Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Yang Tidak Terkait Tindak Pidana Pencucian Uang Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Studi Kasus Perkara No. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. Atas Nama Terdakwa Irjen Pol Drs. Djoko Susilo, S.H., M.Si)

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYITAAN ASET YANG TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

(STUDI KASUS PERKARA NO. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. ATAS NAMA TERDAKWA DJOKO SUSILO)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

SARABJIT SINGH SANDHU NIM : 110200427

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi :

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYITAAN ASET YANG TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (STUDI KASUS PERKARA NO. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. ATAS NAMA TERDAKWA IRJEN POL Drs. DJOKO SUSILO, S.H., M.Si)

Oleh:

SARABJIT SINGH SANDHU NIM : 110200427

Disetujui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H. NIP. 195703261986011001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum. NIP. 195102061980021001 NIP. 197302202002121001


(3)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYITAAN ASET YANG TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

(STUDI KASUS PERKARA NO. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. ATAS NAMA TERDAKWA IRJEN POL Drs. DJOKO SUSILO, S.H., M.Si)

ABSTRAKSI Sarabjit Singh Sandhu*

Syafruddin Kalo** Mahmud Mulyadi***

Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana tercantum pada Pasal 1 butir ke-3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hukum sebagai panglima tertinggi mengakibatkan seluruh tindakan harus berdasarkan hukum. Pasal 28D UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum.

Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana pencucian uang di Indonesia, bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan penyitaan aset yang diduga terkait tindak pidana pencucian uang dan bagaimana prosedur penyitaan tersebut serta bagaimana tinjauan yuridis terhadap penyitaan yang dilakukan oleh KPK terhadap aset-aset Irjen Pol Djoko Susilo, S.H., M.Si. yang tidak terkait dengan tindak pidana pencucian uang.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normative yang emnitikberatkan pada data sekunder dengan spesifikasi deskriptif analitis, yaitu memaparkan tentang peraturan yang berlaku dan menganalisis penyitaan yang dilakukan oleh KPK terhadap aset yang tidak terkait dengan tindak pidana tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Irjen Pol Djoko Susilo, S.H., M.Si. Analitis data yang digunakan adalah metode analitis kualitatif.

Bahwa penyitaan aset Irjen Pol Djoko Susilo, S.H., M.Si. yang diperoleh pada tahun 2003 sampai 2010 oleh KPK dengan alasan tidak seimbangnya antara penghasilan dan aset yang diperoleh, telah melampaui kewenangan dan tidak sah secara hukum. Berdasarkan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK dalam melakukan penyitaan wajib didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, yaitu ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti bahwa aset tersebut adalah hasil tindak pidana korupsi. Alasan karena tidak seimbangnya pengasilan dengan aset yang dimililki bukan alasan yang diatur dalam undang-undang sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan penyitaan.

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU

** Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU *** DosenPembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan kasih serta perlindunganNya kepada Penulis dalam penyelesaian skripsi ini sehingga skripsi ini dapat selesai dengan tepat waktu.

Pada kesempatan ini, Penulis dengan rendah hati mempersembahkan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Yang Tidak Terkait Tindak Pidana Pencucian Uang Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Studi Kasus Perkara No. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. Atas Nama Terdakwa Irjen Pol Drs. Djoko Susilo, S.H., M.Si)” kepada dunia pendidikan, guna menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan hukum.

Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat kelulusan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan yang tulus kepada:

1. Kedua orang tua Penulis, yaitu Amrik Singh Sandhu (Ayah) dan Harpajan Kaur (Ibu) serta kedua Abang Penulis (Harprit Singh Sandhu dan

Kalwinderjit Singh Sandhu) yang senantiasa memberikan doa, motivasi, bimbingan dan kesabaran yang tulus selama ini sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini;


(5)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Dr. Mhd Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Bapak Dr. Mhd Hamdan, S.H., M.H., selaku Dosen Penasehat Akademik selama Penulis duduk dibangku pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II, atas kesediaan baik waktu maupun tenaga dan kesabarannya membimbing, memberi saran, arahan dan perbaikan untuk skripsi ini;

10.Bapak Edi Yunara, S.H., M.Hum. yang mendampingi delegasi KPS FH USU untuk National Moot Court Competition (NMCC) Universitas Negeri Semarang;


(6)

11.Seluruh Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, baik yang masih mengabdikan diri ataupun yang sudah pensiun;

12.Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 13.Teman-teman Penulis Angkatan 2011 di Grup C mulai dari Semester I sampai

dengan Semester VII, maupun mahasiswa senior dan junior yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu;

14.Rekan-rekan Mooters di Komunitas Peradilan Semu (KPS) yang telah memberikan Penulis banyak ilmu maupun warna dalam dunia perkuliahan; 15.Seluruh anggota delegasi KPS FH USU untuk National Moot Court

Competition Universitas Negeri Semarang;

16.Para Penulis buku-buku dan artikel-artikel yang Penulis jadikan referensi data guna pengerjaan skripsi ini;

17.Seluruh orang yang Penulis kenal dan mengenal Penulis.

Setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan. Sudah saatnya bagi Penulis untuk meninggalkan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini menuju ke jenjang selanjutnya yaitu membangun karir. Penulis ingin mengucapkan terimakasih atas berbagai hal bermanfaat yang telah diberikan kepada Penulis selama ini. Semoga Tuhan senantiasa memberikan berkat dan perlindunganNya kepada kita semua.

Penulis berharap skripsi ini tidak hanya sebuah lembaran-lembaran hitam diatas putih yang tidak memiliki arti dalam dunia hukum. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi seluruh pihak dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan terkhusus mengenai aspek-aspek yuridis dalam penyitaan yang tidak terkait


(7)

dengan tindak pidana pencucian uang. Tiada gading yang tak retak, maka dari itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif terhadap skripsi ini. Atas segala perhatiannya, Penulis ucapkan terimakasih.

Medan, April 2015 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN………..……….…. i

ABSTRAK ………..…………....… ii

KATA PENGANTAR………... iii

DAFTAR ISI……….………...… vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………...……….………... 1

B. Perumusan Masalah ….………...……….……… 7

C. Tujuan Penulisan ……….…...……….……….… 8

D. Manfaat Penelitian ………..………...…..…….... 8

E. Keaslian Penulisan ………...………..…….. 9

F. Tinjauan Kepustakaan ………...………. 10

G. Metode Penelitian ………...………...…..….. 20

H. Sistematika Penulisan ………...………. 23

BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA A. Sejarah dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang 1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang .…….…….…………... 26


(9)

B. Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia

1. Sebelum Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang ….…….…….…….…….…….…….…….……….… 40 2. Setelah Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

………....…….……….. 44

BAB III KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

MELAKUKAN PENYITAAN TERHADAP ASET YANG DIDUGA HASIL TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Dasar Hukum KPK Melakukan Penyitaan Terhadap Aset Yang Diduga Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang ….…….…….…….………… 51 B. Proses Penyitaan Terhadap Aset Yang Diduga Hasil Tindak Pidana

Pencucian Uang

1. Bentuk dan Tata Cara Penyitaan Menurut KUHAP …….……... 69 2. Tata Cara Penyitaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) ….…….…….…….…….….……….…….…….…….…. 77

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYITAAN ASET YANG TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI


(10)

1. Kronologis Perkara Berdasarkan Surat Dakwaan Pada Putusan Nomor: 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. tanggal 3 September 2013 …….….……..….…….………….…….…….. 80 2. Aset Terdakwa Yang Diperoleh Pada Tahun 2003 Sampai 2010 Dan Telah Disita Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ….………….…….…….….…….…….…….………... 87 B. Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Terdakwa Djoko Susilo

yang Tidak Terkait Tindak Pidana Pecucian Uang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ………...….……....….…….…….… 103

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ….…….…….…….…….…….…….…….………….. 121 B. Saran ….…….…….…….…….…….…….…….…….….……….. 125


(11)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYITAAN ASET YANG TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

(STUDI KASUS PERKARA NO. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. ATAS NAMA TERDAKWA IRJEN POL Drs. DJOKO SUSILO, S.H., M.Si)

ABSTRAKSI Sarabjit Singh Sandhu*

Syafruddin Kalo** Mahmud Mulyadi***

Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana tercantum pada Pasal 1 butir ke-3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hukum sebagai panglima tertinggi mengakibatkan seluruh tindakan harus berdasarkan hukum. Pasal 28D UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum.

Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana pencucian uang di Indonesia, bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan penyitaan aset yang diduga terkait tindak pidana pencucian uang dan bagaimana prosedur penyitaan tersebut serta bagaimana tinjauan yuridis terhadap penyitaan yang dilakukan oleh KPK terhadap aset-aset Irjen Pol Djoko Susilo, S.H., M.Si. yang tidak terkait dengan tindak pidana pencucian uang.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normative yang emnitikberatkan pada data sekunder dengan spesifikasi deskriptif analitis, yaitu memaparkan tentang peraturan yang berlaku dan menganalisis penyitaan yang dilakukan oleh KPK terhadap aset yang tidak terkait dengan tindak pidana tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Irjen Pol Djoko Susilo, S.H., M.Si. Analitis data yang digunakan adalah metode analitis kualitatif.

Bahwa penyitaan aset Irjen Pol Djoko Susilo, S.H., M.Si. yang diperoleh pada tahun 2003 sampai 2010 oleh KPK dengan alasan tidak seimbangnya antara penghasilan dan aset yang diperoleh, telah melampaui kewenangan dan tidak sah secara hukum. Berdasarkan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK dalam melakukan penyitaan wajib didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, yaitu ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti bahwa aset tersebut adalah hasil tindak pidana korupsi. Alasan karena tidak seimbangnya pengasilan dengan aset yang dimililki bukan alasan yang diatur dalam undang-undang sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan penyitaan.

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU

** Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU *** DosenPembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dasar Negara Republik Indonesia adalah Pancasila yang juga merupakan sumber segala kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila juga merupakan sumber dari semua tertib hukum yang berlaku di Negara kita yang mana di dalamnya sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan/atau hak-hak asasi manusia, maka penegakan hukum dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia adalah dua hal yang secara simultan harus diperhatikan dan dipatuhi bagi setiap proses penegakan hukum di Indonesia.1

Selain negara yang berlandaskan Pancasila, Indonesia dikenal pula sebagainegara hukum. Hal tersebut tercantum pada Pasal 1 butir ke-3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konsekuensi dari tercantumnya pasal tersebut adalah bahwa telah terciptanya suatu supremasi hukum (supremacy of law) di Indonesia dimanahukummenjadi panglima tertinggi yang mengaturkehidupan masyarakatdan semua masalah yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat harus diselesaikan dengan hukum. Dengan adanya supremasi hukum tersebut yang diterapkan melalui asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia maka para penegak hukum tidak dibenarkan bertindak di luar

1

Sofyan Lubis, Prinsip Miranda Rule Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010, hlm. 8.


(13)

ketentuan hukum atau undue of law maupun undue process serta tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang atau abuse of power.2

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga mengatur mengenai hak-hak asasi manusia dibidang hukumsebagaimana tercantum pada Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Dengan demikian negara wajib untuk menjunjung tinggi hak-hak asasi setiap orang dan melakukan penegakan hukum tanpa melanggar hukum itu sendiri.Seseorang tidak dapat disangkakan, ditangkap, ditahan, dituntut maupun dihadapkan di depan pengadilan atas dasar asumsi,dugaan, kepentinganataupun kecurigaan semata melainkan harus berdasarkan alat-alat bukti sebagaimanadiatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Sistem Peradilan Pidana3 Indonesia dikenal Asas Praduga Tidak Bersalah atau presumption of innocent yang jika ditinjau dari segi teknis yuridis maupun segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusatur” atau accusatory procedure/accusatorial system. Prinsip akusatur menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subjek bukan objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan

2

M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hlm. 36.

3

Yang dimaksud dengan Sistim Peradilan Pidana adalah hukum acara pidana dalam arti luas yang tidak terbatas pada ketentuan normative termasuk juga di dalamnya dasar teori, filosofi dan konsepnya. (Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Surat Resmi Advokat Di Pengadilan, Jakarta : Papas Sinar Sinanti, 2013, hlm. 13).


(14)

diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat,dan harga diri, sedangkan yang menjadi objek pemeriksaan adalah “kesalahan” (tindakan pidana) yang dilakukan tersangka/terdakwa. Ke arah itulah pemeriksaan ditujukan.4

Dengan asas praduga tak bersalah yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur dalam setiap pemeriksaan.5 Dengan demikian, proses penegakan hukum acara pidana Indonesia haruslah menerapkan prinsip akusatur tersebut dalam setiap pemeriksaan.

Korupsi merupakan bahaya laten yang harus diberantas dan ditumpas agar tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana yang tercantum di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dapat terwujud secara baik. Tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan yang dimusuhi secara universal oleh hampir seluruh negara.Bahkan korupsi sudah dinyatakan sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Sebagai suatu kejahatan yang extraordinary pemberantasannya juga harus extraordinary, dalam arti harus lebih istimewa penanganannya dibandingkan kejahatan lainnya.

Perkembangan tindak pidana korupsi saat ini memang disertai dengan tindak pidana lain terkait dengan upaya-upaya untuk mengaburkan, menyamarkan serta menyembunyikan aset-aset yang merupakan hasil dari tindak pidana korupsi. Salah satu dari upaya menyembunyikan aset-aset tersebut dilakukan dengan metode pencucian uang, karena tujuan dari pencucian uang itu sendiri adalah

4

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 40.

5


(15)

untuk menyembunyikan maupun menyamarkan hasil tindak pidana agar para penegak hukum kesulitan untuk melacak hasil tindak pidana tersebut dan si pelaku dapat menikmati hasil tindak pidananya dengan aman.Modus operandi dari tindak pidana korupsi yang disertai dengan tindak pidana pencucian uang semakin hari semakin canggih sesuai dengan perkembangan zaman dan ini merupakan tugas berat bagi para penegak hukum untuk dapat mengusut dan menuntaskan kasus-kasus korupsi yang biasanya disertai dengan tindak pidana pencucian uang.

Pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi internasional merupakan hal baru di banyak negara termasuk Indonesia.Sebegitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negara-negara di dunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menaruh perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini tidak lain karena kejahatan pencucian uang (money laundering) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistim perekonomian dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri. Di dalam praktek

money laundering itu diketahui banyak dana-dana potensial yang tidak dimanfaatkan secara optimal karena pelaku money laundering sering melakukan “steril investment” misalnya dalam bentuk investasi di bidang properti pada

negara-negara yang mereka anggap aman walaupun dengan melakukan hal itu hasil yang diperoleh jauh lebih rendah.6

6

Bismar Nasution, Rezim Anti-Money Laundering di Indonesia, Bandung : BooksTerrace & Library, 2005, hlm. 1.


(16)

Korupsi dan pencucian uang saling berhubungan dan bahkan cenderung untuk terjadi bersama-sama,7 kemampuan untuk mentransfer dan menyembunyikan hasil tindak pidana sangat penting bagi pelaku korupsi, terutama pelaku korupsi dalam skala yang besar.8 Arti penting dari hubungan antara korupsi dengan pencucian uang adalah terkait dengan solusi yang diberikan satu sama lain, yaitu teknik pemberantasan korupsi berpotensi dapat membantu dalam memerangi pencucian uang sedangkan sistem anti pencucian uang dapat membantu pemberantasan korupsi. Akan tetapi tampaknya sistem anti pencucian uang lebih berkontribusi untuk melawan korupsi dibandingkan dengan teknik pemberantasan korupsi yang dilakukan untuk memberantas pencucian uang.9

Memang hal yang sangat wajar dan pasti akan terjadi betapa marahnya rakyat Indonesia apabila ada pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi. Tetapi hukum harus tetap ditegakkan sebagaimana mestinya dan jaminan akan perlindungan hak asasi manusia setiap orang pada setiap proses harus diperhatikan.Kemarahan maupun kebencian tidak dapat menghapuskan hak-hak asasi manusia yang mana sudah melekat pada diri setiap manusia sejak dilahirkan. Pemberantasan korupsi di Indonesia mencapai suatu secercah harapan dengan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga super body yang mempunyai

7

Hangkoso Satrio W., Perampasan Aset Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung No. 1454 K/PID.SUS 2011 dengan Terdakwa Bahasyim Assifie), Fakultas Hukum Universtas Indonesia, dikutip dari David Chaikin dan J. C Sharman, Corruption and Money Laundering, A Symbolic Relationship(Amerika Serikat : Palgrave Macmillan, 2009), hlm. 14.

8

Ibid. hlm. 39.

9


(17)

kewenangan lebih dari penegak-penegak hukum lainnya. Salah satu kewenangannya yang istimewa adalah melakukan penyadapan tanpa izin dari siapapun.

Salah satu kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir-akhir ini yang mendapat sorotan dari berbagai kalangan masyarakat adalah kasus tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang oleh Irjen Djoko Susilo, yang dikenal dengan Kasus Simulator Surat Izin Mengemudi (“Kasus Simulator SIM”). Banyak akademisi dan praktisi hukum yang memandang bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melewati batas kewenangannya dalam menjalankan fungsi maupun tugasnya dalam tahap penyidikan yaitu penyitaan.

Dalam hal diperoleh bukti yang cukup bahwa masih ada harta kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melakukan penyitaan harta kekayaan tersebut.10 Artinya bahwa penyitaan dapat dilakukan bilamana ada bukti yang cukup. Namun dalam Kasus Simulator SIM ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah menyita aset-aset yang tidak jelas atau bahkan tidak diketahui tindak pidana asalnya (predicate crime). Banyak pihak termasuk penulis yang memandang bahwa tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah menyita aset-aset Irjen Djoko Susilo tersebut sebagai penyalahgunaan wewenang. Penegakan hukum seperti ini tentu akanmembahayakan pelaksanaan dari supremasi hukum itu sendiri. Apabila memang tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut tidak

10

Pasal 81 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian.


(18)

dibenarkan oleh hukum, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu penegak hukum di negeri ini telah bertindak secara tidak profesional karena berpotensi menegakkan hukum dengan orientasi kekuasaan.

Sejauh apa sesungguhnya kewenangan KPK dalam melakukan penyitaan? Bagaimana peraturan perundang-undangan di Indonesia mengatur tentang penyitaan aset yang diduga hasil tindak pidana pencucian uang? Apa sesungguhnya alasan dan dasar KPK menyita aset-aset Irjen Djoko Susilo meskipun tidak terkait dengan tindak pidana yang dilakukannya? Berbagai uraian dan pertanyaan ini menjadi suatu pemicu bagi penulis sehingga tertarik untuk menulis skripsi dengan judul TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYITAAN ASET YANG TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (STUDI KASUS PERKARA NO. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. ATAS NAMA TERDAKWA IRJEN POL Drs. DJOKO SUSILO, S.H., M.Si).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penulis memilih beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan yang akandibahas, antara lain:

1. Bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana pencucian uang di Indonesia? 2. Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur tentang kewenangan


(19)

diduga terkait tindak pidana pencucian uang dan bagaimana prosedur penyitaan tersebut?

3. Bagaimana tinjauan yuridis terhadap penyitaan yang dilakukan oleh KPK terhadap aset-aset Irjen Djoko Susilo yang tidak terkait dengan tindak pidana pencucian uang?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini, antara lain:

1. Untuk mengetahui pengaturan terhadap tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

2. Untuk mengetahui pengaturan tentang kewenangan KPK dalam melakukan penyitaan aset-aset yang diduga hasil tindak pidana pencucian uang dan prosedur penyitaan itu sendiri.

3. Untuk mengetahuipandangan yuridis terhadap penyitaan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap aset-aset Irjen Djoko Susilo yang tidak terkait dengan tindak pidana pencucian uang.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis

Adanya skripsi ini kiranyadapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran dalam ilmu hukum pidana khususnya mengenai penyitaan aset yang diduga hasil tindak pidana pencucian uang maupun tidak terkait dengan hasil tindak


(20)

pidana pencucian uang. Kiranya skripsi ini juga dapat memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan dan keingintahuan masyarakat secara umum maupun para praktisi, akademisi dan mahasiswaterkait penyitaan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap aset yangdiduga hasil tindak pidana pencucian maupun aset yang tidak terkait dengan tindak pidana pencucian uang.

2. Secara Praktis

Adanya skripsi ini kiranya dapat dijadikan sebagai suatu informasi hukum, rujukan maupun masukan bagi semua kalangan terkhusus para penegak hukum serta merupakan wujud dari fungsi kritis mahasiswa terhadap penegakan hukum yang menjamin hak-hak dari seorang tersangka dan/atau terdakwa khususnya dalam perkara tindak pidana pencucian uang.

E. Keaslian Penulisan

Judul skripsi “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYITAAN ASET YANG TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (STUDI KASUS PERKARA NO. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. ATAS NAMA TERDAKWA IRJEN POL Drs. DJOKO SUSILO, S.H., M.Si)” belum pernah ditulis sebelumnya oleh mahasiswa baik mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) maupun mahasiswa diluar Universitas Sumatera Utara (USU). Penulisan skripsi ini juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada


(21)

penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah diluar sepengetahuan dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini.Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik.Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan

Penulisan skripsi ini berkisar tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi yang Melakukan Penyitaan Terhadap Aset yang Tidak Terkait Tindak Pidana Pencucian Uangsebagai wujud kritis dalam rangka pengawasan dan keterbukaan informasi publik atas penegakan hukum.

Adapun tinjauan kepustakaan tentang skripsi ini, adalah sebagai berikut: 1. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

Dalam Blacks Law Dictionary disebutkan, bahwa money laundering

atau pencucian uang disebutkan sebagai :11

term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legitimate channels so that its original source cannot be traced”.

Yang dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan pencucian uang adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan investasi atau

11


(22)

pengalihan uang yang mengalir dari pemerasan, transaksi narkoba, dan sumber-sumber ilegal lainnya kesaluran yang sah sehingga sumber aslinya tidak dapat ditelusuri (penulis).

Sementara itu, pengertian money laundering lainnya dapat diamati dari pengertian yang terdapat dalam United Nation Convention on Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1998, yang membuat pengertian money laundering adalah:12

the convention or transfer of property, knowing that such property is devired from any serious (indictable) offence or offences, for the purpose of concealing or disgusting the illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or the concealment or disguise of the nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property, knowing that such property is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an offence or offences”. Yang dapat diartikan bahwa pencucian uang adalah pengalihan atau pemindahan kekayaan yang mana kekayaan tersebut berasal dari kejahatan atau pelanggaran serius yang dapat dituntut, dengan tujuan untuk menyembunyikan kekayaan yang tidak sah atau membantu setiap orang yang terlibat dalam kejahatan atau pelanggaran untuk menghindari konsekuensi hukum dari tindakannya; atau penyembunyian atau penyamaran sifat, sumber, lokasi, disposisi, gerakan, hak yang berkaitan dengan, atau kepemilikan kekayaan, dengan mengetahui bahwa kekayaan tersebut berasal dari pelanggaran atau kejahatan serius atau dari tindakan ikut serta dalam suatu pelanggaran atau kejatanan (penulis).

12


(23)

Menurut ketentuan Article 38 (3) Finance Act 1993 Luxembourg, pencucian uang dapat didefinisikan sebagai:13

suatu perbuatan yang terdiri atas penipuan, menyembunyikan, pembelian, pemilikan, menggunakan, menanamkan, penempatan, pengiriman, yang dalam undang-undang yang mengatur mengenai kejahatan atau pelanggaran secara tegas menetapkan status perbuatan tersebut sebagai tindak pidana khusus, yaitu suatu keuntungan ekonomi yang diperoleh dari tindak pidana lainnya”.

Sedangkan Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa tidak ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai tindak pidana pencucian uang (money laundering), karena berbagai pihak seperti institusi-institusi investigasi, kalangan pengusaha, Negara-negara dan organisasi-organisasi lainnya memiliki definisi-definisi sendiri untuk itu.14 Akan tetapi dia mengambil kesimpulan tentang berbagai definisi tentang pencucian uang sebagai berikut:15

pencucian uang atau money laundering adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara antara lain dan terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang halal”.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang

13

M.Arief Amrullah, MONEY LAUNDERING (Tindak Pidana Pencucian Uang),Bayu Media, Ctk. Kedua, Malang, 2004. hlm. 10-11.

14

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan

Terorisme, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007, hlm. 1.

15


(24)

Tindak Pidana Pencucian Uang, bahwa yang dimaksud dengan Pencucian Uang adalah:

perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pencucian Uang adalah:

segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Maka pencucian uang atau money laundering secara garis besar dapat diartikan sebagai suatu perbuatan kejahatan dengan menempatkan, memindahkan, menggunakan dan mengalihkansuatu hasil tindak pidana atau kejahatan asal yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok kejahatan (crime organization) dengan tujuan membuat sesuatu yang ilegal menjadi legal ataupun menjadikan harta kekayaan hasil kejahatan atau tindak pidana menjadi harta yang seakan-akan merupakan harta yang halal atau sah.

2. Penyitaan

Tata cara aparatur penegak hukum melaksanakan tugas dalam masyarakat baik itu merupakan tindakan pencegahan (preventif) maupun tindakan pemberantasan/penindakan (represif) adalah hukum acara pidana yang mempunyai tujuan yaitu untuk mencari dan mendekatkan kebenaran materiil, yakni kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara


(25)

pidana dengan menetapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat.

Dalam Pasal 134 Ned.Sv. memberikan definisi penyitaan (inbeslagneming) yang lebih pendek tetapi lebih luas pengertiannya. Terjemahannya kira-kira sebagai berikut: “Dengan penyitaan sesuatu benda diartikan pengambilalihan atau penguasaan benda itu guna kepentingan acara pidana”.Jadi, tidak dibatasi hanya untuk pembuktian.16

Pasal 1 butir 16 KUHAP memberi definisi mengenai penyitaan, yaitu:

Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan”.

Persamaan kedua definisi tersebut ialah pengambilan dan penguasaan milik orang.Dengan sendirinya hal itu langsung menyentuh dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang pokok, yaitu merampas penguasaan milik orang.17

Dalam Universal Declaration of Human Rights, hak milik orang dilindungi. Hal itu tercantum dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) sebagai berikut:18

“Everyone has the rights to own property alone as well as in association with others.

No one shall be arbitrarily deprived of his property.

16

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Ed.2. Cet. 4., Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 147.

17

Ibid,hlm. 147-148.

18


(26)

(Setiap orang berhak mempunyai milik baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain).

(Tiada seorang pun boleh dirampas miliknya dengan semena-mena).”

Oleh karena itu, penyitaan yang dilakukan guna kepentingan acara pidana dapat dilakukan dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam pelaksanannya diadakan pembatasan-pembatasan antara lain keharusan adanya izin ketua pengadilan negeri setempat (Pasal 38 ayat (1) KUHAP).

Menurut Yahya Harahap pengertian penyitaan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP terlihat seperti pengertian dalam hukum acara perdata karena seakan-akan mengambil alih benda yang artinya adalah bahwa sebelumnya benda tersebut merupakan kepunyaan atau milik penyidik yang kemudian dikembalikan kepadanya dalam keadaan semula.19

Kemudian Yahya Harahap memberikan definisi sendiri mengenai penyitaan yaitu:20

a) “Mengambil atau katakan saja “merampas” sesuatu barang tertentu dari seseorang tersangka, pemegang atau penyimpan. Tapi perampasan yang dilakukan dibenarkan hukum dan dilaksanakan menurut aturan undang-undang. Bukan perampasan liar dengan cara melawan hukum (wederechtelyk),

b) Setelah barangnya atau dirampas oleh penyidik, ditaruh atau disimpan di bawah kekuasaannya.”

3. Tindak Pidana Korupsi

Menurut Fockema Andreae, kata korupsi berasal dari bahasa Latin

corruption atau corruptus,21 sedangkandalam bahasa Belanda disebut

19

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 264.

20

Ibid, hlm. 265.

21

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 4.


(27)

corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption,yang dalam bahasa Latin disebut corruptio dari berasal dari kata kerjacorrumpere yang bermakna busuk,rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupunpegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidaklegal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.22

Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian.Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya.23

Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

Di dunia Internasional pengertian korupsi berdasarkan Black Law Dictionary:24

Corruption an act done with an intent to give some advantange inconsistent with official duty dan the rights of others. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the rights of others.”

Artinya :

22

http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi diunduh pada Sabtu 11 Oktober 2014 Pukul 15.07 WIB.

23

http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mapu5102/menukorupsi.htm diunduh pada Sabtu 11 Oktober 2014Pukul 15.10 WIB.

24

Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Startegi Dan Teknik Korupsi Mengetahui untuk Mencegah, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 10.


(28)

Suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya. “Suatu perbuatan dari sesuatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenaran-kebenaran lainnya.”

Istilah korupsi sebenarnya sangatlah luas, sulit untuk menemukan pengertian yang mutlak dikarenakan mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin hari semakin kompleks yang kemudian memengaruhi segala aspek kehidupan mulai dari pola berpikir masayarakat, nilai-nilai budaya, dan berperilaku dari masyarakat yang turut serta dalam mengembangkan suatu kejahatan yang awalnya bersifat tradisonal menuju kepada kejahatan yang inkonvensional yang semakin sulit untuk diikuti oleh norma-norma hukum yang telah ada.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa pengertian korupsi mencakup perbuatan:

1) Melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan /perekonomian negara (Pasal 2);

2) Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (Pasal 3);

3) Kelompok delik penyuapan (Pasal 5, 6 dan 11);

4) Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (pasal 8, 9 dan 10); 5) Delik pemerasan dalam jabatan (Pasal 12);


(29)

6) Delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7); 7) Delik gratifikasi (Pasal 12B dan 12C).

4. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat.Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian Negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pengertian “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.25

Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

25

http://birohukum.pu.go.id/pustaka/arsip_makalah/5.pdf yang diunduh pada Sabtu 18 Oktober 2014 Pukul 11.00 WIB.


(30)

1) Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

2) Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

3) Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

4) Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; 5) Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam melaksanakan tugas koordinasinya, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

1) Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;

2) Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;

3) Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;

4) Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan

5) Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.


(31)

G. Metode Penelitian

Diperlukan metode penelitian sebagai suatu cara sistematis yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian skripsi ini, yang pada akhirnya bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan Penelitian

Menurut Bambang Sunggono, penelitian yuridis normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada peraturan-peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan).26 Penulisan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal yang dapat diartikan sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan sekunder.27

2. Jenis dan Sumber Data

Penelitian Yuridis Normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama.Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian. Peneliti mendapat data yang sudah jadi yang dikumpulkan

26

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 81.

27

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat,Jakarta : Rajawali Press, 2007, hlm. 13-14.


(32)

oleh pihak lain dengan berbagai cara atau metode, baik secara komersial maupun nonkomersial.28 Data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai berikut :

1) Bahan-bahan hukum primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, antara lain :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi;

c) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

d) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;

e) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;

f) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;

g) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;

28


(33)

h) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. Atas Nama Terdakwa

INSPEKTUR JENDRAL POLISI Drs. DJOKO SUSILO, S.H., M.Si. 2) Bahan-bahan hukum sekunder

Berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, putusan pengadilan, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.

3) Bahan-bahan hukum tersier

Yaitu bahan-bahan penunjang yang memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder. Bahan hukum tersier lebih dikenal dengan bahan acuan di bidang hukum atau bahan rujukan di bidang hukum, misalnya abstrak perundang-undangan, biografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, kamus hukum, dan lain-lain.

3. Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik Penelitian Kepustakaan (literature research) yaitu penelitian dengan mengumpulkan data dan meneliti melalui berbagai sumber bacaan yang berhubungan dengan judul skripsi ini, yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi dan juga menganalisis peraturan perundang-undangan serta melalui bantuan media elektronik, yaitu internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis memadukan, mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi.


(34)

4. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan, diurutkan dan kemudian diorganisir dalam suatu pola kategori dan uraian dasar.29Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya.30 Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif, yaitu dengan :

a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas. c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan

dari permasalahan.

d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

H. Sistematika Penulisan

Agar memudahkan dalam membaca dan memahami serta menguraikan skripsi ini, maka penyusunannya dilakukan secara sistematis.Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

29

Burhan Bungin, Analisis Data dan Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Model Aplikasi, Jakarta: Grafindo Persada, 2003, hlm 68-69.

30


(35)

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan. BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PENGATURAN

TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

Pada bagian pertama akan menguraikan mengenai sejarah dan tahapan tindak pidana pencucian uang.

Pada bagian kedua akan menguraikan mengenai pengaturan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

BAB III KEWENANGAN KPK MELAKUKAN PENYITAAN TERHADAP ASET YANG DIDUGA HASIL TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN PREDICATE CRIME TINDAK PIDANA KORUPSI Pada bagian pertama akan menguraikan mengenai penyitaan

Pada bagian kedua akan menguraikan mengenai peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang kewenangan KPK dalam melakukan penyitaan.

Pada bagian ketiga akan menguraikan mengenai tata cara atau prosedur dalam melakukan penyitaan berdasarkan peraturan perundang-undangan.


(36)

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYITAAN ASET YANG TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

Pada bagian pertama akan menguraikan mengenai Kasus Posisi.

Pada bagian kedua akan menguraikan mengenai penyitaan yang dilakukan oleh KPK terhadap aset Irjen Djoko Susilo yang tidak terkait tindak pidana pencucian uang serta dasar hukumnya.

BAB V PENUTUP

Pada bab terakhir ini, akan dikemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis ciptakan dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.


(37)

BAB II

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN

PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

A. Sejarah dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang 1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang

Istilah pencucian uang atau money laundering telah dikenal sejak lama. Pencucian uang sebagai suatu tindak pidana telah berkembang sejak tahun 1920-an. Tahun 1980-an adalah masa perkembangan bisnis haram di berbagai negara.Perdagangan narkotika dan obat bius misalnya, mampu menghasilkan omset yang sangat besar.Dari sinilah muncul istilah narco dollar untuk menyebut uang haram yang dihasilkan dari perdagangan narkotika.31

Fenomena tersebut merupakan pemantik lahirnya istilah “pencucian uang”.Istilah ini mulai digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1986, kemudian digunakan secara internasional dalamKonvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tahun 1988.32

Menurut Billy Steel, istilah pencucian uangatau money laundering berasal dari Laundromats, nama sebuah tempat usaha pencucian pakaian secara otomatis di Amerika Serikat. Perusahaan yang dimiliki oleh kelompok mafia ini dipilih untuk menyamarkan uang haram menjadi uang sah.Kalangan mafia memperoleh penghasilan besar dari bisnis pemerasan, prostitusi, perjudian, dan penyeludupan minuman keras.Mereka kemudian membeli atau mendirikan perusahaan yang

31

Philips Darwin, Money launderingCara Memahami Dengan Tepat dan Benar Soal Pencucian Uang, Sinar Ilmu, 2012, hlm. 12.

32


(38)

bergerak di bisnis halal untuk mengaburkan asal usul uang hasil dari bisnis haram.33

Para gangster memilih Laundromats karena usaha ini dilakukan dengan menggunakan uang tunai dan pasti menguntungkan.Salah satu pelakunya adalah mafia terkenal, Al Capone. Pada Oktober 1931,ia dihukum dengan pidana penjara selama sebelas tahun di penjara Alcatraz setelah dinyatakan bersalah melakukan penggelapan pajak. Namun ia dihukum bukan karena terbukti bersalah melakukan kejahatan asal (predicate crime) seperti pembunuhan, pemerasan, dan penjualan minuman keras tanpa izin.34

Money laundering telah menjadi bagian penting dalam kejahatan karena pelaku kejahatan dapat menyembunyikan hasil kejahatan dalam suatu sistem yang relatif sulit untuk ditemukan yang dikenal dengan istilah pencucian uang.Tindakan menyembunyikan hasil kejahatan atau dana-dana yang diperoleh dari tindak pidana dimaksudkan untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan.35Suatu Tindak Pidana Pencucian Uang tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya kejahatan lain (tindak pidana asal) terlebih dahulu.Tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang akan selalu berjalan berdampingan, saling membutuhkan dan tidak saling terlepas satu sama lain.

Saat ini, money laundering merupakan fenomena di dunia dan permasalahan dunia internasional.Semua negara sepakat bahwa pencucian uang

33

Philips Darwin, Loc.Cit.

34

Ibid, hlm. 13.

35

Ivan Yustiavandana-Arman Nefi-Adiwarman, Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal, Bogor: Ghalia, 2010, hlm. 3.


(39)

merupakan suatu kejahatan serius yang harus ditangani secara serius pula dan diberantas dengan melakukan kerjasama antarnegara.

RezimAnti-Money Laundering yang diatur berbagai negara di dunia berkaitan dengan ketentuan United Nation Convention on Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988, yang lahir 19 Desember 1988. Bahkan pengaturan rezimanti-money laundering di berbagai negara tersebut boleh dikatakan mirip atau hampir sama dengan United Nation Convention on Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988 itu, oleh karena sebagian substansi pengaturannya diambil dari ketentuan-ketentuan

United Nation Convention on Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988 tersebut.36

Salah satu pengertian money laundering yang menjadi acuan di seluruh dunia adalah pengertian yang dimuat dalam United Nation Convention on Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi di Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997. Secara lengkap money lauendering tersebut adalah:37

“The convention or transfer of property, knowing that such property is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of participation in such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property, knowing that such property is derived from a

36

Bismar Nasution, Op.Cit, hlm. 17.

37

Yunus Husein, Upaya Memberantas Pencucian Uang, Makalah disampaikan dalam Temu Wicara “Upaya Nasional dalam menunjang peran ASEAN untuk memerangi terorisme melalui pemberantasan pencucian uang dan penyelundupan senjata” yang diselenggarakan oleh


(40)

serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an offence or offences.

Salah satu upaya serius untuk melawan kegiatan pencucian uang adalah dengan membentuk satuan tugas yang disebut The Financial Action Task Force

(FATF) on Money Laundering yang diprakarsai oleh Kelompok 7 negara (G-7) dalam G-7 Summit di Perancis pada bulan Juli 1989. Saat ini, FATF memiliki anggota sebanyak 29 negara/teritorial serta 2 organisasi regional yaitu the European Commission and the Gulf Cooperation Council yang mewakili pusat-pusat keuangan utama di Amerika, Eropa dan Asia.38

Salah satu peran penting dari FATF adalah menetapkan kebijakan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam bentuk rekomendasi tindakan untuk mencegah dan memberantas pencucian uang.Sejauh ini FATF telah mengeluarkan 40 (empat puluh) rekomendasi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang.39

Rekomendasi tersebut oleh berbagai negara di dunia telah diterima sebagai standar internasional dan dibuat menjadi pedoman baku dalam pemberantasan kejahatan pencucian uang. Negara-negara yang berdasarkan penilaian FATF tidak memenuhi rekomendasi tersebut, akan dimasukkan dalam daftar Non-Cooperative and Teritories (NCCTs). Negara yang masuk dalam daftar NCCTs dapat dikenakan counter-measures. Dengan masuknya suatu negara pada daftar NCCTs tersebut dapat menimbulkan akibat buruk terhadap sistem keuangan negara bersangkutan, misalnya meningkatnya biaya transaksi keuangan dalam melakukan

38

Bismar Nasution, Op.Cit, hlm. 21.

39


(41)

perdagangan internasional khususnya terhadap negara maju atau penolakan oleh negara lain atas Letter of Credit (L/C) yang diterbitkan oleh perbankan di negara yang terkena counter-measures tersebut.

Akibat lain yang cukup serius adalah pemutusan hubungan korespondensi antara bank luar negeri dengan bank domestik, pencabutan izin usaha kantor cabang atau kantor perwakilan bank nasional di luar negeri, dan kemungkinan penghentian bantuan luar negeri kepada pemerintah. Sanksi tersebut pada akhirnya akan dirasakan langsung oleh masyarakat luas.40

Oleh karena itu, penanganan tindak pidana pencucian uang telah menjadi perhatian khusus oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.Salah satu bentuk nyatanya adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dimana undang-undang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa pencucian uang adalah suatu tindak pidana dan memerintahkan pendirian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Namun demikian, undang-undang tersebut dinilai oleh FATF masih belum memadai karena belum sepenuhnya mengadopsi 40 rekomendasi dan 8 rekomendasi khusus yang mereka keluarkan.FATF meminta dengan resmi agar undang-undang tersebut diperbaiki dan disempurnakan. Akhirnya upaya perbaikan dan penyempurnaan undang-undang tersebut dapat diselesaikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas

40


(42)

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang pada tanggal 13 Oktober 2003.41

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut kemudian telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan berbagai perubahan yang dianggap perlu untuk mendukung pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

2. Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang

Tujuan seseorang atau organisasi kejahatan melakukan pencucian uang adalah supaya asal-usul uang tersebut tidak dapat diketahui atau tidak dapat dilacak oleh penegak hukum. Agar tujuan tersebut dapat tercapai, ada 4 (empat) faktor yang harus diperhatikan oleh para pencucinya, yakni:42

Faktor pertama, kepemilikan yang sebenarnya dan sumber yang sesungguhnya dari uang yang dicuci itu harus disembunyikan. Tidak ada gunanya untuk melakukan pencucian uang apabila setiap orang mengetahui siapa yang memiliki uang tersebut apabila uang itu nantinya muncul di akhir dari proses pencucian uang itu.

Faktor kedua, bentuk uang tersebut harus berubah.Dana yang berasal dari perdagangan narkoba hampir dipastikan berupa uang tunai. Uang tunai ini harus dapat diubah bentuknya menjadi alat pembayaran lain, misalnya berbentuk cek.

41

Bismar Nasution,Loc.Cit.

42

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan


(43)

Kongres Amerika Serikat pada waktu membicarakan mengenai undang-undang

money laundering mengemukakan sebagai berikut:

In typical drug organization, the proceed generated by the drug traffickers are almost entirely in the form of cash. The typical denomination of currency in street circulation is a twenty dollars bill. As the profits for street sales move up the ladder of the trafficking organization-from the street seller to the wholesaler to the importer-these twenty-dollars bills, so crumpled and covered with dirt and drug residue that they will often jam the counting machines, are bundled together and collected in warehouse. Regularly, the volume becomes so large that it is to count it. Handling this volume of cash is often a more serious logistical problem for the trafiicker than the handling of the drugs themselves”. (One hundred billion dollars in twenty-dollars bills weighs about 26 million pounds.)

Tidak ada seorang pun yang ingin mencuci uang sejumlah £3 juta dalam bentuk uang-uang kertas £20-an hanya untuk berpayah-payah dengan memproses uang senilai £3 juta yang akhirnya muncul dalam bentuk uang-uang kertas £20-an juga. Antara lain, apabila terlibat jumlah uang tunai yang besar sekali, mengubah bentuk uang tunai itu berarti juga melakukan pengurangan tumpukannya. Berbeda dengan keyakinan umum, kita tidak dapat misalnya, memasukkan uang kertas senilai £1 juta ke dalam suatu attache case.Satu juta pound (£1 juta) yang terdiri atas mata uang kertas £50 hampir setinggi 10 kaki (10 feet high).

Faktor ketiga, jejak yang ditinggalkan oleh proses pencucian uang harus tersamar atau tidak dapat diketahui (obscured). Tujuan dari pencucian uangakan sia-sia apabila orang lain dapat mengikuti jalannya proses pencucian uang dari permulaan sampai akhir proses tersebut.

Faktor yang terakhir, pengawasan terus menerus harus dilakukan terhadap uang tersebut.Pada akhirnya banyak orang yang muncul ketika uang itu sedang dicuci mengetahui bahwa uang tersebut adalah uang haram (dirty money)


(44)

dan apabila mereka dapat mengambil atau mencurinya, maka kecil sekali kemungkinannya bagi pemilik uang itu untuk dapat mengambil tindakan hukum terhadap perbuatan tersebut.

Pencucian uang biasanya termanifestasi dalam transaksi yang berkali-kali dan sering kali dilakukan secara simultan.43 Pada umumnya, supaya keempat faktor diatas tercapai, maka proses pencucian uang harus dilakukan dengan menempuh beberapa tahap. Para pakar telah membagi proses money laundering

ke dalam 3 tahap, yaitu: 1) Placement

Tahap pertama dari pencucian uang adalah menempatkan (mendepositokan) uang haram tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system).44 Atau upaya menempatkan uang giral (cek, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama perbankan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.45 Jeffrey Robinson menggunakan istilah immersion bagi tahap pertama ini, yaitu yang berarti

consolidation and placement.46

Placement adalah tahap yang paling lemah dan paling mudah untuk dilakukan pendeteksian terhadap upaya pencucian uang.47 Pada tahap

placement, bentuk dari uang hasil kejahatan harus dikonversi untuk menyembunyikan asal-usul yang tidak sah dari uang itu. Misalnya, hasil yang

43

Ivan Yustiavandana-Arman Nefi-Adiwarman, Op.Cit, hlm. 58.

44

Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 33.

45

Ivan Yustiavandana-Arman Nefi-Adiwarman, Loc.Cit.

46

Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit

47


(45)

diperoleh dari perdagangan narkoba yang pada umumnya terdiri dari uang-uang yang berdenominasi kecil dalam tumpukan-tumpukan yang besar dan lebih berat daripada narkobanya sendiri, dikonversi ke dalam denominasi uang yang lebih besar. Kemudian uang itu didepositokan langsung ke dalam suatu rekening di bank, atau digunakan untuk membeli sejumlah instrumen-instrumen moneter (monetary instruments) seperti cheques, money orders, dan lain-lain kemudian menagih uang tersebut serta mendepositokannya ke dalam rekening-rekening di lokasi lain. Sekali uang tunai itu telah dapat ditempatkan pada satu bank, maka uang itu telah masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan. Oleh karena uang yang telah ditempatkan di satu bank itu selanjutnya dapat dipindahkan lagi ke bank lain, baik di negara tersebut maupun di negara lain, maka uang tersebut bukan saja telah masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan, tetapi telah pula masuk ke dalam sistem keuangan global atau internasional.48

Jeffrey Robinson memberikan contoh bagaimana dalam tahap immerson, pencucian uang dilakukan.Seorang pengedar narkoba (drug dealer) yang mengumpulkan uang tunai sejumlah £5 juta dihadapkan pada tugas yang berat untuk menempatkan uang tersebut sebanyak-banyaknya ke dalam sistem perbankan (banking system). Tidak seperti halnya pemalsu uang yang harus dapat memasukkan uang palsu yang dibuatnya ke dalam sirkulasi, pencuci uang (laundryman) terpaksa mengandalkan rekening-rekening bank (bank accounts), surat berharga yang dikeluarkan oleh kantor pos (postal

48


(46)

orders), cek bepergian (traveler’s checks), dan negotiable instruments lainnya untuk menyalurkan uang tunai itu ke dalam sistem perbankan.49

2) Layering

Pekerjaan dari pihak pencuci uang (lauderer) belum berakhir dengan ditempatkannya atau didepositokannya uang tunai tersebut ke dalam sistem keuangan.50 Layering adalah upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada Penyedia Jasa Keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke Penyedia Jasa Keuangan lain. Transfer harta kekayaan hasil kejahatan ini dilakukan berkali-kali, melintasi negara, memanfaatkan semua wahana investasi. Dengan dilakukan layering, penegak hukum mengalami kesulitan untuk dapat mengetahui asal usul harta kekayaan tersebut atau mempersulit pelacakan (audit trail). Pada tahap ini, pelaku pencucian uang bermaksud memperpanjang rangkaian dan memperumit transaksi, sehingga asal usul uang menjadi sukar untuk ditemukan pangkalnya51 atau dengan kata lain pencuci uang berusaha untuk memutuskan hubungan uang hasil kejahatan itu dari sumbernya.

Layering diartikan sebagai suatu tindakan untuk memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini, terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks, didesain untuk

49

Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit.

50

Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit

51


(47)

menyamarkan atau menyembunyikan sumber uang haram tersebut. Layering

dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.52 Prinsip rahasia bank inilah yang dijadikan tameng oleh para pencuci uang sebelum gerakan anti pencucian uang dilakukan secara internasional.

Transaksi-transaksi dalam tahap layering harus dapat dilakukan sedemikian rupa dengan mencampurkan ke dalam transaksi-transaksi sah yang berjumlah triliunan yang terjadi setiap hari. Beberapa variasi dalam melakukan transaksi dalam tahap layering ini ialah menggunakan apa yang disebut loan-backs dan double invoicing. Kedua transaksi tersebut merupakan teknik dalam tahap layering yang lazim dilakukan.Pada loan-backs, pencuci uang menempatkan hasil pencucian kejahatan yang diperolehnya ke dalam perusahaan di luar negeri (offshore entity). Perusahaan tersebut didirikan bukan atas namanya tetapi atas nama pihak lain, tetapi dikendalikan olehnya secara rahasia. Kemudian perusahaan di luar negeri itu memberikan pinjaman dengan menggunakan kembali dana yang ditempatkan oleh pencuci uang yang bersangkutan kepada diri sendiri. Teknik ini dapat dilaksanakan karena di beberapa negara tertentu sulit untuk dapat menentukan siapa yang sebenarnya mengendalikan (siapa pemilik sebenarnya) perusahaan di luar negeri itu.53

52

Ibid, hlm. 62.

53


(48)

Teknik lain dari layering ialah membeli efek (saham atau obligasi), kendaraan, dan pesawat terbang atas nama orang lain. Kasino sering juga digunakan karena kasiono menerima uang tunai. Sekali uang tunai tersebut dikonversikan ke dalam chips dari kasino tersebut, maka dana yang telah dibelikan chips tersebut dapat ditarik kembali dengan menukarkan chips tadi dengan cek yang dikeluarkan oleh kasino tersebut.54

Metode lain yang umum dipakai dalam tahap layering adalah cash converted into monetary instruments (mengubah uang tunai ke dalam instrumen moneter). Sekali placement berhasil dilakukan dalam sistem keuangan melalui bank atau institusi keuangan, hasil kejahatan dapat diubah ke dalam instrumen moneter. Ini memerlukan bankers draft dan money orders. Sekali berhasil melakukan pembelian instrumen moneter, uang hasil kejahatan telah menjadi uang yang sah.Bank dapat menjadi alat bagi pelaku untuk melakukan pencucian uang. Pelaku pencucian uang dapat meminta bank untuk membeli instrumen yang diperdagangkan di pasar uang untuk kepentingan dirinya. Atau aset yang dibeli dengan uang hasil kejahatan atau kegiatan ilegal kemudian dijual kembali di pasar dalam negeri atau di luar negeri.Dalam kasus semacam ini aset menjadi lebih sulit untuk dilacak atau disita.Pelaku pencucian uang dapat membeli saham atau tagihan perusahaaan, kendaraan mewah, properti atau perhiasan secara tunai, kemudian segera

54


(49)

dijual, kemudian hasil penjualan tersebut kembali dibelikan aset lain secara tunai lagi dan seterusnya.55

3) Integration

Tahap yang ketiga ialah integration, atau disebut juga repatriation and integration, atau disebut pula spin dry.56 Integrasi adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer, sehingga menjadi harta kekayaan halal (clean money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan. Integration pada dasarnya adalah tahapan di mana pelaku telah berhasil mencuci dananya dalam sistem keuangan atau tahapan dimana dana yang telah dicuci diharapkan dapat disejajarkan dengan dana yang sah secara hukum maupun ekonomi.57 Para pencuci uang dapat memilih penggunaannya dengan menginvestasikan dana tersebut ke dalam real estate, barang-barang mewah (luxury assets) atau perusahaan-perusahaan (business ventures).58

Kegiatan money laundering dapat pula terkonsentrasi secara geografis sesuai dengan tahap pencucian uang itu. Pada tahap placement, misalnya, dana tersebut biasanya diproses di tempat di dekat aktivitas yang menghasilkan dana itu dilakukan, sering tetapi tidak pada setiap kasus, di negara di mana dana itu dihasilkan. Pada tahap layering, pencuci uang yang bersangkutan mungkin memilih suatu offshore financial centre, pusat bisnis

55

Ivan Yustiavandana-Arman Nefi-Adiwarman, Op.Cit, hlm. 62-63.

56

Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 37.

57

Ivan Yustiavandana-Arman Nefi-Adiwarman, Op.Cit, hlm.63.

58


(50)

regional yang besar (a large business centre) atau pusat perbankan dunia (a world banking centre), yaitu dimana saja yang menyediakan infrastruktur keuangan atau bisnis yang memadai. Pada tahap ini dana yang dicuci tersebut mungkin saja hanya transit di rekening-rekening bank di beberapa tempat, yang dapat dilakukan tanpa meninggalkan jejak pada tahap integration, para pencuci uang dapat memilih untuk menginvestasikan dana yang telah dicuci itu di lokasi lain apabila di negara tersebut kesempatan-kesempatan investasinya sangat terbatas.59

Adalah menarik perumpamaan yang dikemukakan oleh Jeffrey Robinson mengenai apa yang sebenarnya terjadi terhadap uang yang berhasil dicuci. Jeffrey Robinson menggambarkannya seperti melempar batu ke sebuah kolam. Dikemukakan oleh Jeffrey Robinson sebagai berikut:60

“It’s like a stonebeing thrown into a pond.

You see the stone hit the water because it splashes. As it begins to sink. The water ripples and, for a few moments, you can still find the spot where the stone hit. But, as the stone sinks deeper, the ripples fade. By the time the stone reaches the bottom, any traces of it are long gone and the stone itself may be impossible to find.

That’s exactly what happens to laundered money”.

Sebagaimana pendapat Jeffrey Robinson, tahap immersion (placement) adalah tahap yang paling rentan (vulnerable) bagi pencuci uang karena apabila pencuci uang tidak dapat memasukkan uang haram tersebut ke dalam proses pencucian, maka ia tidak akan dapat mencuci uang haram tersebut. Namun, sekali uang haram itu berhasil dikonversikan ke dalam nomor-nomor rekening bank yang muncul di suatu layar komputer dan nomor-nomor

59

Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit.

60


(51)

tersebut berhasil dipindahkan mondar-mandir melintasi dunia, maka hal itu seperti halnya riak air sebagaimana digambarkan di atas lenyap dan batu tersebut terkubur di dalam lumpur di dasar kolam itu.61

B. Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia

1. Sebelum Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

Pemberantasan kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pendekatan pidana maupun pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif. Partisipasi Pemerintah Indonesia dalam upaya pemberantasan kegiatan pencucian uang merupakan pelaksanaan dari amanat PBB dalam the UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997.62 Setiap negara yang turut menandatangani konvensi tersebut dengan sendirinya menyatakan siap untuk menetapkan bahwa pencucian uang merupakan bentuk kejahatan dan mengambil tindakan serius dalam penanganan pencucian uang itu sendiri, termasuk pemerintah Indonesia.

Sebelum adanya undang-undang khusus mengatur tindak pidana pencucian uang,pemerintah Indonesia telah menindaklanjuti komitmen untuk pemberantasan tindak pidana pencucian uang dengan mengaturnya pada beberapa ketentuan sebagai berikut:63

61

Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit.

62

Yunus Husein, Money Laundering: Sampai Dimana Langkah Negara Kita?,dimuat dalam Buletin PENGEMBANGANPERBANKAN Mei-Juni No. 89 Th 2001, hlm. 4.

63


(52)

a. Undang-Undang Yang Berkaitan Dengan Psikotropika

Perintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yangberkaitan dengan psikotropika, antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Di samping itu,terdapat beberapa Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1997 tentang Peredaran Psikotropika dan Ekspor Impor Psikotropika. Dalam undang-undang ini diatur antara lain mengenai persyaratan dan tata cara ekspor dan impor peredaran serta penyaluran psikotropika agar hal-hal tersebut tidak digunakan sebagai sarana kegiatan pencucian uang.

b. Undang-Undang Yang Berkaitan Dengan Narkotika

Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yangberkaitan dengan narkotika, antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1977 tentang Narkotika yang menggantikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-Undang Narkotika ini mengatur masalah narkotika yang dibutuhkan sebagai obat dan sekaligus mencegah dan memberantas bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 disebutkan, bahwa narkotika dan peralatanyang dipergunakan dalam pelanggaran narkotika dan hasil-hasilnya dapat disita untuk negara.


(1)

korupsi maupun tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal tindak pidana korupsi. Tujuannya adalah untuk menjamin kepastian hukum dan menghindari terjadinya tindakan melampaui kewenangan dalam melakukan penyitaan oleh KPK.

3. Perlu ditinjau kembali instrumen hukum terkait tindak pidana pencucian uang yang dimaksudkan untuk memiskinkan koruptor tanpa melanggar Hak Asasi Manusia supaya tujuan agar memberikan efek jera kepada calon koruptor dapat tercapai. Selain itu, juga memberikan perlindungan hukum terhadap Tersangka/Terdakwa/Terpidana akan perampasan aset yang bukan merupakan hasil tindak pidana pencucian uang, dimana pada tindak pidana pencucian uang harus ditemukan tindak pidana asalnya terlebih dahulu.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana IndSonesia Ed.2. Cet. 4., Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

---, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Bismar Nasution, Rezim Anti-Money Laundering di Indonesia, Bandung: Books Terrace & Library, 2005.

Burhan Bungin, Analisis Data dan Penelitian Kualitatif:Pemahaman Filosofis

dan Metodologis ke Arah Model Aplikasi, Jakarta: Grafindo

Persada, 2003.

Chandra M. Hamzah, Penjelasan Hukum Tentang Bukti Permulaan Yang

Cukup, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia,

2014.

Elwi Danil, KORUPSI: Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.


(3)

Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, Adiwarman, Tindak Pidana Pencucian

Uang di Pasar Modal, Bogor: Ghalia, 2010.

Juffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2004.

Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Surat Resmi Advokat di

Pengadilan, Jakarta : Papas Sinar Sinanti, 2013.

Marwan Effendy, Korupsi dan Pencegahan, Jakarta: Timpani, 2010.

M.Arief Amrullah, MONEY LAUNDERING (Tindak Pidana Pencucian

Uang), Ctk. Kedua, Malang: Bayu Media, 2004.

M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: RinekaCipta, 2002.

Philips Darwin, Money Laundering Cara Memahami Dengan Tepat dan

Benar Soal Pencucian Uang, Sinar Ilmu, 2012.

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2011.

Sofyan Lubis, Prinsip Miranda Rule Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu

Tinjauan Singkat,Jakarta: Rajawali Press, 2007.

Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi Dan Teknik Korupsi Mengetahui


(4)

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan

Pembiayaan Terorisme, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007.

B. SKRIPSI/TESIS/MAKALAH/JURNAL

Benny Swastika, Skripsi: Tinjauan Hukum Asas Pembuktian Terbalik Dalam

Tindak Pidana Pencucian Uang, Fakultas Hukum Universtas

Indonesia.

Diah Kartika, Skripsi: Eksistensi Bukti Permulaan Yang Cukup Sebagai Syarat Tindakan Penyelidikan Suatu Perkara Pidana (Telaah Teoritik Penetapan Susno Duadji Sebagai Tersangka Oleh Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polisi Republik Indonesia Dalam

Perkara Suap), Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta Indonesia.

Hangkoso Satrio W, Skripsi: Perampasan Aset Dalam Penanganan Perkara

Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi

Kasus: Putusan Mahkamah Agung No. 1454 K/PID.SUS 2011

dengan Terdakwa Bahasyim Assifie), Fakultas Hukum Universtas

Indonesia.

Yunus Husein, Money Laundering: Sampai Dimana Langkah Negara Kita?

dimuat dalam Buletin PENGEMBANGAN PERBANKAN Mei-Juni No. 89 Tahun 2001.


(5)

ASEAN Untuk Memerangi Terorisme Melalui Pemberantasan

Pencucian Uang dan Penyelundupan Senjata” yang

diselenggarakan oleh Dirjen Kerjasama ASEAN Deplu, Jakarta, 9 Juli 2002.

C. PERUNDANG-UNDANGAN DAN PUTUSAN PENGADILAN

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. atas nama Terdakwa Irjen Pol DjokoSusilo, S.H., M.Si.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.


(6)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

D. WEBSITE

http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi, diunduh pada Sabtu 11 Oktober 2014, Pukul 15.07 WIB.

http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mapu5102/menukorupsi.htm, diunduh pada Sabtu 11 Oktober 2014, Pukul 15.10 WIB.

http://birohukum.pu.go.id/pustaka/arsip_makalah/5.pdf, diunduh pada Sabtu 18 Oktober 2014, Pukul 11.00 WIB.

http://id.wikipedia.org, diunduh pada Selasa 30 September 2014, Pukul 21.12 WIB.

https://www.academia.edu/7450001/Tindak_Pidana_Pencucian_Uang, diunduh pada Minggu 14 Desember 2014, Pukul 19.00 WIB.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509fb7e13bd25/mengenai-asas-lex-specialis-derogat-legi-generalis, diunduh pada Sabtu 01 Oktober 2014, Pukul 21.35 WIB.

https://books.google.co.id/books?id=Y1oghffVI2cC&pg=PA239&lpg=PA239 &dq=bukti+permulaan+yang+cukup&source=bl&ots=e2iwlt3qNh&sig=CFTl qWUO6J04bWaGSFLPEHiJBcM&hl=en&sa=X&ei=0lamVPbJH4OzuQTQl oKABQ&redir_esc=y#v=onepage&q=bukti%20permulaan%20yang%20cuku p&f=false, diunduh pada Selasa 02 Januari 2015, Pukul 17.00 WIB.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5073b4c6c99ba/bukti-permulaan-yang-cukup-sebagai-dasar-penangkapan, diunduh pada Sabtu 03 Febuari 2015, Pukul 21.00 WIB.


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

3 82 190

Analisis Kasus Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Karyawan PT. Bank mandiri (Studi Kasus No. 2120/ PID. B/ 2006/ PN. Mdn)

5 71 124

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang

0 4 87

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 10/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST. Atas Nama Terdakwa Akil Mochtar)

1 18 146

PENYITAAN BARANG BUKTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH PENYIDIK KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI.

0 0 19

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (KPK) DALAM MELAKUKAN PENYITAAN ASET TERSANGKA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TA.

0 0 1

BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA A. Sejarah dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang 1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Yang Tidak Terkait Tindak P

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Yang Tidak Terkait Tindak Pidana Pencucian Uang Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Studi Kasus Perkara No. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. Atas Nama Terdakwa Irjen Pol Drs. Djo

0 0 25

Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Yang Tidak Terkait Tindak Pidana Pencucian Uang Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Studi Kasus Perkara No. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. Atas Nama Terdakwa Irjen Pol Drs. Djoko Susilo, S.H., M.Si)

0 1 10