121
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Istilah pencucian uang atau money laundering berasal dari Laundromats,
yang merupakan tempat usaha pencucian pakaian di Amerika Serikat. Perusahaan yang dimiliki oleh kelompok mafia ini dipilih untuk
menyamarkan uang haram menjadi uang sah. Tindak pidana pencucian uang atau money laundering secara garis besar dapat diartikan sebagai
suatu perbuatan kejahatan dengan menempatkan, memindahkan, menggunakan dan mengalihkan suatu hasil tindak pidana atau kejahatan
asal yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok kejahatan crime organization
dengan tujuan membuat sesuatu yang ilegal menjadi legal ataupun menjadikan harta kekayaan hasil kejahatan atau tindak pidana
menjadi harta yang seakan-akan merupakan harta yang halal atau sah. Pencucian uang terdiri dari 3 tiga tahap yaitu placement menempatkan
uang haram tersebut ke dalam sistem keuangan terutama perbankan, layering
upaya untuk memutuskan uang hasil kejahatan dari sumbernya dengan mentransfer uang yang telah ditempatkan pada sistem keuangan
tersebut ke sistem keuangan lainnya dan integration upaya untuk
Universitas Sumatera Utara
122 mensejajarkan uang yang telah dicuci tersebut dengan uang yang sah
secara hukum dengan menggunakan untuk membeli berbagai benda. Sebelum adanya undang-undang khusus yang mengatur tindak pidana
pencucian uang di Indonesia, telah ada beberapa ketentuan yang mengatur nya, seperti pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang
Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, beberapa Peraturan Menteri Kesehatan
tahun 1997 tentang Peredaran Psikotropika dan Ekspor Impor Psikotropika, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1977 tentang Narkotika yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia dan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang LATU Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar serta dalam Ketentuan
Bank Indonesia. Oleh karena dianggap telah perlu diatur secara khusus, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 UU TPPU sebagai komitmen dari pemerintah
Indonesia dalam penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Hal terpenting dari lahirnya undang-undang ini adalah dengan ditetapkan
kegiatan pencucian uang sebagai bentuk tindak pidana yang tentunya dibarengi dengan sanksi pidana bagi mereka yang melakukannya. Selain
Universitas Sumatera Utara
123 itu, dibentuknya suatu unit kerja yang independen yang akan berperan
besar dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK.
UU TPPU kemudian diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian dan perubahan penting dari undang-undang sebelumnya, antara lain: Jenis Tindak Pidana
Asal Predicate Crime, Lex Specialis, Pembuktian Terbalik, Eksistensi PPATK, Alat Bukti, Peradilan In Absentia, Kualifikasi Perbuatan Pidana
dan Ancaman Hukuman, Paradigma Follow The Money, Penerobosan Rahasia dan Kode Etik, Penundaan, Penghentian Sementara dan
Pemblokiran Transaksi, Kerjasama Pertukaran Informasi. 2.
Pengaturan mengenai penyitaan diatur pada Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata sedangkan penyitaan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi diatur pada Pasal 47 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Prinsip
penyitaan yang diatur dalam KUHAP maupun UU KPK sifatnya hampir sama yaitu terhadap benda-benda yang berkaitan dengan tindak pidana
yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum. Hanya saja, pada Pasal 47 ayat 1 UU KPK diatur bahwa KPK dapat melakukan penyitaan tanpa
surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri, sedangkan pada KUHAP harus disertai dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri. Namun, terhadap
pelaksanaan penyitaan oleh KPK tersebut juga diberikan ketentuan yang
Universitas Sumatera Utara
124 lebih ketat oleh undang-undang yaitu KPK dalam menyita harus memiliki
bukti permulaan yang cukup. Pasal 44 ayat 2 UU KPK mengatur bahwa bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan
sekurang-kurangnya 2 dua alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik
secara biasa maupun elektronik atau optik. Pasal 47 UU KPK tersebut menjadi satu-satunya acuan bagi KPK untuk melakukan penyitaan. Dalam
melakukan penyitaan, Penyidik KPK wajib membuat berita acara penyitaan pada hari pelaksanaan penyitaan dan kemudian menyampaikan
salinan berita acara tersebut kepada tersangka atau keluarganya. 3.
Tindakan KPK dalam melakukan penyitaan terhadap aset yang diperoleh Irjen Pol Djoko Susilo, S.H., M.Si. pada tahun 2003 sampai dengan tahun
2010 dengan dugaan tindak pidana pencucian uang telah melampaui kewenangan sehingga oleh karenanya menjadi tidak sah secara hukum.
KPK tidak dapat membuktikan bahwa aset pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2010 tersebut merupakan hasil tindak pidana korupsi. Sesuai
Pasal 47 ayat 1 UU KPK, maka seharusnya KPK dapat menunjukkan alat bukti pada persidangan sebagai bukti permulaan bahwa aset-aset tersebut
diperoleh Terdakwa atas hasil tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal. KPK tidak dapat menjelaskan apa tindak pidana asal yang
mengakibatkan adanya aset-aset tersebut. Tidak akan mungkin ada tindak pidana pencucian uang tanpa adanya tindak pidana asal. KPK hanya
membuktikan bahwa Terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi
Universitas Sumatera Utara
125 pada tahun 2011 yaitu tindak pidana korupsi Pengadaan Simulator SIM.
Aset pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2010 tidak berkaitan dengan tindak pidana korupsi Pengadaan Simulator SIM pada tahun 2011. Alasan
KPK yang menyatakan bahwa penghasilan Terdakwa dan aset yang diperoleh pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2010 tidak seimbang,
bukanlah alasan yang diatur dalam undang-undang, sehingga oleh karenanya tidak dapat diterima oleh hukum. Pembuktian terbalik tidak
mengakibatkan hilangnya kewajiban penuntut umum untuk membuktikan dakwaannya. Penuntut Umum KPK wajib membuktikan bahwa aset-aset
yang disita tersebut adalah merupakan hasil tindak pidana pencucian uang. Dengan demikian, alasan adanya pembuktian terbalik juga tidak dapat
dijadikan alasan oleh KPK untuk melakukan penyitaan terhadap aset Terdakwa yang diperoleh pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2010.
B. Saran