BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengkajian pembangunan di negara berkembang pada umumnya tidak dapat terlepas dari pertimbangan wilayah pedesaan. Hal ini karena sebagian besar penduduk
negara berkembang masih terkonsentrasi di wilayah pedesaan dengan kondisi kesejahteraan yang mayoritas berada dalam kemiskinan Yustika, 2003. Dalam
konteks Indonesia, agenda pembangunan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJM tahun 2006 difokuskan kepada
penanggulangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan tingkat kesejahteraan, peningkatan kesempatan kerja, dan revitalisasi pertanian serta pedesaan Anugrah,
2007. Masyarakat pedesaan identik dengan komunitas dan kehidupan petani yang
tidak terlepas dari pola kelembagaan usaha ekonomi pedesaan yang berciri pertanian dengan orientasi subsisten Scott, 1981. Dari segi besarannya, usaha perekonomian
pedesaan masih didominasi oleh usaha-usaha berskala mikro dan kecil dengan pelaku utamanya yaitu petani, buruh tani, pedagang sarana produksi dan hasil pertanian,
pengolah hasil pertanian, pengrajin, buruh serta pengecer. Para pelaku usaha ini pada umumnya masih dihadapkan pada permasalahan yang mendasar yaitu terbatasnya
ketersediaan modal sebagai unsur penting yang mendukung peningkatan produksi dan pada gilirannya dapat mengangkat taraf hidup masyarakat pedesaan.
Keterbatasan modal ini berpotensi membatasi ruang gerak ekonomi masyarakat
pedesaan. Selain itu, keterbatasan modal juga dapat menjadi awal terjadinya siklus kemiskinan pada masyarakat pedesaan yang akan sulit untuk diputus.
Menjawab permasalahan keterbatasan modal masyarakat pedesaan, serta mengingat kemampuan fiskal pemerintah yang semakin berkurang, salah satu jalan
keluar yang dapat menjadi alternatif sumber dana bagi masyarakat pedesaan adalah melalui upaya optimalisasi potensi kelembagaan keuangan. Diantara beragam
pola kelembagaan keuangan yang berkembang di masyarakat pedesaan, salah satu yang dapat dimanfaatkan dan didorong untuk membiayai kegiatan perekonomian di
pedesaan dengan mayoritas usaha penduduknya masuk dalam segmen mikro adalah Lembaga Keuangan Mikro LKM.
LKM diartikan sebagai lembaga penyedia jasa-jasa keuangan kepada nasabah berpenghasilan rendah yang meliputi pedagang kecil, pedagang kaki lima, petani,
penjual jasa dan produsen kecil Ladgwewood, 1999. LKM juga didefinisikan sebagai penyedia jasa keuangan dalam ragam yang luas seperti tabungan, pinjaman,
pengiriman uang, asurasni untuk rumah tinggal miskin dan berpenghasilan rendah Bank Pembangunan Asia - ADB, 2000. Robinson 1993, menekankan bahwa
istilah LKM merujuk pada jasa-jasa keuangan berskala kecil terutama kredit dan simpanan yang disediakan untuk petani, nelayan, peternak; atau mereka yang
memiliki usaha kecilmikro yang memproduksi, mendaur ulang, memperbaiki atau menjual barang; menjual jasa; bekerja untuk mendapat upah dan komisi; memperoleh
penghasilan dari menyewakan tanah, kendaraan, hewan atau mesin dan peralatam dalam jumlah kecil. Sintesis dari sejumlah definisi tersebut mengantarkan kepada
pengartian LKM sebagai suatu lembaga jasa layanan keuangan tabungan dan kredit
simpan-pinjam dalam skala mikro dan kecil yang berlangsung terus menerus berkelanjutan bagi masyarakat yang mempunyai usaha skala mikro dan kecil.
Keberadaan dan perkembangan LKM tidak terlepas dari perkembangan Usaha Kecil dan Mikro UKM. Peranan UKM, terutama sejak krisis moneter tahun 1998
dapat dipandang sebagai pola katup penyelamat dalam proses pemulihan ekonomi nasional
1
, baik dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi maupun penyerapan tenaga kerja. Kinerja UKM dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan.
Membaca Gambar 1. di atas, terlihat bahwa populasi UKM pada tahun 2007
mencapai 49,8 juta unit usaha atau sebesar 99 persen dari total jumlah unit usaha di Indonesia yang berjumlah 49,845 juta unit. Dari jumlah tersebut, lebih dari separuh
52,5 persen populasi UKM yang ada bergerak di sektor pertanian, diikuti sektor
Susilo Bambang Yudhoyono, Revitalisasi Ekonomi Indonesia Jakarta: Brigthen press. 2004, hal 26
Gambar 1. Komparasi UKM dengan Usaha Berskala Besar
Sumber: Badan Pusat Statistik BPS 2007 diolah
perdagangan 28,1 persen dan sektor industri 19,4 persen. Sedangkan pada usaha besar UB, mayoritas jenis usaha yang ditekuni adalah sektor industri 42,5 persen,
perdagangan 26,9 persen, dan keuangan 10,6 persen
2
.
Keterbatasan akses sumber-sumber pembiayaan yang dihadapi oleh UKM terutama terhadap lembaga-lembaga keuangan formal seperti bank, menyebabkan
mereka bergantung pada sumber-sumber pembiayaan keuangan mikro. Bentuk dari sumber-sumber pembiayaan keuangan ini beraneka ragam, mulai dari pelepas uang
renteni hingga berkembang dalam bentuk unit-unit simpan pinjam, koperasi dan
bentuk-bentuk yang lain.
Lembaga-lembaga keuangan mikro ini pada prakteknya dipandang lebih
bermanfaat di kalangan pelaku UKM. Hal ini tidak terlepas dari sifatnya yang lebih
fleksibel dari segi peraturan peminjamannya. Dalam hal persyaratan dan jumlah pinjaman misalnya, LKM memiliki persyaratan yang tidak seketat persyaratan yang
diterapkan dunia perbankan. Demikian juga dari segi keluwesan proses pencairan kredit. Faktor-faktor ini menunjukkan bahwa keberadaan lembaga-lembaga keuangan
mikro mampu membaca kebutuhan dan kondisi pelaku UKM yang umumnya membutuhkan pembiayaan sesuai skala dan sifat usaha kecil serta jarang memiliki
syarat-syarat layak pembiayaan bankable. Menempatkan uraian tentang peran, fungsi dan sifat LKM di atas dalam
konteks ekonomi masyarakat pedesaan, maka menjadi penting untuk dilakukannya sebuah upaya revitalisasi kelembagaan LKM. Upaya ini diharapkan dapat mendorong
2
http:www.endonesia.commod.php?=publisherop=viewarticlecid=5artid=1424 diakses pada
tanggal 19 Maret 2009
perkembangan dan pembangunan ekonomi pedesaan melalui penciptaan pola pembiayaan yang kondusif terhadap pertumbuhan usaha mikro. Pada gilirannya,
diharapkan usaha-usaha berskala mikro yang tumbuh ini dapat menyerap tenaga kerja pedesaan yang kemudian diikuti juga oleh peningkatan taraf kesejahteraan
masyarakat pedesaan.
1.2. Perumusan Masalah