Pola Sebaran Jenis Bulu babi Hubungan Antara Bulu babi dengan Karakteristik Habitat

Keterangan : C : Penutupan jenis M i : Frekuensi penutupan lamun : Nilai tengah kelas penutupan lamun : Jumlah frekuensi penutupan lamun Nilai tengah kelas untuk menghitung persen penutupan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kelas penutupan yang digunakan untuk mencatat kelimpahan lamun Kelas Nilai Penutupan Lamun Penutupan Nilai Tengah Mi 5 12 sampai semua 50-100 75 4 14 sampai 12 25-50 37,5 3 18 sampai 14 12,5-25 18,75 2 116 sampai 18 6,25-12,5 9,38 1 116 6,25 3,13 Kosong

3.5.3 Pola Sebaran Jenis Bulu babi

Penentuan pola sebaran jenis dari suatu organisme pada habitatnya dapat ditentukan dengan menggunakan Indeks Sebaran Morisita Khouw, 2009. Rumus untuk menghitung Indeks Sebaran Morisita sebagai berikut : ………..……………. 7 Keterangan : I d n : Indeks Sebaran Morisita : Jumlah individu di setiap kuadran = x : Jumlah kuadran pengambilan contoh 1 + x 2 : Jumlah individu di setiap kuadran di kuadratkan = x + …. 1 2 + x 2 2 + …. Hasil perhitungan Indeks Sebaran Morisita dibandingkan dengan kriteria sebagai berikut : I d I 1 : Pola sebaran individu jenis bersifat seragam d I = 1 : Pola sebaran individu jenis bersifat acak d 1 : Pola sebaran individu jenis bersifat mengelompok

3.5.4 Hubungan Antara Bulu babi dengan Karakteristik Habitat

Adanya interaksi suatu organisme dengan karakteristik habitat tertentu dapat dipakai sebagai indikasi hadir tidaknya organisme tersebut pada suatu tempat dengan kepadatan yang tertentu pula. Evaluasi keterkaitan antara komunitas lamun dan bulu babi di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan Analisis Faktorial Koresponden Correspondence Analysis Bengen, 2000, yang didasarkan pada matriks data i baris jenis bulu babi dan j kolom jenis lamun dimana jenis ke-i bulu babi untuk lamun jenis ke-j terdapat pada baris ke-i dan kolom ke-j. Matriks datanya merupakan tabel kontigensi jenis bulu babi vs jenis lamun. Analisis Faktorial Koresponden ini tidak menghasilkan dua grafik yang independen tapi hanya satu grafik unik dimana baris dan kolom dipresentasekan pada grafik yang sama. Pengerjaan analisis koresponden menggunakan software Statistica 8. 17 Gambar 6. Peta lokasi penelitian bulu babi di habitat lamun Pulau Sapudi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Fisika – Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi pengambilan data Lampiran 2, didapatkan hasil seperti tercantum pada Tabel 6. Tabel 6. Karakteristik fisika – kimiawi perairan di lokasi pengamatan rata-rata dan simpangan baku Parameter Fisik Kimia Nama Stasiun Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Suhu o 28,93 ± 0,80 C 30,67 ± 0,49 30,47 ± 0,52 30 ± 0,38 Salinitas ‰ 31,07 ± 1,62 29,27 ± 0,46 29 ± 0 30 ± 0 pH 8,73 ± 0,09 8,6 ± 0 8,6 ± 0 8,6 ± 0 Kecerahan 100 ± 0 100 ± 0 100 ± 0 100 ± 0 Kedalaman cm 29,93 ± 16,97 31,53 ± 9,45 14 ± 5,07 20,27 ± 7,69 Suhu pada keempat stasiun pengamatan memperlihatkan nilai kisaran rata- rata sebesar 28,93 ± 0,80 o C sampai dengan 30,67 ± 0,49 o C Tabel 6. Stasiun 1 memiliki nilai rata-rata suhu terendah sebesar 28,93 ± 0,80 o C. Stasiun 2 memiliki nilai rata-rata suhu tertinggi sebesar 30,67 ± 0,49 o C. Organisme perairan memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Dari hasil suhu yang diperoleh di keempat stasiun tersebut masih berada pada kisaran normal yang mendukung kehidupan organisme perairan sebesar 30 – 35 o Menurut Nybakken 1988 suhu merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi pola kehidupan organisme perairan, seperti distribusi, komposisi, kelimpahan dan mortalitas. Suhu juga akan menyebabkan kenaikan metabolisme organisme perairan, sehingga kebutuhan oksigen terlarut menjadi meningkat. Effendi 2003 menjelaskan bahwa peningkatan suhu perairan akan meningkatkan C Effendi, 2003.