Beberapa Pandangan Brown tentang as-Sunnah

32 menjadi partikular, kesempurnaan disampaikan melalui saluran yang tidak sempurna. Di sisi lain, persoalan status sunnah juga merupakan hal yang tak dapat diabaikan. Karena jelas sekali bahwa sunnah Nabi s.a.w. yang diketahui melalui hadis disampaikan dengan cara berantai hingga beberapa generasi. Pertanyaan yang mendesak tentang ini tentu saja seberapa jauh sunnah Nabi s.a.w. dapat diakui validitasnya benar-benar bersumber dari Nabi s.a.w.. Sementera persoalan otoritas sunnah jelas pula menjadi masalah yang tak kalah pentingnya. Hal ini karena menyangkut sejauh mana sunnah dapat mengikat kaum muslim.

VII. Beberapa Pandangan Brown tentang as-Sunnah

Berangkat dari isu krusial tentang perjuangan kuam muslim modern ini, Brown membagi bukunya dalam enam bab. Bab pertama, yang berisi enam sub bab mendiskusikan konsep klasik tentang kewenangan Rasulullah s.a.w.. Brown tampaknya mengangap ini bagian penting perlu disuguhkan dalam rangka memahami perjuangan pemikiran kembali sunnah berdasarkan sunnah yang dipahami dalam tahap awal. Pada bagian awal ini khusus membahas pemahaman sunnah dalam tahap awal sekali dan dalam pandangan kesarjanaan klasik khususnya masa Muhammad ibn Idris asy- Syafi’i w. 204 H. dan setelahnya. Pada bab ini tampaknya Brown ingin 33 menunjukkan gagasan sunnah pada tahun-tahun awal Islam sangat berbeda dengan defenisi klasik. Perbedaan tersebut dapat dilihat: pertama, orang- orang muslim awal tidak menempatkan sunnah Nabi Muhammad s.a.w. lebih tinggi dari sunnah-sunnah orang muslim terkemuka lainnya, terutama para khalifah yang pertama beserta sahabat-sahabatnya; kedua, pada tahap awal ini, orang-orang muslim tidak selalu mengidentifikasikan sunnah dengan riwayat khsusus mengenai Nabi Muhammad s.a.w., yaitu riwayat hadis tidak menjadi wahana ekslusif bagi sunnahnya, seperti yang terjadi kemudian; ketiga, orang-orang muslim awal tidak membuat perbedaan yang kaku antara berbagai sumber kewenangan keagamaan, terutama antara sunnah dan al- Qur’an yang dilukiskan dengan begitu saksama oleh para pakar terkemudian. 33 Untuk mendukung kesimpulannya ini, ia mengemukakan sejumlah bukti yang ia kutip dari ahli-ahli fiqh yang dalam anggapannya cukup kuat. Misalnya, riwayat bahwa Nabi Muhammad dan Abu Bakar mengenakan empat puluh kali cambukan sebagai huuman untuk mabuk-mabukan, sementara Umar menerapkan delapan puluh kali cambukan. Dan “kesemua 33 Brown, Menyoal …, hal. 22. 34 ini adalah sunnah”, seperti yang dinyatakan oleh Abu Yusuf. 34 Tentang gagasan sunnah secara konseptual tetap terlepas dari preseden hadis spesifik, bukti-bukti yang lebih kuat diperoleh dari tulisan tulisan teologis awal, seperti dalam Kitab al-Qadr karya Al-Hasan al-Basri yang menyebutkan sunnah Rasul dengan cara yang sangat umum namun tidak merujuk kepada kasus-kasus khusus. Demikian pula dalam kitab al- Irja’ karya al-Hasan ibn Muhammamad Muhammad ibn al-Hanafiyyah, pemilahan yang tegas antara sunnah dan hadis dapat terlihat dengan jelas. 35 Berkaitan dengan itu, maka menurutnya diferensiasi al- Qur’an dan sunnah yang keseluruhannya ditandai dengan aura wahyu, dan keterkaitannya satu sama lain baru terjadi belakangan ketika timbul kebutuhan untuk menemukan penyangga yang kuat atas pandangan dan cara meruntuhkan alasan-alasan yang diajukan orang untuk yang menentang akitab konflik mengguncang masyarakat. 36 34 Brown, Menyoal …, hal. 23. 35 Brown , Menyoal …, hal. 25. 36 Brown, Menyoal …, hal. 26-27. 35 Asy- Syafi’i yang dikenal sebagai Nashir al-Sunnah adalah orang yang paling bertanggung jawab atas perubahan pandangan terhadap sunnah ini. 37 Usahanya yang besar terhadap identifikasi ekslusif sunnah dengan hadis Nabi Muhammad s.a.w., penegakan superioritas sunnah Nabi atas sumber- sumber preseden lainnya dan juga sifat kewahyuan sunnah tampak cukup berhasil. Keberhasilan ini ditandai dengan istilah sunnah jarang ditemukan untuk penggunaan selain sunnah Nabi setelah Asy- Syafi’i dalam waktu yang cukup lama hingga perdebatan mengenai sunnah muncul kembali pada abad kesembilan belas. Berangkat dari pergeseran pandangan tentang sunnah Nabi s.a.w. tersebut, dalam bab selanjutnya ia sangat berkepentingan untuk membahas munculnya tantangan modern terhadap sunnah. Pada bab-2 ini Brown ingin menunjukkan bahwa gagasan pemikiran kembali sunnah Nabi telah memunyai akar yang kuat dalam abad ke-18 M dan telah memberikan kekuatan baru bagi para reformis abad ke-19 dan 20. Gagasan-gagasan yang dikemukakan pada abad ke-18 nyata sekali telah memberikan landasan dan merintis kategori-kategori utama respon yang digunakan kaum muslim 37 Brown, Menyoal …, hal. 19. Untuk lebih jauh tentang peran asy- Syafi’i terhadap sunnah, lihat misalnya, Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup Bandung: Mizan, 1984. 36 abad kesembilan belas dan kedua puluh ketika menghadapi tantangan baru. Pada awalnya gagasan-gagasan ini munculnya didesak oleh kerusakan moral. Dalam mendiagnosis keadaan ini, para pemikir zaman ini segera menemukan penyakitnya: orang muslim telah menyimpang dari sunnah Rasul s.a.w. dan diracuni oleh Bid’ah dan taklid terhadap kitab-kitab penafsiran hukum klasik. Sebagian praktik sufi ikut pula menjadi kanker yang membahayakan. Obatnya adalah kembali kepada sumber utama: al- Qur’an dan sunnah Nabi s.a.w.. Di bawah bendera pembangkitan kembali sunnah ihy â’ as-sunnah, para ulama yang berorientasi reformasi bergerak melampaui kumulan dan penafsiran hukum klasik dan mulai mempelajari himpunan hadis-hadis yang pertama. Di sini, walaupun secara tidak jelas dikemukakan Brown, dari pembahasannya tentang kecenderungan pemikiran terhadap sunnah, tampak bahwa tantangan-tantangan yang dimunculkan terhadap sunnah Nabi s.a.w. secara bertingkat. Dalam masa awal sekali, tokoh yang paling menonjol seperti Syah Waliyullah dari India dan Muhammad asy-Syaukani dari Yaman, menekankan perhatiannya pada melalukan studi terhadap sunnah yang dianggap sudah mapan dalam keilmuan klasik. Sedangkan generasi berikutnya Ahmad Khan dan Abduh skeptisme mereka terhadap 37 hadis menjadi semakin jelas, walaupun tokoh yang disebutkan belakangan lebih berhati-hati. Tetapi, pada generasi berikutnya, dengan tokoh-tokoh seperti Taufiq Shidqi, Ghulam Ahmad Parwez, Abu Rayyah, tidak hanya skeptis terhadap hadis, bahkan menyatakannya sebagai hadis sebagai penyebab kemalangan di dunia Islam. Karena itu, perhatian mereka hanya tertuju pada al- Qur’an sebagai satu-satunya sumber ajaran Islam. Tetapi, nyata sekali, seperti yang ditulis Brown 38 , yang terakhir ini tidak diterima secara luas. Tentu saja tantangan-tantangan terhadap sunnah ini didahului kritik terhadap sunnah, baik itu terhadap proses sejarah yang dilalui, seperti pencatatan, maupun proses transformasi, terutama sekali bangunan ilmu hadis, serta otoritasnya. Karena itu dalam karya ini, pembahasan- pembahasan tentangnya sebagai pemikiran tokoh-tokoh muslim bahkan juga orientalis tak terlewatkan dalam karya Brown ini. Karena itu, kita menemui pembahasannya tentang batas-batas wahyu pada bab-3 di mana yang menjadi permasalahan dasar adalah mengenai hakikat wahyu. Di mana wahyu berakhir dan penafsiran dimulai? Apa yang membedakan suara Tuhan dengan suara manusia yang menyampaikan atau yang 38 Brown, Menyoal …, hal. 61. 38 menafsirkannya? Demikian pula bab-4 yang membahas sifat dasar otoritas Rasulullah s.a.w. dengan sub- sub bahasan seperti “memanusiawikan Rasulullah s.a.w., Rasulullah s.a.w. sebagai perantara, Rasulullah s.a.w. sebagai paradigma, Rasulullah s.a.w. sebagai teladan. Bab-5 yang membahas adalah para sahabat, keaslian hadis memuat sub-sub pembahasan tentang pelestarian dan penyampaian hadis, kefektifan kritik isnad, dan sunnah tanpa hadis? . Bab-6 yang menjadi bab inti karya ini berisi tentang sunnah dan kebangkitan-kembali Islam yang memperlihatkan kesibukan dan “perjuangan” para pembaru Islam di Mesir dan Pakistan dalam mengatasi masalah kemodernan dengan berbekal tradisi, dalam hal ini sunnah Nabi. Tampaknya, menurut Brown, buku al-Ghazali, as-Sunnah an-Nabawiyyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts , yang mengetengahkan banyak tema krusial dalam diskusi muslim modern tentang otoritas religius, seperti hubungan antara al- Qur’an dan sunnah, posisi otoritas Nabi sebagai sumber hukum Islam dan metode kritik hadis, dapat dianggap mewakili gambaran tentang kesibukan dan perjuangan kaum pembaru. Ini terlihat dari pembuka bab-6 yang menyuguhkan karya al-Ghazali dalam beberapa paragraf. 39 39 Brown, Menyoal …, hal. 38-39. 39 Menurut Brown, para pembaru Islam bergerak ke pusat debat modern tentang otoritas religius, berdasarkan fakta sederhana bahwa bahwa mereka adalah pembaru, yang memiliki komitmen untuk menghidupkan dan menonjolkan kembali Islam. Ditekankannya perjuangan tanpa henti untuk menghidupkan dan mengangkat kembali Islam di dunia merupakan karakteristik paling penting dari gerakan kebangkitan. Akibatnya, kebanyakan pemimpin kebangkitan Islam pada mulanya adalah aktivis, dan kemudian menjadi sarjana. Mereka sibuk dengan isu praktis hukum Islam dan tidak cukup bersabar dengan memahami teori-teorinya. 40 Pendekatan para pembaru terhadap sunnah dicirikan oleh: pertama, dukungan penuh untuk otoritas sunnah dan keotentikan literatur hadis pada umumnya. Beberapa pendukung sunnah terutama sekali Maududi di Pakistan dan al- Siba’i di Mesir adalah pemikir yang berada di garis depan medan pertempuran melawan para penentang hadis, dan karya-karya mereka adalah paling sering dikutip dalam mendukung hadis. Jelas sekali bahwa mereka tak menyetujui apapun yang tampak merongrong otoritas sunnah. Bagi mereka sunnah bersifat fundamental bagi program mereka untuk menghidupkan kembali Islam. Kedua, tentu saja pembaruan mereka 40 Brown, Menyoal …, hal. 39. 40 lebih langsung berkaitan dengan kita di sini. Mereka ingin mengenalkan kembali Islam dalam bentuk yang relevan dan karenya mereka menjadi prakmatis dalam praktik. Sikap mereka terhadap sunnah menghindar dari dua ekstrem dan mencari jalan tengah, yakni pendekatan alternatif terhadap hadis yang akan melengkapi sistem klasik dan akan memberinya fleksibelitas baru tanpa merusak. Untuk dapat memberikan fleksibelitas, maka pengujian kembali keotentikan hadis tentu merupakan satu keharusan. Dâri penjelasan Brown yang panjang, kita dapat menjelaskan bahwa pengujian kembali sunnah oleh pembaru modern salah satunya dengan melakukan pembalikan metode pengujian yang sebetulnya juga merupakan warisan klasik yang terabaikan, terutama dari warisan mazhab Hanafi. 41 Kecenderungan umum sebelumnya adalah menggunakan hadis untuk mengakhiri monopoli faqih dalam menginterpretasi syariah, tetapi oleh pembaru menggunakan metode faqih besar untuk mengoreksi keterikatan harfiah dan doktriner kepada hadis. Artinya, kriteria kritik hadis ketat dari faqih yang tampak diabaikan oleh ahli hadis —terutama sekali dalam kritik matan seperti apakah sebuah riwayat selaras dengan penalaran, dengan sifat dasar manusia, dan dengan 41 Brown, Menyoal ..., hal. 143-147. 41 kondisi sejarah –harus digunakan kembali. Demikian pula dalam hal hubungan al- Qur’an dengan hadis. Jika kecenderungan keilmuan klasik memandang sunnah sebagai penjelasan wahyu yang tidak mungkin salah dan dibatalkan oleh al- Qur’an karena membuat perintah-perintah al-Qur’an yang umum menjadi lebih spesifik, maka kaum pembaru justeru membawa hadis kembali ke bawah pengayoman prinsip-prinsip al- Qur’an. Tokoh-tokoh yang menjadi lokomotif pembaru dalam kebangkitan kembali Islam yang dikutip Brown di dalam karya ini adalah tokoh-tokoh semisal Al-Ghazali, Yusuf al-Qaradhawi dan As- Siba’i dari Mesir, sedangkan dari Pakistan disebut nama- nama seperti Syibli Nu’mani dan Maududi. Walaupun tokoh-tokoh ini sama dalam rangka kebangkitan kembali Islam, namun tentu saja terdapat kecenderungan-kecenderungan tertentu dari para tokoh ini. Tetapi -- dari penjelas Brown -- dalam level yang lebih luas, meskipun kaum pembaru cenderung menggunakan metode faqih, namun pembaru-pembaru Pakistan sedikit lebih menekankan kualitas faqih. Karena itu, individu-individu yang memiliki kualitas yang faqih yang disebut Maududi mizâj syinâsi rasûl, semacam internalisasi temperamen mizâj Nabi s.a.w., akan lebih memiliki otoritas dalam menilai sunnah. Dia bebas menolak hadis yang isnadnya tidak cacat, apabila instingnya 42 menyatakan bahwa hadis tersebut tidak sesuai dengan Islam. Dengan demikian, maka pembaru Pakistan tampak lebih berani dalam melakukan gerakan kebangkitan kembali Islam.

VIII. Catatan Akhir: ”Kritik dan Apresiasi atas Karya Daniel W. Brown”