Ius in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi :

Dalam suatu kesempatan ceramah pada tanggal 26 Maret 1981, beliau menjelaskan bahwa yang dinamakan Hukum Humaniter adalah sebagian dari Hukum Perang yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang; berlainan dengan hukum perang yang mengatur peperangan itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu, seperti mengenai senjata- senjata yang dilarang. Pada kesempatan lain, Prof Mochtar juga mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum atau Konvensi Jenewa identik atau sinonim dengan hukum atau konvensi-konvensi humaniter; sedangkan Hukum Perang atau Konvensi-konvensi Den Haag mengatur tentang cara melakukan peperangan. Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi dua bagian 13 1. Ius ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata; :

2. Ius in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi :

a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang the conduct of war. Bagian ini biasa disebut The Hague Laws b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws. Setelah melakukan pembagian tersebut, Mochtar Kusumaatmadja kemudian mengemukakan bahwa Hukum Humaniter adalah “bagian dari hukum yang mengatur ketentuan¬-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri”. 13 Syahmin AK, Hukum Internasional Humaniter Bagian I, Armico, Bandung, 1985, halaman 12. Universitas Sumatera Utara B. SUMBER-SUMBER HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menjadikan aturan-aturan mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. Setiap sistem hukum pasti memiliki sumber hukum sendiri sebagai landasan operasional berlakunya hukum dalam masyarakat. Hukum Humaniter yang sebagaimana telah disebutkan sebelumnya adalah merupakan bagian dari hukum internasional, menjadikannya berbagi sumber hukum yang sama pula dengan sumber hukum internasional dalam tataran perangkat hukum yang bersifat umum, meskipun demikian terdapat pula beberapa sumber-sumber hukum yang sifatnya lebih khusus dan merupakan pegangan utama dalam hukum humaniter internasional. Terdapat tempat yang menunjukkan atau mencantumkan sumber-sumber hukum internasional, yaitu Pasal 7 Konvensi Den Haag XII tanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut International Prize Court dan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. Sumber hukum internasional yang telah dijadikan rujukan sebagai sumber otoritatif dapat ditemukan pada Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional Permanen tanggal 16 Desember 1920 yang kemudian diterima berlakunya dalam piagam Universitas Sumatera Utara PBB tanggal 26 Juni 1945. Pasal tersebut secara implisit memberikan daftar sebagai berikut 14 a Perjanjian internasional international convention, apakah yang berlaku partikular maupun umum, yang kemudian menunjukkan aturan-aturan yang disetujui oleh negara-negara yang terkait; : b kebiasaan Internasional international custom, sebagaimana yang telah dibuktikan dan diterima sebagai hukum; c prinsip-prinsip hukum umum the general principles of law recognized by civilized nations yang dikenal oleh bangsa-bangsa beradab; d putusan-putusan peradilan dan ajaran-ajaran para sarjana, the most highly qualified publicists, sebagai tambahan bagi pengambilan putusan. Mengacu pada sumber hukum internasional dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional tersebut di atas, terdapat dua sumber utama hukum humaniter internasional, yaitu Hukum Den Haag, yang terdiri dari Konvensi Den Haag 1899 dan Konvensi Den Haag 1907, Hukum Jenewa yang terdiri dari Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan I tahun 1977, dan Protokol Tambahan II tahun 1977 15 a. Konvensi Den Haag Tahun 1899. . Dua sumber hukum inilah yang secara khusus merupakan sumber hukum utama dalam hukum humaniter, adapun kedua sumber hukum ini mengatur hal-hal yang berbeda antara lain sebagai berikut: 14 International Committee of The Red Cross, Op. Cit. halaman 8. 15 Ibid, halaman 11. Universitas Sumatera Utara Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan hukum tentang para pihak yang bertikai dalam melaksanakan operasi militer dan membatasi metode dan cara bertempur yang dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturan-peraturan tersebut termuat dalam Konvensi Den Haag 1899 yang direvisi tahun 1907. Sebagian besar konvensi-konvensi yang disetujui pada Konferensi Perdamaian I telah diganti konvensi-konvensi yang disetujui pada Konferensi Perdamaian II. Konferensi Perdamaian III sebenarnya telah direncanakan namun tidak dapat dilaksanakan karena pecahnya Perang Dunia I. Konferensi Perdamaian I tahun 1899 menghasilkan tiga Konvensi dan tiga deklarasi. Konvensi- konvensi yang dihasilkan adalah: 1 Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional. Konvensi ini untuk mencegah adanya perang atau paling tidak menentukan secara sangat terbatas persayaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan pernyataan perang. 2 Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Memuat ketentuan yang mengatur cara melakukan operasi militer. Prinsip-prinsip dari Konvensi ini kemudian dimasukkan dalam Hukum Jenewa, yaitu Bab III Protokol Universitas Sumatera Utara tambahan I Konvensi Jenewa 1949. Ketentuan yang paling penting dari Konvensi II ini adalah menetapkan bahwa hak setiap yang terlibat dalam pertikaian bersenjata untuk memilih sarana dan metode perang tidaklah tanpa batas. 3 Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa Tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang Di Laut. Instrumen Konvensi III ini melindungi tentara yang luka, sakit, dan menjadi korban kapal karam serta tawanan perang. Pada perkembangan selanjutnya perlindungan ini telah diperluas dan lebih diperinci dalam Konvensi-konvensi Jenewa sehingga Konvensi Den Haag mengenai perlindungan ini tidak berlaku lagi. Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut: 1. Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum, yaitu peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam, sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia. Deklarasi ini disetujui di Den Haag tanggal 29 Juli 1899 dan mengembangkan deklarasi St. Peterspurg Tahun 1868 yang melarang penggunaan proyektil dengan berat di bawah 400 gram yang mengandung bahan peledak atau bahan pembakar. 2. Pelarangan peluncuran proyektil-proyektil dan bahan peledak dari balon, selama jangka lima tahun yang berakhir pada tahun 1905. Universitas Sumatera Utara Deklarasi ini disetujui pada tahun 1899 dan direvisi pada tahun 1907. Deklarasi kemudian dihidupkan kembali dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Masyarakat Sipil. 3. Pelarangan penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas cekik dan beracun. Deklarasi ini disetujui pada tahun 1899 dan merupakan upaya pertama untuk melarang penggunaan gas sebagai metode perang yang dianggap sangat kejam dan khianat. Prinsip ini ditegaskan kembali di Jenewa dalam protokol yang melarang penggunaan gas cekik, racun, dan senjata bakterial sebagai metode perang pada tanggal 17 Juni 1925. b. Konvensi Den Haag 1907. Konvensi ini adalah hasil Konferensi Perdamaian II tahun 1907 sebagai lanjutan dari Konferensi Perdamaian I tahun 1899 di Den Haag terdiri dari konvensi-konvensi sebagai berikut 16 16 Jean Picted, Development and Principle of International Humanitarian Law, Martinus Nijhoff Publisher, 1985, halaman 6, dalam International Committee of The Red Cross, Op. Cit, halaman 13. : 1. Konvensi I Den Haag tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional; 2. Konvensi II Den Haag tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut Pembayaran Utang yang Berasal dari Perjanjian perdata; Universitas Sumatera Utara 3. Konvensi III Den Haag tentang cara memulai peperangan yang berjudul “Convention Relative to the Opening of Hostilities”. Perang dalam arti hukum adalah perang yang dimulai dengan konvensi ini. Perang tidak dapat dimulai tanpa adanya pernyataan perang yang disertai alasan atau dengan suatu ultimatum, dengan pernyataan perang jika ultimatum itu tidak dipenuhi; 4. Konvensi IV Den Haag tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat Dilengkapi dengan Peraturan Den Haag yang berjudul lengkap “Convention Respecting to Laws and Customs of War on Land” merupakan penyempurnaan dari Konvensi Den Haag Tahun 1899. Konvensi IV Den Haag hanya terdiri dari 9 pasal, yang dilengkapi dengan lampiran yang disebut Hague Regulation; 5. Konvensi V Den Haag Mengenai Hak dan Kewajiban Negara serta Warga Negara Netral dalam Perang di Darat yang berjudul “Neutral Power and Persons in Land”. Pengertian tersebut membedakan antara Negara Netral dengan Orang Netral. Negara Netral merupakan negara yang menyatakan akan bersikap netral dalam suatu peperangan yang sedang berlangsung, sedangkan Orang Netral adalah warga negara dari suatu negara yang tidak terlibat dalam peperangan; 6. Konvensi VI Den Haag tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Dimulai Peperangan; Universitas Sumatera Utara 7. Konvensi VII Den Haag tentang Status Kapal Dagang yang Menjadi Kapal Perang; 8. Konvensi VIII Den Haag tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut; 9. Konvensi IX Den Haag tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu Perang; 10. Konvensi X Den Haag tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut; 11. Konvensi XI Den Haag tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut; 12. Konvensi XII Den Haag tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan; 13. Konvensi XIII Den Haag yang berjudul “Neutral Right and Duties in Maritime War” mengatur Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut.Sebagian besar dari konvensi mengatur perang di laut. Hanya ada satu Konvensi yang mengatur perang di darat, yaitu Konvensi IV. Konvensi IV mempunyai annex yang disebut Hague Regulations 1907. Ketentuan-ketentuan Hague Regulations inilah yang sampai sekarang menjadi pegangan bagi para belligerent. c. Konvensi Jenewa 1864 Universitas Sumatera Utara Hukum Jenewa mengenai perlindungan korban perang pada awalnya terbentuk pada tahun 1864 yang disebut Konvensi Jenewa I. Tujuan diadakannya Konvensi Jenewa adalah memberikan perlindungan kepada para pihak yang menderita dalam peperangan, baik anggota dari angkatan bersenjata ataupun penduduk sipil yang terkena dampak dari peperangan 17 Konvensi Jenewa 1864 telah mengalami perubahan-perubahan, termasuk perubahan yang dilakukan pada tahun 1949. Perubahan tahun 1949 menghasilkan empat perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi Jenewa 1949, yaitu . d. Konvensi Jenewa 1949 18 1. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded And Sick in Armed Forces in the Field. Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat. : 2. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick, and Shipwrecked Member of Armed Forces at Sea. Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit, dan Kapal Karam. 3. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War. Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tahanan Perang. 17 Ibid, halaman 6. 18 Ibid. Universitas Sumatera Utara 4. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Person in Time of War.Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang- orang Sipil di Waktu Perang. Konvensi-konvensi ini berlaku dalam perang yang dinyatakan atau timbul di antara dua pihak peserta atau lebih, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu pihak. Konvensi-konvensi Jenewa juga berlaku untuk semua peristiwa pendudukan, sebagian, atau seluruh wilayah Peserta Agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak mendapatkan perlawanan. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka para kombatan yang tertangkap di wilayah pendudukan yang tidak dapat melakukan perlawanan juga harus diperlakukan sebagai tawanan perang, dan Konvensi ini akan berlaku sekalipun salah satu pihak yang terlibat dalam konflik bukanlah salah satu peserta dari Konvensi Jenewa. Ada beberapa hal penting dalam Konvensi Jenewa, yang secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Konvensi Jenewa 1949 selain mengatur perang yang bersifat internasional, juga perang yang bersifat non-internasional, yaitu perang yang terjadi di wilayah salah satu pihak Peserta Agung, antara pasukan pihak Perserta Agung dengan pasukan pemberontak. 2. Di dalam Konvensi Jenewa 1949 terdapat ketentuan-ketentuan yang berlaku utama Common Article, yaitu ketentuan yang dianggap sangat penting sehingga terdapat dalam keempat buku dengan perumusan yang sama. Common Articles meliputi beberapa hal Universitas Sumatera Utara penting seperti ketentuan umum Pasal 1, 2, 3, 6, dan 7, ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan Pasal 49, 59, 51, dan 52, dan ketentuan mengenai pelaksanaan dan ketentuan penutup Pasal 55-64. Selain sumber hukum humaniter internasional pokok, yang berupa Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, terdapat sumber hukum humaniter yang lainnya sebagai berikut: 1. Deklarasi Paris 16 April 1865. Deklarasi Paris 1865 mengatur tentang Perang di Laut yang dirumuskan berdasarkan pengalaman Perang Krim tahun 1864, di mana dua negara yang bersekutu yaitu Inggris dan Perancis menerapkan prinsip-prinsip hukum perang di laut yang berbeda. Untuk mencegah terulangnya kejadian tersebut maka Deklarasi Paris memuat beberapa asas. Asas-asas Deklarasi Paris: a. Bahwa pembajakan dihapus dan akan tetap dihapus; b. bendera netral melindungi barang-barang musuh, kecuali kontraband perang; c. barang-barang netral di bawah bendera musuh tidak boleh disita, kecuali kontraband perang; d. supaya mengikat, blokade harus efektif. Artinya dilakukan oleh suatu kekuatan yang mencukupi untuk benar-benar mencegah mendekatnya kapal ke pantai musuh. Universitas Sumatera Utara 2. Deklarasi St. Petersburg 29 November-11 Desember 1868 Deklarasi St. Petersburg diprakarsai oleh Tsar Alexander II dari Russia karena diketemukannya sejenis peluru yang jika permukaannya mengenai benda yang keras tutupnya dapat meledak. Tujuan Deklarasi St. Petersburg adalah untuk melarang penggunaan peluru-peluru semacam itu. 3. Rancangan Peraturan Den Haag tentang Perang di Udara 1923 Ketentuan khusus mengenai perang di udara dirancang pada bulan Desember 1922 sampai bulan Februari 1923 oleh komisi para ahli hukum di Den Haag, sebagai realisasi Konferensi Washington 1922. Tujuan pokok komisi ini sebenarnya hanya mengatur penggunaan radio dalam pertempuran. Rancangan ketentuan ini dipergunakan sebagai pedoman dalam pertempuran udara. Substansinya mengatur penggunan pesawat udara di dalam pertempuran dengan segala peralatan yang dimiliki. 4. Protokol Jenewa 17 Juni 1925 tentang Pelarangan Penggunaan Gas Cekik dan Macam-Macam Gas Lain dalam Peperangan. Larangan penggunaan gas-gas tersebut mencakup larangan penggunaan gas air mata dalam perang dan pemakaian herbasida untuk ketentuan perang. Protokol ini dirumuskan dan ditandatangani dalam suatu Konferensi untuk mengawasi perdagangan internasional senjata dan amunisi. Universitas Sumatera Utara 5. Protokol London 6 November 1936 tentang Peraturan Penggunaan Kapal Selam dalam Pertempuran. Protokol ini merupakan penegasan dari Deklarasi tentang hukum perang di laut yang dibentuk di London tanggal 26 Februari 1989 dan belum pernah diratifikasi. C. RUANG LINGKUP HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Hukum Humaniter atau dapat disebut juga Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata dapat didefinisikan dengan berbagai macam rumusan atau definisi, sebagaimana dapat dilihat disini. Dari berbagai macam ragam definisi yang meliputi berbagai pendapat tersebut, maka berdasarkan pendapat para ahli ruang lingkup hukum humaniter dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu 19 a ruang lingkup aliran yang luas. : b Ruang lingkup sempit. c ruang lingkup yang bersifat moderat tengah. Mereka yang menganut aliran atau ruang lingkup yang luas, pada umumnya mengatakan bahwa hukum humaniter tidak saja terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa; melainkan juga mencakup Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, sebagaimana dikemukakan seorang ahli yang bernama Jean Pictet. Walaupun demikian, tidak semua ahli yang menganut aliran atau ruang lingkup luas berpendapat seperti itu. Ada juga yang memasukkan ketentuan-ketentuan mengenai keabsahan suatu sengketa bersenjata atau yang lebih dikenal dengan konsep ‘ius ad bellum’ sebagai hal yang juga dipelajari di dalam Hukum Humaniter dan menjadi satu dengan konsep ‘ius ad bellum’. Intinya, menurut 19 Masyhur Effendi, Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok Doktrin Hankamrata, Usaha Nasional Surabaya Indonesia, Surabaya, 1994, halaman 49. Universitas Sumatera Utara golongan ini, ruang lingkup yang dicakup Hukum Humaniter tidak melulu Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag saja. Sedangkan mereka yang menganut ruang lingkup yang sempit tentu saja berpendapat bahwa hukum humaniter internasional hanya terbatas pada kedua sumber ini saja, sedangkan golongan menengah berpendapat bahwa kedua sumber hukum yang ada Konvensi Den Haag dan Konvensi Jenewa merupakan sumber utama dari hukum humaniter namun bukanlah satu-satunya, terdapat sumber-sumber hukum lain yang dapat dijadikan dasar dan pegangan meskipun golongan ini sepakat bahwa rujukan utama tetaplah mengacu kepada kedua konvensi diatas. 20 D. PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DARI MASA KE MASA Sebenarnya sah-sah saja untuk berpendapat mengenai apa yang dimaksudkan dengan Hukum Humaniter, asal memang ada argumentasinya. Jean Pictet sendiri berpendapat seperti itu sudah lama. Konon dia menarik kembali ucapannya itu dan lebih menyetujui aliran tengah. Tidak heran, mengingat antara Hukum Humaniter dan Hukum HAM Internasional memang terdapat perbedaan yang sangat besar. Kedua cabang ilmu Hukum Internasional itu memang bersinggungan, tapi untuk mengatakannya sebagai satu hal yang termasuk ke dalam ruang lingkup Hukum Humaniter tentu itu sudah terlalu jauh. Bagaimanapun, adanya ruang lingkup ini hanyalah untuk keperluan akademis saja, sekedar bisa mengetahui pemikiran-pemikiran yang lebih mendalam mengapa seseorang berpendapat begini dan begitu. Justru yang lebih penting adalah implementasi Hukum Humaniter itu sendiri. 20 Jean Pictet, The Principles of International Humanitarian Law, dalam Haryomataram, op. cit. hlm. 15. Universitas Sumatera Utara Hampir tidak mungkin menemukan bukti dokumenter kapan dan dimana aturanaturan hukum humaniter itu timbul.Namun, untuk sampai kepada bentuknya yang sekarang, hukum humaniter internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan yang semena-mena dari pihak pihak yang terlibat dalam. Upaya- upaya dapat dibagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter adalah sebagai berikut :

A. Zaman Kuno