44 8
Peraturan Bank Indonesia No. 223PBI2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Fit and Proper Test;
9 Peraturan Bank Indonesia No. 310PBI2001 tentang Penerapan Mengenal
Nasabah Know Your Customers Principles.
2. Setelah Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang
Di Indonesia, istilah “money laundering” diterjemahkan dengan “pencucian uang”. Terjemahan tersebut dapat dilihat pada Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ini merupakan ketentuan anti-money laundering di Indonesia.
64
Lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 dan kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
semakin menunjukkan komitmen dari pemerintah Indonesia dalam penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
Diaturnya pencucian uang secara khusus dalam sebuah undang-undang menunjukkan adanya perubahan cara memandang dan menangani kejahatan ini.
64
Bismar Nasution, Op.Cit, hlm. 25.
Universitas Sumatera Utara
45 Hal terpenting dari lahirnya undang-undang ini yang menunjukkan adanya
perubahan itu adalah dengan ditetapkan kegiatan pencucian uang sebagai bentuk tindak pidana yang tentunya dibarengi dengan sanksi pidana bagi mereka yang
melakukannya. Selain itu, dibentuknya suatu unit kerja yang independen yang akan berperan besar dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang, yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK.
Terjadinya perubahan pada undang-undang yang mengatur tindak pidana pencucian uang tentunya juga dikarenakan oleh adanya perkembangan yang
dianggap perlu untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang itu sendiri. Saat ini, undang-undang yang mengatur tindak pidana pencucian
uang yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 terdapat beberapa hal-hal
pokok yang menjadi perhatian dan perubahan penting dari undang-undang sebelumnya, yaitu:
a. Jenis Tindak Pidana Asal Predicate Crime
Pada Pasal 2 ditentukan bahwa yang menjadi tindak pidana asal pada tindak pidana pencucian uang yaitu korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika,
penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migrant, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan
orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang
perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang
Universitas Sumatera Utara
46 kelautan dan perikanan atautindak pidana lain yang diancam dengan pidana
penjara 4 empat tahun atau lebih,yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
b. Lex Specialis
Pada Pasal 68 ditentukan bahwa
penyidikan, penuntutan danpemeriksaan di persidangan, dilakukan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam UU ini. Dari pengaturan ini tampak bahwa para pembuat UU menginginkan UUTPPU ini lebih banyak disesuaikan
dengan sifat perkembangan masalah kejahatan pencucianuang yang memiiki karakter
yang lebih
khusus dari
masalah yang
diatur oleh
perundangundanganlain
65 .
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa undang- undang ini memiliki sifat lexspecialis karena undang-undang ini bisa menjadi
pengecualian terhadapketentuan-ketentuan undang-undang lain KUHAP berdasarkan prinsip lex specialis derogate legi lexgeneralis.
c. Pembuktian Terbalik
Pada Pasal 77 diatur bahwa “untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana
”. Ketentuan ini dikenal dengan istilah pembuktian terbalik, dimana diberikan kesempatan kepada terdakwa untuk
65
Benny Swastika, Tinjauan Hukum Asas Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang
, Fakultas Hukum Universtas Indonesia, dikutip dari N.H.T. Siahaan, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan,
Cet. 1, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002, Cet 1, hlm.8.
Universitas Sumatera Utara
47 membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atau membuktikan bahwa harta
kekayaannya bukanlah hasil tindak pidana. d.
Eksistensi PPATK Pada Pasal 40, keberadaan PPATK semakin diakui dengan memperluas fungsi
PPATK dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, yaitu: 1.
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; 2.
Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; 3.
Pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; 4.
Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang danatau tindak pidana
lain sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1. e.
Alat Bukti Pada Pasal 73 ditentukan bahwa alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak
pidana pencucian uang, yaitu: 1.
Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; danatau 2.
Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa
optik dan dokumen. Alat bukti yang diakui dalam undang-undang ini tentu lebih luas dari alat bukti
yang ditentukan dalam KUHAP dan alat bukti tersebut sangat beragam. Hal ini menjadi kebutuhan dalam pemeriksaan mengingat tindak pidana pencucian
uang ini adalah tindak pidana yang terorganisir dan sistematis. Saat ini, tindak pidana pencucian uang sudah marak yang dilakukan dengan teknologi canggih
Universitas Sumatera Utara
48 dan media-media yang tidak terduga sebelumnya. Melalui ketentuan ini
diharapkan pembuktian tindak pidana pencucian uang semakin mudah sehingga lebih mudah juga pencegahan dan pemberantasannya.
f. Peradilan In Absentia
Pasal 79 mengakui bahwa dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang dibenarkan tanpa kehadiran terdakwa apabila sudah dipanggil secara sah dan
patut namun tidak hadir juga in absentia. Kekhususkan dalam hukum acara pidana yang diterapkan oleh undang-undang ini tentu memberikan dukungan
positif terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, yaitu untuk mempermudah pemeriksaan meskipun terdakwa tidak hadir.
Dengan dilanjutkannya pemeriksaan tanpa kehadiran terdakwa tentu membantu pemerintah dalam menyelamatkan harta hasil kejahatan yang dilakukan
terdakwa. g.
Kualifikasi Perbuatan Pidana dan Ancaman Hukuman Pada Pasal 10 ditentukan bahwa perbuatan percobaan, pembantuan dan
permufakatan jahat pada tindak pidana pencucian uang dikenakan ancaman hukumannya yang sama dengan perbuatan pidana yang selesai dilakukan
sebagaimana pada Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5. Hal ini sangat berbeda dengan ketentuan umum hukum pidana Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP bahwa percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat ancaman hukumannya adalah
dikurangi sepertiga
dari hukuman
pokoknya. Adanya
perbedaan
Universitas Sumatera Utara
49 inimenunjukkan bahwa pembuat undang-undang dan pemerintah Indonesia
tidak main-main dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang. h.
Paradigma Follow The Money Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan
disempurnakan lagi dalam Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menggunakan
pendekatan follow the money dalam mengkriminalisasi pencucian uang. Dalam setiap tindak pidana, setidaknya ada tiga komponen, yaitu adanya pelaku,
tindak pidana yang dilakukan, dan hasil tindak pidana dapat berupa uang atau harta kekayaan lain. Pendekatan follow the moneymendahulukan mencari uang
atau harta kekayaan hasil tindak pidana dibandingkan dengan mencari pelaku kejahatan. Setelah hasil diperoleh barulah dicari pelakunya. Pendekatan ini
dirasa lebih menguntungkan dan adil karena jangkauannya lebih jauh, dapat dilakukan secara diam-diam sehingga memiliki resiko perlawanan dari pelaku
tindak pidana sangat kecil.
66
i. Penerobosan Rahasia dan Kode Etik
Pasal 28 undang-undang ini memberikan suatu jaminan kepada pihak pelapor dalam melaksanakan kewajiban pelaporannya dikecualikan dari prinsip
66
https:www.academia.edu7450001Tindak_Pidana_Pencucian_Uang diunduh pada Minggu 14 Desember 2014 Pukul 19.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
50 kerahasiaanbank. Berdasarkan Pasal 45 undang-undang ini PPATK dalam
menjalankan fungsi dan wewenangnya tidak terkait dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik yang mengatur tentang prinsip kerahasiaan.
Sedangkan berdasarkan Pasal 72 undang-undang ini penyidik, penuntut umum atau hakim dalam meminta keterangan tidak berlaku ketentuan peraturan
perundang perundang-undangan yg mengatur rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. Dikesampingkannya rahasia dan kode etik ini
berguna untuk memudahkan para penegak hukum dalam melaksanakan prinsip follow the money
agar penanganan suatu perkara dugaan pencucian uang tidak berlarut-larut.
j. Penundaan, Penghentian Sementara dan Pemblokiran Transaksi
Suatu transaksi keuangan dapat ditunda paling lama 5 hari kerja terhitung sejak penundaan transaksi oleh pihak penyedia jasa keuangan sebagaimana yang
tertuang dalam Pasal 26 dan pada Pasal 71. Pihak penyidik, penuntut umum maupun hakim berwenang memerintahkan pihak pelapor untuk melakukan
pemblokiran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil dari suatu tindak pidana.
k. Kerjasama Pertukaran Informasi
Dalam Pasal 90 undang-undang ini, PPATK dapat melakukan kerja sama pertukaran informasi dengan pihak-pihak nasional maupun kalangan
internasional yang berupa permintaan, pemberian, dan penerimaan informasi. Hal ini bertujuan agar lebih memudahkan PPATK dalam melakukan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Universitas Sumatera Utara
51
BAB III KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
MELAKUKAN PENYITAAN TERHADAP ASET YANG DIDUGA HASIL TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
A. Dasar Hukum KPK Melakukan Penyitaan Terhadap Aset Yang Diduga Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan yang dilakukan oleh penjahat kerah putih white collar crime yang mana untuk dapat menelusuri
asetnya perlu dilakukan penyitaan dan perampasan aset oleh para penegak hukum guna mengembalikan kerugian negara yang telah disebabkan oleh tindak pidana
korupsi tersebut. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan
atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan dan peradilan.
31
Maksud dari ketentuan tersebut adalah bahwa penyidik dibenarkan oleh hukum untuk melakukan penyitaan terhadap aset dari
seorang tersangka untuk kepentingan pembuktian. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
32
Jika menetapkan seseorang menjadi seorang tersangka saja harus dengan bukti
permulaan yang cukup, maka tentu untuk menyita aset seorang tersangka juga
31
Pasal 1 butir 16 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
32
Pasal 1 butir 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Universitas Sumatera Utara
52
harus dengan bukti permulaan yang cukup pula. Dengan demikian, kewenangan untuk menyita tetap harus didasari oleh suatu proses penegakan hukum yang
berdasarkan undang-undang. Bukti permulaan yang cukup menjadi polemik diantara para pakar
hukum.UU PPTPPU sendiri tidak memberikan penjelasan mengenai bukti permulaan yang cukup.Berdasarkan Pasal 68 UU PPTPPU:
“Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini
”. Pasal tersebut menegaskan bahwa penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana pencucian uang dilakukan sesuai
dengan ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, yaitu sebagaimana diatur dalam KUHAP. Namun, karena ditentukan lain secara khusus dalam UU PPTPPU
maka yang berlaku adalah ketentuan di dalam UU PPTPPU tersebut. Dan jika suatu ketentuan tidak diatur secara khusus dalam UU PPTPPU, maka yang
diberlakukan adalah ketentuan pada KUHAP.Hal ini sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generali
33
sebagai salah satu asas yang diakui dan dianut oleh hukum pidana Indonesia.
33
Yang dimaksud dengan lex specialis derogat legi generali ialah ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan
hukum khusus tersebut dan ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan- ketentuan lex generali undang-undang dengan undang-undang serta ketentuan-ketentuan lex
specialis harus berada dalam lingkungan hukum rezim yang sama dengan lex generali.Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan. Diambil dari http:www.hukumonline.comklinikdetaillt509fb7
e13bd25mengenai-asas-lex-specialis-derogat-legi-generalis
,
diakses pada pada tanggal 01 Oktober 2014 pukul 21.35 wib.
Universitas Sumatera Utara
53
KUHAP juga tidak memberikan penjelasan yang khusus mengenai bukti permulaan yang cukup. Namun, pada penjelasan Pasal 17 KUHAP dinyatakan
bahwa bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14 KUHAP.Pasal 1 butir
14 KUHAP menyatakan bahwa tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai
pelaku tindak pidana.Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka harus didasarkan pada bukti permulaan
yang cukup, termasuk juga dalam melakukan penyitaan sebagai bagian dari penyidikan harus didasarkan pula pada bukti permulaan yang cukup.
UU PPTPPU juga tidak mengatur secara khusus tentang penyitaan pada tahap penyidikan, melainkan mengatur pada tahap pemeriksaan di sidang
pengadilan.Pasal 81 UU PPTPPU berbunyi: “Dalam hal diperoleh bukti yang
cukup bahwa masih ada harta kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melakukan penyitaan harta kekayaan tersebut
”. Berdasarkan pasal tersebut, maka penyitaan dapat dilakukan sepanjang
ditemukannya bukti yang cukup bahwa masih terdapat harta kekayaan yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang yang belum disita, maka hakim
memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk menyita harta kekayaan tersebut.Pasal ini merupakan satu-satunya pasal yang mengatur tentang penyitaan
dalam UU PPTPPU, dimana penyitaan tersebut hanya dapat dilakukan apabila ada bukti yang cukup bahwa terhadap benda sitaan tersebut mempunyai kaitan dengan
tindak pidana pencucian uang.
Universitas Sumatera Utara
54
Sementara itu Pasal 47 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi UU KPK mengatur:
“Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan
tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya ”.
Berdasarkan pasal tersebut,KPK sebagai penyidik tindak pidana pencucian uang
34
dapat melakukan penyitaan tanpa harus adanya surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri dengan dasar adanya bukti permulaan yang cukup. Dengan kata lain, KPK
sendiri sebagai lembaga yang superbody sekalipun dalam melakukan penyitaan harus tetap didasarkan pada bukti yang cukup.
Berdasarkan uraian diatas, maka penyitaan terhadap aset seorang tersangka pelaku tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan apabila terdapat bukti
permulaan yang cukup bahwa aset tersebut diduga adalah hasil dari tindak pidana sebagai tindak pidana asal. Pasal 2 ayat 1 UU PPTPPU telah menentukan bahwa
hasil tindak pidana pencucian uang adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagai berikut:
a. Korupsi;
b. Penyuapan;
c. Narkotika;
34
Pasal 74 UU PPTPPU mengatur : “Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan
oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut undang-undang ini
”. Penjelasan dari Pasal 74 tersebut menegaskan bahwa yang dimaksud dengan penyidik tindak pidana asal adalah pejabat
dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, Badan
Narkotika Nasional BNN serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan
penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai
kewenangannya.
Universitas Sumatera Utara
55
d. Psikotropika;
e. Penyelundupan tenaga kerja;
f. penyelundupan migran;
g. di bidang perbankan;
h. di bidang pasar modal;
i. di bidang perasuransian;
j. kepabeanan;
k. cukai;
l. perdagangan orang;
m. perdagangan senjata gelap;
n. terorisme;
o. penculikan;
p. pencurian;
q. penggelapan;
r. penipuan;
s. pemalsuan uang;
t. perjudian;
u. prostitusi;
v. di bidang perpajakan;
w. di bidang kehutanan;
x. di bidang lingkungan hidup;
y. di bidang kelautan dan perikanan atau
Universitas Sumatera Utara
56
z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 empat tahun atau
lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Tujuan penyitaan adalah untuk kepentingan “pembuktian”, terutama
diajukan sebagai barang bukti di hadapan pengadilan. Pembuktian yang dimaksud, bahwa benda-benda yang disita tersebut ditujukan sebagai barang bukti di depan
persidangan, karena dengan adanya benda tersebut maka dapat membuktikan suatu tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut umum. Oleh
karena itulah, perlunya untuk melakukan penyitaan guna membuktikan perbuatan terdakwa.
35
Berikut akan diuraikan tinjauan umum penyitaan berdasarkan beberapa ketentuan yang berlaku dalam hukum acara pidana Indonesia:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
1. Benda yang dapat disita
Berdasarkan Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP maka yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
1 Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruhnya atau
sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
35
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 265.
Universitas Sumatera Utara
57
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana; c.
Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak
pidana; e.
Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
2 Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit
dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat 1.
Artinya sepanjang benda sitaan perkara perdata mempunyai kaitan dengan suatu tindak pidana yang sedang diperiksa baik benda itu merupakan hasil
atau diperoleh dari tindak pidana atau benda sitaan perdata tadi dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana ataupun
benda sitaan perdata tersebut diperuntukkan untuk melakukan tindak pidana.
36
2. Prinsip penyitaan
Penyitaan merupakan upaya paksa yang berisi:
37
1. Merupakan perampasan harta kekayaan seseorang tersangka atau
terdakwa, sebelum putusan perkara memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga pada dasarnya tindakan penyitaan, mengandung:
36
Ibid , hlm. 275.
37
Ibid , hlm. 276.
Universitas Sumatera Utara
58
a. Penghinaan dan perkosaan, serta
b. Bertentangan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia,
2. Namun pada sisi lain, dalam hal tertentu demi untuk kepentingan umum
dalam rangka menyelesaikan perkara pidana, secara eksepsional undang- undang membenarkan penyitaan.
Maka dalam rangka menegakkan prinsip di atas, dituntut penyitaan yang hati-hati dan bertanggung jawab.
3. Waktu melakukan penyitaan
Berdasarkan Pasal 39 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP penyitaan dapat dilakukan saat:
a. Penyidikan;
b. Penuntutan;
c. Pemeriksaan sidang pengadilan.
4. Pengembalian benda sitaan
Berdasarkan Pasal 46 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP benda sitaan harus dikembalikan kepada yang berhak:
a. Apabila kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan
lagi; b.
Apabila perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata bukan merupakan tindak pidana;
c. Apabila perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum
atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu
Universitas Sumatera Utara
59
diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana;
d. Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan
dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu
dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih
diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
2. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsitidak mengatur secara khusus tentang
penyitaan. Namun, pada undang-undang ini dapat ditemukan ketentuan yang mengatur mengenai pembuktian terbalik oleh terdakwa atas dakwaan oleh
penuntut umum.Pada Pasal 37 A diatur bahwa terdakwa wajib untuk memberikan keterangan mengenai seluruh harta bendanya termasuk harta
benda istri atau suami dan anak serta harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.Jika
terdakwa tidak mampu untuk membuktikan harta kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya,
maka hal tersebut memperkuat alat bukti bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Namun perlu diperhatikan bahwa ketentuan ini tidak
Universitas Sumatera Utara
60
menghilangkan kewajiban penuntut umum untuk membuktikan dakwaannya dihadapan pengadilan.
Pasal 38 B mengatur bahwa terdakwa yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal
4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai Pasal
12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, wajib untuk membuktikan harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.Apabila
terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta bendanya diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, maka hakim berwenang untuk memutuskan
perampasan seluruh atau sebagian dari harta benda tersebut. 3. Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang
a. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang UU TPPU UU TPPU juga tidak mengatur secara khusus tentang penyitaan pada
tahap penyidikan, melainkan mengatur pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.Pasal 34 UU TPPU mengatur:
“Dalam hal diperoleh bukti yang cukup sebagai hasil pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terdakwa,
Universitas Sumatera Utara
61
hakim memerintahkan penyitaan terhadap harta kekayaan yang belum diketahui atau patut diduga hasil tindak pidana yang belum disita oleh
penyidik atau penuntut umum ”.
Pada undang-undang initerdapat asas pembuktian terbalik yang diatur pada Pasal 35 dengan berbunyi:
“Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan
merupakan hasil tindak pidana ”. Menurut Prof. Dr. Andi Hamzah istilah yang
tepat pada Pasal 35 ini bukanlah asas pembuktian terbalik, melainkan asas pembalikan beban pembuktian.Asas ini tidak serta merta menyatakan bahwa
penuntut umum dapat menuntut seseorang tanpa kewajiban untuk membuktikan dakwaannya sendiri.
38
Asas ini hanya sebatas memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk dapat membuktikan bahwa harta kekayaan
yang diperolehnya bukan merupakan hasil dari tindak pidana, sedangkan yang berkewajiban untuk membuktikan dakwaan adalah penuntut umum itu
sendiri.Dengan adanya asas pembalikan beban pembuktian, penuntut umum tetap wajib membuktikan dakwaannya berdasarkan alat-alat bukti
sebagaimana Pasal 38 UU TPPU.
39
Menurut Sutan Remy Sjahdeini apabila asas pembalikan beban pembuktian diterapkan oleh penuntut umum secara membabi buta dan
sewenang-wenang, yaitu tanpa adanya bukti terlebih dahulu untuk melakukan
38
Prof.Dr. Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit,hlm. 218.
39
Pasal 38 UU TPPU mengatur bahwa alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa: a Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum Acara Pidana; b Alat bukti lain
berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan c dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.
Universitas Sumatera Utara
62
penuntutan, maka tujuan hukum yang bermaksud memberikan perlindungan, kesejahteraan, keadilan, ketertiban atau kepastian dan kemanfaatan, akan
berbalik menimbulkan kepanikan dan ketidakpastian. Penuntut umum harus memiliki sekurang-kurangnya bukti permulaan yang kuat yang memberikan
indikasi bahwa yang bersangkutan mengetahui atau sepatutnya mengetahui harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana.
40
Penulis sependapat dengan Sutan Remi Sjahdeini bahwa asas pembalikan beban pembuktian ini
bukan merupakan alat bagi penuntut umum untuk dapat secara sewenang- wenang menuntut seseorang tanpa disertai dengan bukti permulaan yang
cukup. b.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang UU PPTPPU
Seperti halnya dengan UU TPPU, UU PPTPPU juga tidak mengatur secara khusus tentang penyitaan pada tahap penyidikan, melainkan mengatur
pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Pasal 81 UU PPTPPU menyatakan:
“Dalam hal diperoleh bukti yang cukup bahwa masih ada harta kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan jaksa penuntut umum
untuk melakukan penyitaan harta kekayaan tersebut ”.Pasal tersebut pada
intinya mengatur bahwa penyitaan dapat dilakukan hanya dengan adanya bukti yang cukup.Perlu diperhatikan, bahwa penyitaan dalam tahap pemeriksaan di
persidangan sekalipun haruslah berdasarkan bukti yang cukup. Hal ini menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan telah menentukan
40
Prof. Dr.Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm.219.
Universitas Sumatera Utara
63
terhadap penyitaan memang harus dilakukan secara hati-hati oleh siapapun yang berwenang untuk itu, karena menyangkut hak asasi manusia seseorang.
UU PPTPPU juga mengatur tentang sistem pembuktian terbalik, sebagaimana yang diatur pada Pasal 77 yang berbunyi:
“Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta
kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”. Lebih lanjut, pada Pasal 78 ayat 1 diatur bahwa terdakwa atas
perintah hakim membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana asal. Dengan kata
lain, UU PPTPPU itu sendiri memberikan batasan terhadap pembuktian terbalik, yaitu hanya pada harta kekayaan yang terkait dengan tindak pidana
asal. Artinya harta kekayaan yang tidak terkait dengan tindak pidana asal tidak dapat disita dengan alasan tersangka dapat membuktikannya di persidangan
melalui sistem pembuktian terbalik.
4. Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi
Undang-Undang Nomor
30 Tahun
2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi UU KPK memberikan kewenangan yang sangat
besar kepada KPK untuk melakukan penyitaan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 47 ayat 1 dan ayat 2 UU KPK, yaitu:
1 Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup,
penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya.
Universitas Sumatera Utara
64
2 Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur
mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.
Undang-undang membenarkan KPK untuk melakukan penyitaan sekalipun tanpa izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Wewenang yang diberikan
kepada KPK ini berbeda dengan wewenang yang diberikan kepada institusi penegak hukum lainnya yang harus mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan
Negeri setempat untuk melakukan penyitaan. Namun, perlu diperhatikan bahwa ada unsur pentinglainnya pada Pasal 47 ayat 1 tersebut, yakni unsur
adanya bukti permulaan yang cukup. Dengan demikian, meskipun KPK dibenarkan untuk melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri,
harus tetap diperhatikan bahwa penyitaan itu dilakukan dengan adanya bukti permulaan yang cukup.
Pasal 44 ayat 2 UU KPK mengatur: “Bukti permulaan yang cukup
dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 dua alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan,
dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik
”. UU KPK telah menentukan secara jelas bahwa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup adalah minimal ditemukan sekurang-kurangnya 2
dua alat bukti.Pasal 44 ayat 2 ini memberikan suatu kepastian hukum baik bagi KPK maupun pihak yang bersangkutan dalam melakukan penyitaan.
Universitas Sumatera Utara
65
Adapun pengertian bukti permulaan yang cukup dari berbagai peraturan-peraturan maupun pandangan ahli adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan Surat Keputusan Kapolri SK No. Pol. SKEEP04I1982,
yaitu:
41
Bahwa bukti permulaan yang cukup itu adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam:
1 Laporan Polisi;
2 Berita Acara Pemeriksaan di TKP;
3 Laporan Hasil Penyelidikan;
4 Keterangan SaksiSaksi Ahli; dan
5 Barang Bukti.
2. Penetapan Pengadilan Negeri Sidikalang Sumatera Utara No.4Pred-
Sdk1982, 14 Desember 1982, yaitu:
42
Bukti permulaan yang cukup harus mengenai alat-alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 1 KUHAP bukan yang lain-lainnya seperti: Laporan
polisi dan sebagainya. 3.
Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08KMA1984, No. M.02-KP.10.06 Tahun 1984,
No. KEP-076J.A31984, No. Pol KEP04III1984 tentang Peningkatan
41
Diambil dari https:books.google.co.idbooks?id=Y1oghffVI2cCpg=PA239lpg=P A239dq=bukti+permulaan+yang+cukupsource=blots=e2iwlt3qNhsig=CFTlqWUO6J04b
WaGSFLPEHiJBcMhl=ensa=Xei=0lamVPbJH4OzuQTQloKABQredir_esc=yv=onepage q=bukti20permulaan20yang20cukupf=falseyang diunduh pada 2 Januari 2015 pukul
17.00 WIB.
42
Diah Kartika, Eksistensi Bukti Permulaan Yang Cukup Sebagai Syarat Tindakan Penyelidikan Suatu Perkara Pidana Telaah Teoritik Penetapan Susno Duadji Sebagai Tersangka
Oleh Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polisi Republik Indonesia Dalam Perkara Suap ,
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Indonesia, hlm. 12.
Universitas Sumatera Utara
66
Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana Mahkejapol dan pada Peraturan Kapolri No. Pol. Skep1205IX2000 tentang Pedoman
Administrasi Penyidikan Tindak Pidana, yaitu:
43
Bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan
polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
4. Menurut P. A. F. Lamintang, yaitu:
44
Bukti permulaan yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal, berupa alat-alat bukti
seperti yang dimaksud dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP, yang dapat menjamin bahwa Penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk
menghentikan penyidikannya terhadap seorang yang disangka melakukan tindak pidana setelah orang tersebut dilakukan penangkapan.
5. Menurut Harun M. Husein, yaitu:
45
Menyatakan sependapat dengan pendapat Lamintang, dengan alasan untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang haruslah didasarkan hasil
penyelidikan yang menyatakan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan tindak pidana tersebut dapat disidik karena telah tersedia cukup data
dan fakta bagi kepentingan penyidikan tindak pidana tersebut.Apabila laporan polisi ditambah dengan salah satu alat bukti keterangan saksi
43
Diambil dari http:www.hukumonline.comklinikdetaillt5073b4c6c99babukti- permulaan-yang-cukup-sebagai-dasar-penangkapanyang diakses pada 3 Febuari 2015 pukul 21.00
WIB.
44
Diah Kartika, Op.Cit, hlm. 13.
45
Diah Kartika, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
67
pelapor atau pengadu dirasakan masih belum cukup kuat untuk dijadikan bukti permulaan yang cukup guna dipergunakan sebagai alasan
penangkapan seseorang. Terkecuali apabila laporan polisi dimaksud diartikan sebagai laporan hasil penyelidikan yang berisi tentang kepastian
bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai tindak pidana, adalah benar-benar merupakan suatu tindak pidana, terhadap tindak pidana yang
dapat dilakukan penyidikan karena tersedia cukup alat bukti untuk melakukan penyidikan.
6. Menurut M.Yahya Harahap, yaitu:
46
Mengenai apa yang dimaksud dengan permulaan bukti yang cukup, pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian
penyidik. Akan tetapi, sangat disadari cara penerapan yang demikian, bisa menimbulkan ketidakpastian dalam praktek hukum serta sekaligus
membawa kesulitan bagi praperadilan untuk menilai tentang ada atau tidak permulaan bukti yang cukup. Yang paling rasional dan realitis, apabila
perkataan ”permulaan” dibuang, sehingga kalimat itu berbunyi: “diduga keras melakukan tindak pida
na berdasarkan bukti yang cukup”. Jika seperti ini rumusan Pasal 17, pengertian dan penerapannya lebih pasti.
7. Menurut Kuffal, yaitu:
47
Penafsiran bukti pada Pasal 1 butir 2 dan pengertian bukti permulaan dalam Pasal 1 butir 14 serta Pasal 17 KUHAP harus didasarkan dan tidak
boleh dilepaskan dari pengertian alat-alat bukti yang sah sebagaimana
46
M. Yahya Harahap Op.Cit, hlm. 158.
47
Dr. Juffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2004,hlm. 29.
Universitas Sumatera Utara
68
diatur dalam Pasal 183 jo 184 KUHAP. Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui secara jelas bahwa alat pembuktian yang berlaku dan bernilai
untuk memutuskan bahwa terdakwa benar-benar bersalah melakukan tindak pidana adalah alat bukti yang sah sekurang-kurangnya sebanyak 2
alat bukti yang sah. Maka bukti permulaan adalah sama dengan alat bukti yang sah.
Lebih lanjut, Pasal 47 ayat 2 UU KPK mengatur bahwa segala peraturan
perundang-undangan yang
berlaku mengenai
penyitaan sebagaimana yang dimuat di dalam KUHAP tidak berlaku. Oleh karena itu,
dalam melakukan penyitaan, KPK tidak berdasar pada KUHAP melainkan UU KPK itu sendiri.Hal ini sesuai dengan asas lex spesialis derogat legi generali,
yaitu ketentuan khusus dapat mengesampingkan ketentuan umum.Ketentuan khusus dalam hal ini adalah UU KPK sedangkan ketentuan umum adalah
KUHAP. Dengan demikian, maka sangat jelas bahwa dalam melakukan
penyitaan terhadap aset-aset yang diduga hasil tindak pidana pencucian uang, KPK harus mengacu pada ketentuan Pasal 47 ayat 1 UU KPK dimana harus
didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, yaitu sekurang-kurangnya ditemukan 2 dua alat bukti.
Universitas Sumatera Utara
69
B. Proses Penyitaan Terhadap Aset yang Diduga Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang