Prisma Modernitas dan Isu Krusial

28 اي ْلاف سفي ا ضْعب اضْعب yufassiru ba’dhuha ba’dhan 26 satu sama lain saling menafsirkan. Teknik ini tidaklah sulit utuk dilakukan, sebab kitab-kitab hadis telah memilik sistematika yang baik.

VI. Prisma Modernitas dan Isu Krusial

Dalam memandang perjuangan kaum muslim modern terhadap pemikiran kembali sunnah Nabi, Wilfred Cantwell Smith dalam, Islam in Modern History 27 , seperti yang dijelaskan Brown 28 , menggambarkan perdebatan mengenai sunnah sebagai pertempuran kecil-kecilan dalam suatu pertarungan tanpa henti antara tradisi dan modernitas, wahyu dan akal, serta liberalisme dan reaksi. Paradigma ini yang digunakan oleh kebanyakan orientalis dalam mencermati perjuangan kaum muslim modern dalam pemikiran kembali sunnah Nabi. Menurut Brown, pendekatan semacam ini mengasumsikan adanya dikotomi yang tegas antara tradisi dan 26 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm,Tafsîr al-Manâr Kairo: Al-Haiah al-Mishriyyah al-Âmmah li al-Kitâb, juz II, 1990, hal. 207. 27 Wilfred Cantwell Smith. Islam in Modern History: The Tension between Faith and History in the Islamic World , Princeton: Princeton University Press, 1977. 28 Brown, Menyoal …, hal. 12. 29 modernitas. Akarnya adalah pemikiran Pencerahan, di mana para pemikir Pencerahan, akal merupakan lampu sorot, yang menembus kegelapan tradisi, yang menerobos kabut kebodohan untuk menerangi kebenaran. Pemikiran pencerahan ini pun sebetulnya masih berlaku dalam kebudayaan akademik Barat. Bagi Brown modernitas dan tradisi tidak harus dipandang sebagai secara diametris saling beralawanan. Pandangannya ini jelas berbeda dengan paradigma yang digunakan oleh kebanyakan orientalis seperti yang dijelaskan di atas. Jika modernitas dan tradisi tidak dipandang sebagai yang berlawanan, lalu bagaimana memahaminya hubungan antara keduanya? Menurutnya ini dapat dipahami dengan melihat kebalikan dari metafor Pencerahan. Di sini modernitas tidak dipandang sebagai sumber pencerahan, yang menyingkirkan kegelapan tradisi, tetapi membayangkan tradisi sebagai pemberi cahaya, yang dibiaskan oleh prisma modernitas. Sebuah tradisi muncul dari prisma modernitas sebagai spektrum respons yang beraneka warna. Sebagian respons akan memperlihatkan dampak modernitas secara jauh lebih dramatis dibanding sebagian lainnya, tetapi tak akan ada yang sama sekali tersentuh. Pada saat yang sama, setiap warna dari spektrum tersebut, respons masing-masing yang berbeda, jelas berakar 30 pada tradisi. Seluruh respons terhadap modernitas suatu tradisi keagamaan, dan bahkan yang tampaknya meninggalkan tradisi sama sekali mengandung kontinuitas tertentu dengan tradisi, seperti halnya setiap pita spektrum ada dalam cahaya yang memasuki sebuah prisma. Hal ini didasarkannya pada posisi sunnah itu sendiri, di mana sunnah merupakan titik tumpu tempat perdebatan krusial mengenai kewenangan agama berkisar. Berkaitan dengan pemahamannya tentang hubungan tradisi dengan modernitas yang dikemukakannya, maka dalam buku ini, ia memilih pendekatan yang menekankan pada mazhab pemikiran ketimbang individu, yakni lebih menganalisis kecenderungan umum di dalam pemikiran ketimbang menganalisis individu. 29 Namun tentu saja Brown tidak bisa melepaskan diri dari analisisnya terhadap setiap pemikir. Berangkat dari sini, dalam memilih sumber-sumber, ia menerapkan uji sederhana, yakni: jika suatu pernyataan menarik banyak respons, maka pernyataan itu penting; jika berlalu begitu saja tanpa diperhatikan; maka pernyataan tersebut tidak penting. 30 Dengan demikian tampak bahwa Brown mengukur pentingnya suatu pemikiran atau karya berdasarkan tingkat kontroversi 29 Brown, Menyoal …, hal. 15. 30 Brown, Menyoal …, hal. 16. 31 yang ditimbulkannya. Karena itu tentu saja sumber-sumber utamanya adalah pemikiran atau karya yang kontroversial mengenai sunnah, seperti yang terjadi di Mesir dan Pakistan. Metode yang digunakan dalam menganalisis tulisan-tulisan modern mengenai sunnah dan literatur kontroversial tentangnya adalah menggali tema-tema yang paling penting yaitu yang paling sering berulang dari tulisan-tulisan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk dapat membangun konteks dan latar belakang tema-tema ini dalam keserjanaan Islam klasik serta untuk menganalisis cara pandang modern terhadap topik tersebut. 31 Artinya, Brown berupaya memetakan isu-isu yang paling menonjol yang menjadi pusat pembahasan sunnah untuk menganalisis posisi-posisi utama yang dibangun oleh kaum muslim modern terhadap isu-isu tersebut. Menurut Brown, isu krusial dalam perjuangan yang terus berlangsung ini adalah masalah hakikat, status dan otoritas sunnah contoh-contoh normatif Nabi Muhammad s.a.w.. 32 Masalah hakikat sunnah menjadi penting karena persoalan ini membahas batas-batas manusiawi utusan Allah berperan dalam proses wahyu. Hal ini tampak sudah menjadi dilema umum dalam risalah kenabian, karena yang transenden menjadi imanen, yang universal 31 Brown, Menyoal …, hal. 16. 32 Brown, Menyoal …, hal. 11. 32 menjadi partikular, kesempurnaan disampaikan melalui saluran yang tidak sempurna. Di sisi lain, persoalan status sunnah juga merupakan hal yang tak dapat diabaikan. Karena jelas sekali bahwa sunnah Nabi s.a.w. yang diketahui melalui hadis disampaikan dengan cara berantai hingga beberapa generasi. Pertanyaan yang mendesak tentang ini tentu saja seberapa jauh sunnah Nabi s.a.w. dapat diakui validitasnya benar-benar bersumber dari Nabi s.a.w.. Sementera persoalan otoritas sunnah jelas pula menjadi masalah yang tak kalah pentingnya. Hal ini karena menyangkut sejauh mana sunnah dapat mengikat kaum muslim.

VII. Beberapa Pandangan Brown tentang as-Sunnah