1
BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Hampir semua penduduk di dunia ini hidup dalam unit-unit keluarga. Setiap
individu yang menjalani kehidupan rumah tangga tentunya mengharapkan rumah tangga yang bahagia, namun tidak semua kehidupan keluarga berjalan seperti
yang diharapkan. dalam masyarakat ditemui juga rumah tangga yang diwarnai dengan peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan oleh anggota keluarga. Salah
satu contoh dari peristiwa yang tidak diharapkan ini adalah perceraian Yusuf,
2004.
Jumlah perceraian di dunia telah meningkat selama beberapa dekade terakhir, khususnya pada era industri yang berkembang. Hasil pengujian
Hetherington dalam Thomas Grimes, 1994 menunjukkan hampir 40 pernikahan akan berakhir pada perceraian dan hampir 40-50 anak-anak akan
tinggal dalam keluarga dengan orangtua tunggal. Buletin
The Economist dalam Khisbiyah, 1994 menunjukkan bahwa rata- rata perceraian tertinggi di negara industri terjadi di Amerika Serikat, dimana
hampir separuh pernikahan berakhir dengan perceraian. Adapun pada negara- negara Eropa, seperti Inggris, Denmark, dan Swedia, dua dari lima pernikahan
berakhir pada perceraian, sedangkan di Jepang, satu dari lima pernikahan berakhir
pada perceraian.
Universitas Sumatera Utara
2 Fenomena perceraian tidak hanya berlangsung di negara maju
tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Menurut Singarimbun dan Permore dalam Khisbiyah, 1994, rata-rata perceraian di
Indonesia lebih tinggi dari negara manapun di Asia. Persentase pasangan bercerai di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Tahun 2000 persentase
perceraian mencapai 6,9 dari pasangan yang menikah, sedangkan pada tahun
2005 perceraian telah meningkat hingga mencapai 8,5 Ditjen PPA, 2008.
Perceraian sendiri dapat disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya dapat disebabkan oleh ketidaksetujuan orangtua, seperti yang dituturkan oleh K berikut
ini:
“Mungkin karena latar belakang keluarga bapak, kalo.... Istilahnya kan mamak itu anak yang paling kecil di keluarga, anak perempuan, jadi udah
kek dijodoh-jodohin gitu. Ya tahulah kalo zaman dulu itu enggaknya bisa, kayak zaman sekarang pun enggaknya bisa dipaksakan kali sebenarnya
keinginan orangtua kan. Jadi karena dari awalnya pun mulanya udah salah gitu, kedepannya pun udah tetap itu jadi masalah. Istilahnya karena tidak
sesuai dengan pilihan orangtua, bapak itu jadi bulan-bulanan keluarga mamak gitu. Yang dibilang enggak becus kerjalah, bukan orang satu suku
lah, gitu. Lagian dia bukan orang berada gitu”, Komunikasi personal, 20 April 2008.
Peristiwa perceraian dalam keluarga senantiasa memberikan dampak yang mendalam baik kepada pasangan maupun bagi anak. Perceraian dapat berdampak
positif bagi pasangan dan anak jika perceraian merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh ketentraman diri, dengan berlangsungnya perceraian maka
situasi konflik, rasa tidak puas dan perbedaan paham dapat dihindari. Bagi beberapa keluarga, perceraian dianggap keputusan yang paling baik untuk
mengakhiri rasa tertekan, rasa takut, rasa cemas, dan ketidaktenteraman Dagun,
Universitas Sumatera Utara
3 2002. Mead dalam Dagun, 2002 menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak
untuk mengakhiri suatu pernikahan bila pernikahan tersebut hanya mendatangkan bencana dan ketidaktenteraman.
Hampir setengah dari orang yang bercerai merasa bahwa mereka telah mengakhiri hubungan yang sulit Chiriboga Cutler; Wallerstein Kelly, dalam
Santrock, 1997. Menurut Wallerstein dan Kelly dalam Santrock, 1997, banyak orang yang merasa lega setelah perceraian dan beberapa orang lainnya
menganggap perceraian sebagai sebuah kesempatan untuk pembaharuan atau untuk berkembang. Menurut Clarke-Stewart Brentano 2007 perceraian sendiri
akan mengakhiri hubungan yang tidak baik antar pasangan dan memberikan kesempatan untuk mencari hubungan yang lebih baik lagi.
Sama halnya bagi anak, anak yang di asuh oleh orangtua tunggal akan lebih baik daripada anak yang diasuh keluarga utuh namun selalu diliputi rasa
tertekan. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Bram dalam Republika Online, 2006:
“Hidup saya mungkin jauh lebih baik dari anak-anak lain yang masih ada ayah-ibunya di rumah, tetapi mereka setiap hari berantem.”
Terdapat juga dampak negatif dari perceraian terhadap pasangan maupun anak. Bagi pasangan yang bercerai, perceraian menimbulkan ketegangan, karena
merupakan salah satu perubahan yang paling sulit stressfull yang dialami seseorang Kitzman Gayord, 2001. Reaksi emosi yang muncul pada orang
yang mengalami perceraian adalah depresi, kehilangan harga diri, marah dan bingung Kelly, dalam Santrock, 1997. Reaksi emosi lainnya yang biasanya
Universitas Sumatera Utara
4 muncul pada perceraian adalah depresi, yang termanifestasi dalam berbagai cara,
seperti kurang tidur, fatigue lelah, kehilangan harga diri, atau peningkatan atau penurunan berat badan Herman, Kelly, dalam Santrock, 1997.
Bagi anak, perceraian memberikan pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan mereka. Amato dan Keith dalam Kail Cavanaugh, 2000
menyatakan anak yang orangtuanya bercerai sering kurang sukses dalam sekolah dan memiliki masalah perilaku dan konsep diri. Wallerstein Sara McLanahan
dan Kiernan dalam Khisbiyah, 1994 menemukan anak dari perceraian sering terlibat dalam kekerasan, penggunaan obat-obatan dan bunuh diri di usia muda,
dan sering keluar dari sekolah, menganggur, menikah di usia belasan, memiliki anak sebelum menikah dan akhirnya kembali mengalami kehancuran rumah
tangga. Perceraian juga dapat menimbulkan perasaan bersalah pada anak. Anak
merasa bahwa perpisahan kedua orangtuanya disebabkan oleh dirinya. Anak juga dapat menjadi bingung dengan perpisahan orangtuanya, seperti yang diungkapkan
oleh Anin dalam Republika Online, 2006: “Gue kadang juga masih suka merasa bingung dan kehilangan. Gue juga
pernah merasa bersalah apa ini semua karena gue.”
Dampak dari perceraian sendiri tidak begitu saja berakhir pada saat anak sudah mencapai masa keseimbangan dua tahun setelah perceraian, tetapi
perceraian orangtua tetap menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi mereka Dagun, 2002. Beberapa kasus yang terjadi menunjukkan anak yang orangtuanya
bercerai, pada saat dewasa, menjadi takut untuk menikah. Manda 2007,
Universitas Sumatera Utara
5 mengungkapkan perasaannya mengenai ketakutannya terhadap pernikahan akibat
perceraian orangtua:
“For me, pernikahan terlihat menakutkan, karena bagaimana mungkin dua insan yang saling cinta bisa saling mengkhianati dan rebut-rebutan harta
nantinya, padahal dulu pas pacaran, pengorbanan dan kasih sayang jadi momok utama. Gue tau ini rambu-rambu bahaya, karena menikah itu
sangat dianjurkan oleh agama yang gue anut, tapi gue juga gak bisa apa- apa, ini dampak dari masa kecil gue yang amburadul. Jadi, yang bisa gue
lakukan cuma berdoa, semoga ada orang baik yang bisa bareng gue mewujudkan keluarga yang bahagia, dan kalopun orang itu gak bisa, ya
gak papa, at least bercerailah dengan baik-baik dan sebisa mungkin membahagiakan anak-anak gue, dan kalopun gue gak akan menikah
sampai kapan pun, gue udah punya alternatif lain untuk menyikapinya.”
Perceraian juga memiliki dampak yang berbeda pada anak laki-laki dan anak perempuan. Dampak perceraian pada anak laki-laki akan tampak pada
kehidupan sosialnya. Anak lebih senang menyendiri dalam bermain, kurang ingin bekerja sama, kurang teratur, kurang kreatif. Mereka lebih senang mengamati
permainan dari pada ikut terlibat dalam permainan. Anak lelaki juga lebih cenderung untuk memilih teman yang lebih kecil usianya atau lebih cenderung
memilih teman perempuan dari pada teman pria yang sebaya Dagun, 2002. Berbeda dengan anak laki-laki, akibat perceraian terhadap anak perempuan
dengan orangtua yang bercerai justru muncul ketika mereka memasuki usia dewasa dini, tepatnya ketika dihadapkan pada tugas perkembangan untuk
membangun sebuah rumah tangga. Ketika memasuki dewasa dini terjadi penyesuaian diri terhadap pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru.
Komitmen dan penyesuaian diri dengan mempersiapkan kehidupan pernikahan merupakan hal yang mencirikan masa dewasa dini Hurlock, 1999.
Universitas Sumatera Utara
6 Wallerstein
dalam Larsen
Buss, 2002 menemukan masalah penyesuaian sesungguhnya nyata saat wanita yang berasal dari keluarga bercerai
mulai memasuki dewasa dini. Setiap kali wanita tersebut melihat pria dan wanita, pandangannya akan selalu dipengaruhi dengan apa yang ia lihat pada ayah dan
ibunya. Perasaan curiga dan tidak percaya pada wanita dewasa dini ini akan selalu timbul dan selalu menganggap bahwa karakter yang sama mungkin terdapat pada
setiap pria Grollman, 1969. Menurut Wallerstein dalam Larsen Buss, 2002 hal tersebut terjadi
karena “hantu dari masa lalu” yang muncul saat mereka memasuki hubungan intim. Hantu masa lalu adalah bayangan dari pernikahan orangtua yang gagal dan
berpengaruh kuat. Ketakutan mengulang kesalahan orangtua, berkaitan erat sehingga tanpa sadar anak akan berusaha untuk lebih baik dari pada orangtuanya.
Bayangan ini merupakan emosi yang berkaitan dengan keinginan yang memusat saat wanita yang berasal dari keluarga bercerai memasuki usia dewasa dini dan
mempengaruhi pendekatan mereka dalam membangun hubungan yang akan berakhir pada pernikahan.
Bagi wanita, pernikahan yang diharapkan tentu saja tidak terlepas dari pengalaman pernikahan orangtuanya di masa lalu. Penelitian Henker 1983
menunjukkan segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara orang tua-anak termasuk emosi, reaksi dan sikap orang tua akan membekas dan tertanam secara
tidak sadar dalam diri seseorang. Selanjutnya, apa yang sudah tertanam akan termanifestasi kelak dalam hubungan dengan keluarganya sendiri. Individu yang
Universitas Sumatera Utara
7 memiliki hubungan positif dengan orang tuanya, biasanya tidak mengalami
masalah yang berarti dalam kehidupan pernikahannya. Sebaliknya, dari pengalaman emosional yang kurang menyenangkan
bersama orangtua, akan terekam dalam memori dan menimbulkan stres yang berkepanjangan baik ringan maupun berat. Segala emosi negatif dari masa lalu,
terbawa dan mempengaruhi emosi, persepsipola pikir dan sikap orang tersebut di masa kini, baik terhadap diri sendiri, terhadap pasangan dan terhadap makna
pernikahan itu sendiri Henker, 1983. Latar belakang yang berasal dari keluarga bercerai, pengalaman perceraian
orangtua dan sikap terhadap perceraian serta kepercayaan terhadap perceraian akan membentuk persepsi anak. Seperti yang diungkapkan oleh Adler 2006,
pada saat masa kanak-kanak, anak telah membentuk kesan mengenai pernikahan yang anak dapatkan dari pernikahan orangtuanya sendiri. Pola asuh orangtua dan
hubungan orangtua dengan anak akan mempengaruhi kualitas pernikahan seseorang, menentukan pemilihan pasangan, mempengaruhi persepsi dan sikap
terhadap pasangan, dan mempengaruhi persepsi orang tersebut terhadap perannya sendiri Adler, 2006. Maka dengan adanya pengalaman pernikahan orangtua
sebelumnya, anak akan memiliki gambaran mengenai pernikahan. Akhirnya, meringkas semua pengalaman perceraian, masa dewasa dini
merupakan masa yang sulit bagi wanita yang berasal dari keluarga bercerai karena pada masa ini mereka dituntut untuk memenuhi tugas perkembangannya untuk
berumah-tangga. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengetahui
Universitas Sumatera Utara
8 bagaimana persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang
mengalami perceraian orangtua.
I.B. Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka peneliti merumuskan pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian
ini. Dengan demikian dapat dirumuskan masalah utama dari pnelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana dampak perceraian orangtua terhadap anak?
2. Bagaimana faktor yang mendorong untuk menikah pada wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai?
3. Bagaimanakah persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai?
I.C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang berasal dari
keluarga bercerai.
I.D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat mengenai gambaran persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga
bercerai yang terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis.
Universitas Sumatera Utara
9 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini
diharapkan secara umum dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan
dalam melihat persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai.
2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi wanita yang berasal dari
keluarga bercerai untuk mengidentifikasi masalah yang dapat menghambat tugas perkembangannya, terutama pada pernikahan.
b. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi psikolog dan praktisi LSM wanita agar dapat membantu menyelesaikan masalah yang menghambat
tugas perkembangan wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai.
I.E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah : Bab I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, identifikasi masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian, serta
sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori
Bab ini akan memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori yang
berhubungan dengan persepsi terhadap pernikahan, hal-hal yang
Universitas Sumatera Utara
10 mempengaruhi persepsi, pengertian dewasa dini, ciri-ciri dewasa dini
dan tugas perkembangan dewasa dini, keluarga bercerai, dampak perceraian bagi pasangan dan anak.
Bab III : Metodologi Penelitian Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian,
metode pengumpulan data, populasi, dan metode pengambilan sampel. Bab IV : Analisa Data dan Hasil Analisa Data
Pengolahan dan pengorganisasian data dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan, mencakup deskripsi data, pengorganisasian
rekonstruksi data, dan selanjutnya membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan.
Bab V : Kesimpulan , Diskusi dan Saran Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan,
dan terdapat diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal yang
baru, serta saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah-masalah penelitian, dan saran-saran metodologi untuk penyempurnaan
penelitian lanjutan.
Universitas Sumatera Utara
11
BAB II LANDASAN TEORI