Studi Kritis Atas Pemahaman Hadis

21 Qur’an misalnya, sebagian orang dapat saja mengatakan bertentangan dengan logika atau al- Qur’an, tetapi sebagian yang lain tidak menganggap bertentangan dengan logika atau al- Qur’an. Sebab penilaian bertentangan atau tidaknya dengan rasio atau al- Qur’an sangat terkait dengan pendekatan pemahaman dan konsep teologisnya.

V. Studi Kritis Atas Pemahaman Hadis

Secara garis besar, ada dua tipologi pemahaman ulama atas hadis: Pertama, pemahaman atas hadis Nabi tanpa mempedulikan proses sejarah yang melahirkannya –ahistoris. Tipologi ini dapat disebut tekstualis. Kedua, pemahaman kritis dengan mempertimbangkan asal-usul asbab al-wurud hadis. Tentu saja di sini mereka memahami hadis secara kontekstual. Pemahaman hadis tekstual dan kontekstual tidaklah dalam dikhotomi hitam putih yang dapat diletakkan dalam strata. Tetapi, kedua pemahaman ini bersifat relatif dan kondisional. Artinya, pada hadis-hadis tertentu, salah satu tipe pendekatan merupakan satu keharusan. Karena itu, menurut Syuhudi Ismail, ada hadis-hadis Nabi yang tekstual dan yang kontekstual. Menurutnya, pemahaman hadis secara tekstual ini dilakukan bila hadis bersangkutan setelah dihungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, seperti asbab al-wurud hadis, tetap menuntut pemahaman sesuai 22 dengan apa yang tertulis dalam teks hadis tersebut. Sedangkan pemahaman kontekstual terhadap hadis-hadis Nabi dilakukan bila hadis-hadis dimaksud terasa tidak komunikatif lagi dengan zaman. Berkaitan dengan pemahaman tekstual dan pendekatan kontekstual, sudah mulai diperlihatkan pada masa-masa awal, bahkan ketika Nabi masih hidup. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan oleh sebahagian sahabat terhadap hadis 19 , ا ّيّصي ح ْصعْل اإ يف ينب ظْي ق . Janganlah kamu shalat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraidhah, merupakan sebuah contoh yang cukup layak. Sebagian sahabat tersebut memahami hadis tersebut secara kontekstual dengan menangkap maksud dan tujuan Nabi, sehingga mereka tetap melakukan shalat Ashar pada waktunya di dalam perjalanan. Sedang sebagian lagi yang memahami secara tesktual shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah –meski hari telah gelap. 19 Abu ‘Abdillah, Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâri, juz II Kairo: Dâr asy- Sya’b, 1987, hal. 19. 23 Tetapi kemudian, tampaknya, pemahaman tekstual lebih mendominasi atas hadis-hadis Nabi. Padahal sebetulnya di luar bidang ibadah, hadis pada umumnya lebih banyak bersifat kondisional. Pemahaman kontekstual atas hadis Nabi mungkin sekali tenggelam dalam pelukan Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang lebih suka memakai hadis secara tekstual. Pemahaman secara tekstual ini, seperti yang dijelaskan Amin Abdullah, memang diperlukan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah demi mempertahankan ekuilibrium kekuatan ajaran yang telah diterima. 20 . Pengaruh Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang begitu kuat dan mengkristal menyebabkan para kaum muslim lebih suka menerima apa adanya, seperti yang tertulis dalam kutub al-sittah. Karena itu penjelasan-penjelasan syarah atas literatur-literatur hadis lebih banyak didominasi oleh pemahaman- pemahaman tekstualis. Jelas sekali terlihat keseganan para ulama dalam pengembangan pemikiran terhadap hadis Nabi. Tetapi, tidak demikian halnya dengan al- Qur’an. Pengembangan pemikiran terhadap al-Qur’an tampaknya cukup intens dilakukan sehingga melahirkan banyak tafsir-tafsir yang cukup beragam. Tidak demikian halnya dengan hadis. Karya-karya yang memuat 20 Yunahar Ilyas, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis Yogyakarta: LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1996, hal. 209. 24 penjelasan-penjelasan hadis tanpaknya tidak terlalu intens dimunculkan, apalagi dengan corak yang berbeda satu dengan yang lain. Pemahaman kontekstual terhadap sebahagian hadis Nabi merupakan sebuah tuntutan keharusan –karena pemahaman tekstual tidak selamanya mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang muncul belakangan, bahkan menjadi komunikatif lagi dengan ruang dan waktu di mana kita berada. Sebagai contoh hadis yang menyatakan: ا فاست ة ْ ْل اإ عّ م ْحّ Tidaklah seorang perempuan bepergian kecuali bersama Mahram 21 , demikian pula tentang siwak: إف ك سل ة ْطّ ّفّْل ، ةاضْ ّ ّ ّل Siwak itu membersihkan mulut dan menjadikan Allah ridha 22 . Karena penjelasan-penjelasan atas hadis yang semisal ini dilakukan dengan pemahaman tekstual, maka sebagian sarjana-sarjana muslim lantas 21 Hadis Riwayat al-Bukhari dari Ab dullah ibn ‘Abbas, dalam kitab Shahîh al-Bukhâri , juz III, hal. 24, hadis nomor 1862. 22 Hadis Riwayat Ibnu Majah, dari Abu Umamah, dalam kitab Sunan Ibn Mâjah , juz I, hal. 1923, hadis nomor 289. 25 menyerang hadis yang tanpak kontradiktif dan tidak komunikatif dengan zaman –meskipun ulama hadis menyatakan bahwa hadis tersebut dilihat dari kaedah-kaedah ilmu hadis yang demikian ketat, validitasnya diakui dan maqbûl shahîh. Ketika menanggapi hadis tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk, kaum feminis muslim seperti Rifat Hasan, cenderung menolak hadis ini, baik dari segi sanad maupun matannya. Dâri segi sanad ia mengatakan dha’îf karena beberapa orang rawinya dinilainya tidak dapat dipercaya. Tetapi mayoritas ulama berdasarkan kaedah-kaedah keshahihan hadis menyatakan hadis ini berprediket shahih. Sedangkan dari segi matan ia menyatakan bahwa hadis ini mengandung elemen-elemen misoginis. 23 . Hadis pada umumnya adalah penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al- Qur’an dalam merespons pertanyaan atau masalah yang dihadapi sahabat. Karena itu tampaknya ia bersifat temporal dan kontekstual. Dengan semakin jauh terpisahnya hadis dari situasi sosial yang melahirkannya, maka sebagian hadis nabi secara literal terasa tidak komunikatif lagi dengan realitas kehidupan sosial saat ini. Dengan demikian, studi kritis atas hadis Nabi pada sisi pemahaman atas hadis 23 Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al- Qur’an Klasik dan Kontemporer Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997, hal. 69-70. 26 merupakan satu keharusan. Karena itu upaya atau pengkajian terhadap konteks-konteks hadis merupakan aspek yang sangat penting dalam menangkap makna hadis yang akan diamalkan. Sayangnya, menurut Afif Muhammad 24 , pendekatan kontekstual atas hadis Nabi saw, belum begitu memperoleh perhatian. Ketika memahami hadis secara kontekstual, banyak sekali pertimbangan yang dilakukan. Sebab hadis sebagai sebuah ucapan dan teks sesungguhnya memiliki sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar kita lebih bisa mendekati kebenaran mengenai gagasan yang hendak disampaikan oleh Rasul. Tanpa memahami motiv di balik penyampain sebuah hadis, suasana-psikologis, dan sasaran ucapan Nabi, maka mungkin sekali kita akan salah paham dalam membacanya. Menyadari bahwa ucapan dan pengucapnya, suasana- psikologis dan sasaran ucapan saling bertautan, maka dalam setiap pemahaman dan penafsiran yang dilakukan, ketiga hal ini sangat berperan sekali. Dengan demikian, ketika melakukan pemahaman kontekstual atas hadis sebenarnya seorang penafsir atau pembaca memposisikan sebuah teks 24 Afif Muhammad, Kritik …”, hal. 25. 27 baca: hadis ke dalam sebuah jaringan wacana. Ibarat sebuah gunung es, sebuah teks adalah fenomen kecil dari puncak gunung yang tanpak di permukaan. Oleh karena itu tanpa mengetahui latar belakang sosial budaya dari mana dan dalam situasi apa sebuah teks muncul, maka sulit mengangkap makna pesan dari sebuah teks. 25 Tiba di sini, maka kajian mendalam terhadap sirah Nabawiyah menjadi bagian yang sangat penting. Sebab, pemahaman terhadap sirah Nabawiyah akan memberikan perspektif yang lebih luas tetang ruang dan waktu munculnya sebuah hadis. Kalau pendapat ini diterima maka mereka yang mendalami sejarah Rasulullah Muhammad s.a.w. sudah tentu akan memiliki pemahaman berbeda dari yang tidak mempelajarinya ketika sama-sama memahami sebuah hadis. Akan tetapi, untuk mendapatkan pemahaman konteks-konteks hadis dengan tepat, maka tak pelak lagi upaya penghimpunan sebanyak mungkin hadis yang berada dalam satu pembicaraan. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat dari konteks-konteks hadis itu. Karena hadis-hadis pada dasarnya saling terkait satu sama lain, bahkan seperti al- Quran, 25 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik Jakarta: Paramadina, 1996, hal. 214. 28 اي ْلاف سفي ا ضْعب اضْعب yufassiru ba’dhuha ba’dhan 26 satu sama lain saling menafsirkan. Teknik ini tidaklah sulit utuk dilakukan, sebab kitab-kitab hadis telah memilik sistematika yang baik.

VI. Prisma Modernitas dan Isu Krusial