Perkembangan Studi Kritis Atas Hadis

7 juga tak terelakkan untuk ditampilkan Brown. Dengan demikian, rentang waktu yang menjadi concern karya Brown ini adalah abad ke-18 dan 19 M.. Pernyataan yang senada juga diungkapkan oleh Fazlur Rahman — tokoh yang dinyatakan Brown memberikan inspirasi terhadap karyanya ini. Tetapi berbeda dengan Brown, Fazlur Rahman hanya melihat gerakan- gerakan tersebut sebagai pencetus dan pembuka jalan bagi tantangan terhadap sebagian lembaga-lembaga dan etika-etika sosial Islam dengan penolakan mereka atas otorita-otorita zaman pertengahan dan desakan atas ijtihad serta penegasan mereka kembali kepada otoritas al- Qur’an dan teladan Nabi. 8

III. Perkembangan Studi Kritis Atas Hadis

Berangkat dari istilah kritik dalam wacana hadis di atas, maka kita punya cukup argumen untuk mengatakan bahwa studi kritis atas hadis telah ada pada masa yang paling awal, bahkan pada masa Nabi masih hidup. Tentu saja sebagai sebuah kritik, studi kritis memiliki metode dan kaedah-kaedah tersendiri. Tetapi, haruslah diakui bahwa pada masa paling awal, metode dan kaedah-kaedah tersebut dipraktikkan dalam tingkatan mengajak untuk meninggalkan ilmu filsafat dan ilmu kalam, untuk kembali kepada aqidah salaf yang shahih. 8 Rahman, Fazlur, Islam Pustaka: Bandung: 1984, hal. 313. 8 yang sederhana, dan materi kritik hanya terbatas pada sisi material hadis, yakni pada sanad dan baru kemudian dilakukan pada matan karena beberapa tuntutan yang mendesak. Sedangkan kritik pada pemahaman makna tanpaknya belum mengental pada tahap ini, apalagi kritik dari segi kesejarahan periwatan hadis. Hal ini dapat dipahami karena sejarah belum begitu jauh bergerak. Sementara pemahaman atas hadis nabi adalah bersifat individual dan belum tersosialisasikan secara luas. Baru kemudian studi kritis atas pemahaman dan sejarah mengambil tempat dalam diskursus- diskursus tentang hadis. Dan akhirnya metode dan kaedah-kaedah kritik hadis pun berkembang menjadi sebuah metode dan kaedah yang sangat cermat, teliti dan terkesan rumit. Azami menyebut sebagai sebuah ilmu ang paling handal yang tidak tertandingi pada masa itu. Berkenaan dengan kritik hadis khususnya pada matan, pada tahap awal sekali dimana Rasul masih hidup, sebagian sahabat melakukan konfirmasi kepada Rasul terhadap apa yang disampaikan sahabat atas nama Rasul. Tetapi, tentu saja proses kritik semacam ini terhenti dengan wafatnya Rasul. Konsekuensinya mereka harus meneliti lebih cermat. Kritik sanad pun mulai dilakuan.Umar dan Usman, meneruskan sikap Abu Bakar meminta saksi bila ada yang menyampaikan hadis Nabi. Sedangkan Ali, di samping 9 saksi, juga mengharuskan orang yang menyampaikan hadis mengambil sumpah. Berbeda halnya dengan Aisyah, ketika ia mendengar hadis yang disampaikan sahabat, ia terkadang membandingkannya dengan al- Qur’an. Demikian, ketika ia mendengar hadis yang disampaikan Abu Hurairah bahwa orang mati diazab karena tangisan keluarganya terhadapnya. Ia menyatakan bahwa Nabi tidak mengucapkan hadis sebab bertentangan dengan firman Allah, ْلق يْغ هّل يغْب اًب ه ّ لك ءْيش ا بسْكت لك سْفن اإ ا ْيّع ا زت ة ْ ْخ ّث لإ ّكب ّْكعجْ ّ ّك ّنيف ا ب ّْتنك هيف فّتْخت “Katakanlah: Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain [Maksudnya: masing-masing orang memikul dosanya sendiri-sendiri]. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan. QS. al- An’âm, 6: 164. Tetapi pernyataan Nabi sebenarnya berkaitan dengan orang kafir: 10 إ هّل يزيل فاكْل اب ع ءاكّب هّْه هْيّع “Sesungguhnya orang kafir akan memperoleh tambahan siksaan disebabkan tangis keluarganya terhadapnya”. 9 Pada masa Rasul kritik hadis yang dilakukan sahabat dalam bentuk konfirmasi masih merupakan proses konsolidasi dengan tujuan agar mereka merasa lebih tentram seperti mana dalam kasus Ibrahim as yang dipaparkan al- Qur’an. QS al-Baqarah, 2: 260. Tiba pada masa khalifah yang empat, kepentingan pada kritik hadis menjadi lebih penting dari sekedar konsolidasi yang menenteramkan hati. Pada masa khalifah Ali, kritik hadis lebih dalam upaya pengketatan periwayatan yang bertujuan untuk mengkanter munculnya hadis-hadis palsu sebagai ekses dari perpecahan umat pada masa itu. Tetapi pada masa tabiin dan sesudahnya kritik hadis merupakan kebutuhan yang mendesak. Pertama, jalur periwayatan semakin panjang atau jauh dengan Rasul. Kedua, penyebaran hadis berjalan simultan dengan penyebaran Islam ke berbagai wilayah. Lasykar Islam yang menaklukkan Irak, Palestina, Persia, dan Mesir mencakup sejumlah besar 9 Muhammad al-Ghazali, Analisis Polemik Hadis, terj. Muh. Munawir az- Zahidi Surabaya: Dunia Ilmu, 1997, hal. 4-5. Lihat, Hadis Riwayat al- Bukhari dan Muslim, dalam Shahîh al-Bukhâri, juz II, hal. 101, hadis nomor 1288; dan Shahîh Muslim, juz III, hal. 43, hadis nomor 2190. 11 sahabat yang membawa hadis ke mana pun mereka pergi. Kedua faktor ini sangat sangat berpeluang memberikan kekeliruan atau kesalahan pada hadis Nabi. Tiba pada masa ini, kritik hadis memasuki babak baru. Ada semacam trend bahwa melakukan perjalan ke berbagai wilayah Islam adalah bagian yang tak terpisahkan dari kritik hadis. Dengan demikian, sejak awal abad kedua hingga beberapa abad sesudahnya, tuntutan umum bagi seorang pengkaji hadis adalah melakukan perjalanan yang ekstensif untuk mempelajari hadis. Dâri sini, maka kritik yang dilakukan tidak hanya terbatas ulama- ulama pada satu daerah saja, tetapi telah meluas ke berbagai wilayah. Dâri kenyataan ini, maka beberapa pusat kegiatan hadis yang baru pun bermunculan dengan sejumlah tokoh-tokoh yang masyhur. Pada abad kedua dapat disebutkan Syu’bah dari Wasith 83-100 H, Yahya bin Sa’id al- Qaththan dari Bashrah w. 198 H., Abdurrahman bin Mahdi dari Bashrah w. 198 H., dan lain-lain. Pada abad ketiga –murid-murid dari tokoh-tokoh abad kedua –dapat disebutkan Yahya bin Ma’in dari Baghdad w. 233 H, Ali bin al-Madini dari Bashrah w. 234 H., Ahmad bin Hanbal dari Baghdad w. 241 H. dan lain-lain. Pada abad selanjutnya, mereka melahirkan murid- 12 murid yang terkenal dan menjadi mukharrij, seperti ad-Dârimi, al-Bukhari, Muslim Hajjaj, Abu Hatim ar-Razi dan lain-lain yang melahirkan kitab-kitab hadis yang sebagiannya diakui sebagai kitab standar. Datanglah kemudian, studi kritis atas sanad dan matan hadis tampaknya telah menunjukkan intensitas yang mulai menurun. Sepertinya, ada kepuasan tersendiri dari munculnya literatur-literatur hadis yang mulai disusun secara sitematis. Intensitas kajian-kajian kritis terhadap hadis semakin menunjukkan grafik yang menurun bersamaan dengan periode taklid yang melanda kaum muslim. Tetapi setelah masa kebangkitan kembali muncul, sikap-sikap kritis terhadap hadis Nabi mulai kembali dikembangkan. Kitab-kitab hadis seperti Bukhari dan Muslim yang selama ini sangat dihormati, tak luput dari kritik. Adalah Ahmad Amin, Muhammad Husein Haikal, Abu Rayyah dan Muhammad al-Ghazali tercatat sebagai tokoh-tokoh yang mengembangkan sikap kritis terhadap literatur-literatur hadis yang dianggap telah mapan. Mereka melihat ada semacam pernyataan-pernyataan yang tidak rasional dari literatur-literatur hadis tersebut. Tetapi Muhammad al-Ghazali jelas berbeda dengan tokoh- tokoh yang disebutkan. 13 Perbedaan terletak pada sikap terhadap hadis. Bila tokoh-tokoh seperti Ahmad Amin, Muhammad Husein Haikal dan Abu Rayyah menyatakan banyak hadis-hadis yang termuat dalam literatur hadis yang dianggap mapan oleh kaum muslim tak dapat diterima redaksinya karena bertentangan dengan rasio atau akal, dan karena itu lalu mereka meninggalkannya, maka al-Ghazali tidak demikian. Terhadap hadis-hadis yang dari segi sanad dapat diterima validitasnya, ia pahami dengan pendekatan kontekstual. Karena itu studi kritis al-Ghazali lebih cenderung pada pemahaman makna-makna hadis. 10

IV. Studi Kritis Atas Material Hadis