Tinjauan Hukum Humaniter Internasional Tentang Penerapan Distinction Principle Dalam Perang Modern
TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TENTANG PENERAPAN DISTINCTION PRINCIPLE DALAM PERANG MODEREN
SKRIPSI
Oleh :
NIM: 060200061
ALKAUTSAR PRAWIRA SAILANOV
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TENTANG PENERAPAN DISTINCTION PRINCIPLE DALAM PERANG MODEREN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Oleh
ALKAUTSAR PRAWIRA SAILANOV NIM: 060200061
Departemen: Hukum Internasional
Disetujui oleh
Ketua Departemen Internasional
SUTIARNOTO, SH, MS. NIP: 195610101986031003
DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II
PROF.DR.SUHAIDI, SH, MH CHAIRUL BARIAH, SH, M.HUM NIP: 196207131988031003 NIP:195612101986012001
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas nikmat Islam dan Iman yang tertanam dalam hati sanubari saya, selawat beriring salam saya sampaikan kepada Nabi besar Muhammad SAW semoga saya akan diberikan syafaat olehnya kelak, amin ya rabbal alamin. Alhamdulillah, saya telah sampai kepada akhir masa kuliah saya di fakultas hukum USU tercinta, telah banyak ilmu-ilmu, pengalaman-pengalaman, serta kenangan yang saya dapatkan selama ini, sehingga sekarang sampailah saya kepada penulisan skripsi ini dimana untuk skripsi saya, saya mengambil judul “TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TENTANG PENERAPAN DISTINCTION PRINCIPLE DALAM PERANG MODEREN”. Judul ini saya ambil oleh karena ketertarikan saya terhadap hukum humaniter, peperangan, dan peradamaian, semoga apa yang saya tuliskan dalam skripsi ini, bermanfaat bagi saya untuk menambah pendalaman pengetahuan saya, dan bagi orang lain yang membacanya, amin. Untuk itu dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih saya terhadap pihak-pihak yang sangat berjasa membantu saya baik dalam kehidupan saya maupun dalam kuliah dan pengerjaan skripsi ini, yaitu kepada:
1. Orang tua saya, ILHAMSYAH OWNIE, SH, SALMAH AISJAH, SH,
SpN, IMAM ERLAYAS SEMBIRING, SH. Sembah sujud saya kepada mereka sebagai orang tua yang membuat saya terlahir ke dunia ini, membesarkan saya, memberikan kasih sayang dan bekal hidup serta doanya yang senantiasa mengiringi saya sehingga saya dapat sampai
(4)
sejauh sekarang ini, ampunkanlah anakmu ini yang banyak berbuat salah padamu dan sering lalai dalam membaktikan diri untuk keluarga, semoga kedepannya saya dapat lebih banyak membanggakan dan membaktikan diri saya kepada orang tua saya.
2. Saudara saya, LEDY SOFIA LEONIE, PUTRI RAUDHATUL ASTARI,
kakak dan adik saya tersayang, terima kasih telah menjadi saudari saya yang selalu memperhatikan dan menyayangi serta mendoakan.
3. Tuan guru Imam Legimin, sebagai guru yang mengajari saya jalan
mengenal Allah, syukur Alhamdulillah atas doa dan bimbingannya selam ini
4. Paman dan sepupu saya, Andy Waspi, kak Shinta, kak Lian, sebagai
keluarga saya yang senantiasa membantu keluarga kami dalam keadaan apapun dengan ikhlas. Semoga Allah membalas dengan seribu kebaikan, amin.
5. Dekan Fakultas Hukum USU, Prof. Dr. Runtung Sitepu SH, MHum, PD I
Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH yang juga merupakan dosen pembimbing skripsi saya, PD II Bapak Syafrudin, dan PD III Bapak Muhammad Husni, SH, MH yang telah banyak membantu dan memberikan kemudahan serta arahan bagi saya selama kuliah, saya sangat bersyukur dan semoga Allah membalasnya dengan seribu kebaikan, amin.
6. Dosen-dosen Departemen Hukum Internasional, Bapak Sutiarnoto SH, MS
(5)
Bapak Deni Purba, SH, LLM, Ibu Chairul Bariah, SH, MHum yang juga merupakan dosen pembimbing skripsi saya, dan seluruh dosen-dosen hukum internasional yang telah menjadikan departemen ini begitu istimewa di mata saya.
7. Segenap Dosen Fakultas Hukum USU yang telah memberikan saya ilmu,
para pegawai fakultas hukum, pengurus perpustakaan judisium fakultas hukum, kantin bunda, kantin prm, kantin ME, dan Unit Pelayanan Komputer.
8. Organisasi yang telah membesarkan saya dalam berorganisasi: BTM
Alladinsyah, SH, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), IMKA Erkaliaga Fakultas Hukum USU, JESSUP USU, KOPISUSU, beserta seluruh anggota dan presidiumnya.
9. Senior saya: Ahmad Alamududy Amri, SH, Irma Latifah Sihite, SH, Diki
Elnanda Chaniago, SH, Mayasari, SH, Zulkifli, SH, Anggraini Fajrin, SH yang banyak member saya tips dan trik untuk berkuliah selama ini.
10.Teman-teman terdekat saya: Heru, Jefri, Kukuh, Rahmat, Darwin, Annisa,
Archiman, Ahmad Solob, Nanda, Sudirman, Herman Chandra, Wina, Yusuf, Harianto, dan seluruh teman- teman fakultas hukum USU stambuk 2006.
11.Adik-adik junior saya: Agmal, Miranda, Teo, Rina, Karin, Ami, Farid,
(6)
Adhari, Rozy, semoga kalian bisa menjadi lebih maju dan hebat dari saya, amin.
12.Anggota MDC yang saya banggakan, dari tahap awal sampai tahap
sekarang, teruskan trah kemenangan FH USU di Debat Konstitusi nasional.
13.Seluruh personil MCC UII yang bersama-sama berjuang dan bergembira
bersama.
14.Korps Duta Muda ASEAN Indonesia, UBK, Biro Rektor, TBM FK USU,
Bank Of The Rumor.
15.PT. Djarum yang menjadikan saya Beswan Djarum, Anggota Beswan
Djarum DSO Medan 2008-2009 yang mempercayakan saya sebagai kordinator, I love u all.
16.First Line Mouse Exterminator, Annisa yang mengagumkan, Andy Bai
yang pintar dan level tertinggi, Izhari yang always lucky.
17.Kepada dia yang selalu membuat saya tersenyum, I love u.
18.Bapak angkat saya Syahril Sofyan, SH, MKn yang sangat sayang pada
saya.
19.Bapak Sunyoto bagian kemahasiswaan Biro rektor yang banyak membantu
(7)
20.Warnet Surbakti sebagai tempat berkumpul dan bermain, Rental nasional yang banyak membantu, dan Warnet Opium yang ramah terhadap user.
21.Seluruh dan segenap pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu
dalam kesempatan ini, semoga Allah membalas kebaikan kalian semua.
Terima kasih saya ucapkan untuk kalian semua, karena memberikan saya ilmu kehidupan, kasih sayang, bekal, cinta, perhatian, kebersamaan, dan kenangan dalam sejarah hidup saya.
(8)
DAFTAR ISI Lembar Pengesahan
Kata Pengantar Daftar Isi Abstraksi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan Judul 1
B. Perumusan Masalah 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 6
D. Tinjauan kepustakaan 7
E. Keaslian Penulisan 9
F. Metode Pengumpulan Data 9
G. Sistematika 10
BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL
A. Pengertian Hukum Humaniter Internasional 12
B. Sumber-Sumber Hukum Humaniter Internasional 15
C. Ruang Lingkup Hukum Humaniter Internasional 27
D. Perkembangan Hukum Humaniter Dari Masa ke Masa 28
E. Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter Internasional 34
BAB III PENGATURAN KONFLIK BERSENJATA DALAM HUKUM HUMANITER
A. Perbandingan antara perang Konvensional dengan
perang moderen dilihat dari sejarah Perkembangan Konflik Bersenjata
(9)
B. Jenis-Jenis Konflik Bersenjata Dalam Ruang Lingkup
Hukum Humaniter 51
C. Akibat Hukum Pecahnya Perang dan Konflik Bersenjata 56
D. Kedudukan Negara ketiga dalam perang dan konflik bersenjata 63
E. Cara-Cara Mengakhiri Perang dan Permusuhan 69
BAB IV TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TENTANG EFEKTIFITAS PENERAPAN DISTINCTION PRINCIPLE DALAM PERANG MODEREN
A. Pengertian Prinsip Pembedaan Dalam Hukum Humaniter
Internasional 74
B. Subjek-Subjek Yang Dilindungi dalam Konflik Bersenjata 78
C. Ketentuan Tentang Perlindungan Masyarakat Sipil Pada Saat
Konflik Bersenjata 90
D. Akibat Hukum Terhadap Pelanggaran Prinsip Pembedaan 103
E. Efektifitas dan Relevansi Penerapan Prinsip Pembedaan
Dalam Perang Moderen 106
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 120
B. Saran 121
Daftar Pustaka 122
(10)
ABSTRAKSI
Peperangan dari masa ke masa senantiasa mengambil korban dalam jumlah yang banyak yang berujung kepada penderitaan, baik kepada pihak yang berperang maupun pihak yang tidak ikut berperang namun terkena dampak dari peperangan tersebut. Peperangan tanpa mengenal batas-batas yang ada telah lazim dipraktekkan dalam berbagai peperangan, pepatah kuno yang mengatakan “segalanya sah dilakukan dalam peperangan” telah menjadi strategi dan siasat yang muncul dengan sendirinya pada saat terjadinya peperangan. Penyerangan terhadap petani, lumbung gandum, saluran air, dan objek-objek lainnya dianggap sebagai bagian dari suatu siasat yang lazim dilakukan sebelum dikenalnya hukum humaniter, barulah kemudian setelah orang-orang mulai merasakan kerugian dari perang tanpa batas tersebut, mereka mulai menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur peperangan, hal inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya hukum humaniter.
Prinsip Pembedaan (distinction principle) merupakan suatu prinsip dalam Hukum Humaniter yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam dua golongan besar, yakni kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam pertempuran, sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak berhak untuk turut serta dalam suatu pertempuran. Perlunya diadakan pembedaan yang demikian adalah untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak dan boleh turut serta dalam pertempuran di medan peperangan. Dengan mengetahui seseorang termasuk dalam kelompok kombatan maka kita harus memahami satu hal : bahwa tugas kombatan adalah untuk bertempur dan maju ke medan peperangan (termasuk jika harus melukai, menghancurkan, melakukan tindakan militer lainnya, bahkan jika harus membunuh musuh sekalipun). Oleh karena berkembangnya Distinction Principle ini dari masa ke masa, mulai dari istilah, objek, maupun peraturan, maka dipandang perlu untuk mengkaji kembali penerapan Distinction Principle ini apabila dikaitkan dengan perkembangan perang itu
sendiri yang pada masa sekarang ini semakin berkembang ke arah borderless
war dimana prinsip-prinsip hukum humaniter terutama Prinsip Pembedaan,
banyak disimpangi oleh pihak-pihak yang berkonflik dimana hal-hal ini disebabkan karena peperangan pada masa moderen ini lebih mengarah kepada perang kota, bukan perang lapangan, dan pihak yang berkonflik bukanlah militer melawan militer, melainkan militer melawan penduduk sipil bersenjata. Hal ini tentu saja penting untuk dikaji lebih jauh untuk memastikan terjaminnya perlindungan terhadap penduduk-penduduk sipil yang menjadi
korban peperangan sebagaimana yang menjadi tujuan dari adanya Distinction
Principle ini.
Penegakan Distinction Principle dalam perang modern ini tidaklah
mudah, hal ini dikarenakan semakin canggihnya persenjataan yang digunakan dalam berperang, selain itu, perang modern dewasa ini telah bergeser menjadi peperangn kota dimana dalam situasi demikian akan sulit untuk membedakan
(11)
kombatan dan non kombatan, namun prinsip pembedaan ini tetap relevan untuk digunakan, karena setidaknya dengan adanya prinsip ini maka pihak-pihak yang berkonflik tidak akan bisa dengan sengaja melakukan pelanggaran hukum humaniter, selain itu, prinsip ini juga merupakan salah satu prinsip penting yang dapat dijadikan dasar untuk mengadili kejahatan perang.
(12)
ABSTRAKSI
Peperangan dari masa ke masa senantiasa mengambil korban dalam jumlah yang banyak yang berujung kepada penderitaan, baik kepada pihak yang berperang maupun pihak yang tidak ikut berperang namun terkena dampak dari peperangan tersebut. Peperangan tanpa mengenal batas-batas yang ada telah lazim dipraktekkan dalam berbagai peperangan, pepatah kuno yang mengatakan “segalanya sah dilakukan dalam peperangan” telah menjadi strategi dan siasat yang muncul dengan sendirinya pada saat terjadinya peperangan. Penyerangan terhadap petani, lumbung gandum, saluran air, dan objek-objek lainnya dianggap sebagai bagian dari suatu siasat yang lazim dilakukan sebelum dikenalnya hukum humaniter, barulah kemudian setelah orang-orang mulai merasakan kerugian dari perang tanpa batas tersebut, mereka mulai menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur peperangan, hal inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya hukum humaniter.
Prinsip Pembedaan (distinction principle) merupakan suatu prinsip dalam Hukum Humaniter yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam dua golongan besar, yakni kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam pertempuran, sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak berhak untuk turut serta dalam suatu pertempuran. Perlunya diadakan pembedaan yang demikian adalah untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak dan boleh turut serta dalam pertempuran di medan peperangan. Dengan mengetahui seseorang termasuk dalam kelompok kombatan maka kita harus memahami satu hal : bahwa tugas kombatan adalah untuk bertempur dan maju ke medan peperangan (termasuk jika harus melukai, menghancurkan, melakukan tindakan militer lainnya, bahkan jika harus membunuh musuh sekalipun). Oleh karena berkembangnya Distinction Principle ini dari masa ke masa, mulai dari istilah, objek, maupun peraturan, maka dipandang perlu untuk mengkaji kembali penerapan Distinction Principle ini apabila dikaitkan dengan perkembangan perang itu
sendiri yang pada masa sekarang ini semakin berkembang ke arah borderless
war dimana prinsip-prinsip hukum humaniter terutama Prinsip Pembedaan,
banyak disimpangi oleh pihak-pihak yang berkonflik dimana hal-hal ini disebabkan karena peperangan pada masa moderen ini lebih mengarah kepada perang kota, bukan perang lapangan, dan pihak yang berkonflik bukanlah militer melawan militer, melainkan militer melawan penduduk sipil bersenjata. Hal ini tentu saja penting untuk dikaji lebih jauh untuk memastikan terjaminnya perlindungan terhadap penduduk-penduduk sipil yang menjadi
korban peperangan sebagaimana yang menjadi tujuan dari adanya Distinction
Principle ini.
Penegakan Distinction Principle dalam perang modern ini tidaklah
mudah, hal ini dikarenakan semakin canggihnya persenjataan yang digunakan dalam berperang, selain itu, perang modern dewasa ini telah bergeser menjadi peperangn kota dimana dalam situasi demikian akan sulit untuk membedakan
(13)
kombatan dan non kombatan, namun prinsip pembedaan ini tetap relevan untuk digunakan, karena setidaknya dengan adanya prinsip ini maka pihak-pihak yang berkonflik tidak akan bisa dengan sengaja melakukan pelanggaran hukum humaniter, selain itu, prinsip ini juga merupakan salah satu prinsip penting yang dapat dijadikan dasar untuk mengadili kejahatan perang.
(14)
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan
peradaban manusia.1
Inti dari peperangan adalah menaklukan lawan, dan lawan hanya akan takluk ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran yang merupakan perwujudan dari naluri mempertahankan diri.
2
1
International Committee of the Red Cross, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta, 1999, halaman 1.
2
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, P.T. Alumni, Bandung,2002, halaman 11.
Jean-Jacques Rousseau memberikan inspirasi bagi perkembangan prinsip-prinsip perang. Dia mengatakan bahwa tujuan perang untuk menghancurkan negara musuh adalah sah secara hukum apabila membunuh prajurit yang menjadi pertahanan terakhir musuh sejauh mereka membawa senjata; tetapi segera setelah mereka meletakkan senjata dan menyerah, mereka bukan lagi musuh atau agen musuh, kini mereka kembali menjadi orang biasa, dan tidak lagi sah secara hukum untuk mengambil hidup mereka. Satu-satunya objek yang paling sah dicapai oleh suatu Negara selama perang adalah melemahkan angkatan bersenjata dari
pihak lawan. Pada Abad ke 18 Jean Jacques Rosseau dalam bukunya “The
(15)
Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi Hukum Humaniter Internasional. Terdapat suatu kenyataan yang menyedihkan dalam sejarah peradaban manusia yang tercatat yaitu selama 3400 tahun, umat manusia hanya
menikmati masa damai selama 250 tahun saja.3 Peperangan dari masa ke masa
senantiasa mengambil korban dakam jumlah yang banyak yang berujung kepada penderitaan, baik kepada pihak yang berperang maupun pihak yang tidak ikut berperang namun terkena dampak dari peperangan tersebut. Peperangan tanpa mengenal batas-batas yang ada telah lazim dipraktekkan dalam berbagai peperangan, pepatah kuno yang mengatakan “segalanya sah dilakukan dalam peperangan” telah menjadi strategi dan siasat yang muncul dengan sendirinya pada saat terjadinya peperangan, penyerangan terhadap petani, lumbung gandum, saluran air, dan objek-objek lainnya dianggap sebagai bagian dari suatu siasat yang lazim dilakukan sebelum dikenalnya hukum humaniter, barulah kemudian setelah orang-orang mulai merasakan kerugian dari perang tanpa batas tersebut, mereka mulai menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur peperangan, hal inilah yang menjadi cikal
bakal lahirnya hukum humaniter. 4
Pada dasarnya, masyarakat international mengakui bahwa peperangan antar Negara atau dalam suatu Negara dalam banyak kasus tidak dapat dihindari. Kemudian, sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata tersebut akan jatuh korban, bukan hanya dari pihak-pihak yang bermusuhan.
3
Jean Picted, “The Geneva Convention and The Laws of War”, Revue International de la croix Rouge, Septembre, 1962, p. 295, dalam Mochtar Kusumaatmadja, ibid, halaman 12.
4
(16)
Akan tetapi, orang-orang yang tidak terlibat secara langsung dengan situasi tersebut juga ikut menjadi korban. Dengan demikian semua orang harus tetap dilindungi HAM-nya, baik dalam keadaan damai maupun perang. Kelahiran hukum humaniter moderen dapat dikatakan dimulai dengan kepedulian dan
keprihatinan Henry Dunant. Ia adalah satu dari ribuan prajurit Prancis dan
Austria yang terluka setelah perang di Solferino (Italia Utara) pada tahun
1859. Dalam buku yang ditulisnya, “Un Souvenir de Solferino”, Dunant
menghimbau dua hal, pertama, agar dicipatkan suatu lembaga international yang khusus menangani orang-orang sakit dan terluka, apapun kebangsaan, agama maupun rasnya. Kedua, negara-negara di dunia dihimbau untuk membuat kesepakatan yang mengakui keberadaan lembaga semacam ini, termasuk memberi jaminan agar orang-orang sakit dan luka lebih diperhatikan. Hal yang paling menyenangkan adalah bahwa Dunant bukan sekedar menghimbau belaka, ia bersama beberapa orang temannya juga
beraksi dengan mendirikan International Committee for Aid to the Wounded –
yang kemudian diberi nama International Committee of the Red Cross.
Komite ini pada akhirnya mendapat tanggapan positif dari sejumlah Negara dan selanjutnya menghasilkan konvensi Jenewa yang pertama, yang diadopsi
oleh 16 Negara Eropa melalui Konvensi Jenewa I pada tahun 1864 5
5
International Committee of The Red Cross, Loc. Cit.
, dan
Konvensi ini dinamakan Convention for the Amelioration of Condition of the
Wounded in Armies in the Field. Dengan lahirnya konvensi ini, perlahan prinsip pembedaan mulai berkembang menjadi lebih konkrit, karena meskipun
(17)
lembaga yang didirikan oleh Henry Dunant adalah lembaga sosial kemanusiaan dan konvensi Jenewa 1864 adalah konvensi tentang perlindungan korban perang, namun kejadian-kejadian diatas secara tidak
langsung turut memisahkan perlakuan antara combatant dan non-combatant
yang mana sebelum lahirnya konvensi Jenewa dan sebelum terbentuknya ICRC, perlakuan antara kedua subjek ini tidaklah dibedakan, jadi dapat dikatakan semenjak lahirnya Konvensi Jenewa dan setelah ICRC berdiri, prinsip pembedaan dalam hukum humaniter muncul secara konkrit dan diterapkan ke dalam hukum tertulis.
Prinsip pembedaan (Distinction Principle) adalah asas yang
membedakan penduduk dari suatu Negara yang sedang berperang dalam dua
golongan yaitu: kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civillian). Dalam
perjanjian internasional, Teori Pembedaan antara Penduduk Sipil dan
Kombatan diterima sebagai prinsip hukum internasional yang kemudian
diterima sebagai cornerstone hukum perang. 6
Konvensi Den hag IV (Konvensi mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat) memuat ketentuan mengenai Prinsip Pembedaan tersebut secara implicit, khususnya dalam lampiran atau Annex-nya yang berjudul Regulating Respecting Laws and Customs of War atau yang lebih dikenal
dengan sebutan Hague Regulations (HR). Bagi kalangan angkatan bersenjata,
ketentuan dalam HR ini sangatlah penting dan dijuluki sebagai The Soldier’s
Vadamecum. Sedangkan dalam Konvensi-Konvensi jenewa, mulai dari
6
E. Rosenblad, International Humanitarian Law of Armed Conflict, Henry Dunant Institute, Geneva, 1979, p. 53-55, dalam F. Sugeng Istanto, perlindungan penduduk sipil dalam perlawanan rakyat semesta dan hukum internasional, Andi Offset, Yogyakarta, 1992, halaman 8.
(18)
Konevensi Jenewa I-IV tidak ada penyebutan istilah Kombatan, melainkan hanya menentukan siapa yang berhak mendapatkan perlakuan sebagai
tawanan perang bila jatuh ke tangan musuh. 7 Bahwa mereka yang disebut
dalam pasal tersebut harus dibedakan dengan penduduk sipil. Seiring
perkembangan, Distinction Pinciple mengalami perluasan makna menjadi
Prinsip Pembedaan Obyek Sipil dan Sasaran Militer yang dimuat dalam protocol I tahun 1977, dalam protocol tersebut dipergunakan istilah “rakyat
sipil” (civilian population), “penduduk sipil” (civilian individual), “obyek
sipil” (civilian objects), “kombatan” (combatant), dan “sasaran militer”
(military objectives). 8
Oleh karena berkembangnya Distinction Principle ini dari masa ke
masa, mulai dari istilah, objek, maupun peraturan, maka dipandang perlu
untuk mengkaji kembali penerapan Distinction Principle ini apabila dikaitkan
dengan perkembangan perang itu sendiri yang pada masa sekarang ini
semakin berkembang ke arah borderless war dimana prinsip-prinsip hukum
humaniter terutama Prinsip Pembedaan, banyak disimpangi oleh pihak-pihak yang berkonflik dimana hal-hal ini disebabkan karena peperangan pada masa moderen ini lebih mengarah kepada perang kota, bukan perang lapangan, dan pihak yang berkonflik bukanlah militer melawan militer, melainkan militer melawan penduduk sipil bersenjata. Hal ini tentu saja penting untuk dikaji lebih jauh untuk memastikan terjaminnya perlindungan terhadap
7
Konvensi Jenewa III Pasal 4.
8
(19)
penduduk sipil yang menjadi korban peperangan sebagaimana yang menjadi
tujuan dari adanya Distinction Principle ini.
B. Rumusan Masalah
Adapun hal yang menjadi permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah:
1. Mengapa perlu dilakukan pembedaan antara combatant dan
civillian dalam konflik bersenjata?
2. Bagaimana Ketentuan Hukum Humaniter Internasional yang
mengatur tentang Distinction Principle ini dalam peperangan dan
konflik bersenjata?
3. Bagaimanakah relevansi dari Distinction Principle ini dalam
peperangan ataupun konflik bersenjata moderen ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui tujuan dan kegunaan dari Distinction Principle
dalam huku m humaniter internasional.
2. Untuk mengetahui Ketentuan Hukum Internasional apa saja yang
mengatur tentang penerapan Distinction Principle ini.
3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan dan relevansi dari
(20)
yang mengatur Distinction Principle ini berkaitan dengan peperangan dan konflik bersenjata pada era moderen.
Manfaat penulisan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Secara teoritis.
Secara teoritis, manfaat yang dapat diperoleh dari pembahasan yang ada dalam skripsi ini adalah mengetahui dan menambah pemahaman
mengenai Distinction Principle, Hal-hal apa saja yang menjadi ruang
lingkup pembahasan Distinction Principle, pengaturannya dalam berbagai
ketentuan hukum internasional, penerapan dan relevansinya dalam peperangan dan konflik bersenjata pada era moderen ini, seperti yang kita ketahui, peperangan dan konflik bersenjata pada masa sekarang ini lebih bergeser menjadi perang kota, dan mengakibatkan kaburnya pembedaan antar obyek sipil dan sasaran militer, yang kemudian akan menyulitkan
tegaknya Distinction Principle ini, sehingga diharapkan setelah mebaca
pembahasan yang ada dalam skripsi ini, pembaca dapat memahami
kedudukan Distinction Principle dalam keadaan demikian.
2. Secara praktis.
Secara praktis, tulisan dalam skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan dan kajian bagi para akademisi untuk dapat mengembangkan dan memberikan pengurusan yang dapat menjadi sumbangan yang berharga bagi perkembangan hukum humaniter internasional.
(21)
D. Tinjauan Kepustakaan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mencari landasan teoritis dari permasalahan yang ada, dapat dikatakan tinjauan kepustakaan merupakan lebih dari separuh sumber yang digunakan dalam penulisan ini, yang dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan berupa buku-buku yang relevan dan jurnal-jurnal internasional yang kemudian digabungkan dengan
bahan-bahan perkuliahan, sehingga penulisan ini bukanlah bersifat “trial and
error” 9
Hal yang menjadi pokok pembahasan dalam Distinction Principle
sebenarnya adalah menentukan perlakuan yang tepat terhadap masing-masing obyek dalam peperangan dan konflik bersenjata sekaligus membedakan yang mana yang boleh menjadi sasaran yang sah dalam peperangan dan yang mana yang tidak boleh diserang, prinsip ini adalah prinsip yang penting dalam hukum humaniter dan telah lama dikenal dalam hukum humaniter, dan Distinction Principle ini senantiasa mengalami perkembangan dari masa perang konvensional hingga ke peperangan moderen, hal ini karena peperangan itu sendiri juga turut berkembang, baik dari segi persenjataan,
pihak-pihak, dan bahkan objek peperangan. 10
9
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, halaman 112.
10
F. Sugeng Istanto, Loc. Cit.
Untuk memantapkan pembahasan terhadap permasalahan ini, penulis menggunakan data-data sekunder yang valid dan relevan, antara lain:
(22)
a. Bahan-bahan tulisan yang mengikat dan terdiri dari sumber-sumber hukum internasional seperti: hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum, konvensi, Doktrin, dan Yurisprudensi.
b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai
bahan-bahan hukum primer seperti komentar dari suatu konvensi, diktat perkuliahan, jurnal-jurnal hukum internasional yang ditulis oleh para akademisi dan para sarjana hukum.
c. Bahan-bahan lain yang mendukung penulisan skripsi ini seperti
diktat, ensiklopedi, dan kamus hukum bahasa inggris
E. Keaslian Penulisan
“TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TENTANG PENERAPAN DISTINCTION PRINCIPLE DALAM PERANG MODEREN” yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan telah diperiksa di dalam data base arsip skripsi departemen hukum internasional fakultas hukum USU, dan telah dinyatakan belum pernah ditulis oleh mahasiswa lain di fakultas hukum USU, penulis menyusun tulisan ini melalui referensi buku-buku, media elektronik, dan bantuan bimbingan dari dosen-dosen pembimbing dan berbagai pihak lain.
(23)
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normative, dengan mengumpulkan data secara studi pustaka atau library research. Penulis mempelajari sumber-sumber berupa bahan-bahan tertulis dan elektronik yang dapat dijadikan materi dalam penulisan skripsi ini dan kemudian disusun menjadi sebuah pembahasan terhadap suatu permasalahan, kemudian diakhiri dengan mensintesiskan bahan-bahan tersebut menjadi sebuah penulisan dan pembahasan yang baru, adapun dalam penulisan ini, tidak perlu dilakukan studi lapangan untuk mengumpulkan data-datanya dikarenakan bahan-bahan dari studi kepustakaan telah cukup.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan sistematika penulisan secara runut dan teratur dengan menggunakan pola deduktif yang dibagi dalam pembahasan bab per bab yang saling berhubungan satu sama lain, sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di dalamnya diuraikan menjadi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, keaslian penulisan, metode pengumpulan data, sistematika penulisan.
BAB II: HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL.
(24)
Merupakan pembahasan mengenai posisi hukum humaniter sebagai bagian dari hukum internasional dan ruang lingkup yang diaturnya.
BAB III: PENGATURAN KONFLIK BERSENJATA DALAM HUKUM HUMANITER.
Merupakan penjelasan dan pembahasan mengenai perkembangan konflik bersenjata dan pengaturannya dalam hukum humaniter internasional dari masa ke masa.
BAB IV: TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TENTANG EFEKTIFITAS PENERAPAN DISTINCTION PRINCIPLE DALAM PERANG MODEREN.
Merupakan penjelasan dan pembahasan sekaligus analisis mengenai inti dari skripsi ini dan sekaligus menjadi puncak pengkerucutan pembahasan dari permasalahan yang diangkat.
BAB V : PENUTUP
Bab terakhir ini merupakan pemberian kesimpulan dari seluruh pembahasan yang ada serta saran-saran yang dapat diberikan oleh penulis.
(25)
BAB II
HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL
A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Hukum Humaniter Internasional (HHI), atau International Humanitarian Law (IHL) atau sering disebut saja sebagai Hukum Humaniter, bukan merupakan cabang ilmu baru dalam Hukum Internasional, sehingga terdapat berbagai rumusan atau definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan Hukum Humaniter. Dalam Khasanah ilmu hukum, hukum humaniter internasional adalah cabang atau bagian dari hukum
internasional publik 11
11
Sanwani Nasution, Hukum Humaniter sebagai bagian dari Hukum Internasional, Makalah disajikan pada: Seminar sehari Hukum Humaniter Internasional; diselenggarakan oleh Departemen Luar Negeri dan Universitas Sumatra Utara, Medan 31 Maret 1999, halaman 6.
. Adapun pendapat mengenai pengertian Hukum Humaniter lainnya dapat dilihat sebagaimana antara lain dikemukakan berikut ini :
(26)
A. Jean Pictet, yang menulis buku tentang “The Principle of International Humanitarian Law”. Dalam buku tersebut, Pictet membagi Hukum Humaniter menjadi dua golongan besar; yaitu :
1. Hukum Perang, yang dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu 12
b). The Geneva Laws, atau hukum yang mengatur tentang perlindungan para korban perang.
: a). The Hague Laws, atau hukum yang mengatur tentang alat dan cara berperang, serta;
2. Hukum Hak Asasi Manusia
Kemudian Pictet memberikan definisi Hukum Humaniter sebagai berikut : “International Humanitarian Law, in the wide sense, is constituted by all the international legal provisions, whether written or customary, ensuring respect for individual and his well being”. Pictet menggunakan istilah hukum perang dalam
dua pengertian, yaitu hukum perang dalam yang sebenarnya (the laws of war
properly so-called), yaitu hukum den Haag; dan hukum humaniter dalam
pengertian yang sebenarnya (humanitarian law properly so-called), yaitu hukum
Jenewa.
B. Geza Herczegh, yang berpendapat bahwa International Humanitarian Law hanyalah terbatas pada hukum Jenewa saja, dan karenanya Herczegh merumuskan hukum humaniter sebagai berikut :
“Part of the rules of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it
12
Haryo Mataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 1994, halaman 1, dalam International Committee of The Red Cross, Op Cit, halaman 5.
(27)
is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different”.
C. Esbjorn Rosenblad, yang membedakan antara :
1. Hukum sengketa bersenjata, yaitu hukum yang mengatur masalah-masalah seperti :
a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian; b. Penduduk di wilayah pendudukan;
c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral.
2. Sedangkan hukum perang, memiliki arti yang lebih sempit daripada hukum sengketabersenjata, yang mencakup antara lain masalah :
a. Metoda dan sarana berperang; b. Status kombatan;
c. Perlindungan terhadap yang sakit, tawanan perang dan orang sipil.
Berbeda dengan Herczegh, maka Rosenblad memasukkan dalam Hukum Humaniter, kecuali Hukum Jenewa, juga sebagian dari Hukum Den Haag, yaitu yang berhubungan dengan metoda dan sarana berperang. Menurut Rosenblad,
Hukum Perang inilah yang oleh ICRC disebut dengan “international
humanitarian law applicable in armed conflict”. Dapat disimpulkan bahwa menurut Rosenblad, Hukum Humaniter identik dengan Hukum Perang, sedangkan Hukum Perang sendiri merupakan bagian dari Hukum Sengketa Bersenjata.
(28)
Dalam suatu kesempatan ceramah pada tanggal 26 Maret 1981, beliau menjelaskan bahwa yang dinamakan Hukum Humaniter adalah sebagian dari Hukum Perang yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang; berlainan dengan hukum perang yang mengatur peperangan itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu, seperti mengenai senjata-senjata yang dilarang. Pada kesempatan lain, Prof Mochtar juga mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum atau Konvensi Jenewa identik atau sinonim dengan hukum atau konvensi-konvensi humaniter; sedangkan Hukum Perang atau Konvensi-konvensi Den Haag mengatur tentang cara melakukan peperangan.
Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi dua bagian 13
1. Ius ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;
:
2. Ius in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi :
a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (the conduct of war).
Bagian ini biasa disebut The Hague Laws
b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban
perang. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws.
Setelah melakukan pembagian tersebut, Mochtar Kusumaatmadja kemudian mengemukakan bahwa Hukum Humaniter adalah “bagian dari hukum yang mengatur ketentuan¬-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri”.
13
(29)
B. SUMBER-SUMBER HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menjadikan aturan-aturan mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. Setiap sistem hukum pasti memiliki sumber hukum sendiri sebagai landasan operasional berlakunya hukum dalam masyarakat. Hukum Humaniter yang sebagaimana telah disebutkan sebelumnya adalah merupakan bagian dari hukum internasional, menjadikannya berbagi sumber hukum yang sama pula dengan sumber hukum internasional dalam tataran perangkat hukum yang bersifat umum, meskipun demikian terdapat pula beberapa sumber-sumber hukum yang sifatnya lebih khusus dan merupakan pegangan utama dalam hukum humaniter internasional. Terdapat tempat yang menunjukkan atau mencantumkan sumber-sumber hukum internasional, yaitu Pasal 7 Konvensi Den Haag XII tanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. Sumber hukum internasional yang telah dijadikan rujukan sebagai sumber otoritatif dapat ditemukan pada Pasal 38 (ayat 1) Statuta Mahkamah Internasional Permanen tanggal 16 Desember 1920 yang kemudian diterima berlakunya dalam piagam
(30)
PBB tanggal 26 Juni 1945. Pasal tersebut secara implisit memberikan daftar
sebagai berikut 14
a) Perjanjian internasional (international convention), apakah yang
berlaku partikular maupun umum, yang kemudian menunjukkan aturan-aturan yang disetujui oleh negara-negara yang terkait;
:
b) kebiasaan Internasional (international custom), sebagaimana yang
telah dibuktikan dan diterima sebagai hukum;
c) prinsip-prinsip hukum umum (the general principles of law
recognized by civilized nations) yang dikenal oleh bangsa-bangsa beradab;
d) putusan-putusan peradilan dan ajaran-ajaran para sarjana, the most
highly qualified publicists, sebagai tambahan bagi pengambilan putusan.
Mengacu pada sumber hukum internasional dalam Pasal 38 (ayat 1) Statuta Mahkamah Internasional tersebut di atas, terdapat dua sumber utama hukum humaniter internasional, yaitu Hukum Den Haag, yang terdiri dari Konvensi Den Haag 1899 dan Konvensi Den Haag 1907, Hukum Jenewa yang terdiri dari Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan I tahun 1977, dan
Protokol Tambahan II tahun 1977 15
a. Konvensi Den Haag Tahun 1899.
. Dua sumber hukum inilah yang secara khusus merupakan sumber hukum utama dalam hukum humaniter, adapun kedua sumber hukum ini mengatur hal-hal yang berbeda antara lain sebagai berikut:
14
International Committee of The Red Cross, Op. Cit. halaman 8.
15
(31)
Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan hukum tentang para pihak yang bertikai dalam melaksanakan operasi militer dan membatasi metode dan cara bertempur yang dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturan-peraturan tersebut termuat dalam Konvensi Den Haag 1899 yang direvisi tahun 1907. Sebagian besar konvensi-konvensi yang disetujui pada Konferensi Perdamaian I telah diganti konvensi-konvensi yang disetujui pada Konferensi Perdamaian II. Konferensi Perdamaian III sebenarnya telah direncanakan namun tidak dapat dilaksanakan karena pecahnya Perang Dunia I. Konferensi Perdamaian I tahun 1899 menghasilkan tiga Konvensi dan tiga deklarasi. Konvensi-konvensi yang dihasilkan adalah:
1) Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan
Internasional. Konvensi ini untuk mencegah adanya perang atau paling tidak menentukan secara sangat terbatas persayaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan pernyataan perang.
2) Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.
Memuat ketentuan yang mengatur cara melakukan operasi militer. Prinsip-prinsip dari Konvensi ini kemudian dimasukkan dalam Hukum Jenewa, yaitu Bab III Protokol
(32)
tambahan I Konvensi Jenewa 1949. Ketentuan yang paling penting dari Konvensi II ini adalah menetapkan bahwa hak setiap yang terlibat dalam pertikaian bersenjata untuk memilih sarana dan metode perang tidaklah tanpa batas.
3) Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa
Tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang Di Laut. Instrumen Konvensi III ini melindungi tentara yang luka, sakit, dan menjadi korban kapal karam serta tawanan perang. Pada perkembangan selanjutnya perlindungan ini telah diperluas dan lebih diperinci dalam Konvensi-konvensi Jenewa sehingga Konvensi Den Haag mengenai perlindungan ini tidak berlaku lagi.
Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
1. Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum, yaitu peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam, sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia. Deklarasi ini disetujui di Den Haag tanggal 29 Juli 1899 dan mengembangkan deklarasi St. Peterspurg Tahun 1868 yang melarang penggunaan proyektil dengan berat di bawah 400 gram yang mengandung bahan peledak atau bahan pembakar.
2. Pelarangan peluncuran proyektil-proyektil dan bahan peledak dari balon, selama jangka lima tahun yang berakhir pada tahun 1905.
(33)
Deklarasi ini disetujui pada tahun 1899 dan direvisi pada tahun 1907. Deklarasi kemudian dihidupkan kembali dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Masyarakat Sipil.
3. Pelarangan penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas cekik dan beracun. Deklarasi ini disetujui pada tahun 1899 dan merupakan upaya pertama untuk melarang penggunaan gas sebagai metode perang yang dianggap sangat kejam dan khianat. Prinsip ini ditegaskan kembali di Jenewa dalam protokol yang melarang penggunaan gas cekik, racun, dan senjata bakterial sebagai metode perang pada tanggal 17 Juni 1925.
b. Konvensi Den Haag 1907.
Konvensi ini adalah hasil Konferensi Perdamaian II tahun 1907 sebagai lanjutan dari Konferensi Perdamaian I tahun 1899 di Den Haag terdiri
dari konvensi-konvensi sebagai berikut 16
16
Jean Picted, Development and Principle of International Humanitarian Law, Martinus Nijhoff Publisher, 1985, halaman 6, dalam International Committee of The Red Cross, Op. Cit, halaman 13.
:
1. Konvensi I Den Haag tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;
2. Konvensi II Den Haag tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut Pembayaran Utang yang Berasal dari Perjanjian perdata;
(34)
3. Konvensi III Den Haag tentang cara memulai peperangan yang
berjudul “Convention Relative to the Opening of Hostilities”. Perang
dalam arti hukum adalah perang yang dimulai dengan konvensi ini. Perang tidak dapat dimulai tanpa adanya pernyataan perang yang disertai alasan atau dengan suatu ultimatum, dengan pernyataan perang jika ultimatum itu tidak dipenuhi;
4. Konvensi IV Den Haag tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat Dilengkapi dengan Peraturan Den Haag yang berjudul lengkap “Convention Respecting to Laws and Customs of War on Land” merupakan penyempurnaan dari Konvensi Den Haag Tahun 1899. Konvensi IV Den Haag hanya terdiri dari 9 pasal, yang dilengkapi
dengan lampiran yang disebut Hague Regulation;
5. Konvensi V Den Haag Mengenai Hak dan Kewajiban Negara serta
Warga Negara Netral dalam Perang di Darat yang berjudul “Neutral
Power and Persons in Land”. Pengertian tersebut membedakan antara Negara Netral dengan Orang Netral. Negara Netral merupakan negara yang menyatakan akan bersikap netral dalam suatu peperangan yang sedang berlangsung, sedangkan Orang Netral adalah warga negara dari suatu negara yang tidak terlibat dalam peperangan;
6. Konvensi VI Den Haag tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Dimulai Peperangan;
(35)
7. Konvensi VII Den Haag tentang Status Kapal Dagang yang Menjadi Kapal Perang;
8. Konvensi VIII Den Haag tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut;
9. Konvensi IX Den Haag tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu Perang;
10. Konvensi X Den Haag tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut;
11. Konvensi XI Den Haag tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut;
12. Konvensi XII Den Haag tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan;
13. Konvensi XIII Den Haag yang berjudul “Neutral Right and Duties
in Maritime War” mengatur Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut.Sebagian besar dari konvensi mengatur perang di laut. Hanya ada satu Konvensi yang mengatur perang di darat, yaitu Konvensi IV. Konvensi IV mempunyai annex yang
disebut Hague Regulations 1907. Ketentuan-ketentuan Hague
Regulations inilah yang sampai sekarang menjadi pegangan bagi para belligerent.
(36)
Hukum Jenewa mengenai perlindungan korban perang pada awalnya terbentuk pada tahun 1864 yang disebut Konvensi Jenewa I. Tujuan diadakannya Konvensi Jenewa adalah memberikan perlindungan kepada para pihak yang menderita dalam peperangan, baik anggota dari angkatan bersenjata ataupun penduduk sipil yang terkena dampak dari
peperangan 17
Konvensi Jenewa 1864 telah mengalami perubahan-perubahan, termasuk perubahan yang dilakukan pada tahun 1949. Perubahan tahun 1949 menghasilkan empat perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi Jenewa 1949, yaitu
.
d. Konvensi Jenewa 1949
18
1. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded And Sick in Armed Forces in the Field. (Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat).
:
2. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick, and Shipwrecked Member of Armed Forces at Sea. (Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit, dan Kapal Karam).
3. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War. (Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tahanan Perang).
17
Ibid, halaman 6.
18
(37)
4. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Person in Time of War.(Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang).
Konvensi-konvensi ini berlaku dalam perang yang dinyatakan atau timbul di antara dua pihak peserta atau lebih, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu pihak. Konvensi-konvensi Jenewa juga berlaku untuk semua peristiwa pendudukan, sebagian, atau seluruh wilayah Peserta Agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak mendapatkan perlawanan. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka para kombatan yang tertangkap di wilayah pendudukan yang tidak dapat melakukan perlawanan juga harus diperlakukan sebagai tawanan perang, dan Konvensi ini akan berlaku sekalipun salah satu pihak yang terlibat dalam konflik bukanlah salah satu peserta dari Konvensi Jenewa. Ada beberapa hal penting dalam Konvensi Jenewa, yang secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Konvensi Jenewa 1949 selain mengatur perang yang bersifat internasional, juga perang yang bersifat non-internasional, yaitu perang yang terjadi di wilayah salah satu pihak Peserta Agung, antara pasukan pihak Perserta Agung dengan pasukan pemberontak.
2. Di dalam Konvensi Jenewa 1949 terdapat ketentuan-ketentuan yang
berlaku utama (Common Article), yaitu ketentuan yang dianggap
sangat penting sehingga terdapat dalam keempat buku dengan
(38)
penting seperti ketentuan umum (Pasal 1, 2, 3, 6, dan 7), ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan (Pasal 49, 59, 51, dan 52), dan ketentuan mengenai pelaksanaan dan ketentuan penutup (Pasal 55-64).
Selain sumber hukum humaniter internasional pokok, yang berupa Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, terdapat sumber hukum humaniter yang lainnya sebagai berikut:
1. Deklarasi Paris (16 April 1865).
Deklarasi Paris 1865 mengatur tentang Perang di Laut yang dirumuskan berdasarkan pengalaman Perang Krim tahun 1864, di mana dua negara yang bersekutu yaitu Inggris dan Perancis menerapkan prinsip-prinsip hukum perang di laut yang berbeda. Untuk mencegah terulangnya kejadian tersebut maka Deklarasi Paris memuat beberapa asas.
Asas-asas Deklarasi Paris:
a. Bahwa pembajakan dihapus dan akan tetap dihapus;
b. bendera netral melindungi barang-barang musuh, kecuali
kontraband perang;
c. barang-barang netral di bawah bendera musuh tidak boleh disita,
kecuali kontraband perang;
d. supaya mengikat, blokade harus efektif. Artinya dilakukan oleh
suatu kekuatan yang mencukupi untuk benar-benar mencegah mendekatnya kapal ke pantai musuh.
(39)
2. Deklarasi St. Petersburg (29 November-11 Desember 1868)
Deklarasi St. Petersburg diprakarsai oleh Tsar Alexander II dari Russia karena diketemukannya sejenis peluru yang jika permukaannya mengenai benda yang keras tutupnya dapat meledak. Tujuan Deklarasi St. Petersburg adalah untuk melarang penggunaan peluru-peluru semacam itu.
3. Rancangan Peraturan Den Haag tentang Perang di Udara (1923) Ketentuan khusus mengenai perang di udara dirancang pada bulan Desember 1922 sampai bulan Februari 1923 oleh komisi para ahli hukum di Den Haag, sebagai realisasi Konferensi Washington 1922. Tujuan pokok komisi ini sebenarnya hanya mengatur penggunaan radio dalam pertempuran. Rancangan ketentuan ini dipergunakan sebagai pedoman dalam pertempuran udara. Substansinya mengatur penggunan pesawat udara di dalam pertempuran dengan segala peralatan yang dimiliki.
4. Protokol Jenewa (17 Juni 1925) tentang Pelarangan Penggunaan Gas Cekik dan Macam-Macam Gas Lain dalam Peperangan.
Larangan penggunaan gas-gas tersebut mencakup larangan penggunaan gas air mata dalam perang dan pemakaian herbasida untuk ketentuan perang. Protokol ini dirumuskan dan ditandatangani dalam suatu Konferensi untuk mengawasi perdagangan internasional senjata dan amunisi.
(40)
5. Protokol London (6 November 1936) tentang Peraturan Penggunaan Kapal Selam dalam Pertempuran.
Protokol ini merupakan penegasan dari Deklarasi tentang hukum perang di laut yang dibentuk di London tanggal 26 Februari 1989 dan belum pernah diratifikasi.
C. RUANG LINGKUP HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Hukum Humaniter atau dapat disebut juga Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata dapat didefinisikan dengan berbagai macam rumusan atau definisi, sebagaimana dapat dilihat disini. Dari berbagai macam ragam definisi yang meliputi berbagai pendapat tersebut, maka berdasarkan pendapat para ahli ruang lingkup hukum humaniter dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu 19
a) ruang lingkup (aliran) yang luas.
:
b) Ruang lingkup sempit.
c) ruang lingkup yang bersifat moderat (tengah).
Mereka yang menganut aliran atau ruang lingkup yang luas, pada umumnya mengatakan bahwa hukum humaniter tidak saja terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa; melainkan juga mencakup Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, sebagaimana dikemukakan seorang ahli yang bernama Jean Pictet. Walaupun demikian, tidak semua ahli yang menganut aliran atau ruang lingkup luas berpendapat seperti itu. Ada juga yang memasukkan ketentuan-ketentuan mengenai keabsahan suatu sengketa bersenjata atau yang lebih dikenal dengan konsep ‘ius ad bellum’ sebagai hal yang juga dipelajari di dalam Hukum Humaniter dan menjadi satu dengan konsep ‘ius ad bellum’. Intinya, menurut
19
Masyhur Effendi, Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok Doktrin Hankamrata,
(41)
golongan ini, ruang lingkup yang dicakup Hukum Humaniter tidak melulu Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag saja. Sedangkan mereka yang menganut ruang lingkup yang sempit tentu saja berpendapat bahwa hukum humaniter internasional hanya terbatas pada kedua sumber ini saja, sedangkan golongan menengah berpendapat bahwa kedua sumber hukum yang ada (Konvensi Den Haag dan Konvensi Jenewa) merupakan sumber utama dari hukum humaniter namun bukanlah satu-satunya, terdapat sumber-sumber hukum lain yang dapat dijadikan dasar dan pegangan meskipun golongan ini sepakat bahwa rujukan utama tetaplah mengacu kepada kedua konvensi diatas. 20
D. PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DARI MASA KE MASA
Sebenarnya sah-sah saja untuk berpendapat mengenai apa yang dimaksudkan dengan Hukum Humaniter, asal memang ada argumentasinya. Jean Pictet sendiri berpendapat seperti itu sudah lama. Konon dia menarik kembali ucapannya itu dan lebih menyetujui aliran tengah. Tidak heran, mengingat antara Hukum Humaniter dan Hukum HAM Internasional memang terdapat perbedaan yang sangat besar. Kedua cabang ilmu Hukum Internasional itu memang bersinggungan, tapi untuk mengatakannya sebagai satu hal yang termasuk ke dalam ruang lingkup Hukum Humaniter tentu itu sudah terlalu jauh. Bagaimanapun, adanya ruang lingkup ini hanyalah untuk keperluan akademis saja, sekedar bisa mengetahui pemikiran-pemikiran yang lebih mendalam mengapa seseorang berpendapat begini dan begitu. Justru yang lebih penting adalah implementasi Hukum Humaniter itu sendiri.
20
Jean Pictet, The Principles of International Humanitarian Law, dalam Haryomataram, op. cit.
(42)
Hampir tidak mungkin menemukan bukti dokumenter kapan dan dimana aturanaturan hukum humaniter itu timbul.Namun, untuk sampai kepada bentuknya yang sekarang, hukum humaniter internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan yang semena-mena dari pihak pihak yang terlibat dalam. Upaya-upaya dapat dibagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter adalah sebagai berikut :
A. Zaman Kuno
Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit dari kedua pihak yang berperang ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini pula, pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan, maka pihakpihak yang berperang biasanya sepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik. Selain itu, dalam berbagai peradaban bangsa-bangsa selama tahun 3000 sampai dengan 1500
(43)
Sebelum Masehi upaya-upaya seperti itu terus dikembangkan. Hal ini
dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai berikut :
(1) Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrase, kekebalan utusan musuh dan perjanjian damai.
(2) Kebudayaan Mesir kuno, sebagaimana disebutkan dalam “seven works
of true mercy”, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh; juga perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan, ”anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda”. Seorang tamu, bahkan musuhpun tak boleh diganggu.
(3) Dalam kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan cara-cara yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas. Mereka menandatangani pernyataan perang dan traktat. Para penduduk yang menyerah, yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota-kota dimana para penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal ini merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak dan penduduknya dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang menang, datang dengan kekejaman.
(44)
(4) Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan undang-undang Manu, para ksatria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang menyerah, yang luka harus segera dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan panah api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang. Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra sejarah, periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dan kebiasaan perang yang dilakukan, antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta larangan menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai sasaran perang, dan juga tentang pengakiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan (prasasti Talang Tuwo) misalnya, berisikan berota raja yang memuat tentang kutukan (dan ultimatum). Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah raja akan diserang oleh bala tentara raja. Begitu pula pada masa kerajaan Gowa diketahui adanya perintah raja
yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik 21
Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil”
. 2. Abad Pertengahan
21
(45)
(just war), ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Adapun prinsip ksatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata tertentu.
3. Zaman Modern
Hukum humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan ini terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi semakin berkepentingan dalam prinsip umum penghormatan manusia. Kecenderungan umum ini diberikan momentum yang menentukan dengan
pendirian Palang Merah Internasional dan ditandatanganinya Konvensi
Jenewa 1864 untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang, dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang perjanjian untuk merawat orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh dengan perlakuan yang sama. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat, mempunyai sejarah yang tertua. Konvensi 1864 ini merupakan hasil yang
(46)
dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu itu Henry Dunant menulis buku tentang pengalaman-pengalamannya di medan pertempuran antara Austria
dengan tentara gabungan Perancis-Sardinia, yang berjudul “Un Souvenir
de Solferino” (1861). Isi buku ini menggambarkan penderitaan prajurit yang luka dan sakit di medan pertempuran Solferino. Pada tahun 1864, Dewan Federal Swiss melaksanakan saran-saran ini dengan mengadakan suatu konferensi internasional yang dihadiri oleh wakil-wakil berkuasa penuh dari negara-negara yang mengikuti konferensi sebelumnya. Konferensi ini menghasilkan apa yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi ini didalamnya mengandung asas-asas bagi perlakuan korban perang yang hingga kini masih berlaku. Konvensi 1864, yaitu Konvensi untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang Darat, dipandang sebagai konvensi-konvensi yang mengawali Konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan perlindungan korban perang. Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat. Berdasarkan konvensi ini, maka unit-unit dan personil kesehatan bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugastugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan mati, baik kawan maupun lawan, tidak boleh dihukum. Konvensi memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal bagi bangunan dan personil kesehatan. Peristiwa penting lainnya
(47)
of Armies of the United States, 1863), di Amerika Serikat, yang mencantumkan instrument-instrumen panjang dan serba lengkap dari semua hukum dan kebiasaan perang, dan juga menggarisbawahi asas-asas kemanusiaan tertentu yang tak begitu jelas sebelumnya. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok-kelompok orang tertentu, seperti tawanan perang, orang yang luka, dsb. Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa kini perkembangan-perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter dikembangkan melalui traktat-traktat yang ditandatangani oleh mayoritas
negaranegara setelah tahun 1850 22
E. MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER
INTERNASIONAL
.
Mekanisme penegakan hukum humaniter internasional dapat ditemukan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan 1977 serta pada aturan-aturan lain yang mengatur mengenai Mahkamah Kejahatan perang baik yang bersifat ad hoc maupun permanen.
1. Mekanisme Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan tahun 1977.
22
Geoffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan Untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2002, halaman 214.
(48)
Dalam pasal 1 Konvensi Jenewa ada suatu kewajiban bagi Pihak Peserta Agung untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi. Menghormati berarti Negara yang bersangkutan harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam konvensi. Sedangkan menjamin penghormatan berarti Negara harus melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan konvensi, termasuk menjatuhkan sanksi apabila diperlukan.
Kewajiban ini dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1 Konvensi I yang merupakan ketentuan yang bersamaan, yang berbunyi sebagai berikut:
“The high contracting parties undertake to enact any legislation necessary to provide effective penal sanctions for person committing, or ordering to be committed, any of.. grave breaches of the present convention defined in the following article.”23
Sejak awal ketika terjadi pelanggaran hukum humaniter atau ketika ada indikasi terjadi pelanggaran hukum humaniter, maka institusi yang
Mekanisme yang terdapat dalam ketentuan ini adalah suatu mekanisme dimana penegakan hukum humaniter internasional yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelaku akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional Negara yang bersangkutan.
23
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka Negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-Undang Nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada tiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi.
(49)
bertanggung jawab segera mengambil tindakan yang diperlukan, sebagai contoh apabila seorang prajurit melakukan pelanggaran hukum humaniter internasional, maka komandan atau atasannya harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghentikan pelanggaran tersebut, dan apabila menjatuhkan hukuman kepada si pelaku. Hal ini diatur dalam pasal 87 protokol I 1977. Dalam pasal 87 ayat 1 Protokol I tersebut jelas terlihat adanya kewajiban komandan untuk mencegah dan kalau perlu menghukum serta melaporkan kepada pihak yang berwenang mengenai pelanggaran terhadap protocol dan konvensi tersebut. Kemudian pada ayat 3 ditekankan mengenai perlunya memberikan sanksi atau hukuman pidana bagi mereka yang melanggar konvensi dan protocol.
Salah satu perkembangan baru yang terdapat dalam protocol tambahan 1977 antara lain adalah mengenai mekanisme yang dilakukan melalui
Komisi Internasional Pencari Fakta (International Fact Finding
Commision). Komisi ini merupakan penyempurnaan atas ketentuan yang terdapat dalam pasal 52 Konvensi IV yang mengatur mengenai prosedur penyelidikan terhadap pelanggaran yang terjadi terhadap hukum humaniter
internasional atau ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa. 24
2. Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC)
Pada bulan Juli tahun 1998 masyarakat internasional mencatat suatu perkembangan penting, yaitu ketika disepakatinya Statuta Mahkamah
24
(50)
Pidana Internasional (International Criminal Court/selanjutnya disebut
ICC). Mahkamah ini merupakan suatu Mahkamah yang bersifat permanen,
Tujuannya adalah untuk mengadili orang-orang yang melakukan kejahatan yang oleh masyarakat internasional dikategorikan sebagai kejahatan serius (The Most Serious of Concern to the International Community) sebagaimana ditetapkan dalam Statuta ICC. ICC juga dibentuk sebagai
pelengkap (complementary) dari Mahkamah Pidana Nasional.
Mengenai complementary tersebut merupakan hal yang penting,
maksudnya bahwa ICC baru menjalankan fungsinya apabila Mahkamah Nasional tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Sehubungan dengan hal ini dalam statute dikatakan bahwa ICC akan bekerja apabila
mahkamah nasional tidak mau (unwilling) dan tidak mampu (unable)
untuk mengadili pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud. Dengan cara ini berarti apabila terjadi suatu kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi ICC, maka si pelaku harus diadili dahulu oleh mahkamah nasionalnya. Apabila Mahkamah Nasional tidak mau atau tidak mampu mengadili si pelaku, maka barulah ICC akan menjalankan fungsinya untuk mengadili si pelaku kejahatan yang bersangkutan.
Yurisdiksi ICC mencakup empat kejahatan, yaitu yang dikategorikan
sebagai the most serious crimes of concern to the international community,
yang meliputi 25
1. Genocide; :
25
Masyhur Effendi, Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok Doktrin Hankamrata,
(51)
2. Crimes against humanity; 3. War crimes;
4. Crimes of aggression.
Agar Mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya, maka Negara yang meratifikasi statute ICC harus menerima yurisdiksi mahkamah. Ini berarti bahwa tindakan meratifikasi statute ICC oleh suatu Negara belum berarti bahwa mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya di Negara tersebut. Untuk itu masih diperlukan suatu tindakan dari Negara yang bersangkutan yang menyatakan Negara tersebut menerima yurisdiksi ICC, hal ini antara lain diatur dalam statuta ICC. Seperti halnya dengan mahkamah yang lainnya pada statuta ICC juga ditegaskan tentang
tanggung jawab pidana individual (individual criminal responsibility).
Statuta mahkamah pidana internasional atau yang disebut dengan statuta roma belum bisa diberlakukan sebelum 60 negara meratifikasinya, sebuah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Bahkan setelah mahkamah ini terbentuk, beberapa hambatan yurisdiksional akan membatasi efektifitasnya pada tahun-tahun awal. Walaupun demikian, mahkamah ini paling tidak memberikan harapan untuk memutus rantai impunity bagi tindak kekejaman terhadap hak asasi manusia dan
meningkatkan daya cegah terhadap kejahatan yang menakutkan itu. 26
26
Statuta Mahkamah Pidana Internasional, ELSAM, Jakarta, 2000, halaman IX.
(52)
BAB III
PENGATURAN KONFLIK BERSENJATA DALAM HUKUM HUMANITER
F. SEJARAH PERKEMBANGAN KONFLIK BERSENJATA DARI MASA KE MASA.
Apabila kita berbicara tentang perang atau konflik bersenjata, maka tentu saja kita tidak bisa melepaskan diri dari sejarah peperangan itu sendiri, istilah konflik bersenjata itu sendiri sebenarnya adalah penyederhanaan istilah dari peperangan, peperangan dianggap sebagai suatu ajang yang tidak mengenal aturan sedangkan konflik bersenjata adalah peperangan yang diatur sedemikian rupa dan terikat kepada aturan-aturan, sehingga istilah konflik bersenjata sekarang lebih lazim digunakan dalam terminologi hukum meskipun dalam bahasa awam masih dikenal
istilah kata perang 27
27
Syahmin AK, Hukum Internasional Humaniter Bagian I, Armico, Bandung, 1985, halaman 13
(53)
Melihat sejarah perang itu sendiri, sejarah mencatat bahwa peperangan merupakan kejadian yang merupakan suatu keniscayaan, artinya adalah peperangan itu pastilah akan terjadi, dan akan selalu ada dalam sejarah peradaban manusia. Peradaban manusia dibangun dari peperangan, peperangan memicu perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dengan amat drastis, hal ini juga menjadi salah satu alas an mengapa bangsa yang terbiasa dengan peperangan, umumny adalah bangsa yang maju dari segi teknologi dan ilmu pengetahuan, seperti misalnya ketika perang salib, perang ini memungkinkan terjadinya transisi atau alih teknologi dalam bidang matematika dan ilmu kimia yang dimiliki oleh bangsa Arab yang kemudian masuk dan diadaptasi oleh bangsa Eropa, demikian pula pada perang kemerdekaan Indonesia, Indonesia mengenal peralatan mesin-mesin dan teknologi lainnya, hal ini adalah salah satu efek yang ditimbulkan oleh peperangan selain efek-efek negatif yang dibawa oleh perang itu sendiri, namun tentu saja, hal ini bukan berarti pembenaran suatu peperangan, hal ini hanyalah merupakan sebuah sisi lain yang dibawa oleh perang selain sisi gelap yang ditimbulkan.
Secara spesifik dan wilayah filosofis, perang merupakan turunan sifat dasar manusia yang tetap sampai sekarang memelihara dominasi dan persaingan sebagai sarana memperkuat eksistensi diri dengan cara menundukkan kehendak pihak yang dimusuhi. Dengan mulai secara psikologis dan fisik. Dengan melibatkan diri sendiri dan orang lain, baik secara kelompok atau bukan. Perang dapat mengakibatkan kesedihan dan
(54)
kemiskinan yang berkepanjangan. sebagai contoh perang dunia yang mengakibatkan hilangnya nyawa beratus-ratus orang di saja hal ini mengakibatkan kesedihan mendalam dalam diri masyarakat
Penyebab terjadinya perang di antaranya adalah28
a) Perbedaan
:
b) Keinginan untuk memperluas wilayah kekuasaan.
c) Perbedaan kepentingan.
d) Perampasan sumber daya alam (minyak, hasil
pertanian,perdagangan)
Dari masa ke masa, telah terjadi peperangan, baik besar maupun kecil, dan hal-hal terkait lainnya seperti faktor penyebab, metode, siasat, persenjataan, maupun penyelesaian, juga turut mengalami perkembangan, berikut adalah sejarah dari beberapa perang besar yang banyak mempengaruhi lahirnya hukum humaniter itu sendiri:
1. Perang Punisia
adalah peperangan yang terjadi antar
28
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi ke sepuluh Bagian 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, halaman 699
(55)
perang terbesar di dunia kuno.Kata Punisia sendiri berasar dari
kata Punici, yang memiliki arti bangsa
Romawi untuk memperluas daerah kekuasaannya. Niat ini
awalnya berlangsung tanpa hambatan yang berarti (hambatan
disini berarti perlawanan dari penduduk asli) hingga akhirnya
Republik Romawi berhadapan dengan Kartago. Pertempuran berlangsung dengan korban mencapai ratusan ribu prajurit. Sebelum serangan Republik Romawi pada Kekaisaran Kartago adalah penguasa daera dengan maritimnya yang kuat. Hingga akhirnya pada
dan menghancurka
Republik Romawi sebagai penguasa terkuat di Mediterania bagian barat. Peperangan ini merupakan titik balik yang berarti bahwa peradaban modern melalui Eropa, bukan melalui Afrika. Kemenangan Romawi terhadap Kartago dalam peperangan ini memberikan Romawi status unggul hingga pembagian Romawi menjadi
(56)
Perang yang terjadi pada tahun merupakan satu konfrontasi terkadang dikenali sebagai legiun-legiun ini sebagai hal yang logis bagi satu proses panjan institusi-institusi politik kerajaan Romawi yang bermula
dengan kerjanya yang membawa
kecelakaan, meneruskan pembaharuan oleh dan kemudian berakhir dengan penguasaan peristiwa-peristiwa yang membentukkan persediaan, adalah jelas bahwa Julius Caesar telah mengambil kesempatan yang disediakan oleh penurunan kekuasaan politik Romawi itu. Selepas perjuangan politik dan tentera yang berpanjangan antara menewaskan puak tradisional yang terakhir dalam Senat Romawi d singkat oleh Caesar sebelum pembunuhannya, menandakan
(57)
akhir dari peralihan atau tidak, perang saudara Caesar dan perubahan-perubah dalam kerajaan Romawi yang dihasilkan telah menghapuskan semua tradisi lama politik republik itu. Peristiwa-peristiwa ini merupakan satu tamparan yang Republik Romawi tidak pernah dapat dipulihkan.
3. Perang Salib
Perang ini adalah kumpulan gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani pada periode 1095 – 1291; biasanya direstui oleh da diluncurkan sebagai respon atas permohonan dari melawan ekspansi dari kecil yang terjadi selama Abad ke 16 di wilayah diluar Benua untuk alasan campuran antara agama, ekonomi dan politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke 11 sampai dengan Abad ke 13. “Perang Salib” lainnya yang tidak
(58)
bernomor berlanjut hingga Abad ke 16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan. Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk internal antara kerajaan-kerajaa dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota resmi dari gerej memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci. Konflik internal antara kerajaan-kerajaan kekuatan-kekuatan politik pun mengakibatkan persekutuan antara satu faksi melawan faksi lainnya seperti persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan salib adalah perkembangan yang terjadi di
(59)
sebelumnya pada menurunnya pengaruh disebabkan oleh gelombang baru seranga Pecahnya dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan peng-Kristen-an bangsa-bangsa telah membuat kelas petarung bersenjata yang energinya digunakan secara salah untuk bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk setempat. waktu 2 abad.
4. Perang Inggris-Perancis
Perang antara Inggris dan Perancis terjadi antara tahun 1803-1814, tidak seperti Kerajaan Eropa lainnya, Inggris tetap berperang secara kecil-kecilan dengan Perancis. Dengan perlindungan dari armada lautnya yang sangat kuat (seperti
yang diucapkan Admiral Jervis "Saya tidak menjamin bahwa
Perancis tidak akan datang menyerang kita, tetapi saya menjamin bahwa mereka tidak akan datang lewat laut"), Inggris dapat tetap mensuplai dan mengadakan perlawanan didarat secara global selama lebih dari satu dekade. Bala tentara Inggris juga menyokong pemberontak di Spanyol melawan Perancis dalam perang Peninsular di tahun
(60)
serta dibantu dengan pergerakan gerilyawan yang sangat aktif, pasukan Anglo-Portugis ini sukses mengganggu pasukan Perancis selama beberapa tahun. Puncaknya pada tahun tentara Inggris memainkan peran penting dalam mengalahkan pasukan Napoleon pada
perjanjian damai (Treaty of Amiens) antara Inggris dan
Perancis telah disepakati pada tanggal kedua belah pihak tidak pernah mematuhinya. Aksi militer kedua belah pihak selalu merusak perjanjian ini seperti misalnya Perancis ikut andil dalam kericuhan sipil d (Stecklikrieg) dan menduduki beberapa kota di Italia, sementara Inggris menduduki mengembalikan hukum kolonial di laut. Pada awal ekspedisi ini kelihatan sukses, akan tetapi dengan cepat berubah menjadi bencana. Komandan Perancis, juga saudara ipar Napoleon dan hampir sebagian besar tentaranya meninggal akibat wabah penyakit kuning, dan juga karena serangan musuh. Napoleon menjadi Kaisar Perancis pada tanggal menobatkan dirinya sendiri sebagai penguasa Notre-Dame pada tanggal untuk menginvasi Inggris, dengan menempatkan 180 ribu tentaranya disekitar kota Boulogne. Tetapi dia menyadari
(61)
bahwa untuk memperoleh keberhasilan dalam rencana invasinya ini dia butuh angkatan laut yang kuat atau setidaknya mengalihkan perhatian angkatan laut Inggris dari selat Inggris. Disusunlah rencana yang kompleks untuk mengalihkan perhatian Inggris dengan menyerang posisi mereka di armada admiral Villeneuve kembali dari aksinya di tanjung Finisterre pada tanggal memblokade Villeneuve di pergi menuju Napoli pada tanggal 19 Oktober , tetapi komandan skuadron Inggris, Lord Nelson mengejarnya dan berhasil menghancurkan armada ini pada menjemput ajalnya akibat tembaka itulah disebut-sebut sebagai awal mula adanya penembak jitu yang membidik komandan regu, dan orang-orang penting sebagai sasarannya). Setelah kekalahan ini, Napoleon tidak pernah lagi mempunyai kemampuan untuk menantang Inggris di laut, bahkan setelah itu semua rencana untuk menginvasi Inggris dibatalkan, dan mengalihkan perhatiannya lagi pada musuh di daratan. Pasukan Perancis meninggalkan Boulogne dan bergerak menuju Austria.
(62)
Disingkat PD I juga dinamakan Perang Dunia Pertama, Perang Besar, Perang Negara-Negara, dan Perang untuk Mengakhiri Semua Perang, adalah sebuah dari termasuk sekitar 20 juta kematian militer dan sipil. Perang ini dimulai setelah teroris terjadi sebelumnya konflik sebesar ini, baik dari jumlah tentara yang dikerahkan dan dilibatkan, maupun jumlah korbannya. massal berlangsung saat perang ini. Empat dinasti, kekuasaan hingga zama setelah perang. Perang Dunia I menjadi saat pecahnya Eropa. Ia juga menjadi pemic menginspirasi revolusi lainnya di negara lainnya seperti
(63)
masalah-masalah yang masih menggantung yang telah menjadi sebab terjadinya Perang Dunia I akan menjadi dasar kebangkita pada yang sangat bergantung kepada melibatkan non-militer dalam perang seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perang Dunia menjadi terkenal denga besar tentara dibatasi geraknya di parit-parit perlindungan dan hanya bisa bergerak sedikit karena pertahanan yang ketat. Ini terjadi khususnya terhadap Front Barat. Lebih dari 9 juta jiwa meninggal di medan perang, dan hampir sebanyak itu juga jumlah warga sipil yang meninggal akibat kekurangan makanan, kelaparan, pembunuhan massal, dan terlibat secara tak sengaja dalam suatu pertempuran.
6. Perang Dunia II,
Dalam bidang politik penyebab terjadinya perang adalah kegagalan LBB yang tidak sanggup menjamin perdamaian sehingga terjadi perlombaan senjata dan politik alliansi atau politik mencari kawan, yang terdiri dari tiga blok besar yaitu Blok Perancis, (demokrasi), Blok Jerman (Fascis/Nazi) Blok Rusia (komunis). Bidang ekonomi timbul politik ekonomi
(64)
yang bersifat imperialis, dalam rangka kepentingan industri dalam negeri masing-masing negera, sehingga terjadi perebutan daerah-daerah jajahan. Salah satu contohnya
misalnya Jerman dengan politik
Eropa Tengah, Jepang dengan politik
menguasai Asia Timur Raya dan Itali dengan polit
Romawai kuno. secara resmi mulai berkecamuk pada tanggal demikian ada yang berpendapat bahwa perang sebenarnya sudah dimulai lebih awal, yaitu pada tanggal ketika Jepang menduduki ini adalah perang yang paling dahsyat pernah terjadi di muka dalam konflik ini. Umumnya dapat dikatakan bahwa peperangan dimulai pada saat pada tanggal 1 September 1939, dan berakhir pada tanggal 14 Agustus 1945 pada saat
menandatangani dokumen
di atas kapal tahun setelah perang dimulai. Perang Dunia II berkecamuk di tiga
(65)
pertempuran-pertempuran dan peristiwa penting di setiap benua.
G. JENIS-JENIS KONFLIK BERSENJATA DALAM RUANG LINGKUP HUKUM HUMANITER.
1. Konflik Bersenjata Internasional
Protokol tambahan I Konvensi-Konvensi Jenewa yang judul aslinya
adalah “Additional Protocol to the Geneva Convention of 12 August 1949,
and Relating to the protection of victims of International Armed Conflict”, mengatur mengenai konflik bersenjata internasional. Pasal 1 ayat 3 Protokol I menyatakan bahwa:
“this protocol, which supplements to the geneva conventions of 12 August 1949 for the protection of war victims, shall apply in the situation reffered to in Article 2 common to this convention” 29
a. Perang yang diumumkan;
Hal ini berarti protocol ini berlaku dalam situasi yang dimaksud dalam pasal 2 ketentuan bersama konvensi jenewa 1949. Pasal 2 ketentuan yang bersamaan dari Konvensi Jenewa 1949 menetapkan bahwa Konvensi ini berlaku dalam hal:
b. Pertikaian bersenjata sekalipun keadaan perang tidak diakui;
c. Pendudukan sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui
perlawanan.
29
United nations, Human Rights a Compilation of International Instruments Volume I (Second
(1)
Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan I tahun 1977, dan Protokol Tambahan II tahun 1977. Dengan adanya dua sumber utama hukum humaniter ini, prinsip pembedaa (Distinction Principle) dapat ditegakkan dalam hukum humaniter internasional, selain itu juga dalam perkembangannya, Prinsip Pembedaan ini diperkuat pula keberadaannya oleh berbagai konvensi internasional antara lain: Deklarasi Paris 1865, Deklarasi St. Petersburg, Peraturan Den Haag tentang perang di udara, Protokol jenewa tentang pelarangan penggunaan gas cekik, dan Protokol London tentang pengaturan penggunaan kapal selam dalam pertempuran.
3. Penegakan Distinction Principle dalam perang modern ini tidaklah mudah, hal ini dikarenakan semakin canggihnya persenjataan yang digunakan dalam berperang, selain itu, perang modern dewasa ini telah bergeser menjadi peperangn kota dimana dalam situasi demikian akan sulit untuk membedakan kombatan dan non kombatan, namun prinsip pembedaan ini tetap relevan untuk digunakan, karena setidaknya dengan adanya prinsip ini maka pihak-pihak yang berkonflik tidak akan bisa dengan sengaja melakukan pelanggaran hukum humaniter, selain itu,
(2)
prinsip ini juga merupakan salah satu prinsip penting yang dapat dijadikan dasar untuk mengadili kejahatan perang. Saran
Dalam pengaturan hukum humaniter, terdapat berbagai prinsip yang terkandung, salah satu prinsip yang paling penting adalah prinsip pembedaan, meskipun telah diatur dalam Konvensi Jenewa, Protokol Tambahan, dan konvensi-konvensi lainnya, akan sangat berguna apabila terdapat suatu ketentuan hukum yang mengatur lokasi peperangan, dengan demikian diharapkan dapat diminimalisir korban dari pihak sipil, pengaturannya dapat berupa konvensi internasional yang di dalamnya mengatur suatu lokasi tertentu yang jauh dari peradaban sebagi suatu “arena resmi” bagi mereka yang akan berkonflik, bagi pihak yang melanggarnya akan dikenakan sanksi, dan perang kota untuk selanjutnya akan dikategorikan sebagai kejahatan perang yang dapat dibawa untuk diadili di Mahkamah Internasional.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA BUKU DAN ARTIKEL
Abdussalam, H.R., 2006. Hukum Pidana Internasional 1. Jakarta: Restu Agung . Haryomataram, KGPH, 2005, Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Majumdar, Anindyo J. et al. 2004. Understanding Global Politics: Issues and Trends. New Delhi: Lancer’s Books.
Starke, J.G, Introduction to International Law. 1977.
Susanto, Joko. Kemanusiaan yang Menentang Kedaulatan: Intervensi kemanusiaan dalam Kilasan. 2004.
(4)
De Mullinen, Frederic, Handbook on the Law of the War for Armed Forces, ICRC, Geneva, 1987.
Fadillah Agus, Kushartoyo B.S., Aji Wibowo, Arlina, Permanasari & Andrey Sujatmoko, Hukum Perang Tradisional di Indonesia, Pusat Studi Hukum Humaniter FH-USAKTI dan ICRC, Jakarta, 1999.
Federal Ministry of Defence of the Federal of Republic of Germany, VR II 3, 1992.
Gasser, Hans-Peter, International Humanitarian Law: An Introduction, paul Haupt
Publisher, Berne-Stuttgart-Vienna, 1993.
Haryomataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press,
Surakarta, 1994.
ICRC-IPU, “Respect for International Humanitarian Law”, Handbook for
Parliamentarians, No. 1, 1999.
Kalshoven, Frits, Constraint on the Waging of War, ICRC, 1991.
Masjhur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar dan Dasar-dasar Hukum
Internasional, IKIP Malang, 1995
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan penerapannya di Indonesia, 1980.
---, Konvensi-konvensi Palang merah Tahun 1949, Binacipta, Bandung,
1986.
Pictet, Jean, Development and Principles of International Humanitarian Law, Martinus Nijhoff Publisher, 1985.
SITUS INTERNET
(5)
Available from: Answers on Hostilities Between Israel and Hezbollah. www.hrw.org , Human Rights Web, An Introduction to Human Rights Movement, www.hrweb.org , 25 Januari 1997
Human Security Center (HSC), Human Security Explained, www.humansecuritycenter.org, 17 Oktober 2005
ICRC, International Humanitarian Law – First 1949 Geneva Convention, www.icrc.org , 12 Agustus 1949
ICRC, International Humanitarian Law – Second 1949 Geneva Convention, www.icrc.org , 12 Agustus 1949
ICRC, International Humanitarian Law – Third 1949 Geneva Convention, www.icrc.org , 12 Agustus 1949
ICRC, International Humanitarian Law – Fourth 1949 Geneva Convention, www.icrc.org , 12 Agustus 1949
ICRC, International Humanitarian Law – Additional Protocol I 1977, www.icrc.org , 8 Juni 1977
ICRC, International Humanitarian Law – Additional Protocol II 2005, www.icrc.org , 8 Juni 1977
ICRC, Advisory Service to International Humanitarian Law. What is International Humanitarian Law? . www.icrc.org , Juli 2004
ICRC, International Humanitarian Law: The Essential Rules. www.icrc.org , 4 Juni 2004
(6)
Israel kills Lebanese Civilian, www.bbc.co.uk , 15 Juli 2006 UNIDIR, Human Security, www.unidir.org , 2006
Wagiman, W. (2005). Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia [internet]. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta