Jean Pictet, yang menulis buku tentang “The Principle of International Geza Herczegh , yang berpendapat bahwa International Humanitarian Law Akibat Hukum Pecahnya Perang dan Konflik Bersenjata

A. Jean Pictet, yang menulis buku tentang “The Principle of International

Humanitarian Law”. Dalam buku tersebut, Pictet membagi Hukum Humaniter menjadi dua golongan besar; yaitu : 1. Hukum Perang, yang dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu 12 b. The Geneva Laws, atau hukum yang mengatur tentang perlindungan para korban perang. : a. The Hague Laws, atau hukum yang mengatur tentang alat dan cara berperang, serta; 2. Hukum Hak Asasi Manusia Kemudian Pictet memberikan definisi Hukum Humaniter sebagai berikut : “International Humanitarian Law, in the wide sense, is constituted by all the international legal provisions, whether written or customary, ensuring respect for individual and his well being”. Pictet menggunakan istilah hukum perang dalam dua pengertian, yaitu hukum perang dalam yang sebenarnya the laws of war properly so-called, yaitu hukum den Haag; dan hukum humaniter dalam pengertian yang sebenarnya humanitarian law properly so-called, yaitu hukum Jenewa.

B. Geza Herczegh , yang berpendapat bahwa International Humanitarian Law

hanyalah terbatas pada hukum Jenewa saja, dan karenanya Herczegh merumuskan hukum humaniter sebagai berikut : “Part of the rules of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it 12 Haryo Mataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 1994, halaman 1, dalam International Committee of The Red Cross, Op Cit, halaman 5. Universitas Sumatera Utara is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different”.

C. Esbjorn Rosenblad , yang membedakan antara :

1. Hukum sengketa bersenjata, yaitu hukum yang mengatur masalah-masalah

seperti : a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian; b. Penduduk di wilayah pendudukan; c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral.

2. Sedangkan hukum perang, memiliki arti yang lebih sempit daripada hukum

sengketabersenjata, yang mencakup antara lain masalah : a. Metoda dan sarana berperang; b. Status kombatan; c. Perlindungan terhadap yang sakit, tawanan perang dan orang sipil. Berbeda dengan Herczegh, maka Rosenblad memasukkan dalam Hukum Humaniter, kecuali Hukum Jenewa, juga sebagian dari Hukum Den Haag, yaitu yang berhubungan dengan metoda dan sarana berperang. Menurut Rosenblad, Hukum Perang inilah yang oleh ICRC disebut dengan “international humanitarian law applicable in armed conflict”. Dapat disimpulkan bahwa menurut Rosenblad, Hukum Humaniter identik dengan Hukum Perang, sedangkan Hukum Perang sendiri merupakan bagian dari Hukum Sengketa Bersenjata.

D. Mochtar Kusumaatmadja

Universitas Sumatera Utara Dalam suatu kesempatan ceramah pada tanggal 26 Maret 1981, beliau menjelaskan bahwa yang dinamakan Hukum Humaniter adalah sebagian dari Hukum Perang yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang; berlainan dengan hukum perang yang mengatur peperangan itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu, seperti mengenai senjata- senjata yang dilarang. Pada kesempatan lain, Prof Mochtar juga mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum atau Konvensi Jenewa identik atau sinonim dengan hukum atau konvensi-konvensi humaniter; sedangkan Hukum Perang atau Konvensi-konvensi Den Haag mengatur tentang cara melakukan peperangan. Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi dua bagian 13 1. Ius ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata; :

2. Ius in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi :

a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang the conduct of war. Bagian ini biasa disebut The Hague Laws b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws. Setelah melakukan pembagian tersebut, Mochtar Kusumaatmadja kemudian mengemukakan bahwa Hukum Humaniter adalah “bagian dari hukum yang mengatur ketentuan¬-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri”. 13 Syahmin AK, Hukum Internasional Humaniter Bagian I, Armico, Bandung, 1985, halaman 12. Universitas Sumatera Utara B. SUMBER-SUMBER HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menjadikan aturan-aturan mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. Setiap sistem hukum pasti memiliki sumber hukum sendiri sebagai landasan operasional berlakunya hukum dalam masyarakat. Hukum Humaniter yang sebagaimana telah disebutkan sebelumnya adalah merupakan bagian dari hukum internasional, menjadikannya berbagi sumber hukum yang sama pula dengan sumber hukum internasional dalam tataran perangkat hukum yang bersifat umum, meskipun demikian terdapat pula beberapa sumber-sumber hukum yang sifatnya lebih khusus dan merupakan pegangan utama dalam hukum humaniter internasional. Terdapat tempat yang menunjukkan atau mencantumkan sumber-sumber hukum internasional, yaitu Pasal 7 Konvensi Den Haag XII tanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut International Prize Court dan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. Sumber hukum internasional yang telah dijadikan rujukan sebagai sumber otoritatif dapat ditemukan pada Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional Permanen tanggal 16 Desember 1920 yang kemudian diterima berlakunya dalam piagam Universitas Sumatera Utara PBB tanggal 26 Juni 1945. Pasal tersebut secara implisit memberikan daftar sebagai berikut 14 a Perjanjian internasional international convention, apakah yang berlaku partikular maupun umum, yang kemudian menunjukkan aturan-aturan yang disetujui oleh negara-negara yang terkait; : b kebiasaan Internasional international custom, sebagaimana yang telah dibuktikan dan diterima sebagai hukum; c prinsip-prinsip hukum umum the general principles of law recognized by civilized nations yang dikenal oleh bangsa-bangsa beradab; d putusan-putusan peradilan dan ajaran-ajaran para sarjana, the most highly qualified publicists, sebagai tambahan bagi pengambilan putusan. Mengacu pada sumber hukum internasional dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional tersebut di atas, terdapat dua sumber utama hukum humaniter internasional, yaitu Hukum Den Haag, yang terdiri dari Konvensi Den Haag 1899 dan Konvensi Den Haag 1907, Hukum Jenewa yang terdiri dari Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan I tahun 1977, dan Protokol Tambahan II tahun 1977 15 a. Konvensi Den Haag Tahun 1899. . Dua sumber hukum inilah yang secara khusus merupakan sumber hukum utama dalam hukum humaniter, adapun kedua sumber hukum ini mengatur hal-hal yang berbeda antara lain sebagai berikut: 14 International Committee of The Red Cross, Op. Cit. halaman 8. 15 Ibid, halaman 11. Universitas Sumatera Utara Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan hukum tentang para pihak yang bertikai dalam melaksanakan operasi militer dan membatasi metode dan cara bertempur yang dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturan-peraturan tersebut termuat dalam Konvensi Den Haag 1899 yang direvisi tahun 1907. Sebagian besar konvensi-konvensi yang disetujui pada Konferensi Perdamaian I telah diganti konvensi-konvensi yang disetujui pada Konferensi Perdamaian II. Konferensi Perdamaian III sebenarnya telah direncanakan namun tidak dapat dilaksanakan karena pecahnya Perang Dunia I. Konferensi Perdamaian I tahun 1899 menghasilkan tiga Konvensi dan tiga deklarasi. Konvensi- konvensi yang dihasilkan adalah: 1 Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional. Konvensi ini untuk mencegah adanya perang atau paling tidak menentukan secara sangat terbatas persayaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan pernyataan perang. 2 Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Memuat ketentuan yang mengatur cara melakukan operasi militer. Prinsip-prinsip dari Konvensi ini kemudian dimasukkan dalam Hukum Jenewa, yaitu Bab III Protokol Universitas Sumatera Utara tambahan I Konvensi Jenewa 1949. Ketentuan yang paling penting dari Konvensi II ini adalah menetapkan bahwa hak setiap yang terlibat dalam pertikaian bersenjata untuk memilih sarana dan metode perang tidaklah tanpa batas. 3 Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa Tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang Di Laut. Instrumen Konvensi III ini melindungi tentara yang luka, sakit, dan menjadi korban kapal karam serta tawanan perang. Pada perkembangan selanjutnya perlindungan ini telah diperluas dan lebih diperinci dalam Konvensi-konvensi Jenewa sehingga Konvensi Den Haag mengenai perlindungan ini tidak berlaku lagi. Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut: 1. Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum, yaitu peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam, sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia. Deklarasi ini disetujui di Den Haag tanggal 29 Juli 1899 dan mengembangkan deklarasi St. Peterspurg Tahun 1868 yang melarang penggunaan proyektil dengan berat di bawah 400 gram yang mengandung bahan peledak atau bahan pembakar. 2. Pelarangan peluncuran proyektil-proyektil dan bahan peledak dari balon, selama jangka lima tahun yang berakhir pada tahun 1905. Universitas Sumatera Utara Deklarasi ini disetujui pada tahun 1899 dan direvisi pada tahun 1907. Deklarasi kemudian dihidupkan kembali dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Masyarakat Sipil. 3. Pelarangan penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas cekik dan beracun. Deklarasi ini disetujui pada tahun 1899 dan merupakan upaya pertama untuk melarang penggunaan gas sebagai metode perang yang dianggap sangat kejam dan khianat. Prinsip ini ditegaskan kembali di Jenewa dalam protokol yang melarang penggunaan gas cekik, racun, dan senjata bakterial sebagai metode perang pada tanggal 17 Juni 1925. b. Konvensi Den Haag 1907. Konvensi ini adalah hasil Konferensi Perdamaian II tahun 1907 sebagai lanjutan dari Konferensi Perdamaian I tahun 1899 di Den Haag terdiri dari konvensi-konvensi sebagai berikut 16 16 Jean Picted, Development and Principle of International Humanitarian Law, Martinus Nijhoff Publisher, 1985, halaman 6, dalam International Committee of The Red Cross, Op. Cit, halaman 13. : 1. Konvensi I Den Haag tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional; 2. Konvensi II Den Haag tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut Pembayaran Utang yang Berasal dari Perjanjian perdata; Universitas Sumatera Utara 3. Konvensi III Den Haag tentang cara memulai peperangan yang berjudul “Convention Relative to the Opening of Hostilities”. Perang dalam arti hukum adalah perang yang dimulai dengan konvensi ini. Perang tidak dapat dimulai tanpa adanya pernyataan perang yang disertai alasan atau dengan suatu ultimatum, dengan pernyataan perang jika ultimatum itu tidak dipenuhi; 4. Konvensi IV Den Haag tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat Dilengkapi dengan Peraturan Den Haag yang berjudul lengkap “Convention Respecting to Laws and Customs of War on Land” merupakan penyempurnaan dari Konvensi Den Haag Tahun 1899. Konvensi IV Den Haag hanya terdiri dari 9 pasal, yang dilengkapi dengan lampiran yang disebut Hague Regulation; 5. Konvensi V Den Haag Mengenai Hak dan Kewajiban Negara serta Warga Negara Netral dalam Perang di Darat yang berjudul “Neutral Power and Persons in Land”. Pengertian tersebut membedakan antara Negara Netral dengan Orang Netral. Negara Netral merupakan negara yang menyatakan akan bersikap netral dalam suatu peperangan yang sedang berlangsung, sedangkan Orang Netral adalah warga negara dari suatu negara yang tidak terlibat dalam peperangan; 6. Konvensi VI Den Haag tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Dimulai Peperangan; Universitas Sumatera Utara 7. Konvensi VII Den Haag tentang Status Kapal Dagang yang Menjadi Kapal Perang; 8. Konvensi VIII Den Haag tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut; 9. Konvensi IX Den Haag tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu Perang; 10. Konvensi X Den Haag tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut; 11. Konvensi XI Den Haag tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut; 12. Konvensi XII Den Haag tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan; 13. Konvensi XIII Den Haag yang berjudul “Neutral Right and Duties in Maritime War” mengatur Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut.Sebagian besar dari konvensi mengatur perang di laut. Hanya ada satu Konvensi yang mengatur perang di darat, yaitu Konvensi IV. Konvensi IV mempunyai annex yang disebut Hague Regulations 1907. Ketentuan-ketentuan Hague Regulations inilah yang sampai sekarang menjadi pegangan bagi para belligerent. c. Konvensi Jenewa 1864 Universitas Sumatera Utara Hukum Jenewa mengenai perlindungan korban perang pada awalnya terbentuk pada tahun 1864 yang disebut Konvensi Jenewa I. Tujuan diadakannya Konvensi Jenewa adalah memberikan perlindungan kepada para pihak yang menderita dalam peperangan, baik anggota dari angkatan bersenjata ataupun penduduk sipil yang terkena dampak dari peperangan 17 Konvensi Jenewa 1864 telah mengalami perubahan-perubahan, termasuk perubahan yang dilakukan pada tahun 1949. Perubahan tahun 1949 menghasilkan empat perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi Jenewa 1949, yaitu . d. Konvensi Jenewa 1949 18 1. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded And Sick in Armed Forces in the Field. Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat. : 2. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick, and Shipwrecked Member of Armed Forces at Sea. Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit, dan Kapal Karam. 3. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War. Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tahanan Perang. 17 Ibid, halaman 6. 18 Ibid. Universitas Sumatera Utara 4. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Person in Time of War.Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang- orang Sipil di Waktu Perang. Konvensi-konvensi ini berlaku dalam perang yang dinyatakan atau timbul di antara dua pihak peserta atau lebih, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu pihak. Konvensi-konvensi Jenewa juga berlaku untuk semua peristiwa pendudukan, sebagian, atau seluruh wilayah Peserta Agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak mendapatkan perlawanan. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka para kombatan yang tertangkap di wilayah pendudukan yang tidak dapat melakukan perlawanan juga harus diperlakukan sebagai tawanan perang, dan Konvensi ini akan berlaku sekalipun salah satu pihak yang terlibat dalam konflik bukanlah salah satu peserta dari Konvensi Jenewa. Ada beberapa hal penting dalam Konvensi Jenewa, yang secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Konvensi Jenewa 1949 selain mengatur perang yang bersifat internasional, juga perang yang bersifat non-internasional, yaitu perang yang terjadi di wilayah salah satu pihak Peserta Agung, antara pasukan pihak Perserta Agung dengan pasukan pemberontak. 2. Di dalam Konvensi Jenewa 1949 terdapat ketentuan-ketentuan yang berlaku utama Common Article, yaitu ketentuan yang dianggap sangat penting sehingga terdapat dalam keempat buku dengan perumusan yang sama. Common Articles meliputi beberapa hal Universitas Sumatera Utara penting seperti ketentuan umum Pasal 1, 2, 3, 6, dan 7, ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan Pasal 49, 59, 51, dan 52, dan ketentuan mengenai pelaksanaan dan ketentuan penutup Pasal 55-64. Selain sumber hukum humaniter internasional pokok, yang berupa Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, terdapat sumber hukum humaniter yang lainnya sebagai berikut: 1. Deklarasi Paris 16 April 1865. Deklarasi Paris 1865 mengatur tentang Perang di Laut yang dirumuskan berdasarkan pengalaman Perang Krim tahun 1864, di mana dua negara yang bersekutu yaitu Inggris dan Perancis menerapkan prinsip-prinsip hukum perang di laut yang berbeda. Untuk mencegah terulangnya kejadian tersebut maka Deklarasi Paris memuat beberapa asas. Asas-asas Deklarasi Paris: a. Bahwa pembajakan dihapus dan akan tetap dihapus; b. bendera netral melindungi barang-barang musuh, kecuali kontraband perang; c. barang-barang netral di bawah bendera musuh tidak boleh disita, kecuali kontraband perang; d. supaya mengikat, blokade harus efektif. Artinya dilakukan oleh suatu kekuatan yang mencukupi untuk benar-benar mencegah mendekatnya kapal ke pantai musuh. Universitas Sumatera Utara 2. Deklarasi St. Petersburg 29 November-11 Desember 1868 Deklarasi St. Petersburg diprakarsai oleh Tsar Alexander II dari Russia karena diketemukannya sejenis peluru yang jika permukaannya mengenai benda yang keras tutupnya dapat meledak. Tujuan Deklarasi St. Petersburg adalah untuk melarang penggunaan peluru-peluru semacam itu. 3. Rancangan Peraturan Den Haag tentang Perang di Udara 1923 Ketentuan khusus mengenai perang di udara dirancang pada bulan Desember 1922 sampai bulan Februari 1923 oleh komisi para ahli hukum di Den Haag, sebagai realisasi Konferensi Washington 1922. Tujuan pokok komisi ini sebenarnya hanya mengatur penggunaan radio dalam pertempuran. Rancangan ketentuan ini dipergunakan sebagai pedoman dalam pertempuran udara. Substansinya mengatur penggunan pesawat udara di dalam pertempuran dengan segala peralatan yang dimiliki. 4. Protokol Jenewa 17 Juni 1925 tentang Pelarangan Penggunaan Gas Cekik dan Macam-Macam Gas Lain dalam Peperangan. Larangan penggunaan gas-gas tersebut mencakup larangan penggunaan gas air mata dalam perang dan pemakaian herbasida untuk ketentuan perang. Protokol ini dirumuskan dan ditandatangani dalam suatu Konferensi untuk mengawasi perdagangan internasional senjata dan amunisi. Universitas Sumatera Utara 5. Protokol London 6 November 1936 tentang Peraturan Penggunaan Kapal Selam dalam Pertempuran. Protokol ini merupakan penegasan dari Deklarasi tentang hukum perang di laut yang dibentuk di London tanggal 26 Februari 1989 dan belum pernah diratifikasi. C. RUANG LINGKUP HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Hukum Humaniter atau dapat disebut juga Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata dapat didefinisikan dengan berbagai macam rumusan atau definisi, sebagaimana dapat dilihat disini. Dari berbagai macam ragam definisi yang meliputi berbagai pendapat tersebut, maka berdasarkan pendapat para ahli ruang lingkup hukum humaniter dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu 19 a ruang lingkup aliran yang luas. : b Ruang lingkup sempit. c ruang lingkup yang bersifat moderat tengah. Mereka yang menganut aliran atau ruang lingkup yang luas, pada umumnya mengatakan bahwa hukum humaniter tidak saja terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa; melainkan juga mencakup Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, sebagaimana dikemukakan seorang ahli yang bernama Jean Pictet. Walaupun demikian, tidak semua ahli yang menganut aliran atau ruang lingkup luas berpendapat seperti itu. Ada juga yang memasukkan ketentuan-ketentuan mengenai keabsahan suatu sengketa bersenjata atau yang lebih dikenal dengan konsep ‘ius ad bellum’ sebagai hal yang juga dipelajari di dalam Hukum Humaniter dan menjadi satu dengan konsep ‘ius ad bellum’. Intinya, menurut 19 Masyhur Effendi, Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok Doktrin Hankamrata, Usaha Nasional Surabaya Indonesia, Surabaya, 1994, halaman 49. Universitas Sumatera Utara golongan ini, ruang lingkup yang dicakup Hukum Humaniter tidak melulu Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag saja. Sedangkan mereka yang menganut ruang lingkup yang sempit tentu saja berpendapat bahwa hukum humaniter internasional hanya terbatas pada kedua sumber ini saja, sedangkan golongan menengah berpendapat bahwa kedua sumber hukum yang ada Konvensi Den Haag dan Konvensi Jenewa merupakan sumber utama dari hukum humaniter namun bukanlah satu-satunya, terdapat sumber-sumber hukum lain yang dapat dijadikan dasar dan pegangan meskipun golongan ini sepakat bahwa rujukan utama tetaplah mengacu kepada kedua konvensi diatas. 20 D. PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DARI MASA KE MASA Sebenarnya sah-sah saja untuk berpendapat mengenai apa yang dimaksudkan dengan Hukum Humaniter, asal memang ada argumentasinya. Jean Pictet sendiri berpendapat seperti itu sudah lama. Konon dia menarik kembali ucapannya itu dan lebih menyetujui aliran tengah. Tidak heran, mengingat antara Hukum Humaniter dan Hukum HAM Internasional memang terdapat perbedaan yang sangat besar. Kedua cabang ilmu Hukum Internasional itu memang bersinggungan, tapi untuk mengatakannya sebagai satu hal yang termasuk ke dalam ruang lingkup Hukum Humaniter tentu itu sudah terlalu jauh. Bagaimanapun, adanya ruang lingkup ini hanyalah untuk keperluan akademis saja, sekedar bisa mengetahui pemikiran-pemikiran yang lebih mendalam mengapa seseorang berpendapat begini dan begitu. Justru yang lebih penting adalah implementasi Hukum Humaniter itu sendiri. 20 Jean Pictet, The Principles of International Humanitarian Law, dalam Haryomataram, op. cit. hlm. 15. Universitas Sumatera Utara Hampir tidak mungkin menemukan bukti dokumenter kapan dan dimana aturanaturan hukum humaniter itu timbul.Namun, untuk sampai kepada bentuknya yang sekarang, hukum humaniter internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan yang semena-mena dari pihak pihak yang terlibat dalam. Upaya- upaya dapat dibagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter adalah sebagai berikut :

A. Zaman Kuno

Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit dari kedua pihak yang berperang ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini pula, pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan, maka pihakpihak yang berperang biasanya sepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik. Selain itu, dalam berbagai peradaban bangsa-bangsa selama tahun 3000 sampai dengan 1500 Universitas Sumatera Utara Sebelum Masehi upaya-upaya seperti itu terus dikembangkan. Hal ini dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai berikut : 1 Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrase, kekebalan utusan musuh dan perjanjian damai. 2 Kebudayaan Mesir kuno, sebagaimana disebutkan dalam “seven works of true mercy”, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh; juga perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan, ”anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda”. Seorang tamu, bahkan musuhpun tak boleh diganggu. 3 Dalam kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan cara-cara yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas. Mereka menandatangani pernyataan perang dan traktat. Para penduduk yang menyerah, yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota-kota dimana para penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal ini merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak dan penduduknya dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang menang, datang dengan kekejaman. Universitas Sumatera Utara 4 Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan undang-undang Manu, para ksatria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang menyerah, yang luka harus segera dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan panah api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang. Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra sejarah, periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dan kebiasaan perang yang dilakukan, antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta larangan menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai sasaran perang, dan juga tentang pengakiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan prasasti Talang Tuwo misalnya, berisikan berota raja yang memuat tentang kutukan dan ultimatum. Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah raja akan diserang oleh bala tentara raja. Begitu pula pada masa kerajaan Gowa diketahui adanya perintah raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik 21 Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” .

2. Abad Pertengahan

21 International Committee Of The Red Cross, Op. Cit. halaman 15. Universitas Sumatera Utara just war, ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Adapun prinsip ksatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata tertentu.

3. Zaman Modern

Hukum humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan ini terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi semakin berkepentingan dalam prinsip umum penghormatan manusia. Kecenderungan umum ini diberikan momentum yang menentukan dengan pendirian Palang Merah Internasional dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1864 untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang, dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang perjanjian untuk merawat orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh dengan perlakuan yang sama. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat, mempunyai sejarah yang tertua. Konvensi 1864 ini merupakan hasil yang Universitas Sumatera Utara dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu itu Henry Dunant menulis buku tentang pengalaman-pengalamannya di medan pertempuran antara Austria dengan tentara gabungan Perancis-Sardinia, yang berjudul “Un Souvenir de Solferino” 1861. Isi buku ini menggambarkan penderitaan prajurit yang luka dan sakit di medan pertempuran Solferino. Pada tahun 1864, Dewan Federal Swiss melaksanakan saran-saran ini dengan mengadakan suatu konferensi internasional yang dihadiri oleh wakil-wakil berkuasa penuh dari negara-negara yang mengikuti konferensi sebelumnya. Konferensi ini menghasilkan apa yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi ini didalamnya mengandung asas-asas bagi perlakuan korban perang yang hingga kini masih berlaku. Konvensi 1864, yaitu Konvensi untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang Darat, dipandang sebagai konvensi-konvensi yang mengawali Konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan perlindungan korban perang. Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat. Berdasarkan konvensi ini, maka unit-unit dan personil kesehatan bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugastugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan mati, baik kawan maupun lawan, tidak boleh dihukum. Konvensi memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal bagi bangunan dan personil kesehatan. Peristiwa penting lainnya yang terjadi adalah rancangan Kode Leiber Instructions for Government Universitas Sumatera Utara of Armies of the United States, 1863, di Amerika Serikat, yang mencantumkan instrument-instrumen panjang dan serba lengkap dari semua hukum dan kebiasaan perang, dan juga menggarisbawahi asas-asas kemanusiaan tertentu yang tak begitu jelas sebelumnya. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok-kelompok orang tertentu, seperti tawanan perang, orang yang luka, dsb. Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa kini perkembangan-perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter dikembangkan melalui traktat-traktat yang ditandatangani oleh mayoritas negaranegara setelah tahun 1850 22 E. MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL . Mekanisme penegakan hukum humaniter internasional dapat ditemukan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan 1977 serta pada aturan-aturan lain yang mengatur mengenai Mahkamah Kejahatan perang baik yang bersifat ad hoc maupun permanen. 1. Mekanisme Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan tahun 1977. 22 Geoffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan Untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2002, halaman 214. Universitas Sumatera Utara Dalam pasal 1 Konvensi Jenewa ada suatu kewajiban bagi Pihak Peserta Agung untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi. Menghormati berarti Negara yang bersangkutan harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam konvensi. Sedangkan menjamin penghormatan berarti Negara harus melakukan tindakan- tindakan yang diperlukan apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan- ketentuan konvensi, termasuk menjatuhkan sanksi apabila diperlukan. Kewajiban ini dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1 Konvensi I yang merupakan ketentuan yang bersamaan, yang berbunyi sebagai berikut: “The high contracting parties undertake to enact any legislation necessary to provide effective penal sanctions for person committing, or ordering to be committed, any of.. grave breaches of the present convention defined in the following article.” 23 Sejak awal ketika terjadi pelanggaran hukum humaniter atau ketika ada indikasi terjadi pelanggaran hukum humaniter, maka institusi yang Mekanisme yang terdapat dalam ketentuan ini adalah suatu mekanisme dimana penegakan hukum humaniter internasional yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelaku akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional Negara yang bersangkutan. 23 Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka Negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-Undang Nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada tiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi. Universitas Sumatera Utara bertanggung jawab segera mengambil tindakan yang diperlukan, sebagai contoh apabila seorang prajurit melakukan pelanggaran hukum humaniter internasional, maka komandan atau atasannya harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghentikan pelanggaran tersebut, dan apabila menjatuhkan hukuman kepada si pelaku. Hal ini diatur dalam pasal 87 protokol I 1977. Dalam pasal 87 ayat 1 Protokol I tersebut jelas terlihat adanya kewajiban komandan untuk mencegah dan kalau perlu menghukum serta melaporkan kepada pihak yang berwenang mengenai pelanggaran terhadap protocol dan konvensi tersebut. Kemudian pada ayat 3 ditekankan mengenai perlunya memberikan sanksi atau hukuman pidana bagi mereka yang melanggar konvensi dan protocol. Salah satu perkembangan baru yang terdapat dalam protocol tambahan 1977 antara lain adalah mengenai mekanisme yang dilakukan melalui Komisi Internasional Pencari Fakta International Fact Finding Commision. Komisi ini merupakan penyempurnaan atas ketentuan yang terdapat dalam pasal 52 Konvensi IV yang mengatur mengenai prosedur penyelidikan terhadap pelanggaran yang terjadi terhadap hukum humaniter internasional atau ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa. 24 2. Mahkamah Pidana Internasional International Criminal CourtICC Pada bulan Juli tahun 1998 masyarakat internasional mencatat suatu perkembangan penting, yaitu ketika disepakatinya Statuta Mahkamah 24 Ibid, halaman 184. Universitas Sumatera Utara Pidana Internasional International Criminal Courtselanjutnya disebut ICC. Mahkamah ini merupakan suatu Mahkamah yang bersifat permanen, Tujuannya adalah untuk mengadili orang-orang yang melakukan kejahatan yang oleh masyarakat internasional dikategorikan sebagai kejahatan serius The Most Serious of Concern to the International Community sebagaimana ditetapkan dalam Statuta ICC. ICC juga dibentuk sebagai pelengkap complementary dari Mahkamah Pidana Nasional. Mengenai complementary tersebut merupakan hal yang penting, maksudnya bahwa ICC baru menjalankan fungsinya apabila Mahkamah Nasional tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Sehubungan dengan hal ini dalam statute dikatakan bahwa ICC akan bekerja apabila mahkamah nasional tidak mau unwilling dan tidak mampu unable untuk mengadili pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud. Dengan cara ini berarti apabila terjadi suatu kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi ICC, maka si pelaku harus diadili dahulu oleh mahkamah nasionalnya. Apabila Mahkamah Nasional tidak mau atau tidak mampu mengadili si pelaku, maka barulah ICC akan menjalankan fungsinya untuk mengadili si pelaku kejahatan yang bersangkutan. Yurisdiksi ICC mencakup empat kejahatan, yaitu yang dikategorikan sebagai the most serious crimes of concern to the international community, yang meliputi 25 1. Genocide; : 25 Masyhur Effendi, Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok Doktrin Hankamrata, Usaha Nasional Surabaya Indonesia, Surabaya, 1994, halaman 49. Universitas Sumatera Utara 2. Crimes against humanity; 3. War crimes; 4. Crimes of aggression. Agar Mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya, maka Negara yang meratifikasi statute ICC harus menerima yurisdiksi mahkamah. Ini berarti bahwa tindakan meratifikasi statute ICC oleh suatu Negara belum berarti bahwa mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya di Negara tersebut. Untuk itu masih diperlukan suatu tindakan dari Negara yang bersangkutan yang menyatakan Negara tersebut menerima yurisdiksi ICC, hal ini antara lain diatur dalam statuta ICC. Seperti halnya dengan mahkamah yang lainnya pada statuta ICC juga ditegaskan tentang tanggung jawab pidana individual individual criminal responsibility. Statuta mahkamah pidana internasional atau yang disebut dengan statuta roma belum bisa diberlakukan sebelum 60 negara meratifikasinya, sebuah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Bahkan setelah mahkamah ini terbentuk, beberapa hambatan yurisdiksional akan membatasi efektifitasnya pada tahun-tahun awal. Walaupun demikian, mahkamah ini paling tidak memberikan harapan untuk memutus rantai impunity bagi tindak kekejaman terhadap hak asasi manusia dan meningkatkan daya cegah terhadap kejahatan yang menakutkan itu. 26 26 Statuta Mahkamah Pidana Internasional, ELSAM, Jakarta, 2000, halaman IX. Universitas Sumatera Utara BAB III PENGATURAN KONFLIK BERSENJATA DALAM HUKUM HUMANITER F. SEJARAH PERKEMBANGAN KONFLIK BERSENJATA DARI MASA KE MASA. Apabila kita berbicara tentang perang atau konflik bersenjata, maka tentu saja kita tidak bisa melepaskan diri dari sejarah peperangan itu sendiri, istilah konflik bersenjata itu sendiri sebenarnya adalah penyederhanaan istilah dari peperangan, peperangan dianggap sebagai suatu ajang yang tidak mengenal aturan sedangkan konflik bersenjata adalah peperangan yang diatur sedemikian rupa dan terikat kepada aturan- aturan, sehingga istilah konflik bersenjata sekarang lebih lazim digunakan dalam terminologi hukum meskipun dalam bahasa awam masih dikenal istilah kata perang 27 27 Syahmin AK, Hukum Internasional Humaniter Bagian I, Armico, Bandung, 1985, halaman 13 . Universitas Sumatera Utara Melihat sejarah perang itu sendiri, sejarah mencatat bahwa peperangan merupakan kejadian yang merupakan suatu keniscayaan, artinya adalah peperangan itu pastilah akan terjadi, dan akan selalu ada dalam sejarah peradaban manusia. Peradaban manusia dibangun dari peperangan, peperangan memicu perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dengan amat drastis, hal ini juga menjadi salah satu alas an mengapa bangsa yang terbiasa dengan peperangan, umumny adalah bangsa yang maju dari segi teknologi dan ilmu pengetahuan, seperti misalnya ketika perang salib, perang ini memungkinkan terjadinya transisi atau alih teknologi dalam bidang matematika dan ilmu kimia yang dimiliki oleh bangsa Arab yang kemudian masuk dan diadaptasi oleh bangsa Eropa, demikian pula pada perang kemerdekaan Indonesia, Indonesia mengenal peralatan mesin-mesin dan teknologi lainnya, hal ini adalah salah satu efek yang ditimbulkan oleh peperangan selain efek-efek negatif yang dibawa oleh perang itu sendiri, namun tentu saja, hal ini bukan berarti pembenaran suatu peperangan, hal ini hanyalah merupakan sebuah sisi lain yang dibawa oleh perang selain sisi gelap yang ditimbulkan. Secara spesifik dan wilayah filosofis, perang merupakan turunan sifat dasar manusia yang tetap sampai sekarang memelihara dominasi dan persaingan sebagai sarana memperkuat eksistensi diri dengan cara menundukkan kehendak pihak yang dimusuhi. Dengan mulai secara psikologis dan fisik. Dengan melibatkan diri sendiri dan orang lain, baik secara kelompok atau bukan. Perang dapat mengakibatkan kesedihan dan 39 Universitas Sumatera Utara kemiskinan yang berkepanjangan. sebagai contoh perang dunia yang mengakibatkan hilangnya nyawa beratus-ratus orang di Jepang dan tentu saja hal ini mengakibatkan kesedihan mendalam dalam diri masyarakat Jepang. Penyebab terjadinya perang di antaranya adalah 28 a Perbedaan : ideologi. b Keinginan untuk memperluas wilayah kekuasaan. c Perbedaan kepentingan. d Perampasan sumber daya alam minyak, hasil pertanian,perdagangan Dari masa ke masa, telah terjadi peperangan, baik besar maupun kecil, dan hal-hal terkait lainnya seperti faktor penyebab, metode, siasat, persenjataan, maupun penyelesaian, juga turut mengalami perkembangan, berikut adalah sejarah dari beberapa perang besar yang banyak mempengaruhi lahirnya hukum humaniter itu sendiri: 1. Perang Punisia adalah peperangan yang terjadi antara Romawi dengan Kartago antara tahun 264 hingga 146 SM, dan merupakan 28 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi ke sepuluh Bagian 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, halaman 699 Universitas Sumatera Utara perang terbesar di dunia kuno.Kata Punisia sendiri berasar dari kata Punici, yang memiliki arti bangsa Fenisia dalam bahasa Latin. Perang ini terjadi akibat adanya keinginan bangsa Romawi untuk memperluas daerah kekuasaannya. Niat ini awalnya berlangsung tanpa hambatan yang berarti hambatan disini berarti perlawanan dari penduduk asli hingga akhirnya Republik Romawi berhadapan dengan Kartago. Pertempuran berlangsung dengan korban mencapai ratusan ribu prajurit. Sebelum serangan Republik Romawi pada Perang Punisia I, Kekaisaran Kartago adalah penguasa daerah Mediterania dengan maritimnya yang kuat. Hingga akhirnya pada Perang Punisia III, Republik Romawi berhasil menghancurkan Kartago dan menghancurkan ibukotanya, menjadikan Republik Romawi sebagai penguasa terkuat di Mediterania bagian barat. Peperangan ini merupakan titik balik yang berarti bahwa peradaban Mediterania kuno akan menjadi dunia modern melalui Eropa, bukan melalui Afrika. Kemenangan Romawi terhadap Kartago dalam peperangan ini memberikan Romawi status unggul hingga pembagian Romawi menjadi Romawi Barat dan Timur oleh Diocletian tahun 286 M. 2. Perang saudara Caesar Universitas Sumatera Utara Perang yang terjadi pada tahun 49 SM adalah salah satu darip pertempuran terakhir Kerajaan Romawi. Pertempuran ini merupakan satu konfrontasi politik dan militer antara Julius Caesar, dan legiunnya terhadap orang di Senat Romawi, terkadang dikenali sebagai Optimat, yang didukung oleh legiun-legiun Pompey. Banyak ahli sejarah melihatkan perang ini sebagai hal yang logis bagi satu proses panjang subversi institusi-institusi politik kerajaan Romawi yang bermula dengan kerjanya Tiberius Gracchus yang membawa kecelakaan, meneruskan pembaharuan-pembaharuan legiun oleh Gaius Marius, dan kediktatoran Lucius Cornelius Sulla, dan kemudian berakhir dengan penguasaan Romawi oleh Perintahan Bertiga Pertama. Hal ini benar-benar merupakan peristiwa-peristiwa yang membentukkan persediaan, adalah jelas bahwa Julius Caesar telah mengambil kesempatan yang disediakan oleh penurunan kekuasaan politik Romawi itu. Selepas perjuangan politik dan tentera yang berpanjangan antara 49 dan 45 SM yang merangkumi perang-perang di Italia, Greece, Mesir, Afrika, dan Hispania, Caesar akhirnya menewaskan puak tradisional yang terakhir dalam Senat Romawi di Perang Munda. Bagi sebagian ahli sejarah, perang saudara itu, bersama-sama dengan pemerintahan Romawi yang singkat oleh Caesar sebelum pembunuhannya, menandakan Universitas Sumatera Utara akhir dari Republik Romawi, dan permulaan dari Kekaisaran Romawi. Pada saat ini dalam sejarah dipilih sebagai titik peralihan atau tidak, perang saudara Caesar dan perubahan- perubah dalam kerajaan Romawi yang dihasilkan telah menghapuskan semua tradisi lama politik republik itu. Peristiwa-peristiwa ini merupakan satu tamparan yang Republik Romawi tidak pernah dapat dipulihkan. 3. Perang Salib Perang ini adalah kumpulan gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani pada periode 1095 – 1291; biasanya direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen, dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci” dari kekuasaan Muslim dan awalnya diluncurkan sebagai respon atas permohonan dari Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Ortodox Timur untuk melawan ekspansi dari Dinasti Seljuk yang beragama Islam ke Anatolia. Istilah ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama Abad ke 16 di wilayah diluar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran antara agama, ekonomi dan politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke 11 sampai dengan Abad ke 13. “Perang Salib” lainnya yang tidak Universitas Sumatera Utara bernomor berlanjut hingga Abad ke 16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance. Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan. Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk internal antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib seperti Perang Salib Keempat bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel. Perang Salib Keenam adalah perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan menjadi contoh preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci. Konflik internal antara kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan politik pun mengakibatkan persekutuan antara satu faksi melawan faksi lainnya seperti persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim dalam Perang Salib Kelima. Asal mula ide perang salib adalah perkembangan yang terjadi di Eropa Barat Universitas Sumatera Utara sebelumnya pada Abad Pertengahan, selain itu juga menurunnya pengaruh Kekaisaran Byzantium di timur yang disebabkan oleh gelombang baru serangan Muslim Turki. Pecahnya Kekaisaran Carolingian pada akhir Abad Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan Eropa sesudah peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slav dan Magyar, telah membuat kelas petarung bersenjata yang energinya digunakan secara salah untuk bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk setempat. Semenanjung Iberia dalam kurun waktu 2 abad.

4. Perang Inggris-Perancis

Perang antara Inggris dan Perancis terjadi antara tahun 1803- 1814, tidak seperti Kerajaan Eropa lainnya, Inggris tetap berperang secara kecil-kecilan dengan Perancis. Dengan perlindungan dari armada lautnya yang sangat kuat seperti yang diucapkan Admiral Jervis Saya tidak menjamin bahwa Perancis tidak akan datang menyerang kita, tetapi saya menjamin bahwa mereka tidak akan datang lewat laut, Inggris dapat tetap mensuplai dan mengadakan perlawanan didarat secara global selama lebih dari satu dekade. Bala tentara Inggris juga menyokong pemberontak di Spanyol melawan Perancis dalam perang Peninsular di tahun 1808- Universitas Sumatera Utara 1814. Dilindungi oleh kondisi alam yang menguntungkan, serta dibantu dengan pergerakan gerilyawan yang sangat aktif, pasukan Anglo-Portugis ini sukses mengganggu pasukan Perancis selama beberapa tahun. Puncaknya pada tahun 1815, tentara Inggris memainkan peran penting dalam mengalahkan pasukan Napoleon pada pertempuran Waterloo. Sebenarnya perjanjian damai Treaty of Amiens antara Inggris dan Perancis telah disepakati pada tanggal 25 Maret 1802. Tetapi kedua belah pihak tidak pernah mematuhinya. Aksi militer kedua belah pihak selalu merusak perjanjian ini seperti misalnya Perancis ikut andil dalam kericuhan sipil di Swiss Stecklikrieg dan menduduki beberapa kota di Italia, sementara Inggris menduduki Malta. Napoleon juga berusaha mengembalikan hukum kolonial di laut. Pada awal ekspedisi ini kelihatan sukses, akan tetapi dengan cepat berubah menjadi bencana. Komandan Perancis, juga saudara ipar Napoleon dan hampir sebagian besar tentaranya meninggal akibat wabah penyakit kuning, dan juga karena serangan musuh. Napoleon menjadi Kaisar Perancis pada tanggal 18 Mei 1804 dan menobatkan dirinya sendiri sebagai penguasa Notre-Dame pada tanggal 2 Desember. Selanjutnya Napoleon berencana untuk menginvasi Inggris, dengan menempatkan 180 ribu tentaranya disekitar kota Boulogne. Tetapi dia menyadari Universitas Sumatera Utara bahwa untuk memperoleh keberhasilan dalam rencana invasinya ini dia butuh angkatan laut yang kuat atau setidaknya mengalihkan perhatian angkatan laut Inggris dari selat Inggris. Disusunlah rencana yang kompleks untuk mengalihkan perhatian Inggris dengan menyerang posisi mereka di India barat, tetapi mengalami kegagalan ketika armada admiral Villeneuve kembali dari aksinya di tanjung Finisterre pada tanggal 22 Juli 1805. Angkatan laut Inggris memblokade Villeneuve di Cádiz sampai dia meninggalkannya pergi menuju Napoli pada tanggal 19 Oktober , tetapi komandan skuadron Inggris, Lord Nelson Horatio Nelson mengejarnya dan berhasil menghancurkan armada ini pada pertempuran Trafalgar tanggal 21 Oktober, yang juga menjemput ajalnya akibat tembakan sniper Perancis saat itulah disebut-sebut sebagai awal mula adanya penembak jitu yang membidik komandan regu, dan orang-orang penting sebagai sasarannya. Setelah kekalahan ini, Napoleon tidak pernah lagi mempunyai kemampuan untuk menantang Inggris di laut, bahkan setelah itu semua rencana untuk menginvasi Inggris dibatalkan, dan mengalihkan perhatiannya lagi pada musuh di daratan. Pasukan Perancis meninggalkan Boulogne dan bergerak menuju Austria. 5. Perang Dunia I Universitas Sumatera Utara Disingkat PD I juga dinamakan Perang Dunia Pertama, Perang Besar, Perang Negara-Negara, dan Perang untuk Mengakhiri Semua Perang, adalah sebuah konflik dunia yang berlangsung dari 1914 hingga 1918. Lebih dari 40 juta orang tewas, termasuk sekitar 20 juta kematian militer dan sipil. Perang ini dimulai setelah Pangeran Franz Ferdinand dari Austria- Hongaria sekarang Austria dibunuh anggota kelompok teroris Serbia, Gavrilo Princip di Sarajevo. Tidak pernah terjadi sebelumnya konflik sebesar ini, baik dari jumlah tentara yang dikerahkan dan dilibatkan, maupun jumlah korbannya. Senjata kimia digunakan untuk pertama kalinya, pemboman massal warga sipil dari udara dilakukan, dan banyak dari pembunuhan massal berskala besar pertama abad ini berlangsung saat perang ini. Empat dinasti, Habsburg, Romanov, Ottoman dan Hohenzollern, yang mempunyai akar kekuasaan hingga zaman Perang Salib, seluruhnya jatuh setelah perang. Perang Dunia I menjadi saat pecahnya orde dunia lama, menandai berakhirnya monarki absolutisme di Eropa. Ia juga menjadi pemicu Revolusi Rusia, yang akan menginspirasi revolusi lainnya di negara lainnya seperti Tiongkok dan Kuba, dan akan menjadi basis bagi Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Kekalahan Jerman dalam perang ini dan kegagalan untuk menyelesaikan Universitas Sumatera Utara masalah-masalah yang masih menggantung yang telah menjadi sebab terjadinya Perang Dunia I akan menjadi dasar kebangkitan Nazi, dan dengan itu pecahnya Perang Dunia II pada 1939. Ia juga menjadi dasar bagi peperangan bentuk baru yang sangat bergantung kepada teknologi, dan akan melibatkan non-militer dalam perang seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perang Dunia menjadi terkenal dengan peperangan parit perlindungannya, di mana sejumlah besar tentara dibatasi geraknya di parit-parit perlindungan dan hanya bisa bergerak sedikit karena pertahanan yang ketat. Ini terjadi khususnya terhadap Front Barat. Lebih dari 9 juta jiwa meninggal di medan perang, dan hampir sebanyak itu juga jumlah warga sipil yang meninggal akibat kekurangan makanan, kelaparan, pembunuhan massal, dan terlibat secara tak sengaja dalam suatu pertempuran. 6. Perang Dunia II, Dalam bidang politik penyebab terjadinya perang adalah kegagalan LBB yang tidak sanggup menjamin perdamaian sehingga terjadi perlombaan senjata dan politik alliansi atau politik mencari kawan, yang terdiri dari tiga blok besar yaitu Blok Perancis, demokrasi, Blok Jerman FascisNazi Blok Rusia komunis. Bidang ekonomi timbul politik ekonomi Universitas Sumatera Utara yang bersifat imperialis, dalam rangka kepentingan industri dalam negeri masing-masing negera, sehingga terjadi perebutan daerah-daerah jajahan. Salah satu contohnya misalnya Jerman dengan politik libensrum ingin menguasai Eropa Tengah, Jepang dengan politik Hakko-I-Chiu ingin menguasai Asia Timur Raya dan Itali dengan politik Italia Irredenta nya ingin menguasai daerah yang luas seperti Romawai kuno. secara resmi mulai berkecamuk pada tanggal 1 September 1939 sampai tanggal 2 September 1945. Meskipun demikian ada yang berpendapat bahwa perang sebenarnya sudah dimulai lebih awal, yaitu pada tanggal 1 Maret 1937 ketika Jepang menduduki Manchuria. Sampai saat ini, perang ini adalah perang yang paling dahsyat pernah terjadi di muka bumi. Kurang lebih 50.000.000 lima puluh juta orang tewas dalam konflik ini. Umumnya dapat dikatakan bahwa peperangan dimulai pada saat pendudukan Jerman di Polandia pada tanggal 1 September 1939, dan berakhir pada tanggal 14 Agustus 1945 pada saat Jepang menyerah kepada tentara Amerika Serikat. Secara resmi PD II berakhir ketika Jepang menandatangani dokumen Japanese Instrument of Surrender di atas kapal USS Missouri pada tanggal 2 September 1945, 6 tahun setelah perang dimulai. Perang Dunia II berkecamuk di tiga benua tua; yaitu Afrika, Asia dan Eropa. Berikut ialah data Universitas Sumatera Utara pertempuran-pertempuran dan peristiwa penting di setiap benua. G. JENIS-JENIS KONFLIK BERSENJATA DALAM RUANG LINGKUP HUKUM HUMANITER.

1. Konflik Bersenjata Internasional

Protokol tambahan I Konvensi-Konvensi Jenewa yang judul aslinya adalah “Additional Protocol to the Geneva Convention of 12 August 1949, and Relating to the protection of victims of International Armed Conflict”, mengatur mengenai konflik bersenjata internasional. Pasal 1 ayat 3 Protokol I menyatakan bahwa: “this protocol, which supplements to the geneva conventions of 12 August 1949 for the protection of war victims, shall apply in the situation reffered to in Article 2 common to this convention” 29 a. Perang yang diumumkan; Hal ini berarti protocol ini berlaku dalam situasi yang dimaksud dalam pasal 2 ketentuan bersama konvensi jenewa 1949. Pasal 2 ketentuan yang bersamaan dari Konvensi Jenewa 1949 menetapkan bahwa Konvensi ini berlaku dalam hal: b. Pertikaian bersenjata sekalipun keadaan perang tidak diakui; c. Pendudukan sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan. 29 United nations, Human Rights a Compilation of International Instruments Volume I Second Part Universal Instruments, United Nations Publication, New York 1993, halaman 863. Universitas Sumatera Utara Dalam Commentary Protocols dijelaskan bahwa perang atau pertikaian bersenjata yang dimaksud adalah perang yang terjadi antara dua atau lebih pihak Peserta Agung atau Pihak Peserta Agung dengan Pihak bukan Peserta Agung asalkan yang terkahir ini juga berbentuk Negara. Dengan demikian jelas bahwa konflik bersenjata yang dimaksud dalam pasal 2 Konvensi Jenewa adalah Konflik bersenjata yang bersifat internasional adalah perang yang terjadi antar Negara trans border. 30 Dalam Pasal 1 ayat 4, dinyatakan bahwa protocol I juga berlaku dalam keadaan konflik bersenjata antara suatu bangsa melawan colonial domination, alien occupation, racist regimes, dalam upaya untuk melakukan hak menentukan nasib sendiri 31 a. Konflik bersenjata antar Negara; , sebagaimana ditujukan dalam Piagam PBB dan dalam Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar Negara sebagaimana yang diatur dalam Piagam PBB. Dimasukkannya situasi- situasi baru tersebut kemudian dikenal dengan CAR Conflicts. Dengan melihat kepada rumusan pada pasal 1 ayat 3 dan pasal 1 ayat 4 Protokol I, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud konflik yang bersifat internasional dapat dikelompokkan dalam 2 hal yaitu: 30 International Committee of the Red Cross, Op. Cit, halaman 133 31 Suatu bangsa yang melakukan perlawanan terhadap colonial domination adalah dimaksudkan kepada bangsa Angola dan Mozambique, yang sedang dalam jajahan Portugal, alien occupation ditujukan kepada Palestina yang diduduki Israel, sedangkan racist regimes dimaksudkan kepada rezim rasialis di Afrika Selatan pada waktu itu. Universitas Sumatera Utara b. Konflik bersenjata antara suatu bangsa people 32 Dengan demikian Konflik bersenjata internasional telah mengalami perluasan ruang lingku dan pengertian sehingga sekarang ini konflik bersenjata internasional tidak hanya sebatas perang antar Negara. melawan colonial domination, alien occupation, racist regimes CAR Conflicts.

2. Konflik Bersenjata Non- Internasional

Keadaan kerusuhan dan ketegangan internal dapat meluas sampai kepada titik bahwa pemerintah memutuskan melibatkan angkatan bersenjata dalam operasi untuk memulihkan ketertiban di wilayahnya. Apabila hal ini terjadi, maka konfrontasi antara para anggota angkatan bersenjata atau kelompok bersenjata terorganisir dapat dikatakan merupakan keadaan “sengketa bersenjata non-internasional” atau “perang saudara”. 33 1. Setiap keadaan di dalam suatu Negara, dimana terjadi pecah permusuhan yang jelas dan tidak dapat diragukan, antara angkatan bersenjata atau kelompok bersenjata terorganisir Dalam Sengketa Bersenjata non-internasional ini, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu: 32 Berdasarkan keputusan majelis umum PBB dan keputusan konferensi diplomatic yang pertama, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa people yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat 4 Protokol 1 adalah people yang mendapatkan pengakuan dari organisasi antar pemerintah yang ada di wilayah tersebut. 33 C. de Rover, To serve and to protect Acuan Universal Penegakan Ham. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2000, halaman 235. Universitas Sumatera Utara lainnya. Dalam tipe ini, jika terjadi di wilayah salah satu Negara peserta Konvensi Jenewa tahun 1949, maka para pihak bersengketa tersebut terikat untuk menerapkan ketentuan- ketentuan dalam pasal 3 ketentuan yang bersamaan pada konvensi-konvensi jenewa tersebut. Pasal 3 ketentuan yang bersamaan common article tersebut berusaha memberikan perlindungan kepada: a. Orang yang aktif dalam permusuhan b. Para anggota angkatan bersenjata yang meletakkan senjata mereka; dan merekq yang termasuk dalam kategori hors de combat 34 2. Setiap hal pembangkang angkatan bersenjata dan kelompok- kelompok bersenjata terorganisir di bawah kepemimpinan atau komando yang bertanggung jawab, dan melaksanakan pengawasan sedemikian rupa atas sebagian wilayah yang memungkinkan mereka melakukan operasi militer secara berkesinambungan dan berkelanjutan dan melaksanakan protokol. Dalam hal yang kedua ini, dan dalam hal tidak adanya pengetahuan mengenai keadaan perang yang menyangkut pelaksanaan seluruh hukum perang, ketentuan pasal 3 yang bersamaan yang ditetapkan diatas tetap berlaku. karena sakit, luka atau sebab lain. 34 C. de Rover menyatakan hors de combat dengan sebutan uzur tempur. Universitas Sumatera Utara Sebagai tambahan, peraturan protocol tambahan pada konvensi jenewa tahun 1949, dan berkaitan dengan perlindungan korban sengketa bersenjata non-internasional protocol II tahun 1977 harus dipatuhi. Sengketa bersenjata internal dapat mengarah kepada keadaan “ketidakpatuhan umum” secara luas, dalam hal ini penghormatan kepada aturan hukum dalam bahaya besar. Ketidakpatuhan umum dapat berkembang ke dalam budaya pembebasan orang-orang yang bersalah. Dalam keadaan demikian badan-badan penegak hukum perlu melanjutkan pekerjaannya dan mengatur untuk menyusun kegiatan mereka untuk mencegah dan menyelidiki kejahatan. Para pelanggar tindak pidana harus diajukan ke pengadilan dan peraturan hukum yang berlaku 35

H. Akibat Hukum Pecahnya Perang dan Konflik Bersenjata

. Sengketa bersenjata non-internasional juga diatur dalam asas hukum kebiasaan internasional, serta oleh ketentuan konvensi-konvensi hak asasi manusia yang tidak boleh disimpangi berdasarkan keadaan darurat yang telah diumumkan. Dalam pengertian umum yang telah diterima, perang dipandang sebagai suatu pertandingan contest antara dua Negara atau lebih tepat antara angkatan bersenjata mereka, tujuan akhir dari setiap kontestan atau 35 Ibid. Universitas Sumatera Utara masing-masing kelompok adalah untuk mengalahkan kontestan lainnya dan membebankan pada mereka yang kalah suatu syarat-syarat perdamaian. 36 Hal ini sesuai dengan konsepsi teoritis ternama mengenai perang, Karl von Clausewitz 1780-1831, menurutnya perang adalah perjuangan dalam skala besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukkan lawannya guna memenuhi kehendaknya. J.G. Starke membuat pembedaan terhadap apa yang dinamakan dengan perang, pembedaan yang dibuat oleh beliau adalah sebagai berikut: 37 1. Suatu perang yang sesungguhnya antar Negara-negara; 2. Konflik-konflik bersenjata atau pelanggaran-pelanggaran perdamaian, yang bukan berkarakter perang dan tidak perlu terbatas pada permusuhan-permusuhan yang hanya melibatkan Negara-negara saja, melainkan juga dapat mencakup suatu perjuangan yang mengikutsertakan badan-badan Negara atau yang disebut dengan konflik bersenjata non perang. Pecahnya perang telah membawa pengaruh luas terhadap hubungan- hubungan antar Negara-negara yang terlibat perang. Pada awalnya perlu diketahui bahwa orang-orang atau benda-benda harus dianggap bersifat musuh, seperti yang dilarang melakukan hubungan dagang dan bergaul dengan pihak musuh, serta memperkenalkan penyitaan atas harta benda musuh. Berikut ini akan dibahas tentang akibat-akibat yang timbul karena 36 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi ke Sepuluh bagian 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, halam 700. 37 Ibid. Universitas Sumatera Utara pecahnya perang dan konflik bersenjata. Adapun yang menjadi akibat- akibat yang timbul karena pecahnya perang yaitu: 1. Karakter Musuh dalam Perang Sebagaimana Individu, praktek Negara juga berbeda mengenai uji karakter musuh 38 Dalam perkara Daimler Co.Ltd v Continental tyre and Rubber Co Great BritainLtd, House of Lords menggunakan ujian persekutuan dengan musuh atau pengendalian musuh atas perusahaan-perusahaan yang menjalankan usaha di sebuah Negara musuh ataupun berbadan hukum Negara musuh tetapi tidak berbadan hukum Negara lawannya, ditentuakn bahwa karakter musuh dapat disimpulkan oleh perusahaan demikian, jika “agen-agen atau orang-orangnya yang de facto mengendalikan urusan- urusan perusahaan itu adalah bertempat kediaman di Negara musuh, atau dimanapun tempat kediamannya, yang dari atau bertindak di bawah pengendalian musuh”. Ini merupakan prinsip yang kaku dan keputusan ini banyak menuai kritik, suatu perusahaan yang berbadan hukum di Inggris . Tentara musuh dan warga Negara musuh yang bertempat tinggal di Negara musuh selalu diperlakukan sebagai pihak musuh dan tempat kediaman yang ada dalam wilayah yang tunduk kepada pendudukan obyektif pada pihak musuh untuk maksud ini disamakan dengan bertempat kediaman di wilayah musuh. Berdasarkan praktek Anglo Amerika, pihak- pihak netral yang bertempat tinggal di wilayah netral tidak dianggap memiliki karakteristik musuh. 38 Ibid, halam 716. Universitas Sumatera Utara mendapatkan karakteristik sebagai perusahaan musuh berdasarkan keputusan ini. Selain dari keputusan dalam perkara Daimler, jelas bahwa suatu perusahaan berbadan hukum di Negara musuh adalah memiliki karakteristik musuh . Berkenaan dengan kapal-kapal, prima facie karakter musuh dari sebuah kapal ditentukan oleh benderanya. Kapal-kapal laut yang dimiliki oleh pihak musuh yang berlayar di bawah bendera dari Negara netral dapat dianggap berkarakter musuh dan kehilangan karakter netralnya jika: 39 a. Kapal-kapal itu ambil bagian dalam permusuhan- permusuhan di bawah perintah agen-agen musuh atau dipakai musuh untuk tujuan pengangkatan tentara, mengirimkan intelijen dan lain-lain; atau b. Kapal-kapal itu menolak pelaksanaan hak yang sah tentang pemeriksaan dan penahanan. Semua barang yang ditemukan di atas kapal-kapal musuh tersebut dianggap sebagai barang-barang milik mush kecuali jika dan sampai dibuktikan sebaliknya oleh pemilik kapal. Mengenai barang-barang pada umumnya, apabila pihak pemilik itu memiliki karakter musuh, maka barang yang bersangkutan akan dianggap milik musuh. Prinsip ini tercermin dalam berbagi peraturan perundang- undangan perang dari Negara-negara persemakmuran Inggris, yang 39 Ibid, halaman 716. Universitas Sumatera Utara melarang hubungan dagang dengan pihak musuh dan mengatur penahanan harta benda. 2. Hubungan Diplomatik dalam Perang Pada saat pecahnya perang, hubungan diplomatik antara pihak yang berperang menjadi putus 40 3. Akibat perang dan Konflik Bersenjata Non-perang Terhadap Traktat-traktat , para duta besar dan duta di masing-masing Negara yang berperang dikembalikan paspornya dan mereka bersama-sama stafnya kembali ke Negara asalnya. Menurut pasal 44 Konvensi Wina 1961 tentang hubungan-hubungan diplomatic, Negara-negara penerima harus memberikan kemudahan untuk memungkinkan orang-orang tersebut berangkat sedini mungkin, menyediakan sarana pengangkutan, safe passage dan hal-hal lain yang diperlukan agar mereka dapat keluar dan pergi dengan selamat. Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Traktat tidak memuat ketentuan yang menguraikan akibat-akibat pecahnya permusuhan- permusuhan terhadap traktat antara para pihak dalam konflik itu. Namun pada tahun 1985, Institute de Droit International mengeluarkan resolusi yang memuat serangkaian kaidah-kaidah dalam pasal 11 untuk mengatur masalah tersebut, yang berlaku baik terhadap perang maupun konflik- konflik bersenjata non-perang selanjutnya akan disebut sebagai “Resolusi 40 T. may Rudy, Hukum Internasional I, Refika Aditama, Bandung, 2002, halaman 92 Universitas Sumatera Utara Institut” 41 Berkaitan dengan hal-hal diatas, hukum internasional menghadapi persoalan-persoalan itu secara pragmatis, dengan menjalankan atau membatalkan jika dituntut oleh perang . Menurut para penulis terdahulu, traktat-traktat batal ipso facto antara pihak yang berperang segera setelah pecahnya perang. Pendapat yang sangat luas itu saat ini dikesampingkan oleh para penulis modern dan juga oleh Resolusi Institut, mengingat tidak sejalan dengan praktek Negara saat ini yang menurut beberapa traktat dianggap batal, sementara ada traktat lain yang masih berlaku, dan yang lainnya ditangguhkan, serta dihidupkan kembali pada waktu perdamaian. 42 4. Larangan Hubungan Perdagangan dan Hubungan Timbal Balik dalam Perang . Dua pengujian dapat dipakai dalam kaitan ini, yang pertama adalah pengujian subyektif atas kehendak, apakah para penandatangan traktat berkehendak bahwa traktat itu akan tetap mengikat pada saat pecahnya perang? Yang kedua adalah apakah pelaksanaan traktat menjadi tidak sesuai dengan terjadinya perang? Barulah dapat dilihat efek dari traktat tersebut ketika perang terjadi. Apabila traktat-traktat ditangguhkan selama berlangsungnya perang, beberapa penulis berpendapat bahwa traktat-traktat itu tidak secara otomatis hidup kembali pada saat terciptanya perdamaian, tetapi berlaku hanya apabila traktat-traktat perdamaian yang bersangkutan secara tegas mengatur demikian. 41 J.G. Starke, Op. Cit, halaman 718 42 T. May Rudy, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara Perdagangan dan hubungan timbal balik antar warga Negara dari Negara-negara yang berperang terputus pada saat pecahnya perang, dan biasanya dikeluarkan peraturan khusus untuk mengatasi masalah itu. Hukum internasional memberikan kebebasan yang sangat luas kepada Negara-negara yang berperang dalam mengundangkan perundang- undangan nasional yang menangani persoalan ini. 5. Harta Benda Musuh dalam Perang Akibat perang terhadap harta benda milik mush berbeda-beda sesuai dengan apakah harta benda tersebut bersifat public yakni dimiliki oleh sifat Negara musuh itu sendiri, atau sifatnya pribadi yakni dimiliki oleh warga Negara dari Negara musuh. a. Harta benda publik milik musuh Suatu Negara yang berperang boleh menyita harta benda bergerak yang ada di wilayahnya yang dimiliki Negara musuh. Apabila harta benda bergerak pihak musuh itu berada di wilayah Negara musuh yang diduduki oleh angkatan bersenjata itu, maka harta benda tersebut dapat disita sepanjang hal itu bermanfaat bagi tujuan militer yang menduduki. Harta benda tidak bergerak yang berada dalam wilayah tersebut boleh dipakai tetapi tidak dimiliki atau dihancurkan. Kapal yang berlayar pada waktu perang dan kapal laut publik lainnya di laut yang dimiliki di Negara musuh boleh ditahan dan disita kecuali jika kapal tersebut terlibat dalam Universitas Sumatera Utara penyelidikan dan eksplorasi atau untuk kepentingan agama, ilmiah, atau tugas-tugas rumah sakit. b. Harta benda pribadi musuh Praktek umum dewasa ini dari Negara-negara berperang adalah menyita harta benda demikian yang berada di wilayah mereka yaitu menyita untuk sementara bukan mengambil alihnya, kemudian menyerahkannya untuk diselesaikan melalui traktat-traktat perdamaian. Tidak begitu jelas apakah terdapat suatu aturan hukum internasional yang melarang penyitaan demikian 43

I. Kedudukan Negara ketiga dalam perang dan konflik bersenjata

. Tetapi harta benda pribadi di wilayah yang diduduki tidak boleh diambil atau diganggu, kecuali jika dipakai untuk kepentingan militer di wilayah yang diduduk i itu, misalnya barang-barang dan sarana itu diperlukan untuk kepentingan pasukan pendudukan, tindakan-tindakan yang semata-mata perampasan saja dilarang. Sebaliknya dari perlindungan substansial atas harta benda di darat, kapal-kapal musuh dan muatannya yang merupakan milik musuh adalah tunduk kepada penyitaan, hal ini tidak berlaku terhadap barang-barang musuh yang ada dalam atau di atas kapal dagang netral kecuali jika barang tersebut berguna untuk tujuan perang, atau kecuali jika disita sebagai tindakan pembalasan perang karena pelanggaran yang terus menerus oleh pihak musuh terhadap kaidah-kaidah hukum perang. 43 Ibid, halaman 721. Universitas Sumatera Utara Dalam pengertian popular, terminologi Negara ketiga merujuk kepada Negara yang tidak ikut terlibat dalam peperangan ataupun konflik baik secara langsung maupun tidak langsung, tetapi mendapatkan efek dari terjadinya konflik atau peperangan tersebut. Di dalam Hukum Humaniter Internasional, Negara ketiga dapat bermakna dua hal, yaitu 44 a Negara ketiga yang sama sekali tidak terlibat atau menjadi bagian dari suatu konflik bersenjata. : b Negara Netral. Negara ketiga yang sama sekali tidak terlibat atau menjadi bagian dari suatu konflik bersenjata dapat berupa Negara tetangga ataupun Negara- negara yang berada di kawasan lain. Negara yang tidak terlibat dalam konflik umumnya mengalami dampak di bidang diplomatic, dimana akibat terjadinya perang, meskipun tidak antar Negara pengirim dan Negara penerima, umumnya akan melakukan penarikan terhadap Duta besar dan Duta mereka dari Negara yang sedang berkonflik tersebut, hal lebih jauh yang mungkin dilakukan adalah melakukan evakuasi terhadap warga Negara mereka, penutupan kantor konsulat dan kantor-kantor perwakilan mereka di Negara yang sedang terkena konflik, hal yang lebih luas berlaku apabila Negara ketiga tersebut adalah Negara tetangga, karena Negara ketiga yang merupakan tetangga dari Negara konflik umumnya juga akan mengalami masalah lain yaitu pengungsi refugee 45 44 Jean Pictet, Development and principles of International Humanitarian Law, Martinus Nijhoff Publisher-Henry Dunant Institute, 1985, halaman 72, dalam Ibid halaman 75. 45 F. Sugeng Istanto, Op. Cit, halaman 100 . Universitas Sumatera Utara Hal yang berbeda terjadi pada negara ketiga yang bersifat Netral, dalam pengertian teknis, netralitas tidak lebih dari suatu sikap, dan menunjuk kepada suatu status hukum yang sifatnya khusus, yang menyangkut serangkaian hak, kewajiban dan privileges menurut hukum internasional yang harus dihormati oleh pihak-pihak yang berperang dan pihak-pihak netral lainnya. Status netralitas ini telah menjadi pokok permasalahan yang mengalami perkembangan cukup panjang dan rumit, kadar dari status tersebut berlainan sesuai dengan sifat dari perang atau sesuai dengan kondisi-kondisi kekuasaan politik masyarakat Negara internasional 46 Secara bertahap netralitas berkembang dari traktat-traktat bilateral yang menetapkan bahwa tidak ada suatu pesertapun dari traktat yang dibentuk itu akan membantu pihak musuhlawan dari peserta traktat lain apabila salah satu peserta traktat terlibat dalam perang. Disadari bahwa telah menjadi pendapat umum bahwa Negara-negara yang berperang boleh mencegah diberikannya bantuan yang ditujukan kepada pihak musuh. Pada mulanya kasus-kasus mengenai netralitas jarang terjadi dan timbul secara sporadic, serta tidak segera memperoleh status umum . 47 46 International Committee of the Red Cross, Op. Cit, halaman 198 47 J.G. Starke, Op. Cit, halaman 766 . Barulah kemudian pada abad ke XIX, netralitas berkembang lebih luas disbanding sejarahnya di waktu-waktu sebelum itu. Sebagian besar ahli sejarah mengaitkan hal ini sebagian kepada peranan yang dimainkan Amerika Serikat sebagai pihak netral dalam perang Napoleon, pada saat mana Inggris bersekutu melawan Universitas Sumatera Utara pihak Napoleon, dan Negara-negara satelitnya di Eropa daratan. Pemerintah Amerika Serikat menolak untuk mengizinkan kapal-kapal yang diperlengkapi dan dipersenjatai memasuki wilayah Amerika dengan mengatasnamakan pihak-pihak yang berperang dan mencegah perekrutan warga Negara Amerika untuk berdinasdalam angkatan bersenjata pihak yang berperang. Pada saat bersamaan, Inggris berusaha untuk mencegah perdagangan netral dengan Perancis dan banyak kaidah hukum mengenai hak-hak pihak netral dan pihak-pihak yang berperang terbentuk sebagai jalan keluar kompromi dari konflik pertentangan antara Inggris dan Amerika Serikat. Juga selama tahun-tahun berlangsungnya perang Napoleon tersebut, Lord Sowell menjadi ketua British Prize Court dank arena itu berkembanglah hukum baru mengenai hak-hak dan kewajiban pihak-pihak netral, hal ini berkat jasa intelektual dan kejeniusannya sebagai seorang legislator yudisial. Disamping itu, di Amerika Serikat terjadi sebuah perkara terkenal 48 48 Alabama Claim Arbitration 1872. yang berkenaan dengan konstruksi dan diperlengkapinya kapal-kapal dengan yang diubah menjadi kapal perusak di Inggris yang diperuntukkan bagi angkatan laut konfederasi. Pemerintah Amerika Serikat menuduh Inggris melanggar netralitas karena gagal mencegah sedapat mungkin diperlengkapinya kapal-kapal tersebut dan mencegah pengirimannya kepada pihak konfederasi. Universitas Sumatera Utara Netralitas sering dibenarkan dengan merujuk kepada pertimbangan- pertimbangan berikut: 49 a Bahwa netralitas bermanfaat untuk melokalisasi perang. b Bahwa netralitas mengurangi perang. c Bahwa netralitas memungkinkan Negara-negara untuk menjauhkan diri dari perang. d Bahwa netralitas menertibkan hubungan-hubungan internasional. Menurut Schwarzenberger, dalam bukunya berjudul “International Law as applied by International Courts and Tribunals Vol I” The law of armed conflict, tahun 1968, hukum kenetralan mengenal lima basic rules, yaitu 50 1 Negara netral tidak boleh memihak dalam suatu perang, dan dilarang membantu pihak-pihak berperang. Negara netral harus bersikap tidak memihak dalam hubungannya dengan semua pihak yang berperang; : 2 Negara netral harus mencegah jangan sampai wilayahnya dipergunakan sebagai pangkalan operasi oleh pihak-pihak yang bersengketa; 3 Suatu Negara yang tidak turut serta dalam sengketa bersenjata harus dihormati hak-haknya sebagai Negara netral oleh pihak- pihak yang bertikai; 49 Ibid, halaman 768. 50 Syahmin, AK, Hukum Internasional Humaniter Bagian I, Armmico Bandung, halaman 151. Universitas Sumatera Utara 4 Negara netral berbeda dengan Negara yang dinetralisir, dapat mengubah statusnya, dari netral menjadi pihak yang ikut serta dalam perang. Status netral hanya berlaku dalam perang itu saja; dan 5 Setiap pelanggaran terhadap kewajiban Negara netral dan belligeren yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap pihak yang lain merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum internasional. Dari ketentuan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kewajiban dan hak dari Negara netral berlaku timbale balik reciprocity, dalam artian bahwa apa yang menjadi hak bagi Negara netral akan merupakan kewajiban bagi belligeren, dan demikian jugasebaliknya. Perlu ditegaskan bahwa kewajiban-kewajiban itu hanya berlaku untuk Negara-negara netral dan bukan untuk orang-orang netral neutral nationals 51 a Konvensi Den Haag V tahun 1907, untuk kenetralan dalam perang di darat. . Hukum mengenai netralitas ini diatur dalam: b Konvensi Den Haag XIII tahun 1907, untuk kenetralan dalam perang di laut. Selain daripada itu masih ada beberapa konvensi lain yang mengatur kenetralan, antara lain adalah: a Declaration respecting maritime law Paris tahun 1856; 51 Ibid. Universitas Sumatera Utara b Declaration concerning the laws of Naval War London Naval Conference tahun 1909; c Rules of Air Warfare tahun 1922; d Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949, dan Protokol Tambahan Jenewa I tahun 1977. Selain itu, Negara-negara yang sedang berperang, tidak dibenarkan berperang atau melakukan tindakan-tindakan yang bersifat perang di wilayah netral atau melakukan tindakan permusuhan di perairan Negara netral atau di ruang udara di atas wilayah Negara netral 52

J. Cara-Cara Mengakhiri Perang dan Permusuhan