebagai sebuah sumber kewenangan keagamaan setelah al- Qur’an, dan merupakan sumber kesinambungan dengan masa lalu. Karenanya, diskusi-diskusi tentang sunnah dari sarjana-sarjana muslim tak dapat lagi terhindarkan dan akhirnya meluas. Tidak hanya oleh pakar-pakar di bidangnya muhadditsin tapi juga melibatkan sarjana-sarjana di bidang lain semisal teolog dan filosof. 2 Diskusi yang intens dan lebih serius terjadi di Mesir dan Pakistan. 2 Lihat misalnya G.H.A. Juynboll, G.H.A. Kontroversi Hadis di Mesir 1890-1960 Mizan: Bandung, 1999, hal. 1. Dalam karyanya tersebut, Kontroversi Hadis di Mesir 1890-1960, ia mengemukakan para teolog Mesir sering membahas literatur Islam yang berkenaan dengan hadis seperti isu tentang tadwin, ‘adalah, wadh’ periwayatan hadis, israiliyyat, dan hadis-hadis tentang pengobatan. 4 Buku Daniel W. Brown 3 yang dibahas di sini sesungguhnya ingin memotret keterlibatan kaum muslim modern dalam proses memikirkan kembali tradisi mereka 4 . Karena itu fokus karya ini adalah kaum pembaharu yang berjuang untuk merestrukturisasi sunnah terutama sekali di Mesir dan juga Pakistan. Tentu saja, menurutnya, keterlibatan kaum muslim modern, sebagian ada yang menyangkal memiliki hubungan dengan tradisi dan sebagian lagi menyangkal bahwa aktivitas mereka dapat disebut “memikirkan kembali”, dan memilih untuk melihat hal ini sebagai kebangkitan kembali atau pemeliharaan bebeapa model yang ideal dan tidak berubah. Bagi para penentang tradisi yang paling radikal sekalipun tidak meninggalkan tradisi, tetapi mencetaknya dan mencoba meletakkan klaim otentisitas yang dari yang diberitakannya. Sementara itu, pendukung 3 Daniel Brown adalah direktur Institut untuk Studi Agama di Timur Tengah ISRME. Dia telah tinggal di Mesir dan di Pakistan, dan ia kini berbasis di Istanbul, Turki. Pada tahun 1993 ia menerima gelar Ph.D. dalam Studi Islam dari University of Chicago. Ia telah menjadi dosen tamu di Universitas Islam Internasional di Islamabad, Institut Kebudayaan Islam di Lahore, dan Universitas Kairo dan telah mengajar Studi Islam di Mount Holyoke, Amherst dan Smith Colleges. Buku pertamanya, Rethinking Tradisi dalam Pemikiran Islam Modern Cambridge, 1999, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Turki. Ia juga penulis Pengenalan Baru Islam Blackwell, 2nd Ed. 2009. 4 Daniel W. Brown, Menyoal Relevani Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Entin Sriani Muslim Bandung: Mizan, 2000, hal. 142. 5 tradisi yang paling konservatif hanya dapat membentuk kembali tradisi yang mereka coba lindungi agar tidak berubah. Salah satu tesisnya adalah tentang dorongan kuat munculnya perhatian dan pertanyaan kaum muslim modern terhadap hadis Nabi s.a.w.. Tampaknya ia menolak anggapan sepenuhnya bahwa desakan bagi kaum muslim melakukan pengkajian kembali terhadap sunnah sema-mata datang dari luar, yakni dampak Barat yang pada abad ke-19 periode modernisasi di dunia muslim merupakan periode hegemoni Barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama masyarakat muslim, di mana secara politis Barat adalah penguasa situasi dan secara psikologis adalah tak terkalahkan akibat kemajuan teknologinya. Bahkan lebih lanjut ia menyatakan adalah suatu kesalahan serius kalau menyimpulkan demikian 5 . Menurutnya, meskipun dorongan kuat dari luar tersebut jelas ada dan berpengaruh, namun pola peninjauan ulang hadis sebagai alat untuk beradaptasi dengan perubahan telah tertanam baik sebelum orang-orang muslim merasakan dampak langsung dari hegomoni Barat. Hal terpenting dari kecenderungan ini adalah kemunculan gerakan reformis yang penting pada abad ke-18 dan 5 Brown, Menyoal ..., 37. 6 ke-19 dengan tokoh-tokoh Syah Waliyullah 6 dan Muhammad asy-Syaukani. 7 Dâri pandangannya ini maka potret gerakan-gerakan reformasi abad ke-18 6 Nama lengkapnya adalah Qutb al-Din Ahmad bin Abd al-Rahim bin Wajih al-Din al- Syahid bin Mu’azam bin Mansur bin Aḥmad bin Maḥmud bin Qiwam al-Din al-Dihlawi. Ia dilahirkan pada hari Rabu, tanggal 4 Syawal 1114 H. atau 21 Februari 1703 M. di Phulat, sebuah kota kecil di dekat Delhi. Ulama yang hidup di abad 18 ini merupakan pengikut sirhindi yang melanjutkan pembaharuan dalam situasi lingkungan di bawah kemunduran imperium Mughal. Kemunduran ini sendiri terjadi sepeninggal Raja Awrangzeb, sementara pengganti berikutnya lebih lemah dan tak bisa meneruskan estafet kepemimpinan dengan baik. Ketika kematian Awrangzeb ini terjadi, al-Dihlawi berusia empat tahun. Adapun transformasi ide dan gerakannya dilakukan setelah ia melakukan pengembaraan intelektual dari Makkah, kota pusat kaum pembaharu. Ia menekankan pentingnya kembali kepada ajaran Nabi dan keharusan memurnikan Islam purifikasi dari pemujaan pada para wali lantaran bertentangan tidak konsisten terhadap ajaran Nabi. 7 Beliau adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah Asy-Syaukani. Dilahirkan pada hari Senin tanggal 28 Dzulqaidah 1173 H. Beliau besar di Shan’a ibukota Yaman-pent, ayahnya seorang qadhi hakim. Menghafal Al- Qur’an sejak kecil dan sejumlah ringkasan matan dari berbagai disiplin ilmu. Belajar dari para ulama yang ada di Shan’a sehingga bisa mengungguli semua rekannya. Tidak pernah melakukan perjalanan jauh untuk belajar karena tidak mendapatkan izin dari orang tuanya. Beliau memadukan antara belajar dan mengajar ketika belajar pada sejumlah syekhnya. Setelah itu beliau fokus untuk mengajar setelah menggali dan mengkaji semua yang ada pada guru-gurunya. Dalam sehari beliau mengajar lebih dari sepuluh kajian dengan berbagai disiplin ilmu. Beliau menjadi seorang mufti pemberi fatwa pada usia dua puluh tahun. Banyak permintaan fatwa yang datang kepadanya berasal dari luar Shan’a padahal guru-gurunya saat itu masih hidup. Karena kecerdasannya beliau pernah mempelajari ilmu matematika, fisika, psikologi dan etika debat tanpa guru, tetapi dengan cara mengkaji dan membaca otodidak. Beliau meninggalkan taklid dan membuangnya kemudian mengajak kembali kepada al- Qur’an dan Sunnah. Ciri-ciri yang demikian itu terlihat pada karya-karyanya. Beliau memerangi bid’ah dan segala bentuk kesyirikan, 7 juga tak terelakkan untuk ditampilkan Brown. Dengan demikian, rentang waktu yang menjadi concern karya Brown ini adalah abad ke-18 dan 19 M.. Pernyataan yang senada juga diungkapkan oleh Fazlur Rahman — tokoh yang dinyatakan Brown memberikan inspirasi terhadap karyanya ini. Tetapi berbeda dengan Brown, Fazlur Rahman hanya melihat gerakan- gerakan tersebut sebagai pencetus dan pembuka jalan bagi tantangan terhadap sebagian lembaga-lembaga dan etika-etika sosial Islam dengan penolakan mereka atas otorita-otorita zaman pertengahan dan desakan atas ijtihad serta penegasan mereka kembali kepada otoritas al- Qur’an dan teladan Nabi. 8

III. Perkembangan Studi Kritis Atas Hadis