Faktor yang mendorong untuk menikah a. Push factor Faktor yang mendorong untuk menikah a. Faktor yang mendorong untuk Menikah

45 kami sendiri yang jadinya me... yang menghadapi hidup ini sendirian.” RI. W1. 369-376hal.8-9.

2. Faktor yang mendorong untuk menikah a. Push factor

Bagi responden, menjadi perawan tua merupakan hal yang kurang bagus dipandang orang lain. Responden ingin menikah untuk mendapatkan keturunan. “Supaya kita memiliki keturunan. Ya, tanpa keturunan kan rasanya, melalui pernikahannya kita dapat keturunan. Ya, kurasa untuk menambah keturunan dan untuk, apa lagi ya pernikahan. Aku juga kurang begitu tahu sih pernikahan. Tapi aku rasa pernikahan itu penting juga untuk setiap orang. Tanpa pernikahan rasaku hidup ini belum, ibarat sayur tanpa garam tertawa terbahak-bahak. Gitu ya? tertawa. Kayaknya kurang komplit lah gitu rasanya kalo enggak nikah. Apa lagi seperti kata orang lain kan, PERATU, perawan tua, aduh rasanya jelek kali gitu, single selama hidupnya gitu. Tapi kurang, kurang baguslah tertawa.” RI. W2. 41- 57hal.2

b. Pull factor

Pernikahan juga untuk melengkapi kehidupannya, tanpa pernikahan kehidupan responden menjadi tidak lengkap. Pernikahan dilangsungkan untuk memiliki teman berbagi dalam suka dan duka. “Ya... rasaku ada teman berbagi dalam suka dan duka.” RI. W2. 65- 66hal.2.

3. Persepsi terhadap Pernikahan a. Pengetahuan

Pernikahan orangtua responden tidak direstui oleh kedua belah pihak keluarga, sehingga mereka memutuskan untuk kawin lari. Pada saat responden duduk di bangku TK atau kurang lebih lima tahun, ayah responden dihubungi oleh Universitas Sumatera Utara 46 pihak keluarganya dan diminta untuk menjenguk ibunya yang sedang sakit. Ibu responden mengijinkan kepergian ayahnya. Tetapi setelah lama menunggu, ayah responden tidak kunjung memberi kabar kepada ibu responden dan tidak kembali- kembali. Akhirnya ibu responden memutuskan untuk kembali ke rumah nenek responden. “Jadi orang itu terbilang kawin lari. Aku di situ masih, orangtuaku berpisah masih aku dulu TK, pisahnya. Tiba-tiba katanya mamaknya lagi sakit, pokoknya dia suruh datanglah balik ke Jakarta, dari dia enggak pulang-pulang. Berhubung dia enggak pulang-pulang, baliklah mamak aku ke tempat mamaknya, ya begitulah.” RI. W1. 42hal.2; 67-69hal.2; 665- 671hal.15. Saat responden kelas lima SD atau kurang lebih berusia 11 tahun, orangtua responden bercerai. Orangtua responden bercerai karena pernikahan mereka tidak disetujui oleh kedua belah pihak keluarga. Saat perceraian belum diputuskan, ibu responden menanyakan kepada responden, apakah responden bersedia menerima kehadiran ayahnya kembali, tetapi responden menolak, karena responeden merasa kesalahan ayahnya sudah terlalu besar. Responden merasa ayahnya jahat karena telah meninggalkan ibu, adik dan dirinya. Sehingga akhirnya responden meminta ibunya untuk bercerai dengan ayahnya. Ibunya juga menanyakan apakah responden sanggup menjalani hidup tanpa sosok ayah, tetapi responden merasa Tuhan akan memberikan jalan terbaik pada mereka. “Tapi cerainya kelas lima SD. Mm... kalau faktor itu sih penyebab utamanya memang dasar, gimana ya, keluarga tidak mendukung. Aku gak tahu pasti apa penyebabnya, tapi aku, pengakuan dari orangtua katanya sih, ee.. dari awal orang itu menikah, itu awalnya orang itu memang tidak disetujui, tapi orang itu tetap pengen dan sangat memang orang itu, katakanlah saling menyayangi. Jadi, apapun kata orangtua mereka, mereka tidak peduli. Padahal orangtua mereka tidak mendukung. “RI. W1. 69hal.2; 31-41hal.2 Universitas Sumatera Utara 47 “Cuma waktu kelas lima, orangtuaku nanya, ‘Gimana, bapak mau minta maaf dengan keluarga kita semua, kita terimanya atau bagaimana?’Volume suara bertambah kuat. Memang pernah sih orangtuaku bilang kayak gitu tapi karena dia membilang begitu, aku rasa kejahatan bapak itu atau si bapak itu, tidak, tidak layak lagilah menurut aku pada saat itu, berpikir mungkin saat itu emosi atau bagaimana aku juga gak tahu, rasanya kesalahan itu udah besar kali gitu, jadi ada baiknya, ‘ya udah ceraikan ajalah mak’. Memang dulu pernah sih mamak aku bilang, apa sanggup menjalani semuanya ini tanpa seorang bapak, katanya. Terus aku rasa Tuhan pasti memberikan jalan terbaik, aku bilang aja gitu, percaya ajalah, ya udah. Itu pilihanmu, katanya. Ya, udah, orangtua mengabulkannya.” RI. W1. 78-99hal.2-3. Saat perceraian kedua orangtuanya terjadi, responden merasa kecewa dan sedih. Tetapi responden yakin di balik ini semua pasti ada kebahagiaan yang akan ia peroleh. Responden juga merasa perceraian kedua orangtuanya adalah kesalahan orangtuanya sendiri. Setelah perceraian berlangsung, responden tetap merasa sedih karena merasa iri melihat keluarga lain yang bisa harmonis dan sejahtera. Walaupun begitu, responden juga merasa bahwa ia pasti punya kelebihan bila dibandingkan dengan keluarga yang lain, jadi untuk saat ini responden menikmati hidupnya RI. W1. 15-28hal.1. “Terus, perasaan aku kecewa, sedih, tapi aku yakin di balik ini semua pasti ada kebahagiaan yang aku peroleh. Karena dia, ini kan kesalahan dia. Perasaan aku, tetap sedih itu ada, ada, di dalam hati itu pasti ada. Karena kita juga melihat gimana ya, kita melihat keluarga orang harmonis, bagus, sejahtera, kita iri pasti ada. Apalagi teman-teman aku, yang seperti aku ini tidak ada, broken home. Tapi aku juga melihat walaupun keluarga mereka sejahtera, bahagia, tapi aku melihat juga pasti ada kekurangan mereka, dan aku juga menyadari walaupun keluargaku begini pasti ada kelebihanku dibanding keluarga mereka yang damai sejahtera, gitu aja menurut aku. Jadi aku enjoy aja, untuk saat ini.” RI. W1. 6-9hal.1; 443-444hal.10; 15- 28hal.1. Universitas Sumatera Utara 48 Setelah perceraian sampai saat ini, ayah responden tidak pernah menghubungi ataupun membiayai kehidupan responden dan adiknya. Responden tidak tahu mengapa ayahnya melakukan hal tersebut. Keluarga dari pihak ibu juga tidak pernah meminta ayah untuk bertanggung-jawab atas kehidupan responden dan adiknya. Pihak keluarga ibu juga menginginkan agar responden tidak menguhubungi keluarga ayahnya lagi “Kalau kami sih enggak pernah hubungan, enggak ada contact, sampai sekarang enggak pernah hubungan sama dia. Setelah orang itu pisah sampai sekarang, dia tidak pernah mengirim apa-apa sama aku, dia tidak pernah ngirim. Dia enggak mau menghubungi, enggak ngirim aku enggak tahu alasannya apa.” RI. W1. 112-115hal.3; 529-532hal.12; 556- 558hal.13 “Tapi berhubung gara-gara entah bagaimana, orangtuaku juga merasa sanggup dan saudara-saudara dari mamak aku juga, tulangku, apaku, Tanteku juga bilang gak usah minta dari orang itu, anggap saja orang itu, yah... yang sudah jauh gitu kan. Mereka ibu dan keluarganya enggak ngasih supaya aku jangan pigi. Jangan mengikuti mereka ayah dan keluarganya lagi lah kan.” RI. W1. 127-133hal.3; 169-174hal.4. Walaupun responden merasa ayahnya jahat, tetapi responden sangat ingin mengenal ayah dan keluarga ayahnya. Responden juga merasa rindu dan sayang kepada ayahnya. Responden mengharapkan agar ayahnya dapat mengingat dirinya. Sehingga pada saat SMA ia memberanikan diri meminta kepada ibunya untuk mengijinkan ia bertemu dengan ayahnyanya. Pihak keluarga ibu tidak mengijinkan kepergian responden dan ingin menahan responden dengan cara tidak memberikan ongkos kepada responden. Responden kemudian meminta kepada ayahnya agar dikirimkan uang untuk ongkos perjalanannya. Ayah responden mengirimkan uang tersebut kepada responden, karena melihat hal tersebut Universitas Sumatera Utara 49 keluarga dari pihak ibu luluh hatinya dan merasa keluarga pihak ayah juga ingin untuk bertemu responden. “Sama bapaklah dulu ya, kadang-kadang aku merasa kangen itu pasti. Terus perasaan aku sama bapakku itu, walaupun bapak aku jahat aku tetap menyayangi dia. Kalau sama bapakku yang di Jakarta, harapanku sih cuma satu rasaku, semoga dia mengingat aku sebagai anaknya, itu aja harapanku yang paaaling, aku sudah berdoa semoga kiranya bapakku mengingat aku, itulah doa dan harapanku sama Tuhan.”RI. W1.484-486hal.11; 498- 500hal.11; 970-975hal.22. “Aku pengeen sekali mengenal keluarga dari dia. Karena aku kan sudah besar, masa keluarga dari Bapak aku tidak kenal. Terus sampe-sampe keluarga dari Mamak aku enggak mau kasih ongkos aku. Enggak mau kasih ongkos, enggak mau kasih biaya, sementara, pokoknya orang itu berusaha supaya jangan aku pigi, ya gitulah. Tapi aku, aku gimana ya, aku nekad supaya minta dari keluarga dari bapak aku. Opungku itu kuminta. Minta ongkos, gitukan gara-gara orangtuaku gak mau ngasih, bukan karena enggak ada uang, tapi mereka enggak ngasih supaya aku jangan pigi. Jangan mengikuti mereka lagi lah kan. Terakhir gara-gara apa, dikasih orang itu, dikirim ke ATM aku, ya udah berhubung gara-gara uangnya dikirim, apa boleh buat, orangtua pasti bakalan, oo berarti orang itu pun pengennya kehadiranmu, ya kan.” RI. W1. 158-179hal.4-5. Setelah bertemu ayah dan keluarganya, responden akhirnya mengenal ayahnya dan keluarganya. Tapi responden merasa tidak terlalu nyaman tinggal dengan ayahnya. Setelah pulang dari tempat ayahnya, responden juga tidak pernah berhubungan dengan ayahnya. Biasanya responden mencari tahu kabar keluarga ayahnya melalui pamannya yang merupakan adik ayahnya. Beberapa bulan yang lalu responden dihubungi oleh bibinya untuk mengabarkan nenek responden yang ada di Medan telah meninggal dunia. Responden merasa sangat terharu, ternyata keluarga dari ayahnya masih mengingat dirinya dan masih menganggap dirinya bagian dari keluarga. Responden merasa keluarga ayahnya masih sayang dan Universitas Sumatera Utara 50 masih ingin melihat dirinya. Meskipun demikian, responden tidak terlalu ingin untuk masuk ke dalam keluarga ayahnya. “Terus waktu SMA itu aku pigi ke Jakarta, beliau di Jakarta., terus kujumpain disitulah aku kenalnya gimana keluarga dari bapak aku, gimana Opung, gimana apa, semuanya. Tapi, entah kenapa rasanya enggak, enggak nyaman aja kurasa sama dia terlalu lama gitulah.” RI. W1. 138- 145hal.4; . “Aku menghubungi adeknya dia. Udaku ini orangnya, aku juga tanya kayak gimana keadaan Bapak, gimana keadaan keluarga di Jakarta, aku mau.” RI. W1. 580-583hal.13. “Adeknya tinggal di Medan ini. Kemaren, baru bulan dua meninggalnya. Aku, aku terhaaru sekali rasanya, ternyata aku masih dicantumkan orang itu dalam keluarga orang itu, begitulah perasaanku. Terus waktu itu ternyata mereka masih pengen gitu kan, masih sayang sama aku, masih pengen ngeliat aku, ya udah mereka kabari. Tapiii entah kenapa, ee... aku itu gimana ya diam sejenak enggak begitu pengenlah ee... masuk dalam keluarga mereka, gitu.” RI. W1. 204-215hal.5; 138-145hal.4; 506- 509hal.11. Responden merasa sayang dan bangga pada ibunya yang seorang diri mampu membesarkan, mendidik dan menyekolahkan adik dan dirinya hingga saat ini. Responden tidak terbuka dengan ibunya. Meskipun begitu, responden tidak ingin memihak salah satu diantara kedua orangtuanya. “Sayang kepada mamakku, kepada dia sayang. . Selama mereka bercerai ya aku bangga juga sih sama mamak aku. Aku bangganya dia seorang diri membesarkan, mendidik serta menyekolahkan kami sehingga aku sampai sekarang ini dari bapak aku belum ada sedikitpun dana. Aku itu orangnya enggak terbuka sama orangtua.” RI. W1. 515-520hal.12; 437- 438hal.10. “Aku enggak mau mengikuti salah satu diantara mereka, aku enggak mau. Karena aku pikir gini, aku tidak memihak satupun diantara mamak atau bapak aku, meskipun mamak aku yang benar, bapak aku yang salah, aku enggak memihak mamak aku kok.” RI. W1. 346-353hal.8. Universitas Sumatera Utara 51 Saat ini kedua orangtua responden telah menikah kembali . Responden tidak tahu kapan ayahnya menikah kembali. Hubungannya dengan adik-adik tirinya dari ayah tidaklah baik, karena hubungannya dengan ayahnya sendiri tidak begitu dekat. “Mereka sudah berkeluarga masing-masing. Tapi aku enggak pernah menganggap mereka saudara, karena mereka rasaku jauh, aku enggak pernah berkomunikasi dengan mereka. Sedangkan tahu bapakku aja kurang, apalagi sama anaknya, itulah ini.” RI. W1. 108-109hal.3; 395- 399hal.9. Ibu responden menikah kembali pada saat responden berusia 14 tahun. Responden tidak bisa menerima pernikahan ibunya karena merasa menikah dua kali adalah hal yang buruk. Repsonden berusaha untuk meyakinkan ibunya agar tidak menikah lagi, tetapi ibu responden tidak mendengarkan perkataan responden. Ibu responden takut kelak ia tidak mempunyai teman untuk berbagi suka dan duka. Seluruh keluarga mendukung pernikahan ibu responden, sehingga responden pun akhirnya merasa kalah dan mau tak mau terpaksa menerima pernikahan ini. Awalnya responden berpikiran untuk tidak menghadiri pernikahan ibunya, tetapi akhirnya ia menghadirinya juga, tetapi tidak mau menampakkan wajahnya di antara para tamu. Responden merasa sangat kecewa akan pernikahan ini. Ibu responden pindah ke Medan bersama ayah tirinya, sementara responden tetap tinggal dengan neneknya. “Empat belas tahun usiaku orangtuaku menikah, aku di situ merasa kecewa, sangat kecewa. Orangtua sudah dua kali menikah itu rasanya, buruk kalilah rasaku dipandang orang, kayak kekurangan, aduh, jelek rasaku pandangannya kalau dua kali married. Tapi dia tidak mau mendengarkan omonganku, padahal udah kubilang, ‘Sempat mamak kawin nanti mamak nyesal lo kemudian hari’. Tapi dia tidak dengar, dia enggak, enggak, dia, dia mungkin sudah, sudah pengeen kali gitu ya, sudah enggak Universitas Sumatera Utara 52 lagi mungkin rasa dia temannya berbagi suka dan duka, menghadapi dunia ini, lika-liku hidup ini, gitulah.” RI. W1. 272-274hal.7; 306-310hal.7; 799-807hal.18. “Dia married langsung pindah ke ini, pindah ke Medan. Sebenarnya aku enggak pengen datang tapi entah kenapa kayaknya adalah yang menyuruh aku dalam hatiku, pigilah hadiri, hadirilah gitulah. Semua keluarga aku pigi, dibuat... yah karena kemaren mamak dan bapak aku kawin lari, jadikan enggak dipestain lah kan. Jadi sekarang kawin yang ini pesta besar-besaran. Jadi, udahlah aku pikir. Semuanya pigi, ya udah aku pigi. Tapi aku enggak, enggak menunjukkan wajahku di depan para, para orang-orang gitu. Aku biasa aja, diam-diam aja gitu. Tapi kuhadiri.” RI. W1. 709-711hal.16; 716-734hal.16. Ibu dan ayah tirinya mengetahui bahwa responden tidak menyukai ayah tirinya. Ayah tirinya memperlakukan responden dengan baik dan layaknya anak sendiri. Meskipun begitu sampai saat ini responden belum bisa menerima kehadiran ayah tirinya. Setelah tamat SMA, responden tidak ingin kuliah di Medan agar tidak tinggal dengan ibu dan ayah tirinya. Tetapi ibu responden tidak mengizinkan responden kuliah di luar daerah, sehingga akhirnya responden tinggal dengan ibu dan ayah tirinya. Selama tinggal bersama, terjadi perselisihan antara responden dengan ayah tirinya. Akhirnya responden meminta neneknya untuk mendamaikan dirinya dengan ayah tirinya dan responden memutuskan untuk tinggal bersama bibinya. Responden merasa sakit hati pada ayah tirinya yang tidak bisa memperbaiki kehidupannya tetapi malah menghancurkan kehidupannya. Responden merasa sedih dan kecewa karena tidak bisa tinggal dengan ibunya RI. W1. 415-417hal.9. “Mereka tahu dan bapak aku yang ini tahu aku enggak suka sama dia. Sampai sekarang dia tahu rasanya, aku yakin dia pasti tahu.” RI. W1. 738-741hal.16-17. Universitas Sumatera Utara 53 “Baik. Karena dia tidak mempunyai anak, dia baik, dia menganggap akulah sebagai anaknya gitukan. Anak untuk supaya nanti dia di hari tuanya ada yang mengurus, melihat, mengurus dia. Itu yang bapak aku itu sebagai anaknya gitu. Tapi walaupun dia baik sama aku, kita kan punya perasaan, hati kecil kita mengatakan kita tetap tidak senang tetap sama dia, karena dia adalah pengganti, iyakan. Jadi hati kecil kita itu pasti, pasti ada sedikit tersirat dalam hati kita, kita tidak bisa menerima dia.” RI. W1. 753-765hal.16. “Rasanya hatiku sakit kali. Punya orangtua broken home, tambah lagi orangtua yang kedua ini, pengganti bukannya bisa memperbaiki kehidupanku. Malah, malah jadi menghancurkan lagikan.” RI. W1. 872- 877hal.19 Menurut responden, pernikahan adalah suatu jalinan keluarga. Pernikahan juga merupakan hal yang penting bagi setiap orang. Ketika memutuskan untuk menikah kelak, responden berharap pernikahan tersebut berasal dari hatinya sendiri, karena responden merasa menikah memerlukan pemikiran yang benar- benar matang. pernikahannya kelak akan berlangsung dengan persetujuan orangtuanya, tanpa persetujuan orangtuanya, responden tidak akan menikahi pasangannya. Berdasarkan apa yang telah responden lihat dari pernikahan orangtua sebelumnya, responden merasa pasangan dalam rumah tangga itu harus saling mengerti dan saling memahami. “Pernikahan itu suatu keluarga, suatu menjalin keluarga. Tapi aku rasa pernikahan itu penting juga untuk setiap orang. Tanpa pernikahan rasaku hidup ini belum, ibarat sayur tanpa garam. Aku rasa pernikahan itu kalau belum, belum kita gimana gitu ya, kalau belum pas dari hati kita, jangan dulu lah, kalau menikah. Karena itu bukan, bukan hal masalah persiapan, harus sudah betul-betul matang pemikiran baru kita melangkah. Orangtua ku harus setuju, kalau tidak setuju aku tidak akan menikah. Aku rasa ya, kalau aku lihat dari rumah tangga orangtuaku, aku rasa harus hanya saling mengerti dan memahami. Itu kunci aku rasa yang utama dalam rumah tangga, aku rasa saling mengerti dan saling memahami, perceraian enggak akan terjadi.” RI. W2. 5-6.hal.1; 47-50hal.2; 8-14hal.1; 148-149hal.4; 118-125hal.3 Universitas Sumatera Utara 54

b. Harapan

Responden berharap pernikahannya tidak akan seperti orangtuanya dan bisa lebih baik dari orangtuanya. Responden hanya ingin menikah satu kali, tidak mau sampai ada pernikahan yang kedua. Responden memutuskan untuk menikah jika telah menemukan pasangan yang sesuai dengan dirinya dan disetujui orangtuanya. “Mengharap, sangat mengaharapkan pernikahanku nanti tidak seperti orangtuaku. Dan mengharapkan lebih baik dari mereka. misalnya nanti kalau aku udah berumah-tangga, aku enggak mau, ee... aku nanti kawin dua kali, cukup sekali.” RI. W2. 17-20hal.1; 301-303hal.7. “Orangtua ku harus setuju, kalau tidak setuju aku tidak akan menikah. Dua, aku itu mau menikah sama si A misalnya kan, yah karena dia itu mau mengerti aku, seperti yang aku bilang tadi,dia itu tipe cowok yang aku suka atau pasangan hidupku nanti.” RI. W2. 148-154hal.4. Dalam rumah tangganya kelak, responden berharap dapat menyekolahkan anak-anaknya, membangun rumah tangganya dengan baik, dan bisa memenuhi seluruh kebutuhan rumah tangganya. Responden berharap bisa menjadi ibu yang bisa mendidik anak-anaknya, menyayangi anak-anaknya dan menyekolahkan anak-anaknya. “Cuma aku pengen nantinya aku bisa menyekolahkan anak-anakku gitu, membangun rumah tanggaku dengan bagus dan bisa memenuhi seluruh kebutuhan keluarga.” Ibu yang bisa mendidik anak-anaknya dengan baik dan menyanyangi anak-anaknya, menyekolahkan anaknya. Sebagaimana seorang ibu mengasihi anaknya, menyayangi anaknya, begitulah aku berikan nanti.” RI. W2. 31-35hal.1; 96-98hal.3. Responden mengharapkan bisa mendapatkan suami yang pengertian dan bertanggung-jawab. Responden tidak suka dengan pria matrealistis karena menurut responden ia berada pada status ekonomi menengah ke bawah Universitas Sumatera Utara 55 Responden ingin memiliki suami yang lebih mementingkan anak dan istrinya dibandingkan dengan perkataan orangtuanya. Responden juga berharap suaminya kelak dapat memberikan kasih sayang, tidak hanya pada dirinya, tetapi juga pada anak-anaknya. “Yang paling utama dan sangat paling utama, pengertian dan tanggung jawab. Dia bisa mengerti aku dan keluarga aku, itu yang sangat utama kurasa. Dan dia bertanggung-jawab. Ya... kalau, kalau cowok matre aku juga tidak suka tipe cowok seperti itu tertawa, karena kehidupan kita kan menengah ke bawah.” RI. W2. 82-90hal.1-2. “Dia lebih mementingkan ee... perkataan orangtuanya, mamaknya dibanding dia.. padahal dia sudah menjadi kepala rumah tangga, tapi dia... Aku rasa itu hal yang salah aku rasa ya.” RI. W1. 651-655hal.15. “Aku rasa dia juga harus bisa menyayangi dan me..., memberikan kasih sayang sama anaknya, bukan hanya sama istrinya, tetapi sama anaknya juga. RI. W2. 105-108hal.8. Untuk dapat membangun rumah tangga yang sesuai dengan harapan respoden, responden berusaha untuk saling mengerti dan saling memahami dengan pasangannya kelak. Dengan saling mengerti dan saling memahami, responden percaya perceraian tidak akan terjadi. “Aku rasa ya, kalau aku lihat dari rumah tangga orangtuaku, aku rasa harus hanya saling mengerti dan memahami. Itu kunci aku rasa yang utama dalam rumah tangga, aku rasa saling mengerti dan saling memahami, perceraian enggak akan terjadi.” RI. W2. 118-125hal.3. Universitas Sumatera Utara 56 IV. B. Responden II IV. B. 1. Analisa Data

IV. B. 1. a. Deskripsi Identitas Diri Responden II Tabel 3

Gambaran Umum Responden II Dimensi Responden I Usia 27 tahun Agama Kristen Protestan Suku bangsa Karo Pendidikan terakhir SMA Pekerjaan Pegawai toko Urutan kelahiran Satu Jumlah saudara kandung Dua Tinggal dengan Dulu nenek dari pihak ibu, saat ini dengan keluarga dari pihak ibu Usia saat orangtua bercerai 9 tahun Lama perceraian 18 tahun Status ibu Menikah Pekerjaan ibu Pedagang Status ayah Sudah meninggal dunia Latar Belakang Responden II Saat ini responden berusia 27 tahun dan sedang bekerja sebagai pegawai di toko salah seorang sepupu jauhnya. Responden adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya seorang pria dan saat ini sudah berumah-tangga. Ayah responden adalah warga keturuanan India dan juga merupakan campuran suku Karo. Ibu responden bersuku Karo. Responden dan orangtuanya memiliki agama yang berbeda, ayahnya beragama Islam, ibunya Katolik dan responden sendiri beragama kristen Protestan. Hal ini terjadi karena sejak kecil melalui sekolahnya, responden dididik untuk mempelajari agama Kristen Protestan. Universitas Sumatera Utara 57 Sejak berusia sepuluh bulan, responden tidak lagi tinggal dengan orangtuanya. Responden tinggal dengan neneknya, hal ini dikarenakan adat- istiadat suku setempat yang menganggap pernikahan ayah dan ibunya yang tidak syah karena belum dipestakan secara adat. Selama hidup dengan neneknya, responden merasa tidak mendapat perhatian dari kedua orangtuanya. Ayah dan ibunya juga hidup secara terpisah. Terkadang kedua orangtuanya berkumpul kembali dan lalu berpisah kembali, hal ini berlangsung secara berulang-ulang. Sampai akhirnya kedua orangtuanya bercerai secara resmi pada saat responden berusia 9 tahun. Perpisahan orangtuanya dipicu oleh pihak keluarga ibu yang selalu mencari kesalahan ayahnya yang tidak sesuai dengan pilihan keluarga dari pihak ibu. Sewaktu kelas dua SMP, nenek responden meninggal dan akhirnya responden tinggal dengan ibunya. Pada saat itu ibu responden telah menikah kembali. Responden pernah hampir diperkosa oleh ayah tirinya, sejak saat itu responden tidak mau lagi tinggal dengan ibunya. Responden akhirnya pindah kerumah ayahnya yang juga telah menikah kembali. Karena merasa malu dengan keadaan abang tirinya yang terbelakang secara mental, responden memilih untuk pergi dari rumah ayahnya. Responden tinggal dengan tetangganya dan bekerja pada mereka. Karena tetangganya tersebut pindah ke Jakarta, responden juga ikut bersama mereka. Di Jakarta responden disekolahkan, sepulang sekolah responden menjaga dan mengajari anak dari tetangganya tersebut. Responden tinggal dengan tetangganya tersebut sampai tamat SMA. Universitas Sumatera Utara 58 Setelah tamat SMA responden bekerja di salah satu toko kosmetik. Karena merasa terkungkung dengan pekerjaannya tersebut, responden memutuskan untuk kembali ke Medan dan tinggal dengan ayahnya. Selama tinggal dengan ayahnya, responden merasa tidak cocok dengan ibu tirinya yang selalu membicarakan responden dibelakang dirinya. Karena ketidakcocokan tersebut, responden memutuskan untuk pergi dan hidup sendiri. Sampai sekarang responden telah berkali-kali berganti pekerjaan sampai akhirnya menemukan pekerjaan yang saat ini dimilikinya. IV.B. 1. b. Hasil Observasi Tabel 4 Waktu Wawancara Responden II HariTanggal wawancara Waktu wawancara Tempat wawancara Minggu20 April 2008 14.00-14.45 WIB Rumah peneliti Minggu11 Mei 2008 14.30-15.05 WIB Rumah peneliti Secara fisik responden memiliki postur tubuh dengan tinggi kira-kira 153 cm dan berat badan berkisar 60 kg. Kulit responden berwarna hitam, hidung responden mancung, bibir tipis dan bentuk wajah oval. Rambut responden dipotong pendek dengan model shaggy dan dicat coklat. Responden menggunakan kaca mata minus dengan gagang berwarna merah. Peneliti mengenal responden sedari kecil, karena responden merupakan saudara jauh dari peneliti. Responden tinggal tidak jauh dari rumah peneliti. Saat Universitas Sumatera Utara 59 responden menceritakan tujuan penelitan, responden menyambut dengan baik dan mau membantu penelitian ini. Selama wawancara responden bersikap ramah dan terbuka karena responden dengan peneliti telah saling mengenal sebelumnya. Setiap pertanyaan peneliti ditanggapi dengan baik. Responden juga mempertahankan kontak mata dengan peneliti. Seluruh wawancara dilakukan di rumah peneliti, karena di tempat tinggal responden banyak orang yang tinggal sehingga responden lebih memilih untuk melakukannya di rumah peneliti. Rumah tersebut merupakan bangunan permanen yang terdiri dari empat tingkat. Bagian luar rumah terbuat bercat kuning gading dengan campuran batuan alam dibagian depan rumah. Lantai satu rumah tersebut digunakan untuk menjalankan usaha yang berjualan bahan bangunan. Sedangkan lantai dua sampai lantai empat rumah tersebut digunakan untuk tempat tinggal. Di lantai dua dan tiga terdapat kamar tidur, ruang tamu, dapur dan kamar mandi, sedangkan lantai empat digunakan untuk tempat menjemur pakaian. Keseluruhan wawancara dilangsungkan di ruang tamu. Ruang tamu tersebut berada di lantai dua. Ruang tamu akan langsung terlihat begitu kita menaiki tangga. Ruang tamu tersebut berukuran 4,5x5,5 m. Dindingnya berlapiskan kayu yang dipelitur. Di salah satu sisi dindingnya diletakkan meja untuk televisi. Dinding sebelah kanan televisi terdapat meja untuk meletakkan barang-barang. Di seberang televisi terdapat meja dan sofa, sebelah kiri sofa terdapat sekat yang memisahkan antara ruang tamu dengan ruang makan. Sekat Universitas Sumatera Utara 60 tersebut berupa kaca yang memiliki undakan kayu, yang mana pada setiap undakannya berdiri satu pot yang berisi tanaman bunga. Pada wawancara pertama responden mengenakan baju hitam dengan paduan celana jeans hitam. Sebelum wawancara berlangsung responden dan peneliti bercakap-cakap terlebih dahulu untuk mencairkan suasana. Beberapa saat kemudian, wawancara pun dilangsungkan, tak lupa peneliti meminta izin untuk menggunakan tape recorder alat perekam selama wawancara berlangsung. Responden dengan peneliti duduk saling berhadapan di sofa dengan jarak yang cukup dekat, yaitu 0,5-1 meter. Hal ini dilakukan untuk mempermudah proses perekaman. Selama wawancara berlangsung, responden menaikkan kakinya ke atas sofa untuk mengurangi rasa dingin. Tangan responden disampirkan sandaran sofa. Wawancara pertama berlangsung dengan baik. Responden menjawab semua pertanyaan dari peneliti dengan lancar. Sesekali responden menurunkan volume suaranya sewaktu menceritakan ketakutannya terhadap sosok ayah tirinya. Sesekali responden menaikkan volume suaranya sewaktu menceritakan tentang perasaannya terhadap ibunya. Tidak ada hal yang mengganggu selama berlangsungnya wawancara pertama, sehingga wawancara dapat berjalan dengan lancar. Pada wawancara kedua responden awalnya menggunakan baju hangat berwarna putih. Tak berapa lama, responden melepas baju hangatnya dan didalamnya responden menggunakan baju terusan berwarna merah jambu dengan jeans berwarna biru. Sama seperti wawancara pertama, sebelum wawancara Universitas Sumatera Utara 61 dilangsungkan responden dengan peneliti terlebih dahulu bercakap-cakap untuk mencairkan suasana. Jarak duduk antara responden dan peneliti 0,5-1 meter. Selama wawancara, responden menjawab semua pertanyaan yang diberikan peneliti. Sesekali responden diam sejenak untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan. Respoden menaikkan volume suaranya sewaktu menceritakan perasaannya mengenai anak. Sewaktu responden merasa kalimat yang diutarakannya kurang bisa menjelaskan jawaban, responden berbisik pada dirinya sendiri. Hal yang mengganggu sewaktu wawancara kedua berlangsung adalah kepulangan ayah peneliti. Ketika ayah peneliti melewati ruang tamu, wawancara sempat terhenti sejenak. Ketika ayah peneliti sudah naik lagi ke lantai tiga, wawancara pun dilanjutkan kembali.

IV. B. 1. c. Data Hasil Wawancara 1.

Dampak Perceraian Orangtua Bagi responden perceraian orangtuanya tidak memiliki dampak apa-apa terhadap dirinya. Responden tidak merasa kehilangan orangtuanya karena sejak usia sepuluh bulan responden sudah terbiasa hidup tanpa kedua orangtuanya. “Enggak ada. Emang sudah seharusnya seperti itu, karena dari kecil pun aku enggak pernah tinggal sama mamak sama bapak. Selalu tinggal sama nenek. Kata nenek kan umur sepuluh bulan, cerai susu, aku enggak tinggal sama mamak lagi. Jadi enggak, aku enggak terlaluu mikirin gitu. Gak ada pikiran, enggak ada yang masalah kok, dari dulu pun aku enggak tinggal sama mereka. Enggak, memang enggak kehilangan aku.” RII. W1. 332- 342hal.8. Universitas Sumatera Utara 62

2. Faktor yang mendorong untuk menikah a.

Push factor Pada responden II tidak ditemukan adanya motivasi push factor untuk pernikahannya.

b. Pull factor

Responden ingin menikah untuk mendapatkan rasa kebersamaan, pengertian, saling membantu, saling menghargai, saling percaya, dan membangun suatu hubungan menjadi lebih kuat. Tujuan responden untuk menikah agar mendapat tempat untuk membagi suka dan duka. “Kebersamaan, pengertian, saling membantu, saling menghargai, saling percaya, membangun suatu hubungan menjadi lebih kuat gitu, sehati lah, gitu, keknya itu.”RII. W2. 29-32hal.1. “Tujuanku menikah itu satu, supaya aku ada tempat aku untuk berbagi suka dan duka. Itu aja. Kurasa itu pun yang paling suka aku, alasan setiap orang untuk menikah.”RII. W2. 238-242hal.6.

3. Persepsi terhadap pernikahan

a. Pengetahuan

Keluarga dari pihak ibu bermasksud untuk menikahkan ibu responden dengan pria pilihan keluarganya. Tetapi ibu responden menolak dan memilih untuk menikah dengan ayah responden. Pernikahan tersebut tidak dipestakan secara adat sehingga menjadi hal yang memalukan bagi keluarga. Sewaktu responden berusia sepuluh bulan dan responden sudah pisah susu dengan ibunya, responden diserahkan kepada neneknya dari pihak ibu. Kehidupan responden Universitas Sumatera Utara 63 dibiayai oleh neneknya, dan setelah neneknya meninggal dunia, responden bekerja untuk membiayai hidupnya. “Istilahnya kan mamak itu anak yang paling kecil di keluarga, anak perempuan, jadi udah kek dijodoh-jodohin gitu. Ya tahulah kalo zaman dulu itu enggaknya bisa, kayak zaman sekarang pun enggaknya bisa dipaksakan kali sebenarnya keinginan orangtua kan.” RII. W1. 300- 306hal.7. ”Karena mamak sama bapak, kalau menurut orang Karo kan, adat orang Karo itu, suku Karo mereka itu kalau belum dipestakan adat menjadi hal yang memalukan bagi keluarga.” RII. W1. 346-350hal.8. “Kata nenek kan umur sepuluh bulan, cerai susu, aku enggak tinggal sama mamak lagi. Nenek semua. Setelah SMP aku nenek enggak ada lagi, aku. Aku membiayai diriku sendiri.” RII. W1. 336-338hal.8 ; 607- 609hal.14. Selama pernikahannya, ayah dan ibu responden berulang kali berpisah untuk sementara waktu karena bertengkar dan kemudian rujuk kembali. Orangtua responden bercerai saat responden berusia sembilan tahun. Perceraian tersebut dipicu karena ayah responden tidak sesuai dengan pilihan keluarga ibu, sehingga ayah responden sering menjadi ‘bulan-bulanan’ keluarga ibu. “Pisah gitu, jadi ada berapa waktu memang nyambung lagi atau balik lagi gitu. Cuma paling lama dua bulan atau tiga bulan gitu, mereka itu bertengkar, pisah, saling ini lagilah, saling pergi lagilah, enggak sama gitu kan. Nanti bisa datang lagi pisah lagi, datang lagi pisah lagi.” RII. W1. 15-20hal.1; 351-355hal.8. “Udah itu umur sembilan tahun, mungkin kelas tiga mamak sama bapak itu baru resmi bercerai. Istilahnya karena tidak sesuai dengan pilihan orangtua, bapak itu jadi bulan-bulanan keluarga mamak gitu. Yang dibilang enggak becus kerjalah, bukan orang satu sukulah, gitu. Lagian dia bukan orang berada gitu.” RII. W1. 24-27hal.1; 309-311hal.7. Universitas Sumatera Utara 64 Responden tidak merasakan apapun terhadap perceraian kedua orangtuanya, responden sudah terbiasa hidup tanpa kedua orangtuanya, sehingga responden tidak merasa kehilangan saat orangtuanya bercerai. Bahkan menurut responden perceraian orangtuanya merupakan hal yang wajar terjadi. Responden hanya takut kehilangan neneknya karena responden sudah menganggap neneknya sebagai ibunya. Setelah orangtuanya bercerai, responden merasa sedih. Kesedihan yang dirasakan responden terjadi karena ia ingin memiliki keluarga yang lengkap, bukan berarti responden menginginkan kedua orangtuanya kembali. Responden hanya ingin punya ayah dan ibu, siapapun mereka. Responden ingin mempunyai ayah dan ibu agar responden bisa diantar ke sekolah dan diajak jalan-jalan. “Enggak ada. Emang sudah seharusnya seperti itu, karena dari kecil pun aku enggak pernah tinggal sama mamak sama bapak. Gak ada pikiran, enggak ada yang masalah kok, dari dulu pun aku enggak tinggal sama mereka. Enggak, memang enggak kehilangan aku. Biasa aja. Karena aku yang paling kutakutkan kalau nenekku enggak ada. Nenek, hubungannya ya seperti, kalau kata orang-orang seperti mamak sendirilah. Sama dia bisa cerita apa aja, dia penuhi segala kebutuhan kita, jadi dialah mamak kita gitu, walaupun dalam sebutan nenek, kan gitu.” RII. W1. 332-342hal.8; 414-416hal.9; 657-662hal.15. “Sedih aku, bukan karena bapakku tetapi aku pengen punya keluarga, enggak mesti bapakku. Enggak mesti dia, cuma aku pengen orangtua yang lengkap, gitu. Supaya aku bisa pergi jalan-jalan sore gitu. Ada yang nganterin aku sekolah gitu, itunya yang aku pengen. Bukannya mesti bapakku yang jadi bapakku gitu, enggak.” RII. W1. 402-410hal.9. Setelah perceraian terjadi, responden tetap tinggal dengan neneknya. Hubungan responden dengan kedua orangtuanya tidak terlalu baik. Mungkin karena pengaruh neneknya, responden merasa takut pada ayahnya. Menurut responden, ayahnya adalah orang yang menyeramkan, kejam, dan sadis. Setelah Universitas Sumatera Utara 65 responden mengenal ayahnya yang sesungguhnya, responden merasa ayahnya adalah orang yang baik. “Dengan bapak pun, bapak pun paling takut aku sama dia. Dia menyeramkan buat aku gitu. Dia orang yang kejam, sadis gitu, padahal enggaknya, aku enggak pernah dipukul sama bapak, enggak. Cuma aku enggak suka sama dia mungkin pengaruh dari nenek kan.” RII. W1. 423- 435hal.10. “Aduh, ternyata bapak itu enggak gitu banget, kok ternyata bapak itu baik juga gitu.” RII. W1. 452-454hal.10. Sedangkan dengan ibunya responden memiliki hubungan yang negatif. Responden merasa ia dengan ibunya tidak memiliki hubungan yang dekat dan tidak pernah cocok dengan ibunya. Responden lebih sering berjumpa dengan ayahnya dibandingkan dengan ibunya. Responden merasa ibunya tidak mengenal bagaimana dirinya, karena ibunya tidak percaya dengan responden. Responden juga merasa ibunya benci pada dirinya karena pernah mengusir dirinya. Karena hal tersebut, responden tidak peduli lagi terhadap ibunya, ia tidak peduli apa yang terjadi dengan ibunya, tetapi ia tidak dendam terhadap ibunya. “Dia enggak punya hubungan yang dekat samaku gitu. Enggak pernah kin kami cocok. Paling aku jumpa sama mamak diam sejenak, sekali, dua kali, dua kali. Kalau sama bapak, bapak meninggal, lebih sering aku jumpa sama bapak, lebih banyak aku tinggal sama bapak, lebih banyak aku tinggal sama bapak malah dari pada sama mamak.” RII. W1. 419- 421hal.10; 489-495hal.11. “Berarti enggaknya dikenalnya aku, kalau dia enggak percaya sama aku. Jadi aku diusirnya dari rumahnya. Kalau seandainya kita normal gitu, biasanya kita, sewajarnya, mana mungkin kita bikin anak kita gitu. Berarti dia benci sama kita kan, kita berpikir seperti itu kan.” RII. W1. 518- 520hal.12; 548-564hal.12-13 Universitas Sumatera Utara 66 Setelah perceraian tersebut, kedua orangtua responden menikah kembali. Ibu responden menikah saat usia responden sepuluh atau sembilan tahun. Saat usia responden empat belas tahun, nenek responden meninggal, sehingga akhirnya responden tinggal dengan ibunya bersama ayah tirinya Ayah tirinya pernah hampir memperkosa dirinya. Ketika responden mengungkapkan hal tersebut pada ibunya, ibunya tidak percaya dan malah menuduh responden berbohong. Tidak tahan dengan keadaan tersebut, responden pindah ke rumah ayahnya. Di rumah ayahnya, responden memiliki abang tiri yang terbelakang secara mental. Karena malu akan hal tersebut, responden pergi dari rumah ayahnya dan bekerja pada tetangganya yang kemudian menyekolahkan responden. Setelah tamat SMA, rersponden kembali ke Medan dan tinggal dengan ayahnya. Sewaktu berasa di rumah ayahnya, responden merasa tidak senang dengan ibu tirinya yang selalu membicrakan tentang dirinya, akhirnya responden pergi dari rumah tersebut. Sampai saat ini responden tidak pernah lagi kembali pada keluarganya “Udah kelas lima atau kelas empat gitu, menikah sama orang Batak. Kelas dua SMP nenek meninggal, jadi otomatis aku tinggal sama bapak kan. Tinggal sama bapak, belum tinggal sama bapak, tinggal sama mamak, mamakku.” RII. W1. 41-43hal.2; 50-53hal.2.. “Ee... kupikir pun kan hampir dulu pernah kejadian gitu kan, hampir aku pernah diapanya gitu, dari situ aku enggak mau lagi tinggal di situ volume suara menurun. Yang parahnya kubilang sama mamak, dia enggak percaya... Enggak percaya dia, malah dikatainnya pula yang enggak- enggak. Padahal kita bilang, padahal kita takut, malu, gitu kan. Kelas dua SMP aku itu. Enggak tahan aku di situ diam sejenak, pigi aku sama bapakku di Kandibata. Ada abangku di situ, tapi lain mamak kami, dia mamaknya nomor satu, mamakku nomor dua. Dia cuma sendiri, jadi dia, mungkin dia punya keterbelakangan mental gitu volume suara menurun, enggak, apalah, memang enggak penuh dia gitu. Jadi aku... mungkin malu aku, kuakuilah malu aku.” RII. W1. 52-114hal.2-3. Universitas Sumatera Utara 67 “Ee, akhirnya kan bapak sakit, aku pun memang enggak aku tahan di situ. Enggak, aku paling enggak bisa dibicarai-bicarai di belakang gitu. Enggak suka aku, langsung pigi aku kan.” RI. W1. 467-471hal.11. Menurut responden pernikahan hanyalah suatu cacatan yang menunjukkan kesyahan hubungan antara dua manusia. Pernikahan dibuat untuk menghindarkan orang-orang dari hal-hal yang dianggap tidak benar dalam norma-norma masyarakat. Responden merasa pernikahan itu tidak ada artinya. Menurut responden kita merasa dekat dengan seseorang hanya karena kita memiliki keterikatan dengan mereka Responden akan memutuskan untuk menjalin pernikahan dengan seseorang bila ia merasa orang tersebut sudah sesuai dengan dirinya. “Lembaga ajanya itu. Menikah atau enggak kan sama aja. Kitanya menentukan langkah apa yang kita ambil, baik atau buruk, kita juganya. Menikah itu cuma catatan ajanya, aku itu kalau sama aku. Menghindarkan orang-orang dari hal-hal yang dianggap enggak benar sama norma-norma masyarakat, itu aja. Jadi apa artinya pernikahan itu, kan enggak adanya.” RII. W2. 168-173hal.4; 175-177hal.4; 185-187hal.5. “Karena kita terikat sama pacar kita baru kita bisa bilang dia orang terdekat sama kita kan, kalau enggak, dia bukan siapa-siapa kita. Jadi kupikir sebelum aku memulai suatu hubungan itu harus kuselidiki dululah dia kan. Cocok enggak dia, kalau dari awal pun sudah enggak cocok, ngapain.” RII. W2. 210-215hal.5; 48-52hal.2.

b. Harapan

Responden ingin menjalani pernikahan yang sederhana tanpa ada campur tangan dari orang lain. Baik buruknya pernikahan yang dijalani oleh responden merupakan hal yang hanya diketahui oleh responden dan pasangannya. Responden juga ingin tinggal jauh dari keluarganya apabila sudah menikah nantinya. Universitas Sumatera Utara 68 “Pernikahan yang pengen aku jalani itu ya keknya simple aja. Aku enggak pengen yang kayak macam-macam gitulah ya, yang sederhana aja. Yang ada misalnya cuma aku sama suamiku, sama anak-anakku misalnya, jika aku punya, gitu. Aku enggak mau ada campur tangan orang lain gitu. Misalnya menikah pun aku, aku kan sekarang tinggal sama keluarga gitu, aku pengen tinggal jauh dari keluarga gitu. Enggak pengen aku di sini. Yang tahu baik buruknya keluargaku ya aku sama suamiku, gitu aja.” RII. W2. 6-16hal.1; 23-25hal.1. Dalam pernikahanya kelak, responden tidak terlalu mengharapkan kehadiran anak. Perasaan responden terhadap anak tidak stabil, terkadang responden bisa suka terhadap anak-anak, terkadang responden tidak suka terhadap anak-anak. Responden tidak ingin anaknya kelak akan terluka karena ketidakstabilannya tersebut, karena menurut responden kestabilannya dapat membuat anaknya tidak stabil juga. Kalaupun kelak responden menjadi seorang ibu, responden tidak ingin menjadi ibu bagi anaknya, responden ingin menjadi sahabat anaknya dan responden akan membebaskan anaknya untuk melakukan apapun yang diinginkannya selama anaknya bertanggung-jawab untuk pilihannya tersebut. “Anak bukan suatu hal yang penting kali bagi aku. Karena istilahnya kalau aku bisa dibilang enggaknya stabil kali aku. Diam sejenak. Kadang bisa suka aku, kadang enggak, dengan anak, gitu. Ngapain punya anak kalau cuma bisa bikin dia sakit volume suara meninggi, cuma, enggak stabil, kalau aku enggak stabil dia pun pasti enggak stabil.” RII. W2. 83- 84hal.2; 94-96hal.3; 108-111hal.3 “Tapi yang paling kupengen kali ya kek gitu, dia temanku bukan anakku. Aku enggak ingin menjadi seorang ibu, kalaupun ada anakku, aku bukan ibunya, aku temannya. Itu yang lebih penting, kalau aku ibunya, berarti aku bisa ngatur dia kan, ini enggak, kubebaskan dia dalam segala hal, dalam segala apapun.” RII. W2. 137-139hal.3; 115-120hal.3. Universitas Sumatera Utara 69 Responden berharap mendapatkan pasangan yang jauh lebih pintar dari dia, karena responden merasa seorang suami tidak hanya mampu memajukan keluarganya tetapi mampu memajukan istrinya juga. Responden juga mengharapkan agar pasangannya bisa sama seperti dirinya, untuk membebaskan anaknya melakukan apapun yang dikehendaki oleh anaknya, selama anaknya bertanggung-jawab atas keputusan yang diambilnya. Karena responden merasa tidak pernah mendapat perhatian sebelumnya, responden sangat menginginkan orang yang dapat peduli, percaya, menghargai, dan menganggap responden penting. Responden juga menginginkan pasangan yang dapat mendamaikan hatinya dan memberikan solusi yang tepat untuk permasalahannya. “Dia harus jauh lebih pintar dari aku. Istilahnya, diam sejenak, enggak hanya terpaku untuk memajukan keluarga, memajukan diriku sendiri sebagai istrinya dia harus bisa, gitu kan. Seperti itu juga, seperti aku. karena aku enggak, enggak pernah, enggak pernah yang peduli samaku gitu kan, pengen kali aku ada orang yang peduli samaku, percaya samaku, menghargaiku, menganggapku penting. Dia enggak manas-manasin aku, malah memundurkan aku gitu, ngademin gitu, bukan, dikasihnya jawaban yang memang pas kan.” RII. W2. 66-75hal.2; 155hal.4; 223-225hal.5-6; 392-396hal.9 Menurut responden hal yang penting dalam pernikahan adalah rasa saling pengertian, saling membutuhkan, dan kenyamanan responden terhadap pernikahannya. Untuk mendapatkan pernikahan seperti yang didambakan oleh responden, responden akan mencari tahu siapa pasangannya sebelum memutuskan untuk menikah. Apabila pasangannya tersebut dianggap sesuai dengan dirinya, maka responden melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Apabila pasangannya tersebut dianggap tidak sesuai untuk dirinya, ia akan menghentikan hubungan dengan pasangannya tersebut. Responden juga akan berusaha untuk Universitas Sumatera Utara 70 mencari pasangan yang tidak ada hubungannya dengan keluarga responden dan responden juga tidak ingin dijodohkan oleh keluarganya. Bila memungkinkan responden lebih memilih pasangan yang benar-benar tidak dikenal keluarganya. “Yang kupentingkan adalah kami itu saling mengerti gitu. Dia butuh aku dan aku merasa dibutuhkan olehnya, gitu. Jadi kupikir sebelum aku memulai suatu hubungan itu harus kuselidiki dululah dia kan. Cocok enggak dia, kalau dari awal pun sudah enggak cocok, ngapain. Aku juga ngusahakan cari pasangan yang enggak ada hubungannya sama keluarga gitu. Jadikan benar-benar enggak ada sangkut pautnya sama keluarga lagi, gitu.” RII. W2. 84-87hal.2-3; 48-61hal.2 IV. C. Responden III IV. C. 1. Analisa Data

IV. C. 1. a. Deskripsi Identitas Diri Responden II Tabel 5

Gambaran Umum Responden II Dimensi Responden I Usia 19 tahun Agama Kristen Protestan Suku bangsa Tiong Hoa Pendidikan terakhir SMA Pekerjaan Mahasiswi Urutan kelahiran Satu Jumlah saudara kandung Satu Tinggal dengan Dulu nenek dari pihak ibu Usia saat orangtua bercerai 5 tahun Lama perceraian 14 tahun Status ibu Tidak menikah Pekerjaan ibu Programmer Status ayah Tidak diketahui Latar Belakang Responden III Responden adalah anak tunggal. Saat ini berusia 19 tahun dan menjadi mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Medan. Ayahnya Universitas Sumatera Utara 71 berkewarganegaraan Vietnam, sedangkan ibunya warga negara Indonesia keturunan Tiong Hoa. Ayah dan ibunya bertemu di Jerman saat keduanya menjalankan perkuliahan masing-masing. Kemudian mereka menikah dan tetap tinggal di Jerman. Selama pernikahan berlangsung, ibu responden yang bekerja sedangkan ayah responden berada di rumah untuk mengurus responden. Ayah responden sering mabuk-mabukan dan memunguti barang-barang bekas yang sudah dibuang oleh orang lain. Barang-barang bekas itu kemudian akan diperbaiki oleh ayah responden. Setelah diperbaiki, responden disuruh oleh ayahnya untuk mencoba barang tersebut. Responden sering kali merasa takut untuk mencoba barang- barang tersebut, tetapi tetap dipaksa oleh ayahnya. Saat ayahnya tidak mabuk, responden merasa ayahnya adalah orang yang menyenangkan. Tetapi saat ayahnya mabuk, responden takut terhadap ayahnya. Responden sering kali menyaksikan pertengkaran antara ayah dan ibunya. Setiap pulang bekerja, sering kali terjadi pertengkaran antara kedua orangtuanya. Akhirnya karena perbedaan gaya hidup, kedua orangtuanya memutuskan untuk bercerai. Pada saat itu responden tidak tahu apa yang telah terjadi antara ayah dan ibunya. Ibunya hanya mengatakan pada responden bahwa mereka akan menjenguk neneknya di Indonesia dan ayahnya berjanji akan datang ketika ia punya uang yang cukup untuk ongkos ke Indonesia. Setelah agak dewasa, responden membaca tentang perceraian dan menyakan pada neneknya tentang hal tersebut, barulah pada akhirnya responden mengerti bahwa ayah dan ibunya sudah bercerai. Tetapi responden merasa Universitas Sumatera Utara 72 perceraian orangtuanya tidak menjadi masalah karena ia sudah terbiasa hidup tanpa sosok ayah. IV.C. 1. b. Hasil Observasi Tabel 6 Waktu Wawancara Responden III HariTanggal wawancara Waktu wawancara Tempat wawancara Sabtu22 April 2008 14.00-14.45 WIB Ruangan kuliah responden Rabu30 April 2008 16.00-16.45 WIB Ruangan kuliah responden Secara fisik responden memiliki tinggi sekitar 158 cm dan berat kira-kira 55 kg. Responden memiliki mata yang sipit, bibir tebal berwarna merah, rambut panjang melewati bahu, wajah bulat dan berkulit putih. Responden mengenakan contact lens bening. Responden juga agak cadel. Peneliti mengenal responden melalui teman peneliti. Peneliti dikenalkan oleh temannya dengan responden saat peneliti tengah mencari responden untuk penelitian. Pada pertemuan pertama, peneliti membangun rapport dengan responden. Saat peneliti memberitahukan tujuan dari peneliti, responden menyambut baik dan bersedia membantu penelitian. Setiap wawancara responden menunjukkan sikap yang sangat baik dan ramah. Setiap pertanyaan yang diberikan peneliti ditanggapi dengan baik. Responden juga mempertahankan kontak mata dengan peneliti. Keseluruhan wawancara berlangsung di kampus responden. Kampus responden terdiri dari dua bangunan utama, yaitu bagunan bagian dan bagian Universitas Sumatera Utara 73 belakang. Bangunan depan dan belakang disatukan oleh koridor yang memanjang di antara kedua bangunan tersebut. Bangunan depan terdiri dari satu lantai yang digunakan sebagai ruang dosen, ruang rapat, ruang administrasi, dan lobi. Bangunan belakang terdiri dari tiga lantai. Di tiap lantai terdapat empat kamar mandi, dua kamar mandi wanita dan dua kamar mandi pria, masing-masing dua di sisi kanan dan dua di sisi kiri. Lantai satu berfungsi sebagai ruang dosen, ruang kuliah, dan perpustakan. Lantai dua dan tiga berfungi sebagai ruang kuliah dan ruang dosen. Wawancara berlangsung di ruang kuliah yang ada di kampus tersebut. Ruang kuliah tersebut berada di lantai dua bagian kiri bangunan. Ruangan tersebut berukuran 8x10 meter, di cat berwarna kuning gading. Terdapat lebih dari seratus bangku di dalamnya. Di bagian depan kelas terdapat dua buah white Board yang digantungkan bersandingan. Di depan white board terdapat meja dan kursi untuk pengajar. Di langit-langit di atas meja tergantung in focus. Pintu masuk berada di bagian depan dan belakang ruangan. Di sisi kanan dan kiri ruangan terdapat jendela-jendela besar yang bergorden kuning pastel. Pada wawancara pertama responden menggunakan baju berwarna oranye dengan celana jeans berwarna biru dan sepatu kets putih. Sikap yang ditunjukkan responden selama wawancara sangat ramah dan bersahabat. Responden menanggapi semua pertanyaan dari peneliti dengan baik. Sebelum wawancara berlangsung, terlebih dahulu responden dengan peneliti bercakap-cakap dan saling menanyakan kabar masing-masing. Beberapa saat kemudian, peneliti memulai Universitas Sumatera Utara 74 wawancara dan tak lupa meminta izin untuk menggunakan tape recorder alat perekam selama wawancara berlangsung. Responden dan peneliti duduk dengan jarak yang cukup dekat, yaitu 0,75- 1 meter, hal ini dilakukan untuk mempermudah perekaman. Responden dan peneliti duduk saling berhadap-hadapan. Selama wawancara berlangsung, responden selalu memegang-megang pensilnya. Responden menjawab pertanyaan peneliti dengan lancar. Sesekali responden terdiam untuk mengingat kembali masa lalunya. Responden juga tertawa ketika memberikan jawaban yang dianggapnya lucu. Saat wawancara berlangsung, petugas kebersihan masuk dan membersihkan ruangan, sehingga membuat wawancara berhenti sejenak. Pada wawancara kedua, responden menggunakan baju berwarna oranye, celana jeans abu-abu dan sepatu kets putih. Jarak duduk antara responden dan peneliti 0,75-1 meter. Sesekali responden tertawa dengan jawaban yang dilontarkan. Intonasi suara responden berubah menjadi menekankan kalimat ketika responden bercerita tentang anak. Selama wawancara responden terus- menerus memainkan gelang tangannya. Tidak ada hal yang mengganggu pada wawancara kedua ini sehingga wawancara dapat berlangsung dengan lancar. Universitas Sumatera Utara 75

IV. C. 1. c. Data Hasil Wawancara 1.

Dampak Perceraian Orangtua a. Dampak positif Menurut responden dampak positif yang diterimanya dari perceraian orangtua adalah responden menjadi lebih matang, lebih tahu keadaan di luar dan bisa lebih bebas menjalankan apa yang menurutnya baik. “Jadi apapun yang menurut saya bagus, itu saya jalanin aja gitu. Jadi saya itu bisa lebih matang, bisa lebih tahu keadaan di luar gimana.” RIII. W1. 290-293hal.7.

b. Dampak negatif

Responden merasakan dampak negatif dari perceraian orangtuanya setelah responden hampir dewasa. Dampak negatif yang dirasakan responden adalah responden memiliki temper tantrum. Responden kurang dapat bersosialisasi dengan orang lain dan hilang kepercayaan terhadap orang lain. Melihat gambaran ayahnya dulu akhirnya membuat responden memiliki pandangan tersendiri terhadap pria. Responden membenci pria karena menganggap pria itu adalah sosok yang tidak bertanggung-jawab, tidak penyanyang dan tidak peduli terhadap orang lain. Respoden merasa tidak membutuhkan pria. Baginya, pria adalah sosok mahkluk yang jahat, munafik, menyebalkan, dan berorientasi pada seks. “Contohnya seperti ada temper tantrum. Saya kurang dapat bersosialisasi sama makhluk yang namanya manusia karena saya hilang kepercayaan dengan manusia tertawa. Jadi saya juga membenci makhluk yang namanya laki-laki. Entah, kalau dulu menurut saya dilihat dari figur papa, sepertinya laki-laki itu tidak bertanggung-jawab, tidak penyayang, tidak pedulian, menurut saya gitu, kan masih kecil waktu itu, kalau nengok dari gaya papa sih jadi terbentuk stereotype seperti itu.” RIII. W1. 126hal.3; 464-467hal.11; 132-134hal.; 139-145hal.4. Universitas Sumatera Utara 76 “Tak perlu aku laki-laki. Mama juga sering bilang laki-laki itu tak perlu. Jadi untuk apa? Tertawa. Jadi gambaran di otak saya itu, laki-laki itu suatu sosok makhluk yang jahat, munafik, menyebalkan, berorientasi kepada seks tertawa. ” RIII. W1. 570-557hal.13.

2. Faktor yang mendorong untuk Menikah

a. Push factor

Melalui pernikahannya kelak, responden berharap dapat memuliakan nama Tuhan dan dapat melengkapi firman Tuhan, dapat menyalurkan nafsu-nafsu yang tidak tersalurkan jika tidak menikah, memiliki anak dan membesarkannya sesuai dengan yang seharusnya. “Pernikahan itu sebenarnya untuk apa. Untuk melengkapi firman Tuhan tertawa. Diam sejanak. Untuk melengkapi firman Tuhan, iya. Tetapi kalau selanjutnya diam sejenak, pernikahan itu dibuat untuk menyalurkan nafsu-nafsu yang tak tersalurkan kalau tidak menikah, satu. Terus itu untuk melestarikan keturunan yang namanya manusia.” RIII. W2. 142-145hal.4

b. Pull factor

Pernikahan juga untuk melengkapi karakteristik antara pasangan pria dan wanita. Dan responden berharap melalui pernikahannya dia bisa mendapatkan kebahagiaan karena memiliki teman. “Pernikahan itu juga untuk melengkapi karakteristik antara cowok dengan cewek. Karena kalau cewek dengan cewek itu udah enggak normal namanya. Terus pernikahan itu untuk, sewaktu anak-anak sudah besar, udah menikah, kita dengan siapa menghabiskan waktu paling banyak, kan kita enggak dengan orangtua terus, dengan seorang pendamping. Pernikahan itu bisa menjadi kebahagiaan yang memiliki teman gitu.” RIII. W1. 162-175hal.4; 178-190hal.5. Universitas Sumatera Utara 77

3. Persepsi terhadap Pernikahan