BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
1.1 Tinjauan Pustaka
1.1.1 Pembangunan Pedesaan dan Kelembagaan Sektor Finansial
Perspektif pembangunan Booke, 1983 menyimpulkan bahwa perekonomian di Indonesia terbagi dalam dua sektor, yaitu tradisional dan modern yang tidak saling
berhubungan untuk mengatasinya, Booke menyatakan bahwa sektor tradisional perlu dirangsang dengan adanya insentif ekonomi dan peningkatan teknologi produksi.
Sebaliknya, Greetz dalam Marshus menyatakan upaya perbaikan macam apapun tidak akan berhasil dilakukan. Menurut Scott, persoalan yang berlaku pada
masyarakat pedesaan adalah rasionalitas sosial yang lebih mementingkan kebersamaan ketimbang persaingan. Penetrasi dari luar, baik menyangkut aspek
kelembagaan maupun teknologi justru akan menimbulkan resistensi. Ketidakmampuan untuk menangkap kultur dan nilai-nilai masyarakat desa ini
lah yang membuat banyak kebijakan yang terkait dengan pembangunan pedesaan gagal diterapkan di lapangan. Pada sub-bab ini penulis menyadari bahwa pesoalan
yang terjadi selama proses pembangunan pedesaan adalah tidak terbangunnya kelembagaan sektor ekonomi sebagai instrumen untuk mengatasi kelangkaan modal
lack of capital di wilayah pedesaan. Arah pembangunan pedesaan yang terjadi selama beberapa dekade yang disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Aktualisasi Gagasan Pembangunan Pedesaan
Dekade Isu strategis
1950-an Modernisasi, model dualisme ekonomi, “keterbelakangan” pertanian,
pembangunan komunitas, dan petani malas lazy peasant 1960-an
Pendekatan tranformasi, transfer teknologi, mekanisasi, penyuluhan pertanian, peranan pertumbuhan pertanian, revolusi hijau awal dan
petani rasional 1970-an
Redistribusi dengan pertumbuhan, kebutuhan dasar, pembangunan pertanian yang terintegrasi, kebijakan pertanian oleh negara, kredit
yang dipacu oleh negara state-led credit, bias perkotaan, introduksi inovasi, revolusi hijau lanjutan, dan pertumbuhan pedesaan yang
terkait rural growth linkages 1980-an
Penyesuaian struktural, pasar bebas, kebijakan harga yang tepat, meminimalisasi peran negara, meningkatkan peran NGOs, rapid rural
appraisal , penelitian sistem pertanian, analisis ketahanan pangan dan
kelaparan, pembangunan pedesaan sebagai proses, perempuan dan pembangunan, dan pengentasan kemiskinan
1990-an Kredit mikro, participatory rural approach, pembangunan pedesaan,
analisis stakeholders, jaring pengaman pedesaan, gender dan pembangunan, lingkungan dan kesinambungan, dan pengurangan
kemiskinan 2000-an
Penghidupan yang berlanjut sustainable livelihoods, tata kelola yang baik, desentralisasi, kritik terhadap partisipasi, pendekatan sektoral
yang diperluas, perlindungan sosial dan pemusnahan kemiskinan
Sumber: Ellis dan Biggs, 2001: 439 dalam Yustika 2008
Berdasarkan perkembangan pembangunan pedesaan yang terjadi selama beberapa dekade ini, terlihat bahwa fase-fase tersebut mengidentifikasikan proses
komersialisasi pedesaan. Proses pertumbuhan ini kian menjepit posisi orang-orang
pedesaan, kondisi ini memberi gambaran bahwa penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan justru mengalami kemerosotan daya hidup secara terus menerus karena
tekanan dari dua ujung, yaitu kebijakan pemerintah yang semakin bias perkotaan dan tekanan pasar. Maka itu diperlukan upaya agar penduduk pedesaan bisa lepas dari
komersialisasi ini, yaitu dengan cara menguatkan sistem produksi dan pengolahan yang berbasis tradisional sehingga masyarakat pedesaan tidak melulu ada dalam
posisi subordinat Yustika, 2008. Persoalan ini sebenarnya dapat diatasi dengan adanya modal yang berputar di dalam sistem produksi dan pengolahan. Namun
sayangnya keterbatasan modal merupakan persoalan paling rumit di wilayah pedesaan. Keterbatasan modal menyebabkan aktivitas ekonomi tidak berjalan, tidak
berjalannya aktivitas ekonomi menyebabkan masyarakat berada dalam posisi subordinat tadi. Berbekal dari situasi ini, sudah seyogyanya para perumus kebijakan
pembangunan pedesaan mengawinkan kelembagaan sektor finansial dengan kebijakan pemerintah agar mampu menggerakkan kegiatan ekonomi di wilayah
pedesaan, khususnya usaha mikro. Secara umum persoalan lembaga keuangan di pedesaan dapat didentifikasikan
menjadi tiga aspek berikut Yustika, 2008: 1.
Masalah akses kredit. Karakteristik masyarakat pedesaan dengan skala usaha kecil subsisten menyebabkan mereka tidak memiliki asset yang mencukupi
untuk digunakan sebagai agunan. Akibatnya, akses kredit mereka ke lembaga keuangan formal menjadi sangat terbatas.
2. Posisi tawar dan informasi masyarakat pedesaan yang sangat rendah
menyebabkan rawan terhadap praktik manipulasi dari lembaga keuangan formal maupun semi-formal. Bentuk manipulasi itu bermacam-macam,
misalnya pengenaan suku bunga lebih tinggi dari kebijakan pemerintah maupun pemberian kredit yang sangat terlambat sehingga mengganggu usaha
yang telah direncanakan. 3.
Informasi yang asimetris asymmetric information dari pemberi pinjamankredit terhadap peminjam borrower.
Pada umumnya, lembaga keuangan di pedesaan dibedakan dalam tiga jenis: i lembaga keuangan formal; ii lembaga keuangan semi-formal; iii lembaga
keuangan mikro; dan iv lembaga keuangan swadaya, prinsip lembaga ini adalah adanya rotasi tabungan dan asosiasi kredit, dimana anggota kelompok berkontribusi
secara regular untuk memberikan dana kepada salah satu atau anggota berdasarkan kesepakatan perputaran atau tabungan dana kelompok kredit. Dalam masyarakat
lembaga ini sering disebut dengan “arisan”. Lembaga keuangan dikatakan formal jika lembaga tersebut secara operasional diatur dalam Undang-Undang perbankan dan
disupervisi oleh bank sentral. Sedangkan lembaga keuangan semi-formal adalah lembaga keuangan yang tidak diatur dalam UU, tetapi disupervisi dan diregulasi oleh
agen pemerintah maupun bank sentral. Lembaga keuangan mikro beroperasi di luar regulasi dan supervisi lembaga pemerintah.
Lembaga keuangan mikro bukan sekedar menyediakan uang cash untuk keperluan transaksi, tetapi kadang-kadang menyediakan pinjaman dalam bentuk
barang in-kind. Karakter yang fleksibel, biasanya lembaga keuangan mikro ini memiliki daya tahan yang kuat untuk hidup di wilayah pedesaan. Karena lembaga
keuangan mikro ini bersifat sangat fleksibel dalam artian memiliki hubungan personal antara kreditor dan debitor dan nyaris tidak ada persyaratan administrasi yang
dibutuhkan. Tidak ada kontrak maupun persyaratan sejumlah agunan seperti pada lembaga keuangan formal. Segala kemudahan inilah lembaga keuangan mikro sangat
diterima di kalangan pedesaan.
1.1.2 Eksistensi Usaha Kecil dan Mikro
Beberapa lembaga atau instansi bahkan UU memberikan definisi Usaha Kecil Menengah UKM, yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya
3
. Menurut Kementrian Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Menegkop dan
UKM, bahwa yang dimaksud dengan Usaha Kecil UK, termasuk Usaha Mikro UM, adalah entitas usaha yang mempunyai memiliki kekayaan bersih paling banyak
Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000. Badan Pusat Statistik BPS
memberikan definisi UKM berdasarkan kuantitas tenaga kerja. Usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja lima sampai dengan 19
orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitias usaha yang memiliki tenaga kerja 20 sampai dengan 99 orang . Usaha mikro UM merupakan jenis usaha skala
kecil yang umumnya bergerak di sektor informal, seperti pedagang kaki lima, penjual
Diakses tanggal 13 April 2009, http:infoukm.wordpress.com20080811keragaman-definisi-ukm- di-indonesia
sayur, petani kecil dan usaha rumah tangga. Menurut Robinson 2000 UM didefinisikan sebagai economically active poor masyarkat miskin yang masih aktif
secara ekonomi. Menurut UU Nomor 20 tahun 2008 kriteria usaha mikro, kecil dan menengah secara lengkap pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Kriteria Mikro
Kecil Menengah
Kekayaan Bersih Rp 50 juta
Rp 50 juta Rp 500 juta Rp 500 juta Rp 10 miliar
Penjualan Tahunan
Bersih Rp 300 juta Rp 300 Rp 2,5 miliar
Rp 2,5 miliar Rp 50 miliar
Sumber: UU Nomor 20 Tahun 2008
Data Kementrian KUKM menunjukkan bahwa perkembangan UKM terus meningkat. Jumlah unit UKM sempat turun dari 39,7 juta pada tahun 1997 menjadi
36,7 juta pada tahun 1998, namun kemudian meningkat 44,7 juta unit pada tahun 2005 dan meningkat lagi menjadi 49,8 juta pada tahun 2007. Tabel mengenai peranan
UKM dalam perekonomian nasional tahun 2005 dan 2007 dapat dilihat pada Gambar
2.
Sumber: Kementrian KUKM dan BPS dalam BPS 2008
Gambar 2. Peranan UKM dalam Perekonomian Nasional pada Tahun 2005 dan 2007
Peranan UKM
dalam perekonomian
Indonesia pada
tahun 2007,
mengidentifikasikan pula bahwa jumlah usaha mikro sekitar 47,7 juta unit usaha atau 95,7 persen total UKM, menyerap hampir 77 juta orang atau 81,7 persen dari total
tenaga kerja, namun sumbangan ekspornya hanya sekitra 5 persen dari total ekspor non migas pada tahun 2007. Hal ini menunjukkan bahwa usaha mikro cukup berperan
dalam perekonomian nasional. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah merupakan kegiatan usaha yang mampu
memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan
pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional
4
. Selain itu, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah adalah salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus memperoleh kesempatan
utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa
mengabaikan peranan Usaha Besar dan Badan Usaha Milik Negara Undang-Undang No. 20 Tahun 2008.
Posisi seperti ini menenempatkan usaha mikro sebagai jalur utama dalam pengembangan sistem ekonomi kerakyatan Wiyono, 2003. Proses pengembangan
usaha mikro sebagai manifestasi perkembangan ekonomi lokal dan penganggulangan kemiskinan menjadi sangat penting sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah.
Proses ini tidak akan berjalan dengan baik kalau penguatan peran usaha mikro di tingkat lokal tidak diikutsertakana sebagai pihak berkepentingan utama. Penguatan
peran pengusaha mikro tersebut mempunyai arti strategis bagi kesejahteraan masyarakat setempat, sekaligus sebagai penggerak perekonomian daerah dan
transformasi sosial ekonomi dalam komunitas lokal. UKM bisa dikatakan merupakan salah satu solusi masyarakat untuk tetap bertahan dalam menghadapi krisis yakni
dengan melibatkan diri dalam aktivitas usaha kecil terutama yang berkarakteristik informal. Maka persoalan pengangguran sedikit banyak dapat tertolong dan
implikasinya adalah juga dalam hal pendapatan. Maka itu pemberdayaan UKM dinilai menjadi sangat strategis karena
potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat dalam
meningkatkan kesejahteraannya.
1.1.3 Lembaga Keuangan Mikro Di Indonesia
Lembaga Keuangan Mikro LKM di Indonesia menurut Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia Gunawan, 2007 memiliki ciri utama, yaitu:
1. Menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan yang relevan atau sesuai
dengan kebutuhan riil masyarakat 2.
Melayani kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah 3.
Menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel agar lebih mudah dijangkau oleh masyarakat miskin yang membutuhkan
Kusmoljono 2009 mengatakan bahwa LKM sebagai lembaga penyedia jasa keuangan alternatif perlu memperhatikan sustainabilitas usahanya agar mampu
memberikan manfaat yang optimal bagi masyarkat miskin dan usaha mikro dalam
jangka panjang. Tujuan ini hanya dapat dicapai apabila layanan jasa keuangan LKM sesuai dengan waktu, tempat, jenis kegiatan ekonomi, dan tingkat perkembangan
ekonomi masyarakat. LKM secara internal juga harus mulai menerapkan standar tata kelola perusahaan yang sesuai dengan perkembangan usahanya.
Menurut Sumodiningrat 2003, untuk mengatasi hambatan permodalan UM, pendekatan yang perlu dilakukan adalah jasa keuangan mikro microfinance. LKM
memiliki kelebihan yang paling nyata, yaitu prosedurnya yang sederhana, tanpa agunan, hubungannya yang cair personal relationship, dan waktu pengembalian
kredit yang fleksibel negotiable repayment. Karakteristik itu sangat sesuai dengan ciri pelaku ekonomi di pedesaan khususnya di sektor pertanian yang memiliki asset
terbatas, tingkat pendidikan rendah dan siklus pendapatan yang tidak teratur bergantung panen.
Karakter perdesaaan seperti itulah yang ditangkap dengan baik oleh pelaku lembaga keuangan mikro, sehingga eksistensinya mudah diterima oleh masyarakat
kecil. TAP MPR No XVI tahun 1998 menetapkan bahwa pengusaha ekonomi lemah harus dibantu dan diberikan proritas dalam pengembangan usahanya, selain itu
perbankan dan lembaga keuangan wajib memberikan peluang sebesar-besarnya bagi usaha kecil dan Mikro. Dengan mempertimbangkan sebagian besar penduduk
Indonesia adalah kelompok berpenghasilan rendah, pengusaha kecil dan mikro dan tinggal di pedesaan yang tidak terlayani oleh pelayanan jasa bank umum, maka
lembaga keuangan mikro memiliki peluang besar untuk mengembangkan usahanya dengan melayani pangsa pasar tersebut Ahlam, 2005.
Pemahaman pada bentuk dan struktur institusional LKM akan membantu memahami peran LKM dalam pembanguna ekonomi dan kinerja mereka.
Berdasarkan tingkat formalitasnya, LKM dapat di kelompokan menjadi tiga bentuk
5
, i Institusi Formal: lembaga keuangan yang di sahkan oleh pemerintah dan terikat
oleh peraturan dan pengawasan oleh pemerintah, didalamnya termasuk BRI Unit Desa, Bank-Bank Perdesaan, dan Bank Perkreditan Rakyat BPR. ii Institusi
Informal : terdiri dari perantara yang beroprasi di luar kerangka peraturan dan pengawasan pemerintah seperti arisan, rentenir bahkan tokon kelontong pun masuk
didalamnya. iii Institusi Semiformal: terdiri dari lembaga yang tidak di atur oleh otoritas perbankan tetapi terdaftar atau memper
oleh izin langsung dari pemerintah daerah seperti Koperasi Simpan Pinjam KSP, Koperasi Unit Desa KUD, Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, Program
IDT dan lainnya.
1.1.4 Kredit Mikro
Indonesia memiliki sejarah panjang dan kaya akan ragam modal pembiayaan mikro. Pengalaman dan kekayaan ini meliputi jenis produk pembiayaan mikro
maupun lembaga pelaksananya, bahkan juga sejarah pengenalannya kepada masyarakat. Oleh karena itu kekayaan ini tidak bakal dibiarkan begitu saja dan disia-
siakan untuk tidak diberikan tempat terhormat untuk dikembangkan. Desakan akan pentingnya pengembangan ini akan semakin terasa setelah krisis perbankan melanda
Indonesia, sehingga perbankan lumpuh dan tidak dapat menjadi lembaga yang efektif
+ ,
- . 01
2 3 4
lagi. Memang disadari bahwa pengertian kredit mikro dapat diartikan bermacam- macam, karena memang produk kredit mikro sendiri tidak homogen dan lembaga
pelaksanaannya juga bermacam-macam ditinjau dari segi sifat dan status legalnya. Perkreditan mikro selain dilihat dari segi produk dan kelembagaannya juga dapat
dilihat dari segi “permintaan dan penawaran” atau dari sudut sumber dan penggunaan. Gambaran ini akan menjelaskan pembagian kerja fungsional antar
lembaga perkreditan mikro dengan berbagai kelompok sasaran berdasarkan tingkat pendapatan dan bahkan dapat sangat terkait dengan penggunaan kredit. Pendekatan
ini sekaligus untuk memahami dinamika perkembangan lembaga perkreditan mikro bagi pengembangan ekonomi rakyat. Ahlam 2005 menjelaskan pada dasarnya kredit
dapat dibedakan dalam dua sifat penggunaan yaitu kredit produktif dan kredit konsumtif, yaitu:
1. Kredit konsumtif adalah kredit yang diberikan kepada nasabah untuk
memenuhi kebutuhannya sehari-hari. 2.
Kredit produktif adalah kredit yang ditujukan untuk keperluan usaha nasabah agar produktifitas akan bertambah meningkat. Bentuk kredit produktif dapat
berupa kredit investasi maupun kredit modal kerja, karena kedua kredit tersebut diberikan ke nasabah untuk meningkatkan produktifitas usahanya.
Pengertian kredit menurut Eric L. Kohler 1996 dalam Ahlam 2005 adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu pemberian atau melabakan suatu pinjaman
dengan janji bahwa waktu pembayaraanya ditangguhkan pada suatu jangka waktu yang telah disepakati. Dalam Undang-Undang No 7 tahun 1992 pasal 1 butir 12
pengertian kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjan untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil
keuntungan. Keberadaan LKM belum mendapat tempat yang jelas dalam perekonomian
nasional sebagaimana lembaga keuangan lainnya seperti perbankan, asuransi, dan perusahaan pembiayaan. LKM sendiri belum memiliki payung hukum yang benar-
benar menjamin perkembangannya. Upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih menitikberatkan bentuk-bentuk transfer atau subsidi,
padahal dalam rantai kemiskinan tidak selalu harus diatasi dengan cara tersebut. Aspek yang lebih penting adalah memutus mata rantai kemiskinan yang dapat
dilakukan antara lain dengan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat miskin menjadi produktif, sehingga sangat relevan jika mengupayakan LKM sebagai
salah satu pilar sistem keuangan nasional. Lembaga keuangan mikro ini mempunyai peran besar dalam menumbuhkan calon-calon pengusaha ditingkat desa,
meningkatkan produktivitas usaha kecil masyarakat pedesaan, serta menunjang program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan.
2.1.5 Kaitan Lembaga Keuangan Mikro dan Ekonomi Pedesaan
Sesuai dengan pencitraan pedesaan pada umumnya, masyarakat pedesaan identik dengan para petani dan kehidupan para petani. Oleh karena itu kehidupan
pedesaan tidak lepas dari perilaku ekonomi yang khas dari keluarga petani yaitu pola ekonomi yang berorientasi subsisten Scott, 1981, dengan pelaku utama para petani,
buruh tani, pedagang sarana produksi dan hasil pertanian, pengolah hasil pertanian, serta industri rumah tangga. Para pelaku usaha ini pada umumnya masih dihadapkan
pada permasalahan klasik yaitu terbatasnya ketersediaan modal. Sebagai unsur esensial dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat
pedesaan, keterbatasan modal dapat membatasi ruang gerak aktivitas sektor pertanian dan pedesaan. Kehadiran LKM dibutuhkan paling tidak karena dua hal Pantoro,
2008. Pertama, sebagai salah satu instrumen dalam rangka mengatasi kemiskinan. Masyarakat miskin pada umumnya mempunyai usaha skala mikro. Terminologi
World Bank, mereka disebut sebagai economically active poor atau pengusaha mikro. Dalam konfigurasi perekonomian Indonesia, lebih dari 90persen unit usaha
merupakan usaha skala mikro. Mengembangkan usaha skala mikro merupakan langkah strategis karena akan mewujudkan broad bases development atau
development through
equity .
Mereka membutuhkan
permodalan guna
mengembangkan kapasitas usahanya. melalui peningkatan usaha secara efektif akan mengatasi kemiskinan yang diderita oleh mereka sendiri dan diharapkan dapat
membantu masyarakat dalam kategori fakir miskin. Pada sisi lain, skim keuangan mikro sangat sesuai dengan kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah. Kedua,
LKM dibutuhkan karena menjadi salah satu instrumen pengembangan pasar keuangan mikro.
Secara pragmatis, pasar keuangan mikro merupakan aspek keuangan dari semua proses ekonomi di segmen mikro yang meliputi segala sesuatu yang menyangkut
tabungan dan kredit usaha. Pada pemahaman ini dicantumkan kata tabungan dan kredit, guna menghindarkan pemahaman sempit seolah-olah di segmen mikro pelaku-
pelaku usahanya hanya membutuhkan kredit, melupakan bahwa mereka mempunyai potensi menabung, dan dapat diberdayakan mempunyai kemampuan menabung.
Pendek kata, pada pasar keuangan mikro terdapat potensi besar dalam hal penawaran tabungan dan permintaan kredit. Berdirinya LKM merupakan jawaban dari kurang
pekanya lembaga keuangan formal dalam merangkul UKM, sehingga peranannya bisa dibilang sebagai katup penyelamat dalam proses pembangunan ekonomi
pedesaan.
1.2 Kerangka Pemikiran