Abad Pertengahan Zaman Modern

4 Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan undang-undang Manu, para ksatria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang menyerah, yang luka harus segera dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan panah api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang. Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra sejarah, periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dan kebiasaan perang yang dilakukan, antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta larangan menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai sasaran perang, dan juga tentang pengakiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan prasasti Talang Tuwo misalnya, berisikan berota raja yang memuat tentang kutukan dan ultimatum. Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah raja akan diserang oleh bala tentara raja. Begitu pula pada masa kerajaan Gowa diketahui adanya perintah raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik 21 Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” .

2. Abad Pertengahan

21 International Committee Of The Red Cross, Op. Cit. halaman 15. Universitas Sumatera Utara just war, ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Adapun prinsip ksatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata tertentu.

3. Zaman Modern

Hukum humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan ini terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi semakin berkepentingan dalam prinsip umum penghormatan manusia. Kecenderungan umum ini diberikan momentum yang menentukan dengan pendirian Palang Merah Internasional dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1864 untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang, dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang perjanjian untuk merawat orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh dengan perlakuan yang sama. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat, mempunyai sejarah yang tertua. Konvensi 1864 ini merupakan hasil yang Universitas Sumatera Utara dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu itu Henry Dunant menulis buku tentang pengalaman-pengalamannya di medan pertempuran antara Austria dengan tentara gabungan Perancis-Sardinia, yang berjudul “Un Souvenir de Solferino” 1861. Isi buku ini menggambarkan penderitaan prajurit yang luka dan sakit di medan pertempuran Solferino. Pada tahun 1864, Dewan Federal Swiss melaksanakan saran-saran ini dengan mengadakan suatu konferensi internasional yang dihadiri oleh wakil-wakil berkuasa penuh dari negara-negara yang mengikuti konferensi sebelumnya. Konferensi ini menghasilkan apa yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi ini didalamnya mengandung asas-asas bagi perlakuan korban perang yang hingga kini masih berlaku. Konvensi 1864, yaitu Konvensi untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang Darat, dipandang sebagai konvensi-konvensi yang mengawali Konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan perlindungan korban perang. Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat. Berdasarkan konvensi ini, maka unit-unit dan personil kesehatan bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugastugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan mati, baik kawan maupun lawan, tidak boleh dihukum. Konvensi memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal bagi bangunan dan personil kesehatan. Peristiwa penting lainnya yang terjadi adalah rancangan Kode Leiber Instructions for Government Universitas Sumatera Utara of Armies of the United States, 1863, di Amerika Serikat, yang mencantumkan instrument-instrumen panjang dan serba lengkap dari semua hukum dan kebiasaan perang, dan juga menggarisbawahi asas-asas kemanusiaan tertentu yang tak begitu jelas sebelumnya. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok-kelompok orang tertentu, seperti tawanan perang, orang yang luka, dsb. Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa kini perkembangan-perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter dikembangkan melalui traktat-traktat yang ditandatangani oleh mayoritas negaranegara setelah tahun 1850 22 E. MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL . Mekanisme penegakan hukum humaniter internasional dapat ditemukan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan 1977 serta pada aturan-aturan lain yang mengatur mengenai Mahkamah Kejahatan perang baik yang bersifat ad hoc maupun permanen. 1. Mekanisme Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan tahun 1977. 22 Geoffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan Untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2002, halaman 214. Universitas Sumatera Utara Dalam pasal 1 Konvensi Jenewa ada suatu kewajiban bagi Pihak Peserta Agung untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi. Menghormati berarti Negara yang bersangkutan harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam konvensi. Sedangkan menjamin penghormatan berarti Negara harus melakukan tindakan- tindakan yang diperlukan apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan- ketentuan konvensi, termasuk menjatuhkan sanksi apabila diperlukan. Kewajiban ini dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1 Konvensi I yang merupakan ketentuan yang bersamaan, yang berbunyi sebagai berikut: “The high contracting parties undertake to enact any legislation necessary to provide effective penal sanctions for person committing, or ordering to be committed, any of.. grave breaches of the present convention defined in the following article.” 23 Sejak awal ketika terjadi pelanggaran hukum humaniter atau ketika ada indikasi terjadi pelanggaran hukum humaniter, maka institusi yang Mekanisme yang terdapat dalam ketentuan ini adalah suatu mekanisme dimana penegakan hukum humaniter internasional yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelaku akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional Negara yang bersangkutan. 23 Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka Negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-Undang Nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada tiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi. Universitas Sumatera Utara bertanggung jawab segera mengambil tindakan yang diperlukan, sebagai contoh apabila seorang prajurit melakukan pelanggaran hukum humaniter internasional, maka komandan atau atasannya harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghentikan pelanggaran tersebut, dan apabila menjatuhkan hukuman kepada si pelaku. Hal ini diatur dalam pasal 87 protokol I 1977. Dalam pasal 87 ayat 1 Protokol I tersebut jelas terlihat adanya kewajiban komandan untuk mencegah dan kalau perlu menghukum serta melaporkan kepada pihak yang berwenang mengenai pelanggaran terhadap protocol dan konvensi tersebut. Kemudian pada ayat 3 ditekankan mengenai perlunya memberikan sanksi atau hukuman pidana bagi mereka yang melanggar konvensi dan protocol. Salah satu perkembangan baru yang terdapat dalam protocol tambahan 1977 antara lain adalah mengenai mekanisme yang dilakukan melalui Komisi Internasional Pencari Fakta International Fact Finding Commision. Komisi ini merupakan penyempurnaan atas ketentuan yang terdapat dalam pasal 52 Konvensi IV yang mengatur mengenai prosedur penyelidikan terhadap pelanggaran yang terjadi terhadap hukum humaniter internasional atau ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa. 24 2. Mahkamah Pidana Internasional International Criminal CourtICC Pada bulan Juli tahun 1998 masyarakat internasional mencatat suatu perkembangan penting, yaitu ketika disepakatinya Statuta Mahkamah 24 Ibid, halaman 184. Universitas Sumatera Utara Pidana Internasional International Criminal Courtselanjutnya disebut ICC. Mahkamah ini merupakan suatu Mahkamah yang bersifat permanen, Tujuannya adalah untuk mengadili orang-orang yang melakukan kejahatan yang oleh masyarakat internasional dikategorikan sebagai kejahatan serius The Most Serious of Concern to the International Community sebagaimana ditetapkan dalam Statuta ICC. ICC juga dibentuk sebagai pelengkap complementary dari Mahkamah Pidana Nasional. Mengenai complementary tersebut merupakan hal yang penting, maksudnya bahwa ICC baru menjalankan fungsinya apabila Mahkamah Nasional tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Sehubungan dengan hal ini dalam statute dikatakan bahwa ICC akan bekerja apabila mahkamah nasional tidak mau unwilling dan tidak mampu unable untuk mengadili pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud. Dengan cara ini berarti apabila terjadi suatu kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi ICC, maka si pelaku harus diadili dahulu oleh mahkamah nasionalnya. Apabila Mahkamah Nasional tidak mau atau tidak mampu mengadili si pelaku, maka barulah ICC akan menjalankan fungsinya untuk mengadili si pelaku kejahatan yang bersangkutan. Yurisdiksi ICC mencakup empat kejahatan, yaitu yang dikategorikan sebagai the most serious crimes of concern to the international community, yang meliputi 25 1. Genocide; : 25 Masyhur Effendi, Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok Doktrin Hankamrata, Usaha Nasional Surabaya Indonesia, Surabaya, 1994, halaman 49. Universitas Sumatera Utara 2. Crimes against humanity; 3. War crimes; 4. Crimes of aggression. Agar Mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya, maka Negara yang meratifikasi statute ICC harus menerima yurisdiksi mahkamah. Ini berarti bahwa tindakan meratifikasi statute ICC oleh suatu Negara belum berarti bahwa mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya di Negara tersebut. Untuk itu masih diperlukan suatu tindakan dari Negara yang bersangkutan yang menyatakan Negara tersebut menerima yurisdiksi ICC, hal ini antara lain diatur dalam statuta ICC. Seperti halnya dengan mahkamah yang lainnya pada statuta ICC juga ditegaskan tentang tanggung jawab pidana individual individual criminal responsibility. Statuta mahkamah pidana internasional atau yang disebut dengan statuta roma belum bisa diberlakukan sebelum 60 negara meratifikasinya, sebuah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Bahkan setelah mahkamah ini terbentuk, beberapa hambatan yurisdiksional akan membatasi efektifitasnya pada tahun-tahun awal. Walaupun demikian, mahkamah ini paling tidak memberikan harapan untuk memutus rantai impunity bagi tindak kekejaman terhadap hak asasi manusia dan meningkatkan daya cegah terhadap kejahatan yang menakutkan itu. 26 26 Statuta Mahkamah Pidana Internasional, ELSAM, Jakarta, 2000, halaman IX. Universitas Sumatera Utara BAB III PENGATURAN KONFLIK BERSENJATA DALAM HUKUM HUMANITER F. SEJARAH PERKEMBANGAN KONFLIK BERSENJATA DARI MASA KE MASA. Apabila kita berbicara tentang perang atau konflik bersenjata, maka tentu saja kita tidak bisa melepaskan diri dari sejarah peperangan itu sendiri, istilah konflik bersenjata itu sendiri sebenarnya adalah penyederhanaan istilah dari peperangan, peperangan dianggap sebagai suatu ajang yang tidak mengenal aturan sedangkan konflik bersenjata adalah peperangan yang diatur sedemikian rupa dan terikat kepada aturan- aturan, sehingga istilah konflik bersenjata sekarang lebih lazim digunakan dalam terminologi hukum meskipun dalam bahasa awam masih dikenal istilah kata perang 27 27 Syahmin AK, Hukum Internasional Humaniter Bagian I, Armico, Bandung, 1985, halaman 13 . Universitas Sumatera Utara Melihat sejarah perang itu sendiri, sejarah mencatat bahwa peperangan merupakan kejadian yang merupakan suatu keniscayaan, artinya adalah peperangan itu pastilah akan terjadi, dan akan selalu ada dalam sejarah peradaban manusia. Peradaban manusia dibangun dari peperangan, peperangan memicu perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dengan amat drastis, hal ini juga menjadi salah satu alas an mengapa bangsa yang terbiasa dengan peperangan, umumny adalah bangsa yang maju dari segi teknologi dan ilmu pengetahuan, seperti misalnya ketika perang salib, perang ini memungkinkan terjadinya transisi atau alih teknologi dalam bidang matematika dan ilmu kimia yang dimiliki oleh bangsa Arab yang kemudian masuk dan diadaptasi oleh bangsa Eropa, demikian pula pada perang kemerdekaan Indonesia, Indonesia mengenal peralatan mesin-mesin dan teknologi lainnya, hal ini adalah salah satu efek yang ditimbulkan oleh peperangan selain efek-efek negatif yang dibawa oleh perang itu sendiri, namun tentu saja, hal ini bukan berarti pembenaran suatu peperangan, hal ini hanyalah merupakan sebuah sisi lain yang dibawa oleh perang selain sisi gelap yang ditimbulkan. Secara spesifik dan wilayah filosofis, perang merupakan turunan sifat dasar manusia yang tetap sampai sekarang memelihara dominasi dan persaingan sebagai sarana memperkuat eksistensi diri dengan cara menundukkan kehendak pihak yang dimusuhi. Dengan mulai secara psikologis dan fisik. Dengan melibatkan diri sendiri dan orang lain, baik secara kelompok atau bukan. Perang dapat mengakibatkan kesedihan dan 39 Universitas Sumatera Utara kemiskinan yang berkepanjangan. sebagai contoh perang dunia yang mengakibatkan hilangnya nyawa beratus-ratus orang di Jepang dan tentu saja hal ini mengakibatkan kesedihan mendalam dalam diri masyarakat Jepang. Penyebab terjadinya perang di antaranya adalah 28 a Perbedaan : ideologi. b Keinginan untuk memperluas wilayah kekuasaan. c Perbedaan kepentingan. d Perampasan sumber daya alam minyak, hasil pertanian,perdagangan Dari masa ke masa, telah terjadi peperangan, baik besar maupun kecil, dan hal-hal terkait lainnya seperti faktor penyebab, metode, siasat, persenjataan, maupun penyelesaian, juga turut mengalami perkembangan, berikut adalah sejarah dari beberapa perang besar yang banyak mempengaruhi lahirnya hukum humaniter itu sendiri: 1. Perang Punisia adalah peperangan yang terjadi antara Romawi dengan Kartago antara tahun 264 hingga 146 SM, dan merupakan 28 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi ke sepuluh Bagian 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, halaman 699 Universitas Sumatera Utara perang terbesar di dunia kuno.Kata Punisia sendiri berasar dari kata Punici, yang memiliki arti bangsa Fenisia dalam bahasa Latin. Perang ini terjadi akibat adanya keinginan bangsa Romawi untuk memperluas daerah kekuasaannya. Niat ini awalnya berlangsung tanpa hambatan yang berarti hambatan disini berarti perlawanan dari penduduk asli hingga akhirnya Republik Romawi berhadapan dengan Kartago. Pertempuran berlangsung dengan korban mencapai ratusan ribu prajurit. Sebelum serangan Republik Romawi pada Perang Punisia I, Kekaisaran Kartago adalah penguasa daerah Mediterania dengan maritimnya yang kuat. Hingga akhirnya pada Perang Punisia III, Republik Romawi berhasil menghancurkan Kartago dan menghancurkan ibukotanya, menjadikan Republik Romawi sebagai penguasa terkuat di Mediterania bagian barat. Peperangan ini merupakan titik balik yang berarti bahwa peradaban Mediterania kuno akan menjadi dunia modern melalui Eropa, bukan melalui Afrika. Kemenangan Romawi terhadap Kartago dalam peperangan ini memberikan Romawi status unggul hingga pembagian Romawi menjadi Romawi Barat dan Timur oleh Diocletian tahun 286 M. 2. Perang saudara Caesar Universitas Sumatera Utara Perang yang terjadi pada tahun 49 SM adalah salah satu darip pertempuran terakhir Kerajaan Romawi. Pertempuran ini merupakan satu konfrontasi politik dan militer antara Julius Caesar, dan legiunnya terhadap orang di Senat Romawi, terkadang dikenali sebagai Optimat, yang didukung oleh legiun-legiun Pompey. Banyak ahli sejarah melihatkan perang ini sebagai hal yang logis bagi satu proses panjang subversi institusi-institusi politik kerajaan Romawi yang bermula dengan kerjanya Tiberius Gracchus yang membawa kecelakaan, meneruskan pembaharuan-pembaharuan legiun oleh Gaius Marius, dan kediktatoran Lucius Cornelius Sulla, dan kemudian berakhir dengan penguasaan Romawi oleh Perintahan Bertiga Pertama. Hal ini benar-benar merupakan peristiwa-peristiwa yang membentukkan persediaan, adalah jelas bahwa Julius Caesar telah mengambil kesempatan yang disediakan oleh penurunan kekuasaan politik Romawi itu. Selepas perjuangan politik dan tentera yang berpanjangan antara 49 dan 45 SM yang merangkumi perang-perang di Italia, Greece, Mesir, Afrika, dan Hispania, Caesar akhirnya menewaskan puak tradisional yang terakhir dalam Senat Romawi di Perang Munda. Bagi sebagian ahli sejarah, perang saudara itu, bersama-sama dengan pemerintahan Romawi yang singkat oleh Caesar sebelum pembunuhannya, menandakan Universitas Sumatera Utara akhir dari Republik Romawi, dan permulaan dari Kekaisaran Romawi. Pada saat ini dalam sejarah dipilih sebagai titik peralihan atau tidak, perang saudara Caesar dan perubahan- perubah dalam kerajaan Romawi yang dihasilkan telah menghapuskan semua tradisi lama politik republik itu. Peristiwa-peristiwa ini merupakan satu tamparan yang Republik Romawi tidak pernah dapat dipulihkan. 3. Perang Salib Perang ini adalah kumpulan gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani pada periode 1095 – 1291; biasanya direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen, dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci” dari kekuasaan Muslim dan awalnya diluncurkan sebagai respon atas permohonan dari Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Ortodox Timur untuk melawan ekspansi dari Dinasti Seljuk yang beragama Islam ke Anatolia. Istilah ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama Abad ke 16 di wilayah diluar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran antara agama, ekonomi dan politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke 11 sampai dengan Abad ke 13. “Perang Salib” lainnya yang tidak Universitas Sumatera Utara bernomor berlanjut hingga Abad ke 16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance. Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan. Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk internal antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib seperti Perang Salib Keempat bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel. Perang Salib Keenam adalah perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan menjadi contoh preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci. Konflik internal antara kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan politik pun mengakibatkan persekutuan antara satu faksi melawan faksi lainnya seperti persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim dalam Perang Salib Kelima. Asal mula ide perang salib adalah perkembangan yang terjadi di Eropa Barat Universitas Sumatera Utara sebelumnya pada Abad Pertengahan, selain itu juga menurunnya pengaruh Kekaisaran Byzantium di timur yang disebabkan oleh gelombang baru serangan Muslim Turki. Pecahnya Kekaisaran Carolingian pada akhir Abad Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan Eropa sesudah peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slav dan Magyar, telah membuat kelas petarung bersenjata yang energinya digunakan secara salah untuk bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk setempat. Semenanjung Iberia dalam kurun waktu 2 abad.

4. Perang Inggris-Perancis