Catatan Akhir: ”Kritik dan Apresiasi atas Karya Daniel W. Brown”

42 menyatakan bahwa hadis tersebut tidak sesuai dengan Islam. Dengan demikian, maka pembaru Pakistan tampak lebih berani dalam melakukan gerakan kebangkitan kembali Islam.

VIII. Catatan Akhir: ”Kritik dan Apresiasi atas Karya Daniel W. Brown”

Harus diakui bahwa karya Brown ini salah satu karya yang komprehensif menampilkan persoalan-persoalan klasik dengan bahasa yang menggairahkan, seperti peran akal dalam menerima wahyu, dilema kritik hadis dan tentang apa sunnah dan hadis serta metodologi yang bagaimana dibawa oleh pembaru seperti Syibli Nu’mani, Muhammad al-Ghazali, al- Maududi, as- Siba’i dan Yusuf al-Qaradhawi. Hal yang paling penting dicatat dari buku ini adalah bahwa perdebatan mengenai sunnah telah bergeser, dari para penentang hadis ke kaum pembaru, dan ini sesungguhnya menggambarkan sebuah wajah baru kebangkitan Islam yang paling penting, namun jarang dipresentasikan. Mencermati ini Barat salah menanggapi gerakan pembaru Islam muslim. Meskipun kadang-kadang, gerakan pembaru cenderung kepada kekerasan, memusuhi kepentingan geopolitik Barat, namun tidaklah sepenuhnya benar. Disamping itu, pendekatan kaum pembaru terhadap sunnah bukan karena mengkhawatirkan kelangsungan hidup Islam, tetapi karena keyakinan 43 bahwa Islam semakin kuat. Karena Islam sedang mendapatkan kembali inisiatif, sebuah cetak biru yang diperlukan untuk membimbing proses ini. Tetapi, karya Brown yang ilmiah ini -- terutama tentang konsep sunnah seperti yang telah dijelaskan di atas -- tampak tidak berbeda jauh dari penulis-penulis Barat terdahulu semisal Ignaz Golziher dan Schacht. Karena itu, konsepnya tentang sunnah —meskipun karya ini lahir jauh lebih belakang —hanya pengulangan terhadap karya-karya terdahulu, meskipun gagasan-gagasan karya tersebut telah mendapat tantangan karena keberatan-keberatan logika dan sejarah, seperti Fazlur Rahman 42 , Ahmad Hasan 43 dan bahkan Musthafa A’zami 44 . Keberatan-keberatan yang diajukan terhadap konsep sunnah dari penulis-penulis tersebut sama sekali tak mendapat perhatian Brown, meskipun ia pada awal tulisannya menyatakan bahwa bukunya ini mendapat inspirasi dari Fazlur Rahman. Brown, ketika mengemukakan pendapatnya tentang sunnah tampak tidak dibangun dari bukti-bukti yang komprehensif, sehingga dengan demikian, kesimpulan-kesimpulannya pun menjadi parsial, seperti kesimpulannya tentang sunnah Rasulullah s.a.w., misalnya, yang dalam 42 Fazlur Rahman, Islam, Pustaka: Bandung: 1984, hal. 56. 43 Ahmad Hasan, Pintu ..., hal. 78-79. 44 Muhammad Musthafa A’zami, Studies in Hadith Methodology and Literature, American Truth Publication, Washington, 1977 , hal. 20-26. 44 pandangan kaum muslim awal tidak dipandang lebih tinggi dari sunnah- sunnah lainnya. Pada hal terdapat cukup bukti lain yang menyatakan bahwa sunnah Rasulullah s.a.w. dipandang lebih tinggi dari sunnah-sunnah lainnya, bahkan bukti dari tindakan Umar sendiri. Secara logika sangat sulit dipahami, bagaimana mungkin orang muslim memandang sunnah Nabi sebagai hal yang biasa saja, padahal jelas sekali bahwa, dari petunjuk al- Qur’an kaum muslim memandang perilaku Rasulullah sebagai suatu pola teladan dan contoh bagi mereka semenjak diturunkannya wahyu. Dengan demikian jelas sekali sunnah Nabi s.a.w. yang sifat normatifnya sudah mendapat legalitas dari Allah dibanding sunnah-sunnah lainnya. Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah, mengirim utusan ke berbagai kota dengan tujuan untuk mengajar penduduk kota-kota itu agama din dan sunnah Rasul s.a.w., bukan sunnah Umar. Surat al-Hasan dari Bashrah w. 110 H. pada Abdul Malik bin Marwan memuat menggandengkan perintah Allah denan sunnah Rasul. 45 Dâri sini, sunnah Rasululllah s.a.w. jelas sekali telah mendapat perhatian yang cukup serius dan menjadi rujukan utama di setelah al- Qur’an. Meskipun tindakan umat diatur oleh al-Qur’an, tetapi Rasulullah- 45 Ahmad Hasan, Pintu ..., hal. 81. 45 lah s.a.w. lah yang memberikan bentuk konkrit dan praktis bagi ajaran- ajarannya. Cara-cara Rasul menerapkan ajaran-ajaran al- Qur’an menjadi hukum bagi masyarakat. Itulah sebabnya, Ahmad Hasan mengatakan, bagaimana mungkin kita mengandaikan bahwa para sahabat di sekitar Rasulullah melalaikan peritah beliau yang melalui beliaulah al- Qur’an diajarkan kepada mereka. 46 Dengan demikian, al- Qu’ran dan sunnah saling terkait erat bahkan terjalin sedemikian rupa sehingga keduanya satu sama lain tak bisa dipisahkan. Kita dapat menyebutkan keduanya sebagai satu keseluruhan yang terpadu. 47 Sunnah Nabi s.a.w. yang normatif dan paling penting bagi umat berlangsung terus dalam generasi-generasi kaum muslim. Tetapi, tidak semua mereka, bahkan para sahabat, tidak mengetahui sunnah Nabi. Karena 46 Orientalis -- seperti Margoliouth -- menyatakan bahwa ketika setiap kali Nabi disandingkan dengan Allah dalam al- Qur’an, ini hanya merujuk kepada konteks al- Qur’an itu sendiri yakni, hanya mempunyai rujukan intra- Qur’ani. Artinya, bahwa ia ingin mengatakan Nabi Muhammad tidak mempunyai sunnah ekstra Qur’ani yang mungkin telah dicatat dalam beberapa hadis. Tetapi, seperti yang dikatakan Fazlur Rahman, hal ini tak dapat diterima, sebab terdapat kasus-kasus di mana ketika al- Qu’ran berbicara tentang otoritas Nabi yang ekstra Qur’ani, seperti pembagian harta rampasan perang, yang kemudian didukung oleh al- Qur’an sendiri dengan pernyataannya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu ambillah, dan apa yang dilarangnya, hentikanlah. Rahman, 1984: 62-63. 47 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup Bandung: Pustaka: 1984, hal. 80. 46 itu ada dua cara bagi orang untuk mengetahui sunnah Nabi, yaitu praktik umat dan hadis. Karena itu, identifikasi sunnah dengan hadis telah ada sejak masa yang paling awal, bukan hanya pasca asy- Syafi’i. Namun jelas sekali bahwa sunnah dalam masa tertentu berjalan murni, terutama sekali hingga pada masa empat khalifah. Setelah itu sunnah mulai mengalami perubahan. Karena itu adalah wajar sekali jika asy- Syafi’i menjadikan hadis sebagai wahana ekslusif bagi sunnah Nabi s.a.w. ketika praktik umat tidak lagi berjalan murni. 48 , sehingga dapat dinyatakan cukup wajar bila Syafi’i sangat berpegang teguh pada hadis. Hal ini adalah dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan pemekaran politik, hukum dan kalam pada saat itu yang mengacu pada disintegritas. Akhirnya, dapat penulis katakan bahwa membaca karya Brown ini memang sangat menarik dan menggugah pikiran tentang relevani sunnah dalam kehidupan modern. Tetapi, jelas sekali bahwa karya ini harus dibaca dengan bekal gagasan-gagasan tentang sunnah kaum muslim dan pandangan kritis, terutama sekali tentang konsep sunnah yang tampak tak jauh berbeda dengan gagasan-gagasan Barat sebelumnya seperti Ignaz Golziher, Margoliouth, Schacht. 48 M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hal. 312. 47

IX. Epilog