Studi Kritis Atas Material Hadis

13 Perbedaan terletak pada sikap terhadap hadis. Bila tokoh-tokoh seperti Ahmad Amin, Muhammad Husein Haikal dan Abu Rayyah menyatakan banyak hadis-hadis yang termuat dalam literatur hadis yang dianggap mapan oleh kaum muslim tak dapat diterima redaksinya karena bertentangan dengan rasio atau akal, dan karena itu lalu mereka meninggalkannya, maka al-Ghazali tidak demikian. Terhadap hadis-hadis yang dari segi sanad dapat diterima validitasnya, ia pahami dengan pendekatan kontekstual. Karena itu studi kritis al-Ghazali lebih cenderung pada pemahaman makna-makna hadis. 10

IV. Studi Kritis Atas Material Hadis

Untuk kepentingan kritik hadis dalam hal sanad dan matan yang telah meluas seperti yang telah dijelaskan, maka kaedah-kaedah sebagai dasar kritik pun disusun sedemikian rupa dan cermat. Tiga syarat berkenaan dengan sanad dan dua syarat berkenaan dengan matan. Yang berkaitan dengan sanad, selain semua rawi-rawinya harus bersambung ittishal al-sanad, rawi-rawi tersebut juga harus memiliki integritas kepribadian adil, kapasitas intelektual dhabithh, keharusan tidak adanya kejanggalan syazd dan cacat ‘illat. Sedangkan yang berkaitan dengan 10 Lihat, al-Ghazali, Analisis …, Hal. 167-168 14 matan, adalah keharusan tidak adanya kejanggalan syazd dan cacat ‘illat. Kelima kaedah ini akhirnya menjadi kriteria sebuah hadis sahih, yakni hadis yang dianggap valid dan orisinil sebagai ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi. Rawi-rawi yang bersambung artinya bahwa masing-masing rawi- rawi tersebut menerima hadis dari rawi yang terdekat sebelumnya dan keadaan ini terus berlangsung demikian sampai kepada rawi yang pertama yang menerima hadis dari Rasul 11 . Kebersambungan ittishâl sanad ini menjadi indikasi bahwa riwayat yang sampai kepada kita dapat dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi, sebaliknya keterputusan sanad mengakibatkan riwayat yang disampaikan tertolak. Sementara integritas kepribadian ‘adil bagi seorang rawi harus tercermin dalam kemantapan agamanya, bersih dari perbuatan fasik dan muru’ah kehati-hatian dalam menjaga akhlak . Karena itu ‘adil mengandung unsur-unsur: beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama Islam, serta memelihara muru’ah 12 . Sedangkan kapasitas intelektual dhâbith adalah kemampuan mengambil pesan-pesan secara pasti melalui proses pendengaran dan 11 Subhi Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, hal. 145. 12 Nuruddin ‘Itr, Manhaj Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts Damaskus: Dâr al- Fikr, 1981, 79-80. 15 kemampuan untuk menghafal secara kontinyu hingga pesan-pesan tersebut disampaikan kepada orang lain 13 . Adapun syadz adalah kejanggalan dalam bentuk bertentagannya sebuah riwayat yang disampaikan rawi yang tsiqah rawi yang adil dan dhabith dengan para rawi yang lebih tsiqah, baik pada sanad maupun pada matan. 14 . Sedangkan ‘illat adalah cacat dalam bentuk: 1 sanad yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil dan mawquf, atau mursal . 2 terjadinya percampuran hadis dengan bagian hadis lainnya, 3 kesalahan dalam menyebutkan nama periwayat râwi. Tentu saja, semua kriteria ini disusun dengan logika yang jelas. Artinya semua persyaratan itu didasari atas argumen-argumen yang relevan dengan maksud dan tujuan kritik sanad dan matan. Argumen-argumen ini pada dasarnya adalah bersifat historis di samping juga bersifat normatif. Meskipun argumen-argumen tersebut berbeda-beda, tetapi semua argumen saling berkait dan saling memperkuat. Dâri sini dapat simpulkan bahwa kritik hadis tidak hanya dalam dimensi keilmuan semata, tetapi juga dalam koridor ajaran dan keyakinan. Karenanya dapat dipahami, bila acuan-acuan 13 Muhammad Luqman as-Salafi Ihtimam al-Mahadditsun bi Naqdi al- Hadits, Sanadan wa Matanan , Riyadh: tnp, 1987, hal. 212. 14 ‘Itr, Manhaj …, hal. 242. 16 kritik hadis menjadi sangat cermat dan rumit. Sebab hal ini membawa beban psikologis dalam kaitan tanggung jawab yang bersifat transendental. Semua persyaratan ini, baik yang menyangkut dengan sanad maupun matan sangat ketat sekali. Itu sebabnya pada setiap persyaratan tersebut dilakukan sejumlah pengujian dan analisis. Kriteria sanad bersambung misalnya, kritik dilakukan dengan telaah atas sejarah hidup masing-masing rawi dan lambang-lambang periwayatan yang menghubung antara satu rawi dengan rawi lain. Telaah tersebut dimaksudkan untuk mengetahui apakah kebersambungan sanad hanya sebatas kesezamanan mu’shârah atau pertemuan dalam kapasitas guru dan murid liqa’. Kualitas pribadi ‘adil dilakukakan dengan mengamati popularitas keutamaan rawi atau integritas kepribadian yang bersangkutan di kalangan ulama hadis, menyeleksi penilaian dari para kritikus hadis, dan penerapan kaedah-kaedah jarh dan ta’dil. Sementara menyangkut dengan kapasitas intelektual sebagai periwayat hadis dhabith, dilakukan penilaian berdasar kesaksian para ulama, dan menyesuaikan riwayat rawi dengan rawi yang dhâbith. Kecermatan yang cukup tinggi dalam melakukan kritik sanad dan matan , tampaknya tidak dikenal dalam ilmu sejarah. Syuhudi Ismail, mengutip Louis Gottschalk, menyatakan bahwa dalam ilmu sejarah kualitas 17 para saksi hanya bersifat umum, tidak dirinci sedemikian ketat. Misalnya ketentuan menyatakan, kesaksian pengamat dan pelapor yang terdidik atau berpengalaman lebih unggul dari pada yang tidak terdidik atau yang tidak berpengalaman. 15 . Demikian pula lafal-lafal yang beragam dan cukup rumit yang dikemukakan oleh ulama hadis untuk memberi kualifikasi atas integritas kepribadian dan kapasitas intelektual rawi-rawi, tampaknya hanya ada dalam ilmu hadis, tidak dikenal dalam ilmu sejarah. Pengujian terhadap para pelapor hadis atau rawi yang telah dilakukan sejak awal telah melahirkan cabang ilmu hadis tersendiri yang disebut dengan al-Jarh wa al- Ta’dil. Yakni persyaratan bagi seorang rawi dalam kaitan diterima atau tidaknya hadis yang diriwayatkan. Al-jarh sendiri mengandung pengertian yang berkaitan dengan cacat-cacat seorang perawi yang menyebabkan hadisnya ditolak. Sedangkan al- ta’dil berkaitan dengan adalat al-rawiy yang karena itu hadisnya dapat diterima. Berkaitan dengan jarh wa ta’dil ini, seperti yang dikatakan Afif Muhammad, tampaknya sudah selesai dilakukan dalam pengertian bahwa kredibilitas 15 Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Bulan Bintang, Jakarta, 1995, hal. 205. 18 para rawi telah dibukukan secara baik oleh para kritikus hadis. 16 . Pernyataan ini dapat saja diterima mengingat banyaknya karya-karya tulis di bidang ini yang muncul dari yang sederhana sampai dengan yang paling lengkap. Tentu saja kita berhutang budi pada kritikus-kritikus yang telah melahirkan karya semisal Mizan al- I’tidal, Tahdzib al-Tahdzib, dan Tahdzib al- Kamal , karena melalui kitab semacam ini kita dapat melacak kredibilias para perawi hadis. Berkaitan dengan kritik sanad dan matan, sebagian orang menyatakan bahwa kritik sanad mendapat prioritas dari ulama-ulama hadis. Muhammad Afif misalnya, menyatakan bahwa meskipun kritik matan telah dirintis sejak awal oleh para sahabat generai pertama, tampaknya belum dilanjutkan secara sungguh-sungguh. Selama ini, kriteria sahihnya sebuah hadis, masih ditentukan oleh kesahahihan sanadnya. Al-Bukhari sendiri, memaksudkan sahih di situ adalah sahih sanad-nya. Ini terlihat dengan jelas bila kita memperhatikan keseluruhan judul yang diberikan pada kitab sahihnya, yakni Al- Jami’ al-Shahih al-Musnad al-Mukhtshar min ‘Umur Rasulillah saw wa Sunanih wa Ayyamih . Dalam judul tersebut tertera secara jelas kalimat al- Jami’ 16 Afif Muhammad, “Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis Nabi s .a.w.”, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 5 Maret-Juni 1992, hal. 28. 19 al-Shahih al-Musnad Himpunan Hadis yang Shahih Sanadnya. 17 . Agaknya memang sulit dihindari kesan prioritas kiritik pada sanad daripada matan, meskipun pada kenyataannya kesungguhan ulama hadis dalam meneliti matan tak dapat diragukan. Hal ini disebabkan karena sanad hadis merupakan keharusan pertama dalam kritik hadis, sebab sanad yang tidak dapat dipertahankan validitasnya matannya tak dapat dinyatakan dari Rasul. Karenanya para ulama hadis terdahulu tampaknya telah terserap waktu dan energinya oleh studi atas sanad hadis. Kenyataan di atas memang mengundang persoalan. Pernyataan- pernyataan yang sangat miring tentang ini terutama dimajukan oleh para orientalis. Ignaz Golziher, misalnya, menyatakan bahwa kaum muslim hanya mengandalkan penelitian sanad semata, tampa memperhatikan matan hadis. Kualitas hadis hanya ditentukan oleh kualitas sanad. Pernyataan yang lebih tajam lagi adalah bahwa ulama-ulama hadis tak segan-segan memasukan suatu kalimat di dalam matan hadis. 18 Yaqub, 1995: 15. Tetapi, meskipun pernyataan-pernyataan Ignaz Golziher sama sekali tak mempunyai alasan yang kuat, namun menggugah para ulama hadis untuk 17 Afif Muhammad, “Kritik …”, hal. 29 18 Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis Bulan Bintang, Jakarta,1995, hal. 15. 20 melakukan kajian yang lebih dalam dan intensif terhadap kritik sanad dan matan hadis. Mungkin sekali terdapat banyak hadis yang dari segi sanadnya sahih, tetapi tampak bertengan dengan al- Qur’an. Karena itu orang-orang seperti Ahmad Amin dan Abu Rayyah menolaknya. Tetapi, jelas sekali bahwa mereka sangat tergesa-gesa mengambil kesimpulan hingga membuat pernyataan yang keliru. Berbeda dengan Muhammad al-Ghazali, meskipun dalam sebuah karyanya mempersoalkan banyak hadis yang dipandangnya bertentangan dengan al- Qur’an dan secara sengit mengecam orang yang memahami dan mengamalkannya secara tekstual, ia mencoba mencoba mencari al-ternatif lain dalam memahaminya. Pengujian matan hadis atas al- Qur’an menjadi tolok ukur pengujian kesahihan suatu hadis. Tetapi, studi atas matan hadis memang tidak mudah dilakukan sebab sebagian kandungan matan hadis berkaitan dengan keyakinan, hal-hal ghaib, dan petunjuk-petunjuk kegiatan keagamaan yang bersifat ta’abbudi. Di sisi lain, juga pengujian atas matan hadis diperlukan dengan pendekatan rasio, sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Dâri sini penulis melihat bahwa studi kritis atas matan hadis sebetulnya lebih bersifat relatif dan subjektif. Artinya, ketika sebuah matan hadis dihadapkan dengan al- 21 Qur’an misalnya, sebagian orang dapat saja mengatakan bertentangan dengan logika atau al- Qur’an, tetapi sebagian yang lain tidak menganggap bertentangan dengan logika atau al- Qur’an. Sebab penilaian bertentangan atau tidaknya dengan rasio atau al- Qur’an sangat terkait dengan pendekatan pemahaman dan konsep teologisnya.

V. Studi Kritis Atas Pemahaman Hadis