MENYOAL RELEVANSI SUNNAH DALAM ISLAM MODERN

(1)

I. Prawacana: “Studi Kritis Atas Hadis”

Bersama al-Qur’an, hadis menjadi krusial, tidak saja karena posisinya sebagai sumber ajaran Islam, tetapi juga karena ia menjadi tambang informasi bagi pembentukan disiplin ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fiqh, historiografi dan bangunan budaya Islam. Tetapi, berbeda dengan al-Qur’an, hadis tidaklah bersifat qath’iy al-wurûd, sebab sebagian besar

periwayatannya tidak melalui proses yang tawâtur. Karena itu sebagaian

besar hadis Nabi bersifat zhanniy al-wurûd, yakni “diduga kuat”

disampaikan oleh Nabi Muhammad s.a.w.. Di sisi lain, tidak tercatatnya sebagian besar hadis Nabi sejak masa yang paling awal dan penyebarannya secara lisan membawa implikasi atas sifat orisinil hadis, baik itu terhadap

sebagian teks hadis karena riwâyat bi al-ma’na, maupun terhadap

keseluruhan: sanad dan matan, karena pemalsuan-pemalsuan.

Melihat fenomena hadis yang demikian, studi kritis atas hadis nabi yang berisikan telaah ulang dan peengembangan pemikiran atas hadis Nabi tampaknya sangat relevan sekali. Tetapi, kenyataannya—terutama sekali dalam pemahaman hadis—justeru para ulama mengembangkan sikap

mengendalikan diri dan mengutamakan sikap reserve (segan). Ini mungkin


(2)

kritikus-kritikus hadis dahulu tidak dirasakan. Bila dibandingkan dengan al-Qur’an, tampaknya pengembangan pemikiran terhadap al-Qur’an sangat terbuka sekali, bahkan tanpa kekhawatiran penafsir akan berkurangnya otoritas al-Qur’an.

Tulisan ini, mencoba melihat studi kritis atas hadis Nabi, sebuah pandangan umum meliputi segi kesejarahan dan relevaninya. Kritik di sini haruslah dipahami dalam makna positif seperti yang akan dijelaskan selanjutnya. Tetapi di sini dicoba dalam skala yang lebih luas; tidak hanya

studi kritis pada aspek material: sanad dan matan, tetapi juga dimensi

pemahaman atas hadis Nabi (fiqh al-hadîts).

II. Wacana Fiqh al-Hadîts

Sebagian gagasan Islam klasik tentang autoritas keagamaan dalam berbagai bidang telah mulai mendapat tantangan sejak pertengahan abad ke-19. Tantangan ini langsung dan terutama dihadapkan pada lembaga-lembaga dan etika-etika sosial Islam. Jelas sekali bahwa tantangan ini—

seperti yang diungkapkan Fazlur Rahman1—bukan berangkat dari

anggapan bahwa lembaga-lembaga dan etika sosial Islam tersebut salah atau tidak rasional, tetapi adalah kenyataan bahwa sistem sosial yang ada perlu


(3)

dimodifikasi dan disesuaikan. Pada masa lalu sistem sosial ini betul-betul rasional dan bekerja sempurna. Persoalannya adalah bahwa kaum muslim harus menghadapi perkembangan situasi.

Tantangan terhadap sebagian gagasan Islam klasik tentu saja menimbulkan pergolakan pemikiran yang bermuara pada pengujian kembali sumber-sumber klasik. Sunnah Nabi -- praktik normatif yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. -- merupakan bagian yang paling penting dari pengujian ini, sebab ia merupakan simbol kewenangan Nabi s.a.w. sebagai sebuah sumber kewenangan keagamaan setelah al-Qur’an, dan merupakan sumber kesinambungan dengan masa lalu. Karenanya, diskusi-diskusi tentang sunnah dari sarjana-sarjana muslim tak dapat lagi terhindarkan dan akhirnya meluas. Tidak hanya oleh pakar-pakar di bidangnya (muhadditsin) tapi juga melibatkan sarjana-sarjana di bidang lain semisal teolog dan filosof.2 Diskusi yang intens dan lebih serius terjadi di

Mesir dan Pakistan.

2Lihat misalnya G.H.A. Juynboll, G.H.A. Kontroversi Hadis di Mesir

(1890-1960) (Mizan: Bandung, 1999), hal. 1. Dalam karyanya tersebut, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), ia mengemukakan para teolog Mesir sering membahas literatur Islam yang berkenaan dengan hadis seperti isu

tentang tadwin, ‘adalah, wadh’ periwayatan hadis, israiliyyat, dan hadis-hadis


(4)

Buku Daniel W. Brown3 yang dibahas di sini sesungguhnya ingin

memotret keterlibatan kaum muslim modern dalam proses memikirkan

kembali tradisi mereka4. Karena itu fokus karya ini adalah kaum pembaharu

yang berjuang untuk merestrukturisasi sunnah terutama sekali di Mesir dan juga Pakistan. Tentu saja, menurutnya, keterlibatan kaum muslim modern, sebagian ada yang menyangkal memiliki hubungan dengan tradisi dan sebagian lagi menyangkal bahwa aktivitas mereka dapat disebut “memikirkan kembali”, dan memilih untuk melihat hal ini sebagai kebangkitan kembali atau pemeliharaan bebeapa model yang ideal dan tidak berubah. Bagi para penentang tradisi yang paling radikal sekalipun tidak meninggalkan tradisi, tetapi mencetaknya dan mencoba meletakkan klaim otentisitas yang dari yang diberitakannya. Sementara itu, pendukung

3Daniel Brown adalah direktur Institut untuk Studi Agama di Timur

Tengah (ISRME). Dia telah tinggal di Mesir dan di Pakistan, dan ia kini berbasis di Istanbul, Turki. Pada tahun 1993 ia menerima gelar Ph.D. dalam Studi Islam dari University of Chicago. Ia telah menjadi dosen tamu di Universitas Islam Internasional di Islamabad, Institut Kebudayaan Islam di Lahore, dan Universitas Kairo dan telah mengajar Studi Islam di Mount

Holyoke, Amherst dan Smith Colleges. Buku pertamanya, Rethinking Tradisi

dalam Pemikiran Islam Modern (Cambridge, 1999), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Turki. Ia juga penulis Pengenalan Baru Islam (Blackwell, 2nd Ed. 2009).

4Daniel W. Brown, Menyoal Relevani Sunnah dalam Islam Modern, terj.


(5)

tradisi yang paling konservatif hanya dapat membentuk kembali tradisi yang mereka coba lindungi agar tidak berubah.

Salah satu tesisnya adalah tentang dorongan kuat munculnya perhatian dan pertanyaan kaum muslim modern terhadap hadis Nabi s.a.w.. Tampaknya ia menolak anggapan sepenuhnya bahwa desakan bagi kaum muslim melakukan pengkajian kembali terhadap sunnah sema-mata datang dari luar, yakni dampak Barat yang pada abad ke-19 (periode modernisasi di dunia muslim) merupakan periode hegemoni Barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama masyarakat muslim, di mana secara politis Barat adalah penguasa situasi dan secara psikologis adalah tak terkalahkan akibat kemajuan teknologinya. Bahkan lebih lanjut ia menyatakan adalah

suatu kesalahan serius kalau menyimpulkan demikian5. Menurutnya,

meskipun dorongan kuat dari luar tersebut jelas ada dan berpengaruh, namun pola peninjauan ulang hadis sebagai alat untuk beradaptasi dengan perubahan telah tertanam baik sebelum orang-orang muslim merasakan dampak langsung dari hegomoni Barat. Hal terpenting dari kecenderungan ini adalah kemunculan gerakan reformis yang penting pada abad ke-18 dan


(6)

ke-19 dengan tokoh-tokoh Syah Waliyullah6 dan Muhammad asy-Syaukani.7

Dâri pandangannya ini maka potret gerakan-gerakan reformasi abad ke-18

6Nama lengkapnya adalah Qutb al-Din Ahmad bin Abd al-Rahim bin

Wajih al-Din al-Syahid bin Mu’azam bin Mansur bin Aḥmad bin Maḥmud bin Qiwam al-Din al-Dihlawi. Ia dilahirkan pada hari Rabu, tanggal 4 Syawal 1114 H. atau 21 Februari 1703 M. di Phulat, sebuah kota kecil di dekat Delhi. Ulama yang hidup di abad 18 ini merupakan pengikut sirhindi yang melanjutkan pembaharuan dalam situasi lingkungan di bawah kemunduran imperium Mughal. Kemunduran ini sendiri terjadi sepeninggal Raja Awrangzeb, sementara pengganti berikutnya lebih lemah dan tak bisa meneruskan estafet kepemimpinan dengan baik. Ketika kematian Awrangzeb ini terjadi, al-Dihlawi berusia empat tahun. Adapun transformasi ide dan gerakannya dilakukan setelah ia melakukan pengembaraan intelektual dari Makkah, kota pusat kaum pembaharu. Ia menekankan pentingnya kembali kepada ajaran Nabi dan keharusan memurnikan Islam (purifikasi) dari pemujaan pada para wali lantaran bertentangan tidak konsisten terhadap ajaran Nabi.

7Beliau adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah

Asy-Syaukani. Dilahirkan pada hari Senin tanggal 28 Dzulqaidah 1173 H. Beliau besar di Shan’a (ibukota Yaman-pent), ayahnya seorang qadhi (hakim). Menghafal Al-Qur’an (sejak kecil) dan sejumlah ringkasan matan dari berbagai disiplin ilmu. Belajar dari para ulama yang ada di Shan’a sehingga bisa mengungguli semua rekannya. Tidak pernah melakukan perjalanan jauh (untuk belajar) karena tidak mendapatkan izin dari orang tuanya. Beliau memadukan antara belajar dan mengajar ketika belajar pada sejumlah syekhnya. Setelah itu beliau fokus untuk mengajar setelah menggali dan mengkaji semua yang ada pada guru-gurunya. Dalam sehari beliau mengajar lebih dari sepuluh kajian dengan berbagai disiplin ilmu. Beliau menjadi seorang mufti (pemberi fatwa) pada usia dua puluh tahun. Banyak permintaan fatwa yang datang kepadanya berasal dari luar Shan’a padahal guru-gurunya saat itu masih hidup. Karena kecerdasannya beliau pernah mempelajari ilmu matematika, fisika, psikologi dan etika debat tanpa guru, tetapi dengan cara mengkaji dan membaca (otodidak). Beliau meninggalkan taklid dan membuangnya kemudian mengajak kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Ciri-ciri yang demikian itu terlihat pada karya-karyanya. Beliau memerangi bid’ah dan segala bentuk kesyirikan,


(7)

juga tak terelakkan untuk ditampilkan Brown. Dengan demikian, rentang waktu yang menjadi concern karya Brown ini adalah abad ke-18 dan 19 M..

Pernyataan yang senada juga diungkapkan oleh Fazlur Rahman— tokoh yang dinyatakan Brown memberikan inspirasi terhadap karyanya ini. Tetapi berbeda dengan Brown, Fazlur Rahman hanya melihat gerakan-gerakan tersebut sebagai pencetus dan pembuka jalan bagi tantangan terhadap sebagian lembaga-lembaga dan etika-etika sosial Islam dengan penolakan mereka atas otorita-otorita zaman pertengahan dan desakan atas ijtihad serta penegasan mereka kembali kepada otoritas al-Qur’an dan teladan Nabi.8

III. Perkembangan Studi Kritis Atas Hadis

Berangkat dari istilah kritik dalam wacana hadis di atas, maka kita punya cukup argumen untuk mengatakan bahwa studi kritis atas hadis telah ada pada masa yang paling awal, bahkan pada masa Nabi masih hidup. Tentu saja sebagai sebuah kritik, studi kritis memiliki metode dan kaedah-kaedah tersendiri. Tetapi, haruslah diakui bahwa pada masa paling awal, metode dan kaedah-kaedah tersebut dipraktikkan dalam tingkatan mengajak untuk meninggalkan ilmu filsafat dan ilmu kalam, untuk kembali kepada aqidah salaf yang shahih.


(8)

yang sederhana, dan materi kritik hanya terbatas pada sisi material hadis, yakni pada sanad dan baru kemudian dilakukan pada matan karena beberapa tuntutan yang mendesak. Sedangkan kritik pada pemahaman makna tanpaknya belum mengental pada tahap ini, apalagi kritik dari segi kesejarahan periwatan hadis. Hal ini dapat dipahami karena sejarah belum begitu jauh bergerak. Sementara pemahaman atas hadis nabi adalah bersifat individual dan belum tersosialisasikan secara luas. Baru kemudian studi kritis atas pemahaman dan sejarah mengambil tempat dalam diskursus-diskursus tentang hadis. Dan akhirnya metode dan kaedah-kaedah kritik hadis pun berkembang menjadi sebuah metode dan kaedah yang sangat cermat, teliti dan terkesan rumit. Azami menyebut sebagai sebuah ilmu ang paling handal yang tidak tertandingi pada masa itu.

Berkenaan dengan kritik hadis khususnya pada matan, pada tahap

awal sekali dimana Rasul masih hidup, sebagian sahabat melakukan konfirmasi kepada Rasul terhadap apa yang disampaikan sahabat atas nama Rasul. Tetapi, tentu saja proses kritik semacam ini terhenti dengan wafatnya Rasul. Konsekuensinya mereka harus meneliti lebih cermat. Kritik sanad pun mulai dilakuan.Umar dan Usman, meneruskan sikap Abu Bakar meminta saksi bila ada yang menyampaikan hadis Nabi. Sedangkan Ali, di samping


(9)

saksi, juga mengharuskan orang yang menyampaikan hadis mengambil sumpah. Berbeda halnya dengan Aisyah, ketika ia mendengar hadis yang disampaikan sahabat, ia terkadang membandingkannya dengan al-Qur’an. Demikian, ketika ia mendengar hadis yang disampaikan Abu Hurairah

bahwa orang mati diazab karena tangisan keluarganya terhadapnya. Ia

menyatakan bahwa Nabi tidak mengucapkan hadis sebab bertentangan dengan firman Allah,

ْلق

يْغ

هّل

يغْب

اًب

ه

ّ

لك

ءْيش

ا

بسْكت

لك

سْفن

اإ

ا ْيّع

ا

زت

ة

ْ

ْخ

ّث

لإ

ّكب

ّْكعجْ ّ

ّك ّنيف

ا ب

ّْتنك

هيف

فّتْخت

“Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain [Maksudnya: masing-masing orang memikul dosanya sendiri-sendiri]. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."(QS. al-An’âm, 6: 164). Tetapi pernyataan Nabi sebenarnya berkaitan dengan orang kafir:


(10)

إ

هّل

يزيل

فاكْل

اب ع

ءاكّب

هّْه

هْيّع

“Sesungguhnya orang kafir akan memperoleh (tambahan) siksaan disebabkan tangis keluarganya terhadapnya”.9

Pada masa Rasul kritik hadis yang dilakukan sahabat dalam bentuk konfirmasi masih merupakan proses konsolidasi dengan tujuan agar mereka merasa lebih tentram seperti mana dalam kasus Ibrahim as yang dipaparkan

al-Qur’an. (QS al-Baqarah, 2: 260). Tiba pada masa khalifah yang empat,

kepentingan pada kritik hadis menjadi lebih penting dari sekedar konsolidasi yang menenteramkan hati. Pada masa khalifah Ali, kritik hadis lebih dalam upaya pengketatan periwayatan yang bertujuan untuk mengkanter munculnya hadis-hadis palsu sebagai ekses dari perpecahan umat pada masa itu. Tetapi pada masa tabiin dan sesudahnya kritik hadis

merupakan kebutuhan yang mendesak. Pertama, jalur periwayatan semakin

panjang atau jauh dengan Rasul. Kedua, penyebaran hadis berjalan simultan dengan penyebaran Islam ke berbagai wilayah. Lasykar Islam yang menaklukkan Irak, Palestina, Persia, dan Mesir mencakup sejumlah besar

9Muhammad al-Ghazali, Analisis Polemik Hadis, terj. Muh. Munawir

az- Zahidi (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), hal. 4-5. Lihat, Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim, dalam Shahîh al-Bukhâri, juz II, hal. 101, hadis nomor 1288; dan Shahîh Muslim, juz III, hal. 43, hadis nomor 2190.


(11)

sahabat yang membawa hadis ke mana pun mereka pergi. Kedua faktor ini sangat sangat berpeluang memberikan kekeliruan atau kesalahan pada hadis Nabi.

Tiba pada masa ini, kritik hadis memasuki babak baru. Ada semacam trend bahwa melakukan perjalan ke berbagai wilayah Islam adalah bagian yang tak terpisahkan dari kritik hadis. Dengan demikian, sejak awal abad kedua hingga beberapa abad sesudahnya, tuntutan umum bagi seorang pengkaji hadis adalah melakukan perjalanan yang ekstensif untuk mempelajari hadis.

Dâri sini, maka kritik yang dilakukan tidak hanya terbatas ulama-ulama pada satu daerah saja, tetapi telah meluas ke berbagai wilayah. Dâri kenyataan ini, maka beberapa pusat kegiatan hadis yang baru pun bermunculan dengan sejumlah tokoh-tokoh yang masyhur. Pada abad kedua dapat disebutkan Syu’bah dari Wasith (83-100 H), Yahya bin Sa’id al-Qaththan dari Bashrah (w. 198 H.), Abdurrahman bin Mahdi dari Bashrah (w. 198 H.), dan lain-lain. Pada abad ketiga–murid-murid dari tokoh-tokoh abad kedua–dapat disebutkan Yahya bin Ma’in dari Baghdad (w. 233 H), Ali bin al-Madini dari Bashrah (w. 234 H.), Ahmad bin Hanbal dari Baghdad (w. 241 H.) dan lain-lain. Pada abad selanjutnya, mereka melahirkan


(12)

murid-murid yang terkenal dan menjadi mukharrij, seperti ad-Dârimi, al-Bukhari, Muslim Hajjaj, Abu Hatim ar-Razi dan lain-lain yang melahirkan kitab-kitab hadis yang sebagiannya diakui sebagai kitab standar.

Datanglah kemudian, studi kritis atas sanad dan matan hadis tampaknya telah menunjukkan intensitas yang mulai menurun. Sepertinya, ada kepuasan tersendiri dari munculnya literatur-literatur hadis yang mulai disusun secara sitematis. Intensitas kajian-kajian kritis terhadap hadis semakin menunjukkan grafik yang menurun bersamaan dengan periode taklid yang melanda kaum muslim. Tetapi setelah masa kebangkitan kembali muncul, sikap-sikap kritis terhadap hadis Nabi mulai kembali dikembangkan. Kitab-kitab hadis seperti Bukhari dan Muslim yang selama ini sangat dihormati, tak luput dari kritik. Adalah Ahmad Amin, Muhammad Husein Haikal, Abu Rayyah dan Muhammad al-Ghazali tercatat sebagai tokoh-tokoh yang mengembangkan sikap kritis terhadap literatur-literatur hadis yang dianggap telah mapan. Mereka melihat ada semacam pernyataan-pernyataan yang tidak rasional dari literatur-literatur hadis tersebut. Tetapi Muhammad al-Ghazali jelas berbeda dengan tokoh-tokoh yang disebutkan.


(13)

Perbedaan terletak pada sikap terhadap hadis. Bila tokoh-tokoh seperti Ahmad Amin, Muhammad Husein Haikal dan Abu Rayyah menyatakan banyak hadis-hadis yang termuat dalam literatur hadis yang dianggap mapan oleh kaum muslim tak dapat diterima redaksinya karena bertentangan dengan rasio atau akal, dan karena itu lalu mereka meninggalkannya, maka al-Ghazali tidak demikian. Terhadap hadis-hadis yang dari segi sanad dapat diterima validitasnya, ia pahami dengan pendekatan kontekstual. Karena itu studi kritis al-Ghazali lebih cenderung

pada pemahaman makna-makna hadis.10

IV. Studi Kritis Atas Material Hadis

Untuk kepentingan kritik hadis dalam hal sanad dan matan yang telah meluas seperti yang telah dijelaskan, maka kaedah-kaedah sebagai dasar kritik pun disusun sedemikian rupa dan cermat. Tiga syarat berkenaan dengan sanad dan dua syarat berkenaan dengan matan. Yang berkaitan dengan sanad, selain semua rawi-rawinya harus bersambung (ittishal al-sanad), rawi-rawi tersebut juga harus memiliki integritas kepribadian (adil), kapasitas intelektual (dhabithh), keharusan tidak adanya kejanggalan (syazd) dan cacat (‘illat). Sedangkan yang berkaitan dengan


(14)

matan, adalah keharusan tidak adanya kejanggalan (syazd) dan cacat (‘illat). Kelima kaedah ini akhirnya menjadi kriteria sebuah hadis sahih, yakni hadis yang dianggap valid dan orisinil sebagai ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi.

Rawi-rawi yang bersambung artinya bahwa masing-masing rawi-rawi tersebut menerima hadis dari rawi-rawi yang terdekat sebelumnya dan keadaan ini terus berlangsung demikian sampai kepada rawi yang pertama

yang menerima hadis dari Rasul11. Kebersambungan (ittishâl) sanad ini

menjadi indikasi bahwa riwayat yang sampai kepada kita dapat

dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi, sebaliknya keterputusan sanad

mengakibatkan riwayat yang disampaikan tertolak. Sementara integritas kepribadian (‘adil) bagi seorang rawi harus tercermin dalam kemantapan

agamanya, bersih dari perbuatan fasik dan muru’ah (kehati-hatian dalam

menjaga akhlak). Karena itu ‘adil mengandung unsur-unsur: beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama Islam, serta memelihara muru’ah12. Sedangkan kapasitas intelektual (dhâbith) adalah kemampuan mengambil pesan-pesan secara pasti melalui proses pendengaran dan

11Subhi Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus,

1997), hal. 145.

12Nuruddin ‘Itr, Manhaj Naqd fî ‘Ulûm Hadîts (Damaskus: Dâr


(15)

kemampuan untuk menghafal secara kontinyu hingga pesan-pesan tersebut

disampaikan kepada orang lain13. Adapun syadz adalah kejanggalan dalam

bentuk bertentagannya sebuah riwayat yang disampaikan rawi yang tsiqah

(rawi yang adil dan dhabith) dengan para rawi yang lebih tsiqah, baik pada sanad maupun pada matan.14. Sedangkan ‘illat adalah cacat dalam bentuk: (1)

sanad yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil dan mawquf, atau mursal. (2) terjadinya percampuran hadis dengan bagian hadis lainnya, (3) kesalahan dalam menyebutkan nama periwayat (râwi).

Tentu saja, semua kriteria ini disusun dengan logika yang jelas. Artinya semua persyaratan itu didasari atas argumen-argumen yang relevan

dengan maksud dan tujuan kritik sanad dan matan. Argumen-argumen ini

pada dasarnya adalah bersifat historis di samping juga bersifat normatif. Meskipun argumen-argumen tersebut berbeda-beda, tetapi semua argumen saling berkait dan saling memperkuat. Dâri sini dapat simpulkan bahwa kritik hadis tidak hanya dalam dimensi keilmuan semata, tetapi juga dalam koridor ajaran dan keyakinan. Karenanya dapat dipahami, bila acuan-acuan

13Muhammad Luqman as-Salafi (Ihtimam Mahadditsun bi Naqdi

al-Hadits, Sanadan wa Matanan, Riyadh: tnp, 1987), hal. 212.


(16)

kritik hadis menjadi sangat cermat dan rumit. Sebab hal ini membawa beban psikologis dalam kaitan tanggung jawab yang bersifat transendental.

Semua persyaratan ini, baik yang menyangkut dengan sanad maupun matan sangat ketat sekali. Itu sebabnya pada setiap persyaratan tersebut

dilakukan sejumlah pengujian dan analisis. Kriteria sanad bersambung

misalnya, kritik dilakukan dengan telaah atas sejarah hidup masing-masing rawi dan lambang-lambang periwayatan yang menghubung antara satu rawi dengan rawi lain. Telaah tersebut dimaksudkan untuk mengetahui apakah kebersambungan sanad hanya sebatas kesezamanan (mu’shârah) atau pertemuan dalam kapasitas guru dan murid (liqa’). Kualitas pribadi (‘adil) dilakukakan dengan mengamati popularitas keutamaan rawi atau integritas kepribadian yang bersangkutan di kalangan ulama hadis, menyeleksi

penilaian dari para kritikus hadis, dan penerapan kaedah-kaedah jarh dan

ta’dil. Sementara menyangkut dengan kapasitas intelektual sebagai periwayat hadis (dhabith), dilakukan penilaian berdasar kesaksian para ulama, dan menyesuaikan riwayat rawi dengan rawi yang dhâbith.

Kecermatan yang cukup tinggi dalam melakukan kritik sanad dan

matan, tampaknya tidak dikenal dalam ilmu sejarah. Syuhudi Ismail, mengutip Louis Gottschalk, menyatakan bahwa dalam ilmu sejarah kualitas


(17)

para saksi hanya bersifat umum, tidak dirinci sedemikian ketat. Misalnya ketentuan menyatakan, kesaksian pengamat dan pelapor yang terdidik atau berpengalaman lebih unggul dari pada yang tidak terdidik atau yang tidak

berpengalaman.15. Demikian pula lafal-lafal yang beragam dan cukup rumit

yang dikemukakan oleh ulama hadis untuk memberi kualifikasi atas integritas kepribadian dan kapasitas intelektual rawi-rawi, tampaknya hanya ada dalam ilmu hadis, tidak dikenal dalam ilmu sejarah.

Pengujian terhadap para pelapor hadis atau rawi yang telah dilakukan sejak awal telah melahirkan cabang ilmu hadis tersendiri yang

disebut dengan al-Jarh wa al-Ta’dil. Yakni persyaratan bagi seorang rawi

dalam kaitan diterima atau tidaknya hadis yang diriwayatkan. Al-jarh

sendiri mengandung pengertian yang berkaitan dengan cacat-cacat seorang

perawi yang menyebabkan hadisnya ditolak. Sedangkan al-ta’dil berkaitan

dengan adalat al-rawiy yang karena itu hadisnya dapat diterima. Berkaitan

dengan jarh wa ta’dil ini, seperti yang dikatakan Afif Muhammad,

tampaknya sudah selesai dilakukan dalam pengertian bahwa kredibilitas

15Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Bulan Bintang,


(18)

para rawi telah dibukukan secara baik oleh para kritikus hadis.16.

Pernyataan ini dapat saja diterima mengingat banyaknya karya-karya tulis di bidang ini yang muncul dari yang sederhana sampai dengan yang paling lengkap. Tentu saja kita berhutang budi pada kritikus-kritikus yang telah

melahirkan karya semisal Mizan I’tidal, Tahdzib Tahdzib, dan Tahdzib

al-Kamal, karena melalui kitab semacam ini kita dapat melacak kredibilias para perawi hadis.

Berkaitan dengan kritik sanad dan matan, sebagian orang menyatakan bahwa kritik sanad mendapat prioritas dari ulama-ulama hadis. Muhammad Afif misalnya, menyatakan bahwa meskipun kritik matan telah dirintis sejak awal oleh para sahabat generai pertama, tampaknya belum dilanjutkan secara sungguh-sungguh. Selama ini, kriteria sahihnya sebuah hadis, masih

ditentukan oleh kesahahihan sanadnya. Al-Bukhari sendiri, memaksudkan

sahih di situ adalah sahih sanad-nya. Ini terlihat dengan jelas bila kita memperhatikan keseluruhan judul yang diberikan pada kitab sahihnya, yakni Al-Jami’ al-Shahih al-Musnad al-Mukhtshar min ‘Umur Rasulillah (saw) wa Sunanih wa Ayyamih. Dalam judul tersebut tertera secara jelas kalimat al-Jami’

16Afif Muhammad, “Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual

Atas Hadis Nabi s.a.w.”, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 5 Maret-Juni 1992), hal. 28.


(19)

al-Shahih al-Musnad (Himpunan Hadis yang Shahih Sanadnya).17. Agaknya

memang sulit dihindari kesan prioritas kiritik pada sanad daripada matan,

meskipun pada kenyataannya kesungguhan ulama hadis dalam meneliti matan tak dapat diragukan. Hal ini disebabkan karena sanad hadis

merupakan keharusan pertama dalam kritik hadis, sebab sanad yang tidak

dapat dipertahankan validitasnya matannya tak dapat dinyatakan dari Rasul. Karenanya para ulama hadis terdahulu tampaknya telah terserap waktu dan energinya oleh studi atas sanad hadis.

Kenyataan di atas memang mengundang persoalan. Pernyataan-pernyataan yang sangat miring tentang ini terutama dimajukan oleh para orientalis. Ignaz Golziher, misalnya, menyatakan bahwa kaum muslim hanya mengandalkan penelitian sanad semata, tampa memperhatikan matan hadis. Kualitas hadis hanya ditentukan oleh kualitas sanad. Pernyataan yang lebih tajam lagi adalah bahwa ulama-ulama hadis tak segan-segan

memasukan suatu kalimat di dalam matan hadis.18 (Yaqub, 1995: 15). Tetapi,

meskipun pernyataan-pernyataan Ignaz Golziher sama sekali tak mempunyai alasan yang kuat, namun menggugah para ulama hadis untuk

17 Afif Muhammad, “Kritik …”, hal. 29

18Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis (Bulan Bintang, Jakarta,1995), hal.


(20)

melakukan kajian yang lebih dalam dan intensif terhadap kritik sanad dan matan hadis.

Mungkin sekali terdapat banyak hadis yang dari segi sanadnya sahih, tetapi tampak bertengan dengan al-Qur’an. Karena itu orang-orang seperti Ahmad Amin dan Abu Rayyah menolaknya. Tetapi, jelas sekali bahwa mereka sangat tergesa-gesa mengambil kesimpulan hingga membuat pernyataan yang keliru. Berbeda dengan Muhammad al-Ghazali, meskipun dalam sebuah karyanya mempersoalkan banyak hadis yang dipandangnya bertentangan dengan al-Qur’an dan secara sengit mengecam orang yang memahami dan mengamalkannya secara tekstual, ia mencoba mencoba mencari ternatif lain dalam memahaminya. Pengujian matan hadis atas al-Qur’an menjadi tolok ukur pengujian kesahihan suatu hadis.

Tetapi, studi atas matan hadis memang tidak mudah dilakukan sebab sebagian kandungan matan hadis berkaitan dengan keyakinan, hal-hal

ghaib, dan petunjuk-petunjuk kegiatan keagamaan yang bersifat ta’abbudi.

Di sisi lain, juga pengujian atas matan hadis diperlukan dengan pendekatan rasio, sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Dâri sini penulis melihat bahwa studi kritis atas matan hadis sebetulnya lebih bersifat relatif dan subjektif. Artinya, ketika sebuah matan hadis dihadapkan dengan


(21)

al-Qur’an misalnya, sebagian orang dapat saja mengatakan bertentangan

dengan logika atau al-Qur’an, tetapi sebagian yang lain tidak menganggap

bertentangan dengan logika atau al-Qur’an. Sebab penilaian bertentangan atau tidaknya dengan rasio atau al-Qur’an sangat terkait dengan pendekatan pemahaman dan konsep teologisnya.

V. Studi Kritis Atas Pemahaman Hadis

Secara garis besar, ada dua tipologi pemahaman ulama atas hadis: Pertama, pemahaman atas hadis Nabi tanpa mempedulikan proses sejarah yang melahirkannya–ahistoris. Tipologi ini dapat disebut tekstualis. Kedua, pemahaman kritis dengan mempertimbangkan asal-usul (asbab al-wurud) hadis. Tentu saja di sini mereka memahami hadis secara kontekstual.

Pemahaman hadis tekstual dan kontekstual tidaklah dalam dikhotomi hitam putih yang dapat diletakkan dalam strata. Tetapi, kedua pemahaman ini bersifat relatif dan kondisional. Artinya, pada hadis-hadis tertentu, salah satu tipe pendekatan merupakan satu keharusan. Karena itu, menurut Syuhudi Ismail, ada hadis-hadis Nabi yang tekstual dan yang kontekstual. Menurutnya, pemahaman hadis secara tekstual ini dilakukan bila hadis bersangkutan setelah dihungkan dengan segi-segi yang berkaitan


(22)

dengan apa yang tertulis dalam teks hadis tersebut. Sedangkan pemahaman kontekstual terhadap hadis-hadis Nabi dilakukan bila hadis-hadis dimaksud terasa tidak komunikatif lagi dengan zaman.

Berkaitan dengan pemahaman tekstual dan pendekatan kontekstual, sudah mulai diperlihatkan pada masa-masa awal, bahkan ketika Nabi masih hidup. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan oleh sebahagian sahabat terhadap hadis19,

ا

ّيّصي

ح

ْصعْل

اإ

يف

ينب

ظْي ق

.

(Janganlah kamu shalat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraidhah), merupakan sebuah contoh yang cukup layak. Sebagian sahabat tersebut memahami hadis tersebut secara kontekstual dengan menangkap maksud dan tujuan Nabi, sehingga mereka tetap melakukan shalat Ashar pada waktunya di dalam perjalanan. Sedang sebagian lagi yang memahami secara tesktual shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah–meski hari telah gelap.

19Abu ‘Abdillah, Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah


(23)

Tetapi kemudian, tampaknya, pemahaman tekstual lebih mendominasi atas hadis-hadis Nabi. Padahal sebetulnya di luar bidang ibadah, hadis pada umumnya lebih banyak bersifat kondisional. Pemahaman kontekstual atas hadis Nabi mungkin sekali tenggelam dalam pelukan Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang lebih suka memakai hadis secara tekstual. Pemahaman secara tekstual ini, seperti yang dijelaskan Amin Abdullah, memang diperlukan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah demi

mempertahankan ekuilibrium kekuatan ajaran yang telah diterima.20.

Pengaruh Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang begitu kuat dan mengkristal menyebabkan para kaum muslim lebih suka menerima apa adanya, seperti

yang tertulis dalam kutub al-sittah. Karena itu penjelasan-penjelasan (syarah)

atas literatur-literatur hadis lebih banyak didominasi oleh pemahaman-pemahaman tekstualis.

Jelas sekali terlihat keseganan para ulama dalam pengembangan pemikiran terhadap hadis Nabi. Tetapi, tidak demikian halnya dengan al-Qur’an. Pengembangan pemikiran terhadap al-Qur’an tampaknya cukup intens dilakukan sehingga melahirkan banyak tafsir-tafsir yang cukup beragam. Tidak demikian halnya dengan hadis. Karya-karya yang memuat

20Yunahar Ilyas, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis (Yogyakarta:


(24)

penjelasan-penjelasan hadis tanpaknya tidak terlalu intens dimunculkan, apalagi dengan corak yang berbeda satu dengan yang lain.

Pemahaman kontekstual terhadap sebahagian hadis Nabi merupakan sebuah tuntutan keharusan–karena pemahaman tekstual tidak selamanya mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang muncul belakangan, bahkan menjadi komunikatif lagi dengan ruang dan waktu di mana kita berada. Sebagai contoh hadis yang menyatakan:

ا

فاست

ة ْ ْل

اإ

عّ

م ْحّ

(Tidaklah seorang perempuan bepergian kecuali bersama Mahram)21, demikian

pula tentang siwak:

إف

ك سل

ة ْطّ

ّفّْل

،

ةاضْ ّ

ّ ّل

(Siwak itu membersihkan mulut dan menjadikan Allah ridha)22. Karena

penjelasan-penjelasan atas hadis yang semisal ini dilakukan dengan pemahaman tekstual, maka sebagian sarjana-sarjana muslim lantas

21Hadis Riwayat al-Bukhari dari Abdullah ibn ‘Abbas, dalam kitab

Shahîh al-Bukhâri, juz III, hal. 24, hadis nomor 1862.

22Hadis Riwayat Ibnu Majah, dari Abu Umamah, dalam kitab Sunan


(25)

menyerang hadis yang tanpak kontradiktif dan tidak komunikatif dengan zaman–meskipun ulama hadis menyatakan bahwa hadis tersebut dilihat dari kaedah-kaedah ilmu hadis yang demikian ketat, validitasnya diakui dan maqbûl (shahîh). Ketika menanggapi hadis tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk, kaum feminis muslim seperti Rifat Hasan,

cenderung menolak hadis ini, baik dari segi sanad maupun matannya. Dâri

segi sanad ia mengatakan dha’îf karena beberapa orang rawinya dinilainya

tidak dapat dipercaya. Tetapi mayoritas ulama berdasarkan kaedah-kaedah keshahihan hadis menyatakan hadis ini berprediket shahih. Sedangkan dari segi matan ia menyatakan bahwa hadis ini mengandung elemen-elemen misoginis.23.

Hadis pada umumnya adalah penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur’an dalam merespons pertanyaan atau masalah yang dihadapi sahabat. Karena itu tampaknya ia bersifat temporal dan kontekstual. Dengan semakin jauh terpisahnya hadis dari situasi sosial yang melahirkannya, maka sebagian hadis nabi secara literal terasa tidak komunikatif lagi dengan realitas kehidupan sosial saat ini. Dengan demikian, studi kritis atas hadis Nabi pada sisi pemahaman atas hadis

23Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an Klasik dan


(26)

merupakan satu keharusan. Karena itu upaya atau pengkajian terhadap konteks-konteks hadis merupakan aspek yang sangat penting dalam menangkap makna hadis yang akan diamalkan. Sayangnya, menurut Afif

Muhammad24, pendekatan kontekstual atas hadis Nabi saw, belum begitu

memperoleh perhatian.

Ketika memahami hadis secara kontekstual, banyak sekali pertimbangan yang dilakukan. Sebab hadis sebagai sebuah ucapan dan teks sesungguhnya memiliki sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar kita lebih bisa mendekati kebenaran mengenai gagasan yang hendak disampaikan oleh Rasul. Tanpa memahami motiv di balik penyampain sebuah hadis, suasana-psikologis, dan sasaran ucapan Nabi, maka mungkin sekali kita akan salah paham dalam membacanya. Menyadari bahwa ucapan dan pengucapnya, suasana-psikologis dan sasaran ucapan saling bertautan, maka dalam setiap pemahaman dan penafsiran yang dilakukan, ketiga hal ini sangat berperan sekali.

Dengan demikian, ketika melakukan pemahaman kontekstual atas hadis sebenarnya seorang penafsir atau pembaca memposisikan sebuah teks


(27)

(baca: hadis) ke dalam sebuah jaringan wacana. Ibarat sebuah gunung es, sebuah teks adalah fenomen kecil dari puncak gunung yang tanpak di permukaan. Oleh karena itu tanpa mengetahui latar belakang sosial budaya dari mana dan dalam situasi apa sebuah teks muncul, maka sulit

mengangkap makna pesan dari sebuah teks.25

Tiba di sini, maka kajian mendalam terhadap sirah Nabawiyah menjadi bagian yang sangat penting. Sebab, pemahaman terhadap sirah Nabawiyah akan memberikan perspektif yang lebih luas tetang ruang dan waktu munculnya sebuah hadis. Kalau pendapat ini diterima maka mereka yang mendalami sejarah Rasulullah Muhammad s.a.w. sudah tentu akan memiliki pemahaman berbeda dari yang tidak mempelajarinya ketika sama-sama memahami sebuah hadis.

Akan tetapi, untuk mendapatkan pemahaman konteks-konteks hadis dengan tepat, maka tak pelak lagi upaya penghimpunan sebanyak mungkin hadis yang berada dalam satu pembicaraan. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat dari konteks-konteks hadis itu. Karena hadis-hadis pada dasarnya saling terkait satu sama lain, bahkan seperti al-Quran,

25Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian


(28)

اي ْلاف

سفي

ا ضْعب

اضْعب

(yufassiru ba’dhuha ba’dhan)26 (satu sama lain saling menafsirkan). Teknik ini

tidaklah sulit utuk dilakukan, sebab kitab-kitab hadis telah memilik sistematika yang baik.

VI. Prisma Modernitas dan Isu Krusial

Dalam memandang perjuangan kaum muslim modern terhadap

pemikiran kembali sunnah Nabi, Wilfred Cantwell Smith dalam, Islam in

Modern History27, seperti yang dijelaskan Brown28, menggambarkan

perdebatan mengenai sunnah sebagai pertempuran kecil-kecilan dalam suatu pertarungan tanpa henti antara tradisi dan modernitas, wahyu dan akal, serta liberalisme dan reaksi. Paradigma ini yang digunakan oleh kebanyakan orientalis dalam mencermati perjuangan kaum muslim modern dalam pemikiran kembali sunnah Nabi. Menurut Brown, pendekatan semacam ini mengasumsikan adanya dikotomi yang tegas antara tradisi dan

26Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm,Tafsîr al-Manâr

(Kairo: Al-Haiah al-Mishriyyah al-Âmmah li al-Kitâb, juz II, 1990), hal. 207.

27Wilfred Cantwell Smith. Islam in Modern History: The Tension between

Faith and History in the Islamic World, (Princeton: Princeton University Press, 1977).


(29)

modernitas. Akarnya adalah pemikiran Pencerahan, di mana para pemikir Pencerahan, akal merupakan lampu sorot, yang menembus kegelapan tradisi, yang menerobos kabut kebodohan untuk menerangi kebenaran. Pemikiran pencerahan ini pun sebetulnya masih berlaku dalam kebudayaan akademik Barat.

Bagi Brown modernitas dan tradisi tidak harus dipandang sebagai secara diametris saling beralawanan. Pandangannya ini jelas berbeda dengan paradigma yang digunakan oleh kebanyakan orientalis seperti yang dijelaskan di atas. Jika modernitas dan tradisi tidak dipandang sebagai yang berlawanan, lalu bagaimana memahaminya hubungan antara keduanya? Menurutnya ini dapat dipahami dengan melihat kebalikan dari metafor Pencerahan. Di sini modernitas tidak dipandang sebagai sumber pencerahan, yang menyingkirkan kegelapan tradisi, tetapi membayangkan tradisi sebagai pemberi cahaya, yang dibiaskan oleh prisma modernitas. Sebuah tradisi muncul dari prisma modernitas sebagai spektrum respons yang beraneka warna. Sebagian respons akan memperlihatkan dampak modernitas secara jauh lebih dramatis dibanding sebagian lainnya, tetapi tak akan ada yang sama sekali tersentuh. Pada saat yang sama, setiap warna dari spektrum tersebut, respons masing-masing yang berbeda, jelas berakar


(30)

pada tradisi. Seluruh respons terhadap modernitas suatu tradisi keagamaan, dan bahkan yang tampaknya meninggalkan tradisi sama sekali mengandung kontinuitas tertentu dengan tradisi, seperti halnya setiap pita spektrum ada dalam cahaya yang memasuki sebuah prisma. Hal ini didasarkannya pada posisi sunnah itu sendiri, di mana sunnah merupakan titik tumpu tempat perdebatan krusial mengenai kewenangan agama berkisar.

Berkaitan dengan pemahamannya tentang hubungan tradisi dengan modernitas yang dikemukakannya, maka dalam buku ini, ia memilih pendekatan yang menekankan pada mazhab pemikiran ketimbang individu, yakni lebih menganalisis kecenderungan umum di dalam pemikiran

ketimbang menganalisis individu.29 Namun tentu saja Brown tidak bisa

melepaskan diri dari analisisnya terhadap setiap pemikir. Berangkat dari sini, dalam memilih sumber-sumber, ia menerapkan uji sederhana, yakni: jika suatu pernyataan menarik banyak respons, maka pernyataan itu penting; jika berlalu begitu saja tanpa diperhatikan; maka pernyataan

tersebut tidak penting.30 Dengan demikian tampak bahwa Brown mengukur

pentingnya suatu pemikiran atau karya berdasarkan tingkat kontroversi

29Brown, Menyoal …, hal. 15.


(31)

yang ditimbulkannya. Karena itu tentu saja sumber-sumber utamanya adalah pemikiran atau karya yang kontroversial mengenai sunnah, seperti yang terjadi di Mesir dan Pakistan.

Metode yang digunakan dalam menganalisis tulisan-tulisan modern mengenai sunnah dan literatur kontroversial tentangnya adalah menggali tema-tema yang paling penting (yaitu yang paling sering berulang) dari tulisan-tulisan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk dapat membangun konteks dan latar belakang tema-tema ini dalam keserjanaan Islam klasik

serta untuk menganalisis cara pandang modern terhadap topik tersebut.31

Artinya, Brown berupaya memetakan isu-isu yang paling menonjol yang menjadi pusat pembahasan sunnah untuk menganalisis posisi-posisi utama yang dibangun oleh kaum muslim modern terhadap isu-isu tersebut. Menurut Brown, isu krusial dalam perjuangan yang terus berlangsung ini adalah masalah hakikat, status dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif

Nabi Muhammad s.a.w.).32 Masalah hakikat sunnah menjadi penting karena

persoalan ini membahas batas-batas manusiawi utusan Allah berperan dalam proses wahyu. Hal ini tampak sudah menjadi dilema umum dalam risalah kenabian, karena yang transenden menjadi imanen, yang universal

31Brown, Menyoal …, hal. 16.


(32)

menjadi partikular, kesempurnaan disampaikan melalui saluran yang tidak sempurna. Di sisi lain, persoalan status sunnah juga merupakan hal yang tak dapat diabaikan. Karena jelas sekali bahwa sunnah Nabi s.a.w. yang diketahui melalui hadis disampaikan dengan cara berantai hingga beberapa generasi. Pertanyaan yang mendesak tentang ini tentu saja seberapa jauh sunnah Nabi s.a.w. dapat diakui validitasnya benar-benar bersumber dari Nabi s.a.w.. Sementera persoalan otoritas sunnah jelas pula menjadi masalah yang tak kalah pentingnya. Hal ini karena menyangkut sejauh mana sunnah dapat mengikat kaum muslim.

VII. Beberapa Pandangan Brown tentang as-Sunnah

Berangkat dari isu krusial tentang perjuangan kuam muslim modern ini, Brown membagi bukunya dalam enam bab. Bab pertama, yang berisi enam sub bab mendiskusikan konsep klasik tentang kewenangan Rasulullah s.a.w.. Brown tampaknya mengangap ini bagian penting perlu disuguhkan dalam rangka memahami perjuangan pemikiran kembali sunnah berdasarkan sunnah yang dipahami dalam tahap awal. Pada bagian awal ini khusus membahas pemahaman sunnah dalam tahap awal sekali dan dalam pandangan kesarjanaan klasik khususnya masa Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w. 204 H.) dan setelahnya. Pada bab ini tampaknya Brown ingin


(33)

menunjukkan gagasan sunnah pada tahun-tahun awal Islam sangat berbeda

dengan defenisi klasik. Perbedaan tersebut dapat dilihat: pertama,

orang-orang muslim awal tidak menempatkan sunnah Nabi Muhammad s.a.w. lebih tinggi dari sunnah-sunnah orang muslim terkemuka lainnya, terutama

para khalifah yang pertama beserta sahabat-sahabatnya; kedua, pada tahap

awal ini, orang-orang muslim tidak selalu mengidentifikasikan sunnah dengan riwayat khsusus mengenai Nabi Muhammad s.a.w., yaitu riwayat hadis tidak menjadi wahana ekslusif bagi sunnahnya, seperti yang terjadi kemudian; ketiga, orang-orang muslim awal tidak membuat perbedaan yang kaku antara berbagai sumber kewenangan keagamaan, terutama antara sunnah dan al-Qur’an yang dilukiskan dengan begitu saksama oleh para

pakar terkemudian.33

Untuk mendukung kesimpulannya ini, ia mengemukakan sejumlah bukti yang ia kutip dari ahli-ahli fiqh yang dalam anggapannya cukup kuat. Misalnya, riwayat bahwa Nabi Muhammad dan Abu Bakar mengenakan empat puluh kali cambukan sebagai huuman untuk mabuk-mabukan, sementara Umar menerapkan delapan puluh kali cambukan. Dan “kesemua


(34)

ini adalah sunnah”, seperti yang dinyatakan oleh Abu Yusuf.34 Tentang

gagasan sunnah secara konseptual tetap terlepas dari preseden hadis spesifik, bukti-bukti yang lebih kuat diperoleh dari tulisan tulisan teologis

awal, seperti dalam Kitab al-Qadr karya Al-Hasan al-Basri yang

menyebutkan sunnah Rasul dengan cara yang sangat umum namun tidak

merujuk kepada kasus-kasus khusus. Demikian pula dalam kitab al-Irja’

karya al-Hasan ibn Muhammamad Muhammad ibn al-Hanafiyyah,

pemilahan yang tegas antara sunnah dan hadis dapat terlihat dengan jelas.35

Berkaitan dengan itu, maka menurutnya diferensiasi al-Qur’an dan sunnah yang keseluruhannya ditandai dengan aura wahyu, dan keterkaitannya satu sama lain baru terjadi belakangan ketika timbul kebutuhan untuk menemukan penyangga yang kuat atas pandangan dan cara meruntuhkan alasan-alasan yang diajukan orang untuk yang menentang akitab konflik

mengguncang masyarakat.36

34Brown, Menyoal …, hal. 23.

35Brown, Menyoal …, hal. 25.


(35)

Asy-Syafi’i yang dikenal sebagai Nashir al-Sunnah adalah orang yang

paling bertanggung jawab atas perubahan pandangan terhadap sunnah ini.37

Usahanya yang besar terhadap identifikasi ekslusif sunnah dengan hadis Nabi Muhammad s.a.w., penegakan superioritas sunnah Nabi atas sumber-sumber preseden lainnya dan juga sifat kewahyuan sunnah tampak cukup berhasil. Keberhasilan ini ditandai dengan istilah sunnah jarang ditemukan untuk penggunaan selain sunnah Nabi setelah Asy-Syafi’i dalam waktu yang cukup lama hingga perdebatan mengenai sunnah muncul kembali pada abad kesembilan belas.

Berangkat dari pergeseran pandangan tentang sunnah Nabi s.a.w. tersebut, dalam bab selanjutnya ia sangat berkepentingan untuk membahas munculnya tantangan modern terhadap sunnah. Pada bab-2 ini Brown ingin menunjukkan bahwa gagasan pemikiran kembali sunnah Nabi telah memunyai akar yang kuat dalam abad ke-18 M dan telah memberikan kekuatan baru bagi para reformis abad ke-19 dan 20. Gagasan-gagasan yang dikemukakan pada abad ke-18 nyata sekali telah memberikan landasan dan merintis kategori-kategori utama respon yang digunakan kaum muslim

37Brown, Menyoal …, hal. 19. Untuk lebih jauh tentang peran

asy-Syafi’i terhadap sunnah, lihat misalnya, Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (Bandung: Mizan, 1984).


(36)

abad kesembilan belas dan kedua puluh ketika menghadapi tantangan baru. Pada awalnya gagasan-gagasan ini munculnya didesak oleh kerusakan moral. Dalam mendiagnosis keadaan ini, para pemikir zaman ini segera menemukan penyakitnya: orang muslim telah menyimpang dari sunnah

Rasul s.a.w. dan diracuni oleh Bid’ah dan taklid terhadap kitab-kitab

penafsiran hukum klasik. Sebagian praktik sufi ikut pula menjadi kanker yang membahayakan. Obatnya adalah kembali kepada sumber utama: al-Qur’an dan sunnah Nabi s.a.w.. Di bawah bendera pembangkitan kembali

sunnah (ihyâ’ as-sunnah), para ulama yang berorientasi reformasi bergerak

melampaui kumulan dan penafsiran hukum klasik dan mulai mempelajari himpunan hadis-hadis yang pertama.

Di sini, walaupun secara tidak jelas dikemukakan Brown, dari pembahasannya tentang kecenderungan pemikiran terhadap sunnah, tampak bahwa tantangan-tantangan yang dimunculkan terhadap sunnah Nabi s.a.w. secara bertingkat. Dalam masa awal sekali, tokoh yang paling menonjol seperti Syah Waliyullah dari India dan Muhammad asy-Syaukani dari Yaman, menekankan perhatiannya pada melalukan studi terhadap sunnah yang dianggap sudah mapan dalam keilmuan klasik. Sedangkan generasi berikutnya Ahmad Khan dan Abduh skeptisme mereka terhadap


(37)

hadis menjadi semakin jelas, walaupun tokoh yang disebutkan belakangan lebih berhati-hati. Tetapi, pada generasi berikutnya, dengan tokoh-tokoh seperti Taufiq Shidqi, Ghulam Ahmad Parwez, Abu Rayyah, tidak hanya skeptis terhadap hadis, bahkan menyatakannya sebagai hadis sebagai penyebab kemalangan di dunia Islam. Karena itu, perhatian mereka hanya tertuju pada al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber ajaran Islam. Tetapi, nyata sekali, seperti yang ditulis Brown38, yang terakhir ini tidak diterima

secara luas.

Tentu saja tantangan-tantangan terhadap sunnah ini didahului kritik terhadap sunnah, baik itu terhadap proses sejarah yang dilalui, seperti pencatatan, maupun proses transformasi, terutama sekali bangunan ilmu hadis, serta otoritasnya. Karena itu dalam karya ini, pembahasan-pembahasan tentangnya sebagai pemikiran tokoh-tokoh muslim bahkan juga orientalis tak terlewatkan dalam karya Brown ini. Karena itu, kita menemui pembahasannya tentang batas-batas wahyu pada bab-3 di mana yang menjadi permasalahan dasar adalah mengenai hakikat wahyu. Di mana wahyu berakhir dan penafsiran dimulai? Apa yang membedakan suara Tuhan dengan suara manusia yang menyampaikan atau yang


(38)

menafsirkannya? Demikian pula bab-4 yang membahas sifat dasar otoritas Rasulullah s.a.w. dengan sub-sub bahasan seperti “memanusiawikan Rasulullah s.a.w., Rasulullah s.a.w. sebagai perantara, Rasulullah s.a.w. sebagai paradigma, Rasulullah s.a.w. sebagai teladan. Bab-5 yang membahas adalah para sahabat, keaslian hadis memuat sub-sub pembahasan tentang pelestarian dan penyampaian hadis, kefektifan kritik isnad, dan sunnah tanpa hadis? .

Bab-6 yang menjadi bab inti karya ini berisi tentang sunnah dan

kebangkitan-kembali Islam yang memperlihatkan kesibukan dan

“perjuangan” para pembaru Islam di Mesir dan Pakistan dalam mengatasi masalah kemodernan dengan berbekal tradisi, dalam hal ini sunnah Nabi.

Tampaknya, menurut Brown, buku al-Ghazali, as-Sunnah an-Nabawiyyah

Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, yang mengetengahkan banyak tema krusial dalam diskusi muslim modern tentang otoritas religius, seperti hubungan antara al-Qur’an dan sunnah, posisi otoritas Nabi sebagai sumber hukum Islam dan metode kritik hadis, dapat dianggap mewakili gambaran tentang kesibukan dan perjuangan kaum pembaru. Ini terlihat dari pembuka

bab-6 yang menyuguhkan karya al-Ghazali dalam beberapa paragraf.39


(39)

Menurut Brown, para pembaru Islam bergerak ke pusat debat modern tentang otoritas religius, berdasarkan fakta sederhana bahwa bahwa mereka adalah pembaru, yang memiliki komitmen untuk menghidupkan dan menonjolkan kembali Islam. Ditekankannya perjuangan tanpa henti untuk menghidupkan dan mengangkat kembali Islam di dunia merupakan karakteristik paling penting dari gerakan kebangkitan. Akibatnya, kebanyakan pemimpin kebangkitan Islam pada mulanya adalah aktivis, dan kemudian menjadi sarjana. Mereka sibuk dengan isu praktis hukum Islam

dan tidak cukup bersabar dengan memahami teori-teorinya.40

Pendekatan para pembaru terhadap sunnah dicirikan oleh: pertama,

dukungan penuh untuk otoritas sunnah dan keotentikan literatur hadis pada umumnya. Beberapa pendukung sunnah terutama sekali Maududi di Pakistan dan al-Siba’i di Mesir adalah pemikir yang berada di garis depan medan pertempuran melawan para penentang hadis, dan karya-karya mereka adalah paling sering dikutip dalam mendukung hadis. Jelas sekali bahwa mereka tak menyetujui apapun yang tampak merongrong otoritas sunnah. Bagi mereka sunnah bersifat fundamental bagi program mereka

untuk menghidupkan kembali Islam. Kedua, tentu saja pembaruan mereka


(40)

lebih langsung berkaitan dengan kita di sini. Mereka ingin mengenalkan kembali Islam dalam bentuk yang relevan dan karenya mereka menjadi prakmatis dalam praktik. Sikap mereka terhadap sunnah menghindar dari dua ekstrem dan mencari jalan tengah, yakni pendekatan alternatif terhadap hadis yang akan melengkapi sistem klasik dan akan memberinya fleksibelitas baru tanpa merusak.

Untuk dapat memberikan fleksibelitas, maka pengujian kembali keotentikan hadis tentu merupakan satu keharusan. Dâri penjelasan Brown yang panjang, kita dapat menjelaskan bahwa pengujian kembali sunnah oleh pembaru modern salah satunya dengan melakukan pembalikan metode pengujian yang sebetulnya juga merupakan warisan klasik yang terabaikan,

terutama dari warisan mazhab Hanafi.41 Kecenderungan umum sebelumnya

adalah menggunakan hadis untuk mengakhiri monopoli faqih dalam menginterpretasi syariah, tetapi oleh pembaru menggunakan metode faqih besar untuk mengoreksi keterikatan harfiah dan doktriner kepada hadis. Artinya, kriteria kritik hadis ketat dari faqih yang tampak diabaikan oleh ahli hadis—terutama sekali dalam kritik matan seperti apakah sebuah riwayat selaras dengan penalaran, dengan sifat dasar manusia, dan dengan


(41)

kondisi sejarah–harus digunakan kembali. Demikian pula dalam hal hubungan al-Qur’an dengan hadis. Jika kecenderungan keilmuan klasik memandang sunnah sebagai penjelasan wahyu yang tidak mungkin salah dan dibatalkan oleh al-Qur’an karena membuat perintah-perintah al-Qur’an yang umum menjadi lebih spesifik, maka kaum pembaru justeru membawa hadis kembali ke bawah pengayoman prinsip-prinsip al-Qur’an.

Tokoh-tokoh yang menjadi lokomotif pembaru dalam kebangkitan kembali Islam yang dikutip Brown di dalam karya ini adalah tokoh-tokoh semisal Al-Ghazali, Yusuf al-Qaradhawi dan As-Siba’i dari Mesir, sedangkan dari Pakistan disebut nama-nama seperti Syibli Nu’mani dan Maududi. Walaupun tokoh-tokoh ini sama dalam rangka kebangkitan kembali Islam, namun tentu saja terdapat kecenderungan-kecenderungan tertentu dari para tokoh ini. Tetapi -- dari penjelas Brown -- dalam level yang lebih luas, meskipun kaum pembaru cenderung menggunakan metode faqih, namun pembaru-pembaru Pakistan sedikit lebih menekankan kualitas faqih. Karena itu, individu-individu yang memiliki kualitas yang faqih yang

disebut Maududi mizâj syinâsi rasûl, semacam internalisasi temperamen

(mizâj) Nabi s.a.w., akan lebih memiliki otoritas dalam menilai sunnah. Dia bebas menolak hadis yang isnadnya tidak cacat, apabila instingnya


(42)

menyatakan bahwa hadis tersebut tidak sesuai dengan Islam. Dengan demikian, maka pembaru Pakistan tampak lebih berani dalam melakukan gerakan kebangkitan kembali Islam.

VIII. Catatan Akhir: ”Kritik dan Apresiasi atas Karya Daniel W. Brown”

Harus diakui bahwa karya Brown ini salah satu karya yang komprehensif menampilkan persoalan-persoalan klasik dengan bahasa yang menggairahkan, seperti peran akal dalam menerima wahyu, dilema kritik hadis dan tentang apa sunnah dan hadis serta metodologi yang bagaimana dibawa oleh pembaru seperti Syibli Nu’mani, Muhammad Ghazali, al-Maududi, as-Siba’i dan Yusuf al-Qaradhawi. Hal yang paling penting dicatat dari buku ini adalah bahwa perdebatan mengenai sunnah telah bergeser, dari para penentang hadis ke kaum pembaru, dan ini sesungguhnya menggambarkan sebuah wajah baru kebangkitan Islam yang paling penting, namun jarang dipresentasikan. Mencermati ini Barat salah menanggapi gerakan pembaru Islam muslim. Meskipun kadang-kadang, gerakan pembaru cenderung kepada kekerasan, memusuhi kepentingan geopolitik Barat, namun tidaklah sepenuhnya benar. Disamping itu,

pendekatan kaum pembaru terhadap sunnah bukan karena


(43)

bahwa Islam semakin kuat. Karena Islam sedang mendapatkan kembali inisiatif, sebuah cetak biru yang diperlukan untuk membimbing proses ini.

Tetapi, karya Brown yang ilmiah ini -- terutama tentang konsep sunnah seperti yang telah dijelaskan di atas -- tampak tidak berbeda jauh dari penulis-penulis Barat terdahulu semisal Ignaz Golziher dan Schacht. Karena itu, konsepnya tentang sunnah—meskipun karya ini lahir jauh lebih belakang—hanya pengulangan terhadap karya-karya terdahulu, meskipun gagasan-gagasan karya tersebut telah mendapat tantangan karena

keberatan-keberatan logika dan sejarah, seperti Fazlur Rahman42, Ahmad

Hasan43 dan bahkan Musthafa A’zami44. Keberatan-keberatan yang diajukan

terhadap konsep sunnah dari penulis-penulis tersebut sama sekali tak mendapat perhatian Brown, meskipun ia pada awal tulisannya menyatakan bahwa bukunya ini mendapat inspirasi dari Fazlur Rahman.

Brown, ketika mengemukakan pendapatnya tentang sunnah tampak tidak dibangun dari bukti-bukti yang komprehensif, sehingga dengan demikian, kesimpulan-kesimpulannya pun menjadi parsial, seperti kesimpulannya tentang sunnah Rasulullah s.a.w., misalnya, yang dalam

42Fazlur Rahman, Islam, (Pustaka: Bandung: 1984), hal. 56.

43Ahmad Hasan, Pintu ..., hal. 78-79.

44Muhammad Musthafa A’zami, Studies in Hadith Methodology and


(44)

pandangan kaum muslim awal tidak dipandang lebih tinggi dari sunnah-sunnah lainnya. Pada hal terdapat cukup bukti lain yang menyatakan bahwa sunnah Rasulullah s.a.w. dipandang lebih tinggi dari sunnah-sunnah lainnya, bahkan bukti dari tindakan Umar sendiri. Secara logika sangat sulit dipahami, bagaimana mungkin orang muslim memandang sunnah Nabi sebagai hal yang biasa saja, padahal jelas sekali bahwa, dari petunjuk al-Qur’an kaum muslim memandang perilaku Rasulullah sebagai suatu pola teladan dan contoh bagi mereka semenjak diturunkannya wahyu. Dengan demikian jelas sekali sunnah Nabi s.a.w. yang sifat normatifnya sudah mendapat legalitas dari Allah dibanding sunnah-sunnah lainnya. Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah, mengirim utusan ke berbagai kota dengan tujuan untuk mengajar penduduk kota-kota itu agama (din) dan sunnah Rasul s.a.w., bukan sunnah Umar. Surat al-Hasan dari Bashrah (w. 110 H.) pada Abdul Malik bin Marwan memuat menggandengkan perintah Allah

denan sunnah Rasul.45

Dâri sini, sunnah Rasululllah s.a.w. jelas sekali telah mendapat perhatian yang cukup serius dan menjadi rujukan utama di setelah al-Qur’an. Meskipun tindakan umat diatur oleh al-Qur’an, tetapi


(45)

lah s.a.w. lah yang memberikan bentuk konkrit dan praktis bagi ajaran-ajarannya. Cara-cara Rasul menerapkan ajaran-ajaran al-Qur’an menjadi hukum bagi masyarakat. Itulah sebabnya, Ahmad Hasan mengatakan, bagaimana mungkin kita mengandaikan bahwa para sahabat di sekitar Rasulullah melalaikan peritah beliau yang melalui beliaulah al-Qur’an

diajarkan kepada mereka.46 Dengan demikian, al-Qu’ran dan sunnah saling

terkait erat bahkan terjalin sedemikian rupa sehingga keduanya satu sama lain tak bisa dipisahkan. Kita dapat menyebutkan keduanya sebagai satu

keseluruhan yang terpadu.47

Sunnah Nabi s.a.w. yang normatif dan paling penting bagi umat berlangsung terus dalam generasi-generasi kaum muslim. Tetapi, tidak semua mereka, bahkan para sahabat, tidak mengetahui sunnah Nabi. Karena

46Orientalis -- seperti Margoliouth -- menyatakan bahwa ketika setiap

kali Nabi disandingkan dengan Allah dalam al-Qur’an, ini hanya merujuk kepada konteks al-Qur’an itu sendiri yakni, hanya mempunyai rujukan intra-Qur’ani. Artinya, bahwa ia ingin mengatakan Nabi Muhammad tidak mempunyai sunnah ekstra Qur’ani yang mungkin telah dicatat dalam beberapa hadis. Tetapi, seperti yang dikatakan Fazlur Rahman, hal ini tak dapat diterima, sebab terdapat kasus-kasus di mana ketika al-Qu’ran berbicara tentang otoritas Nabi yang ekstra Qur’ani, seperti pembagian harta rampasan perang, yang kemudian didukung oleh al-Qur’an sendiri dengan

pernyataannya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu ambillah, dan apa yang

dilarangnya, hentikanlah. (Rahman, 1984: 62-63).

47 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (Bandung: Pustaka:


(46)

itu ada dua cara bagi orang untuk mengetahui sunnah Nabi, yaitu praktik umat dan hadis. Karena itu, identifikasi sunnah dengan hadis telah ada sejak masa yang paling awal, bukan hanya pasca asy-Syafi’i. Namun jelas sekali bahwa sunnah dalam masa tertentu berjalan murni, terutama sekali hingga pada masa empat khalifah. Setelah itu sunnah mulai mengalami perubahan. Karena itu adalah wajar sekali jika asy-Syafi’i menjadikan hadis sebagai wahana ekslusif bagi sunnah Nabi s.a.w. ketika praktik umat tidak lagi

berjalan murni.48, sehingga dapat dinyatakan cukup wajar bila Syafi’i sangat

berpegang teguh pada hadis. Hal ini adalah dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan pemekaran politik, hukum dan kalam pada saat itu yang mengacu pada disintegritas.

Akhirnya, dapat penulis katakan bahwa membaca karya Brown ini memang sangat menarik dan menggugah pikiran tentang relevani sunnah dalam kehidupan modern. Tetapi, jelas sekali bahwa karya ini harus dibaca dengan bekal gagasan-gagasan tentang sunnah kaum muslim dan pandangan kritis, terutama sekali tentang konsep sunnah yang tampak tak jauh berbeda dengan gagasan-gagasan Barat sebelumnya seperti Ignaz Golziher, Margoliouth, Schacht.

48M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?


(47)

IX. Epilog

Akhirnya, bagaimanapun juga, studi kritis atas hadis Nabi yang berisi apresiasi dan pengembangan pemikiran terhadap hadis sudah semestinya dikembangkan kembali. Meskipun literatur-literatur hadis sudah banyak

bermunculan bahkan dengan memakai nama Shahih, tidaklah menutup

kemungkinan atas studi kritis hadis yang dilakukan. Sebab bagaimanapun karya tersebut merupakan sebuah ijtihad yang mungkin saja dapat keliru. Demikian pula pada tataran studi kritis atas pemahaman hadis, tetap tampak sebagai suatu kebutuhan yang mendesak.

Sebagai sebuah studi kritis tentu beberapa kekeliruan terkadang ditunjukkan, baik dari sisi material hadis maupun pemahamannya. Tetapi ini tidaklah bearti mengingkari atau mereduksi kedudukan sunnah, apalagi menjadi ‘kafir’. Sikap seperti ini tak lebih dari sikap kehati-hatian yang justeru akan mengkanter hadis-hadis Nabi dari anasir yang merusak kevaliditan hadis-hadis Nabi. Sikap seperti ini jelas telah diperlihatkan oleh generasi yang mula-mula.

Brown, dengan empati, telah mencoba menelaah hadis dengan beragam kontroversinya di Mesir -- dengan pendekatan sosio-historisnya, yang tentu saja terbuka untuk dikritik, dan tidak harus di’amini’ (dipercaya


(48)

secara apriori), apalagi diimani, tetapi juga tidak seharusnya ditolak secara apriori. Karena, sebagai sebuah kajian ilmiah pasti tidak akan sempurna dan tetap bernilai relatif.

Tugas kita sebagai intelektual adalah melanjutkan kajian kritis ini, yang untuk selanjutnya juga tetap terbuka untuk diapresiasi dan dikritik secara jujur dan terbuka, sebagai karya Brown yang tengah kita kritisi ini.

Mudah-mudahan karya penelitian dalam bentuk Book-Review ini

bermanfaat dan bisa menjadi pemicu penelitian selanjutnya.

Akhirnya, bagaimanapun juga, studi kritis atas hadis Nabi yang berisi apresiasi dan pengembangan pemikiran terhadap hadis sudah semestinya dikembangkan kembali. Meskipun literatur-literatur hadis sudah banyak

bermunculan bahkan dengan memakai nama Shahîh, tidaklah menutup

kemungkinan atas studi kritis hadis yang dilakukan. Sebab bagaimanapun karya tersebut merupakan sebuah ijtihad yang mungkin saja dapat keliru. Demikian pula pada tataran studi kritis atas pemahaman hadis, tetap tanpak sebagai suatu kebutuhan yang mendesak.

Sebagai sebuah studi kritis tentu beberapa kekeliruan terkadang ditunjukkan, baik dari sisi material hadis maupun pemahamannya. Tetapi


(49)

ini tidaklah bearti mengingkari atau mereduksi kedudukan sunnah, apalagi menjadi kafir. Sikap seperti ini tak lebih dari sikap kehati-hatian yang justeru akan menyelamatkan hadis-hadis Nabi dari anasir yang merusak kevaliditasan hadis-hadis Nabi. Sikap seperti ini jelas telah diperlihatkan oleh generasi yang mula-mula.

Referensi:

Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1996.

Afif Muhammad, “Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis Nabi s.a.w.”, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 5 Maret-Juni 1992.

Amin, Ahmad, Fajr al-Islam, Singapura: Sulaiman Mar’i, 1965.

Azami, M.M. Studies in Hadith Methodology and Literature,

Washington: American Truth Publication, 1977.

Brown, Daniel W, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern (terj),

Bandung: Mizan, 2000.

Al-Bukhari, Abu Abdillah, Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim bin


(50)

Al-Ghazali, Muhammad, Analisis Polemik Hadis, terj. Muh. Munawir Az Zahidi Surabaya: Dunia Ilmu: Surabaya, 1997.

Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka,

1984.

Juynboll, G.H.A., Kontroversi Hadis di Mesir (1990-1960), terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1999.

‘Itr, Nuruddin., Manhaj fî Ulûm al-Hadîts, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1981.

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits,

Beirut: Dâr al-Fikr, 1991.

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian

Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.

Al-Mubarakfuriy, Abu al-A’la Muhammad Abd al-Rahman bin Abd al-Rahim, Tuhfatul Ahwaziy bi Syarh Jâmi’ al-Tirmudziy, Beirut: Dâr al-Fikr, 1979.

Mulakhatir, Ibrahim, Makanah Shahihaini, Kairo: Mathba’ah

al-Arabiyyah al-Haditsah, 1402 H.

An-Naisaburi, Abu Husain Muslim ibn Hajjj ibn Muslim al-Qusyairi, Shahîh Muslim, Juz III, Beirut: Dâr al-Fikr, 1988.

Al-Qazwini, Ibnu Majah Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid, Sunan ibn Mâjah, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.

Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka, 1984.

Rasyid Ridha, Muhammad, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm,Tafsîr al-Manâr,

Kairo: Al-Haiah al-Mishriyyah al-Âmmah li al-Kitâb, juz II, 1990.

As-Salafi, Muhammad Luqman, Ihtimâm Mahadditsûn bi Naqdi

al-Hadîts, Sanadan wa Matanan, Riyadh, tnp., 1987.

Subhi Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus,


(51)

Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Bulan Bintang, 1994

———, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang 1992. ———, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka 198

Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995

Yunahar Ilyas (ed), Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis,

Yogyakarta: LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1996.

Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an Klasik dan

Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997

Yusuf al-Qaradhawi, Kajian Kritis Pemahaman Hadis: Antara


(1)

itu ada dua cara bagi orang untuk mengetahui sunnah Nabi, yaitu praktik umat dan hadis. Karena itu, identifikasi sunnah dengan hadis telah ada sejak masa yang paling awal, bukan hanya pasca asy-Syafi’i. Namun jelas sekali bahwa sunnah dalam masa tertentu berjalan murni, terutama sekali hingga pada masa empat khalifah. Setelah itu sunnah mulai mengalami perubahan. Karena itu adalah wajar sekali jika asy-Syafi’i menjadikan hadis sebagai wahana ekslusif bagi sunnah Nabi s.a.w. ketika praktik umat tidak lagi berjalan murni.48, sehingga dapat dinyatakan cukup wajar bila Syafi’i sangat berpegang teguh pada hadis. Hal ini adalah dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan pemekaran politik, hukum dan kalam pada saat itu yang mengacu pada disintegritas.

Akhirnya, dapat penulis katakan bahwa membaca karya Brown ini memang sangat menarik dan menggugah pikiran tentang relevani sunnah dalam kehidupan modern. Tetapi, jelas sekali bahwa karya ini harus dibaca dengan bekal gagasan-gagasan tentang sunnah kaum muslim dan pandangan kritis, terutama sekali tentang konsep sunnah yang tampak tak jauh berbeda dengan gagasan-gagasan Barat sebelumnya seperti Ignaz Golziher, Margoliouth, Schacht.

48M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 312.


(2)

IX. Epilog

Akhirnya, bagaimanapun juga, studi kritis atas hadis Nabi yang berisi apresiasi dan pengembangan pemikiran terhadap hadis sudah semestinya dikembangkan kembali. Meskipun literatur-literatur hadis sudah banyak bermunculan bahkan dengan memakai nama Shahih, tidaklah menutup kemungkinan atas studi kritis hadis yang dilakukan. Sebab bagaimanapun karya tersebut merupakan sebuah ijtihad yang mungkin saja dapat keliru. Demikian pula pada tataran studi kritis atas pemahaman hadis, tetap tampak sebagai suatu kebutuhan yang mendesak.

Sebagai sebuah studi kritis tentu beberapa kekeliruan terkadang ditunjukkan, baik dari sisi material hadis maupun pemahamannya. Tetapi ini tidaklah bearti mengingkari atau mereduksi kedudukan sunnah, apalagi menjadi ‘kafir’. Sikap seperti ini tak lebih dari sikap kehati-hatian yang justeru akan mengkanter hadis-hadis Nabi dari anasir yang merusak kevaliditan hadis-hadis Nabi. Sikap seperti ini jelas telah diperlihatkan oleh generasi yang mula-mula.

Brown, dengan empati, telah mencoba menelaah hadis dengan beragam kontroversinya di Mesir -- dengan pendekatan sosio-historisnya, yang tentu saja terbuka untuk dikritik, dan tidak harus di’amini’ (dipercaya


(3)

secara apriori), apalagi diimani, tetapi juga tidak seharusnya ditolak secara apriori. Karena, sebagai sebuah kajian ilmiah pasti tidak akan sempurna dan tetap bernilai relatif.

Tugas kita sebagai intelektual adalah melanjutkan kajian kritis ini, yang untuk selanjutnya juga tetap terbuka untuk diapresiasi dan dikritik secara jujur dan terbuka, sebagai karya Brown yang tengah kita kritisi ini.

Mudah-mudahan karya penelitian dalam bentuk Book-Review ini bermanfaat dan bisa menjadi pemicu penelitian selanjutnya.

Akhirnya, bagaimanapun juga, studi kritis atas hadis Nabi yang berisi apresiasi dan pengembangan pemikiran terhadap hadis sudah semestinya dikembangkan kembali. Meskipun literatur-literatur hadis sudah banyak bermunculan bahkan dengan memakai nama Shahîh, tidaklah menutup kemungkinan atas studi kritis hadis yang dilakukan. Sebab bagaimanapun karya tersebut merupakan sebuah ijtihad yang mungkin saja dapat keliru. Demikian pula pada tataran studi kritis atas pemahaman hadis, tetap tanpak sebagai suatu kebutuhan yang mendesak.

Sebagai sebuah studi kritis tentu beberapa kekeliruan terkadang ditunjukkan, baik dari sisi material hadis maupun pemahamannya. Tetapi


(4)

ini tidaklah bearti mengingkari atau mereduksi kedudukan sunnah, apalagi menjadi kafir. Sikap seperti ini tak lebih dari sikap kehati-hatian yang justeru akan menyelamatkan hadis-hadis Nabi dari anasir yang merusak kevaliditasan hadis-hadis Nabi. Sikap seperti ini jelas telah diperlihatkan oleh generasi yang mula-mula.

Referensi:

Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1996.

Afif Muhammad, “Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis Nabi s.a.w.”, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 5 Maret-Juni 1992.

Amin, Ahmad, Fajr al-Islam, Singapura: Sulaiman Mar’i, 1965.

Azami, M.M. Studies in Hadith Methodology and Literature, Washington: American Truth Publication, 1977.

Brown, Daniel W, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern (terj), Bandung: Mizan, 2000.

Al-Bukhari, Abu Abdillah, Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim bin al-Mughirah, Shahîh al-Bukhâri, Juz II, Kairo: Dâr asy-Sya’b, 1987.


(5)

Al-Ghazali, Muhammad, Analisis Polemik Hadis, terj. Muh. Munawir Az Zahidi Surabaya: Dunia Ilmu: Surabaya, 1997.

Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka, 1984.

Juynboll, G.H.A., Kontroversi Hadis di Mesir (1990-1960), terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1999.

‘Itr, Nuruddin., Manhaj fî Ulûm al-Hadîts, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1981. Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, Beirut: Dâr al-Fikr, 1991.

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.

Al-Mubarakfuriy, Abu al-A’la Muhammad Abd al-Rahman bin Abd al-Rahim, Tuhfatul Ahwaziy bi Syarh Jâmi’ al-Tirmudziy, Beirut: Dâr al-Fikr, 1979.

Mulakhatir, Ibrahim, Makanah Shahihaini, Kairo: Mathba’ah al-Arabiyyah al-Haditsah, 1402 H.

An-Naisaburi, Abu Husain Muslim ibn Hajjj ibn Muslim al-Qusyairi, Shahîh Muslim, Juz III, Beirut: Dâr al-Fikr, 1988.

Al-Qazwini, Ibnu Majah Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid, Sunan ibn Mâjah, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.

Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka, 1984.

Rasyid Ridha, Muhammad, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm,Tafsîr al-Manâr, Kairo: Al-Haiah al-Mishriyyah al-Âmmah li al-Kitâb, juz II, 1990.

As-Salafi, Muhammad Luqman, Ihtimâm Mahadditsûn bi Naqdi al-Hadîts, Sanadan wa Matanan, Riyadh, tnp., 1987.

Subhi Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.


(6)

Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Bulan Bintang, 1994

———, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang 1992. ———, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka 198

Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995

Yunahar Ilyas (ed), Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis, Yogyakarta: LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1996.

Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997

Yusuf al-Qaradhawi, Kajian Kritis Pemahaman Hadis: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (terj), Jakarta: Islamuna Press, 1994.